Contents
Mystery of Amazon
Bab 4
SEMUA yang terjadi hari ini benar-benar membuatku terguncang. Aku menangis cukup lama sampai kepalaku pusing. Menemukan Anna sudah tak bernyawa, kemudian dimintai keterangan oleh polisi distrik selama berjam-jam, benar-benar membuatku kehabisan energi.
Mereka semua berbicara dengan bahasa Inggris yang membingungkan, dilengkapi aksen kental huruf R, juga sesekali bicara bahasa Portugis, membuat kepalaku seperti mau pecah. Belum lagi Daniel yang sulit dihubungi. Beberapa kali aku mencoba meneleponnya, dia tak kunjung menerima panggilan. Terakhir kali malah tidak tersambung.
Beruntung Miguel terus mendampingiku. Dia bahkan menjadi penerjemah bagiku. Pria itu juga menegaskan bahwa aku tidak ada sangkut pautnya dengan kematian Anna yang masih misterius. Miguel beberapa kali menepuk punggungku pelan untuk memberikan dukungan ketika aku mulai terlihat gelisah.
“Kami akan menghubungi Anda jika membutuhkan informasi lebih lanjut. Sekarang kami sedang melakukan penyelidikan di TKP. Malam ini mungkin Anda harus mencari tempat lain untuk menginap.” Polisi berkulit pucat di hadapanku bicara.
Aku mengucapkan terima kasih dan kami berjabat tangan. Miguel melakukan hal yang sama, tetapi bicara dengan bahasa mereka. Kami meninggalkan kantor polisi dengan langkah gontai, merasa lelah dan lapar. Enam jam berada di tempat itu membuatku sangat putus asa. Aku baru dapat menghirup napas lega ketika Miguel membukakan pintu keluar dan udara malam menerpa wajahku. Udara yang lembap dan beraroma hujan terasa memenuhi atmosfer.
“Sebentar lagi akan hujan,” ucap Miguel layaknya seorang peramal cuaca.
“Aku harus mengambil beberapa barang di rumah sebelum mencari motel yang paling dekat.” Kulihat kelokan kilat membelah langit yang gelap.
Di hutan Amazon mungkin hujan sudah turun sangat lebat. Seketika aku memikirkan Daniel beserta rombongan. Semoga mereka baik-baik saja. Aku lalu mendesah untuk melepaskan beban di dadaku yang terasa berat.
“Lebih baik kau bermalam di rumahku.”
Perkataannya membuatku terperangah. Perlahan aku menoleh dan menatap pria itu tak percaya.
“Pardon me?”
Miguel mengernyit merespon tatapanku. “Jangan geer, Kelly!” ujarnya cepat sembari mengangkat sebelah alisnya tinggi-tinggi. “Aku hanya bermaksud menolong, tidak ada niat macam-macam. Lagi pula di rumahku ada dua ekor kucing dan
seekor burung kakak tua berisik tukang gosip.”
Aku mengembuskan napas lega. “Aku tidak mau merepotkan,” ujarku kemudian.
Miguel mengangkat bahunya acuh tak acuh. “Terserah.
Perlu kau tahu, motel terdekat yang layak untuk wanita sepertimu jaraknya dua jam perjalanan.”
“Wanita sepertiku?” tanyaku, merasa tak nyaman.
“Maksudku, wanita baik-baik, rapi, dan terpelajar,” ujarnya. “Ada penginapan di sekitar sini, tetapi aku tidak menjamin mereka membersihkan kamar-kamar dengan teratur.”
Mau tak mau aku tersipu mendengar jawabannya. Namun, ketika membayangkan semua yang kudengar membuatku bergidik. Aku tidak masalah dengan kecoak raksasa sekalipun, tetapi jika ada tikus … tidak! Aku tidak bisa tidur apabila harus menghirup udara yang sama dengan binatang pengerat yang satu itu.
“Di rumahmu tidak ada tikus?” tanyaku ragu.
“Aku punya dua ekor kucing raksasa. Tikus tak akan berani menginjak beranda rumahku.” Miguel tergelak.
“Berapa biaya sewanya?” tanyaku lagi, mencoba untuk bersikap profesional, tetapi malah terdengar menggelikan.
Miguel menggeleng-geleng, masih terkekeh. “Ayo, cepat masuk mobil! Sudah gerimis.”
Ramalannya tepat. Sesaat setelah kami masuk mobil, hujan turun sangat deras. Petir saling bersahutan dan angin bertiup kencang. Tak heran siang tadi udara sangat panas, rupanya hujan turun lebat malam ini.
“Setelah kau sampai di rumahku, aku akan mengambil barang-barangmu. Catat saja apa yang harus kuambil di rumah dinas nanti.” Miguel menyetir sambil menatap jalanan yang gelap karena hujan.
Entah mengapa mendengar perkataannya membuatku merasa malu. Pipiku memanas, mungkin wajahku sekarang bersemu merah. Rasanya sulit sekali membayangkan seorang pria menyentuh barang-barang pribadiku.
“Besok saja kita ambil. Malam ini hujan, terlalu berbahaya jika pergi ke sana.” Aku menjawab.
Semoga saja aku tidak terdengar gugup. Kulihat Miguel mengangguk singkat dan kembali fokus ke jalanan. Dia melajukan mobil dengan kecepatan sedang karena hujan semakin deras disertai angin yang bergulung-gulung. Halilintar menggelegar bersahutan. Spontan aku menggeriap ketika tibatiba sosok mayat Anna terlintas di ingatan. Aku menggelenggeleng untuk mengusir bayangan itu.
Entah bagaimana aku harus mengabari keluarga Anna nanti. Aku bisa membayangkan kedua kakaknya akan sangat terguncang. Anna adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Mereka yatim piatu sejak Anna berumur 14 tahun.
Anna adalah salah satu staf kampus yang bersedia menjadi asisten penelitianku. Dia perempuan cerdas dan tak banyak mengeluh. Meskipun kami tidak terlalu dekat secara pribadi, tetapi aku sudah menganggapnya sebagai sahabat. Dia memiliki sifat tertutup dan hanya bicara seperlunya.
Tiba-tiba hatiku masygul mengenangnya. Aku tak pernah menyangka dia akan meninggal dengan cara yang tragis. Polisi masih menyelidiki penyebab kematiannya. Saat ini jenazah Anna dibawa ke rumah sakit untuk diautopsi. Dari perbincangan polisi dengan Miguel yang kudengar tadi, kondisi mayatnya menunjukkan tanda-tanda keracunan.
Aku termenung, mengingat gelagat Anna pagi tadi. Tidak ada yang aneh selain wajahnya yang pucat kurang tidur. Semalaman dia memang membuat laporan yang harus dikirim ke kantor pusat di London. Aku tidak memiliki firasat apa pun ketika dia pamit pulang.
Kring! Kring!
Ponsel di kantong celanaku berdering. Aku meraihnya dan melihat sebuah nama tertera di layar. Dorothy masih di kantor selarut ini? Jika di sini jam sembilan malam, London berarti sudah tengah malam.
“Halo.”
“Kelly, benarkah apa yang terjadi? Kantor jadi heboh sore tadi.” Suaranya melengking di seberang sana.
Meski di luar masih hujan aku bisa mendengar suaranya yang khas dan nyaring. Bahu kiriku sedikit tidak nyaman ketika mengangkat telepon. Terpaksa kupindahkan ponselku ke telinga kanan. “Iya,” jawabku.
“Oh, Sayang … aku turut berduka. Kami benar-benar syok! Tadi siang aku masih menerima laporan Anna melalui surel. Kau tahu, Profesor Duncan sangat antusias. Itulah mengapa dia langsung menelepon Daniel agar mencari lebih banyak telur kupu-kupu biru itu di dalam hutan.”
Keningku berkerut mendengarnya. “Telur kupu-kupu biru? Apa maksudmu, Dorothy?”
“Mereka tidak bilang apa-apa soal telur-telur itu? Bahkan Anna berhasil mendapatkannya dalam sebuah stoples kaca. Dia mengirim foto-fotonya juga!”
“Maksudmu, Anna mengambil telur kupu-kupu biru dari dalam hutan?” Aku melirik Miguel sekilas.
Pria itu menoleh kepadaku. Matanya memicing, mengirimkan sinyal curiga.
“Dorothy, bisakah kau mengirimkan surel dari Anna kepadaku? Saat ini barang-barang pribadi termasuk laptopnya disita polisi sebagai barang bukti,” pintaku.
Dorothy terdiam sesaat. “Baiklah, aku akan mengirimkannya.”
Kami menyudahi percakapan. Beberapa menit kemudian ponselku bergetar, tanda sebuah pesan masuk. Ada notifikasi surat elektronik. Kubuka aplikasi bergambar amplop itu dan mulai membaca setiap file lampiran.
“Miguel,” gumamku. “Rupanya Anna dan Daniel berhasil mengambil beberapa telur kupu-kupu morpho biru dari hutan tempo hari.”
Serta merta pria itu menginjak rem, menyebabkan ban mobil berdecit keras di jalan basah. Di luar hujan sudah mulai reda. Aku dapat mendengar degup jantungku sendiri mulai berpalpitasi. Tangan Miguel mencengkeram kemudi dengan erat. Ada emosi aneh dalam kedua matanya, membuatku merasa tak enak hati.
“Kita harus segera menemukan Daniel,” ujarnya dingin.
“Sebelum sesuatu yang buruk menimpanya.”