Try new experience
with our app

INSTALL

Mystery of Amazon 

Bab 5

SAMPAI saat ini Daniel belum memberikan kabar dan masih sulit dihubungi. Aku sudah mencoba berkali-kali meneleponnya, tetapi nomornya tidak kunjung aktif. Miguel berencana akan mencari mereka ke tengah hutan, setelah mengantarku ke rumahnya. Dia juga sudah menghubungi teman-teman polisi hutan lain untuk bergabung dalam Tim Pencari Jejak.

Rumah Miguel sederhana, tetapi cukup selesa dan hangat. Terbuat dari bata merah yang didesain natural, serbacokelat dan berbau kopi, membuat aku merasa nyaman. Ada ruang agak luas yang berfungsi sebagai ruang duduk sekaligus ruang tamu, dua kamar tidur, dapur, kamar mandi, serta ruang tertutup yang kuduga adalah gudang.  Satu kamar mandi terletak di dalam kamar tidur milik Miguel. Aku bisa menggunakan kamar mandi di sebelah dapur dengan leluasa.

Dua ekor kucing besar menyambut kami di depan pintu. Mereka benar-benar besar, jenis Maine Coon berbulu emas dan kelabu. Bulu mereka lebat dengan ekor menjuntai panjang. Dua ekor kucing itu menatapku curiga, seolah aku adalah penyusup. Akan tetapi, ketika Miguel menyapa mereka dan mengenalkanku, mereka menjadi lebih bersahabat, jinak dan mengendus-endus kakiku. Ajaib! Miguel seolah dapat berkomunikasi dengan mereka.

“Si emas bernama Havana, si kelabu bernama Pedro. Mereka kujodohkan menjadi sepasang kekasih.” Miguel menerangkan.

Aku manggut-manggut seraya menggaruk kepala Havana yang mengeong waspada. Pedro mendekati, minta digaruk juga.

“Itu Lucio, si tukang gosip.” Miguel menunjuk sebuah sangkar besi di sudut ruangan.

Seekor kakaktua melompat-lompat sambil mengoceh. 

“Lucio! Lucio! Halo, Hot Girl!

“Tutup mulutmu, Lucio!” sergah Miguel tak suka. “Kau tidak sopan!”

Aku tergelak mendengarnya. “Hai, Lucio!” sapaku kemudian.

“Di kulkas ada makanan, kau bisa menghangatkannya dalam microwave. Aku harus segera bergabung dengan Tim Pencari Jejak untuk mencari Daniel.” Miguel meraih topinya dan bersiap pergi.

“Tetapi, Miguel … kau juga belum makan,” kataku, merasa tak enak.

“Aku bisa makan sesuatu di perjalanan.” Dia kemudian menghilang di balik pintu depan.

Di sinilah aku. Berdiri di tengah rumah seorang pria yang belum lama kukenal, dengan tiga ekor hewan yang memelototiku. Terus terang, ini sangat aneh. Mereka membuatku gugup. Terutama Havana. Kucing betina itu memandangku dengan mata … cemburu? Entahlah!

Tatapannya seperti bicara: Kau tidak bisa merebut Miguel dariku!

Astaga! Aku pasti kurang tidur dan terlalu lapar sehingga berhalusinasi. Kuputuskan untuk beranjak ke dapur dan mencari makanan di dalam kulkas. Aku menghangatkan sup ayam dalam kemasan kaleng, lalu membuat segelas cokelat panas. Pergerakanku masih terbatas, jadi aku tidak punya cukup tenaga untuk memasak makanan yang lebih rumit.

Havana terus memelototiku saat aku makan, sementara Pedro tertidur di sofa dengan posisi meringkuk. Udara memang terasa lebih dingin sekarang. Lucio terlihat tenang dalam sangkarnya.

“Dengar,” ucapku tiba-tiba seraya membalas tatapan kucing betina itu. “Kau tidak usah khawatir. Aku hanya numpang tidur karena terjadi sesuatu di rumahku. Jangan salah sangka, setelah semuanya selesai, aku akan pergi.” Sekarang aku balas memelototinya.

Havana masih memandangku beberapa detik, matanya berkedip-kedip, kemudian dia melengos dan bergabung dengan Pedro di atas sofa. Ini memang terlihat mustahil, aku pun terheran-heran. Kucing itu seakan-akan mengerti apa yang kubicarakan. Akhirnya aku bisa makan dengan tenang.

*

Suara dering panggilan masuk membuatku terlonjak. Aku mengerjapkan mata untuk memulihkan kesadaranku. Di luar sudah terang, cahaya matahari masuk melalui celah jendela dan ventilasi. Aku mencari-cari ponselku yang masih berdering. Benda itu terjatuh ke lantai. Aku perlu bangkit untuk mengambilnya.

Nama Miguel tertera di layar. Semoga saja ada kabar baik darinya.

“Halo.”

“Kau tidur nyenyak? Suaramu terdengar begitu.” Miguel bertanya dan menjawab sendiri, membuatku memutar bola mata.

“Aku bangun karena telepon ini,” jawabku kesal.

“Maaf. Ngomong-ngomong, ini sudah jam sembilan lebih.”

Aku terkesiap dan memicingkan mata untuk melihat jarum jam di dinding. Hampir jam sepuluh!

“Aku tidur nyenyak sekali,” ujarku malu-malu. “Bagaimana pencariannya?”

Miguel tidak langsung menjawab. Dia seperti berpikir dahulu sebelum bicara.

“Bersiaplah, aku akan menjemputmu satu jam lagi.” Ada sesuatu yang aneh dalam nada suaranya.

Aku tidak ingin menebak-nebak, juga tidak mau mendengar kabar buruk. Jadi kuputuskan untuk tidak bertanya lebih banyak. Aku mengiyakan dan menutup telepon.

Miguel datang satu jam lebih delapan menit kemudian. Wajahnya tegang, tetapi tetap berusaha untuk tersenyum. Dia menanyakan kabarku, basa-basi untuk menghindari sesuatu.

“Kita mau ke mana?” tanyaku penasaran.

Pria itu mendesah, menyerah untuk berpura-pura.

“Rumah sakit,” jawabnya.

Seketika aku merasakan firasat buruk. “Jangan bilang kalau Daniel ….”

“Kami berhasil menemukan mereka dalam keadaan hidup.”

Aku menghela napas lega. “Lalu?” tanyaku tak sabar.

“Kau akan tahu nanti.”

*

Ini sulit dipercaya. Daniel terlihat bugar, tak ada luka berarti kecuali lecet kecil di kening, tangan, dan kaki. Namun, tatapan matanya kosong, membuatku tiba-tiba merasa kecut. Sorot matanya hampa seolah-olah jiwanya sedang mengembara ke suatu tempat.

Aku sudah berusaha memanggil namanya, menyentuh tangannya, tetapi tidak ada respon sama sekali. Daniel tetap bergeming dengan wajah yang datar tanpa emosi. Matanya diam, menuju ke suatu titik yang entah di mana.

“Apa yang terjadi?” tanyaku kepada dokter.

“Semua tanda vitalnya normal, tetapi responnya tidak menggembirakan. Untuk meyakinkan apa yang terjadi, kita harus membawa pasien ke rumah sakit pusat di ibukota untuk diperiksa secara menyeluruh. Saya menganjurkan pasien dirujuk agar bisa ditangani lebih lanjut.” Dokter wanita itu menjawab.

Aku melihat wajah Miguel yang masih tegang. Ada rasa khawatir dalam air mukanya. Ada apa sebenarnya? Ada sesuatu yang dia sembunyikan dariku. Dokter kemudian pamit dan memintaku untuk menandatangani persetujuan rujukan apabila keputusan sudah diambil.

“Miguel,” 

Pria itu terperanjat. “Y-ya?”

“Katakan, ada apa sebenarnya?” Aku mendekatinya.

“Apanya yang ada apa?” tanyanya berlagak pilon.

“Aku tahu kau menyembunyikan sesuatu. Katakan, Miguel!” Kutatap dia dengan instens.

Pria itu memijat pelipisnya, tampak sangat kebingungan. “Kau mungkin tidak akan percaya, Kelly.” Dia menatapku dengan gusar.

“Apa? Coba katakan!” Aku mulai tak sabar.

“Ini kutukan,” jawabnya setengah berbisik. “Mereka mengambil jiwanya karena telah melanggar aturan rimba.”

Tiba-tiba aku teringat peristiwa itu. Terlalu nyata jika dikatakan bahwa kejadiannya hanya sebuah mimpi. Pertemuanku dengan elven bernama Tristus, wujud lain yang sangat mirip dengan Miguel. Tristus memberikan peringatan agar menghentikan penelitian pada kupu-kupu morpho biru. Jika tidak, akan ada kejadian buruk menimpa.

Aku menggeleng kasar untuk membuang pikiran buruk. Kulihat wajah Miguel masih tampak resah. Dia tidak sedang bergurau. Miguel tahu sesuatu tentang hutan itu.

“Miguel, katakan lebih jelas. Agar aku bisa mengerti apa yang kaumaksud.” Aku menyentuh lengannya.

Miguel baru dapat menatapku langsung setelah menarik napas panjang. “Mereka marah. Para penghuni rimba Amazon merasa kalian meremehkan mereka. Kematian Anna, kondisi Daniel, kurasa semua ada hubungannya dengan para elven.” Miguel terdengar sangat meyakinkan.