Contents
Mystery of Amazon
Bab 7
RUMAH itu terlihat seperti sudah ditinggalkan lama. Persis rumah hantu. Lembap, gelap, dan berbau apek. Sarang labalaba yang masih baru menyambut kami di depan pintu. Bukan laba-laba biasa, tetapi jenis yang berbisa, Black widow. Sengatan laba-laba itu mengandung beragam racun yang dapat memicu gejala tekanan darah tinggi, keringat berlebih, dan nyeri otot yang parah. Sindrom tersebut disebut laktrodektisme.
Miguel menunduk saat masuk agar tak mengganggu sarang laba-laba tersebut. Sebelum kemari, dia sudah mendapat izin dari kepolisian untuk masuk dan mengambil barang-barangku. penyelidikan di TKP sudah selesai, tetapi garis polisi masih menutupnya. Jadi tidak boleh ada orang yang sembarangan masuk.
Aku menaiki tangga menuju ke kamar dengan perasaan tak keruan. Bayangan mayat Anna yang tergeletak di atas tempat tidur membuatku bergidik. Dengan cepat aku sampai di lantai dua dan menyusuri selasar menuju kamar. Beruntung aku tidak harus melewati kamar Anna yang pintunya dihalangi dengan garis polisi.
Dalam diam tanganku bergerak cepat, mengemasi barangbarang walau dengan kemampuan terbatas. Beberapa kali aku merasakan bahuku menegang akibat gerakan-gerakan yang mendadak. Sejenak aku mengistirahatkan bahuku sambil melakukan pijatan kecil di sana.
“Aku bantu. Jangan memaksakan diri, bahumu masih belum pulih benar.” Tiba-tiba Miguel datang tepat ketika aku membuka laci tempat aku menyimpan pakaian dalam.
“Hah?! Uh … ti-tidak usah!” Aku gelagapan.
Pria itu menjadi penasaran dan mendekat, lalu dalam beberapa saat ada senyum jahil tersungging di bibirnya.
“Isinya pasti sangat rahasia, sehingga kau panik seperti itu,” ujarnya, masih tersenyum.
Kurasakan pipiku memanas, mungkin warnanya sudah seperti tomat masak. “Aku sudah selesai. Ayo, cepat kita pergi dari sini!”
Dia membantu menutup koperku dan membenahi barang yang lain di atas meja rias. Aku tidak membawa banyak kosmetik karena memang tidak terlalu gemar berdandan. Perawatan tubuh dan wajah pun kulakukan alakadarnya. Hal yang paling penting adalah tabir surya, pelembap wajah dan bibir, juga lotion anti nyamuk.
“Besok jadwal kontrolmu, kan?” Miguel mengalihkan topik.
Aku terdiam sambil menghitung di dalam kepala. “ Lusa.”
“Duh, bagaimana, ya?” Wajahnya jadi bimbang setelah mendengar jawabanku.
“Bagaimana apanya?” tanyaku.
“Lusa aku bertugas seharian, sekaligus orientasi lahan bersama Alexandra.”
Entah mengapa rasanya tenggorokanku jadi kering, menjalar ke dada hingga membuatku sebal. What’s wrong, Kelly? Miguel memang seorang polisi hutan dan rekan barunya adalah wanita bernama Alexandra. Nama yang indah. Pasti orangnya cantik. Tiba-tiba aku menjadi jelak.
“Memang kenapa? Aku bisa ke rumah sakit sendiri, kok!” Aku merasa bodoh ketika bicara dengan nada merajuk.
“Alexandra itu rekan kerjaku yang baru.” Miguel seperti mencoba menjelaskan agar aku tidak salah paham. “Aku harus
membantu dan mendampinginya.”
Tanpa diminta Miguel mulai melakukan klarifikasi. Ada apa dengan kami? Ini benar-benar konyol. Tambah lucu ketika aku berjalan ke luar kamar dengan langkah mengentak, seperti anak kecil sambat.
“Aku akan minta tolong Fernando agar lusa mengantarmu ke rumah sakit. Dia sedang tidak bertugas,” katanya berusaha mengejar langkahku.
Karena jalan buru-buru aku hampir saja tergelincir saat menginjakkan kaki di anak tangga. Untung saja Miguel segera menarik tanganku sehingga aku tidak terjatuh.
“Hati-hati, Kelly,” ucapnya lembut. “Tidak mau dengan Fernando?” Nada bicaranya seperti sedang bernegosiasi dengan seorang bocah sepuluh tahun.
Aku tak menjawab dan segera menuruni tangga, merasa dongkol sekaligus malu pada diri sendiri.
Aku mengenal Fernando. Dia polisi hutan juga. Kami beberapa kali bertemu saat studi pendahuluan bulan lalu. Dia yang menjelaskan beberapa hal mengenai perbatasan hutan yang tidak boleh dilanggar. Jika dilihat dari fisik, sepertinya dia seumuran denganku. Wajahnya khas pria Amerika Selatan, berkulit cokelat, rambut ikal, wajah persegi dengan senyuman cemerlang. Cukup tampan, bahkan Anna terlihat bersemangat jika berbicara dengannya. Sayang sekali, Fernando seorang pria beristri.
Koper dan tas sudah berada di jok belakang. Aku duduk tegak di kursi penumpang tanpa bantuan Miguel. Walau bahuku jadi kram, aku bersikeras naik ke mobil seorang diri.
“Bahumu baik-baik saja?” ujar Miguel dari balik kemudi.
Dia melihatku saksama, sepertinya sadar barusan aku meringis nyeri. Aku mengangguk tanpa menjawab, lalu purapura tidur sepanjang perjalanan. Miguel tak berani mengganggu, seperti mengerti suasana hatiku saat ini. Suara serak-serak basah Bryan Adams mengalun dari radio, menyanyikan “Please Forgive Me”, seperti meledek kami berdua.
Begitu pun saat kami tiba di rumahnya. Aku tidak menyapa hewan-hewan di dalam dan langsung masuk kamar. Havana menatapku dengan tajam, tetapi aku melengos saja, tak mau banyak mendebatkan siapa yang paling cantik di antara kami. Aku mengaku bahwa sikapku norak, tetapi entah kenapa memang malas banyak bicara. Mungkin aku mengalami PMS.
Akhirnya sore itu aku tertidur dengan bahu yang kesemutan. Kudengar hujan turun cukup deras ketika terbangun. Aroma mentega dan rempah-rempah menguar di udara, membuat perut keroncongan. Baru saja aku mau bangkit dari tempat tidur, ketika terdengar suara pintu diketuk.
Miguel berdiri di ambang pintu dengan tampang yang membuat siapa pun akan terpana. Rambutnya basah, sebagian jatuh ke dahinya yang tinggi. Aromanya segar, campuran citrus dan mint. Miguel mengenakan kaus polo warna putih dan celana jins belel yang membuatnya semakin menawan.
Aku melihat sisi lain dari dirinya yang ramah, santai, tetapi tetap mendebarkan. Tangannya bergerak menyugar rambut yang jatuh ke kening. Namun, gerakan itu malah membuat dia terlihat semakin menggemaskan. Ditambah senyumnya yang agak miring seperti mengejek. Ya, Tuhan! Lututku rasanya berubah jadi agar-agar.
“Tidur nyenyak, Sleepyhead?” tanyanya. “Makan malam sudah siap. Mandi dulu lalu makan.”
Seperti orang bego, aku mengangguk setuju. Buru-buru pergi mandi dan berpakaian. Tak sampai setengah jam aku sudah siap di meja makan. Miguel memasak sajian daging panggang dan salad sayuran segar. Air liurku hampir saja menetes melihat maha karya yang memadati permukaan meja makan. Siapa sangka pria ini jago masak?
“Enak?”
Aku mengangguk dan terus mengunyah dengan semangat, menikmati lumernya daging sapi bagian has dalam yang lembut dan lezat. Rasanya sudah sangat lama sejak aku menyantap daging seenak ini sebelumnya. Belum lagi salad segar dengan dressing yang menggiurkan, perpaduan minyak zaitun, perasan lemon, parsley, dan madu.
“Itu daging gajah,” ujarnya dengan suara serius.
Aku tersekat dan menghentikan gerakan rahangku. Dengan mata melotot aku menuntut penjelasan yang pasti darinya. Rasa mual mulai menjalar ke tenggorokan. Kemudian Miguel terbahak-bahak melihat wajahku.
“Ha-ha-ha! Aku bercanda.” Dia terus tergelak.
Aku mendelik kesal dan meneruskan lagi santapanku. Dia sungguh menjengkelkan. Kulihat Miguel sudah mengosongkan piringnya sambil terkekeh. Dia bangkit membawa piring kotor ke dapur.
Makananku sudah ludes ketika Miguel datang membawa sebuah nampan.
“Kemarilah!” katanya, menepuk permukaan sofa.
“Apa itu?” Aku menghampirinya, tetapi kemudian berhenti saat dia mengatakan hal yang aneh.
“Buka kemejamu!”
“A-apa yang akan kaulakukan?” Aku mundur selangkah sambil menyilangkan tangan di depan dada.
Miguel menggeleng kesal dan menarik tanganku agar duduk di sofa. Saat itu aku baru melihat isi nampan yang dibawanya. Ada buli-buli dan sebotol cairan hijau.
“Aku tahu bahumu tidak nyaman. Untuk mencegah semakin parah, harus dikompres air hangat dan diolesi minyak rempah. Ayo, cepat buka kemejamu!”
Akhirnya kubuka kemejaku dengan ragu. Untung saja aku memakai tank top di baliknya. Meskipun aku bukan tipe wanita kolot, tetap saja aku merasa malu dan risih membuka pakaian di hadapan pria seperti Miguel.
Tunggu! Memangnya seperti apa dia? Tentu saja pria seperti pada umumnya. Bukan seseorang yang spesial. Ada apa denganku? Sepertinya aku terlalu banyak makan sehingga punya pikiran aneh. Aliran oksigen ke otak berkurang banyak karena harus mengalir lebih banyak ke saluran pencernaan untuk keperluan metabolisme.
Miguel membuka perban elastis yang membebat bahuku. Seketika kurasakan aliran darah menjadi lancar dan ada rasa hangat di sana. Dia menyentuh beberapa titik untuk memeriksa kondisinya.
“Aw!” jeritku tertahan.
“Masih agak bengkak,” katanya.
Dengan terampil Miguel mengompres bahuku sambil mengoleskan minyak dari dalam botol perlahan dan merata. Aku merasa nyaman sehingga tak sadar mendesah nikmat.
“Masih sakit?” tanya Miguel.
“Sekarang lebih enakan,” jawabku.
“Jangan memaksakan membawa beban dan bergerak mendadak. Kalau butuh apa-apa kau bisa minta tolong kepadaku.” Kata-katanya terdengar sangat serius, seperti sebuah instruksi.
Aku mengangguk tanda berjanji akan menuruti perintahnya. Miguel mempunyai kekuatan untuk membuat siapa pun patuh kepadanya.
*
Pagi itu Fernando menjemputku tepat pukul delapan. Dia menyapa ramah dan membantuku naik ke mobil sedannya.
“Kukira kau menyewa sebuah rumah. Ternyata tinggal dengan Miguel,” katanya di perjalanan.
“Sementara saja. Aku sedang mempertimbangkan apakah akan tinggal lebih lama atau segera kembali ke London.”
Fernando melirikku sekilas. “Kau baik-baik saja? Bukankah penelitian masih panjang?”
Aku menghela napas. “Entahlah. Rasanya terlalu banyak hal mengejutkan yang terjadi. Kematian Anna, kondisi Daniel,
Richard, dan Gerald membuatku bingung.”
Fernando bergumam tanda mengerti. “Ngomongngomong, Miguel tidak melakukan sesuatu yang aneh selama kau di rumahnya?” tanyanya penuh selidik.
Aku menatapnya bingung. “Apa maksudmu? Memangnya Miguel kenapa selama ini?”
Fernando mengibaskan tangan di depan wajahnya, terlalu buru-buru. Seperti ada yang ingin dia hindari. “Ah, tidak apaapa!”
Tingkah laku pria di sebelahku membuat penasaran. Selanjutnya dia terus menghindari tatapanku dan tidak terlalu banyak bicara. Ada apa sebenarnya dengan Miguel?