Contents
Mystery of Amazon
Bab 3
AKU masih tak percaya kepadanya. Akan tetapi, Miguel terdengar sangat meyakinkan. Pikiranku masih kosong ketika akhirnya Suster Maria membantu mengemasi barang, menyodorkan sepatu, bahkan membantuku memakai alas kaki, lalu membimbingku untuk meninggalkan kamar perawatan.
Dua orang perawat yang berjaga di nurse station menyapa kami dengan ramah seraya melambaikan tangan. Suster Maria mengingatkan jadwal kontrol harus dilakukan tubin nanti. Aku hanya mengangguk dan berterima kasih.
Urusan administrasi ternyata sudah diselesaikan oleh Miguel sebelum tiba di kamar perawatanku. Pria itu menenteng tas besar berisi barang-barangku dengan mudah, seolah-olah isinya hanyalah gumpalan kapas. Dia pun menyapa para perawat dengan akrab seakan-akan mereka adalah teman lama.
Miguel membantuku naik ke kursi penumpang mobil dinas polisi hutan. Sebuah jeep beroda tinggi warna hitam dengan tulisan GUARDA FLORESTAL berwarna kuning stabilo. Aku agak kesulitan karena tanganku masih tegang dan dibebat dengan perban elastis.
Upaya naik ke atas mobil yang tinggi membuatku kewalahan. Suhu panas dan rasa tak nyaman di bahu menyebabkan keringatku bercucuran.
Miguel sepertinya menyadari bahwa aku sudah mendekati frustrasi dan kesal kepada diri sendiri.
Tanpa banyak bicara pria itu meraih pinggangku dan dengan mudahnya tubuhku terangkat kemudian mendarat di kursi penumpang. Aku terkejut, tanpa sadar menahan napas untuk beberapa saat. Miguel lantas memasangkan sabuk pengaman. Aku dapat menghidu aroma tubuhnya ketika akhirnya menarik napas. Tindakan yang dia lakukan membuat bulu romaku berdiri seketika. Namun, selanjutnya Miguel mengatakan hal yang membuatku merasa kesal.
“Sepertinya selama dirawat bobotmu bertambah beberapa kilogram,” ujarnya seraya tersenyum jahil.
Aku mencebik dan mendelik kepadanya. Senyumannya masih tersisa ketika dia naik ke kursi di sebelahku. Tangannya bergerak memutar kunci kontak, mengoper persneling sambil memegang kemudi. Matanya mengawasi spion dengan teliti lalu memundurkan mobil dari lahan parkir dengan keahlian seorang profesional. Sekilas dia tampak keren.
Apa yang kaupikirkan, Kelly? Aku merasa keki kepada diri sendiri. Bisa-bisanya aku menganggap pria besar yang mirip siluman biru itu keren!
“Kemana Anna? Atau Daniel? Bukankah seharusnya mereka yang menjemputku?” tanyaku kemudian.
“Tadi aku bertemu Daniel. Dia sedang bersiap masuk hutan bersama beberapa orang lainnya. Daniel berkata ingin mengambil foto serangga semak-semak.” Suara Miguel terdengar jengkel.
Aku memahaminya. Mengizinkan pengunjung hutan masuk merupakan keputusan sulit. Apalagi mereka yang bermaksud berburu, mengambil foto, atau melakukan eksploitasi. Risiko kerusakan tumbuhan langka pasti selalu ada.
“Kebetulan aku ada urusan di kota. Dia memintaku sekalian menjemputmu karena rupanya Anna sedang tidak enak badan.”
“Anna sakit?” tanyaku.
Aku memang melihat asistenku itu sedikit pucat tadi pagi saat pamit pulang ke rumah dinas. Rumah dinas kami terletak di perbatasan hutan sebelah luar Desa Kuikuro. Letaknya hanya tiga kilometer dari pintu masuk hutan.
“Daniel bilang Anna sedikit demam dan pusing,” jawab Miguel.
Kami menyusuri jalanan yang berdebu dan panas. Dari kejauhan aku melihat fatamorgana yang mengambang di lapisan aspal. Perlu waktu sekitar satu jam lebih untuk sampai ke rumah dinas. Miguel fokus mengendarai mobilnya, sementara aku mulai merasa ngantuk. Akhirnya aku jatuh tertidur diiringi nyanyian Caroline Cicelo dari radio.
*
“Kelly, kita sudah sampai.” Suara itu lembut, tetapi mampu membuatku terbangun dan waspada.
Aku langsung menegakkan tubuh. Kulihat sekelilingku dan menemukan Miguel yang menatapku dari kursi kemudi. Pandangan matanya lurus dan ramah, membuatku sedikit jengah. Miguel menyadari bahwa sorot matanya membuatku tak nyaman. Dia segera membuka pintu lalu turun dari mobil. Kemudian Miguel membantuku turun dan mengambil tas besar di jok belakang.
Tidak ada mobil lain terparkir di depan rumah. Itu tandanya Daniel belum kembali dari hutan. Anna mungkin masih beristirahat di kamarnya.
Rumah berlantai dua yang dibangun setengah permanen, berdinding batu dan kayu itu tampak sepi. Atapnya tinggi dengan genting tanah yang dibuat secara tradisional. Semua jendela dilengkapi kawat nyamuk untuk menjaga seranggaserangga hutan masuk. Tiang-tiang yang menyangganya terlihat kokoh berbahan kayu berkualitas tinggi.
Rumah sengaja dibuat tinggi, untuk menghindari hewan buas masuk. Perlu naik undakan batu untuk sampai ke teras yang cukup luas. Di sana terdapat dua kursi kayu dan meja bundar yang terbuat dari bahan yang sama.
Pintu depan didesain lebar dan dicat hijau terang. Pintu itu tertutup, tetapi untunglah tidak dikunci. Miguel berjalan mendahuluiku kemudian menghidupkan kipas angin agar udara tidak terlalu panas. Beberapa ekor serangga beterbangan di udara. Nyamuk, lalat, dan laron sudah tak asing lagi di sini.
Meskipun semua jendela tertutup kawat yang rapat, mereka dapat menyusup melalui ventilasi atau sela-sela dinding kayu. Jumlahnya bisa membuat siapa pun terheran-heran. Pertama kali aku tiba di sini, aku terpaksa menghabiskan banyak obat pembunuh serangga untuk mengusir mereka.
“Anna!” seruku.
Hening.
Kulintasi ruangan dan naik menuju lantai dua. Suara sepatuku senyap karena sol karetnya tak membuat bebunyian di tangga kayu. Aku memanggil namanya lagi beberapa kali, tetapi tetap tak ada jawaban.
Rumah ini terlalu sepi. Suara yang kudengar hanya bersumber dari baling-baling kipas angin di lantai bawah. Aku menyusuri selasar menuju kamar paling ujung dengan langkah cepat, mulai merasa ada yang tidak beres.
Anna memilih kamar itu karena letaknya dekat dengan kamar mandi. Dia juga ingin kamar dengan balkon luar menghadap langsung ke lanskap hutan di kejauhan.
“Anna,” panggilku sambil mengetuk pintunya.
Aku menunggu, tetap tidak ada yang menyahut. Aku memutuskan untuk membuka pintu, penasaran akan keadaannya. Kulihat Anna berbaring miring menghadap dinding sehingga aku hanya dapat melihat punggungnya.
Perlahan kumelangkah mendekatinya. Rambut Anna yang berwarna cokelat terserak di atas bantal. Kamar Anna terasa pengap dan redup. Dia menutup semua jendela dan tidak menyalakan lampu. Cahaya matahari masuk dari ventilasi hingga membentuk lingkaran-lingkaran terang di atas lantai kayu. Kuedarkan pandangan untuk menemukan saklar lampu. Kutekan dan seketika ruangan jadi terang-benderang.
Ada yang aneh. Tidak terdengar suara napasnya. Tubuhnya pun bergeming, tidak naik turun teratur yang menunjukkan perempuan itu bernapas tenang dalam lelap.
“Anna?” Aku beranjak lebih dekat untuk meraih bahunya.
“Anna, kau baik-baik saja?” bisikku sambil mengguncang tubuhnya.
Tanganku yang tidak cedera menggerakkan tubuh Anna sehingga posisinya menjadi terlentang. Kondisi Anna membuatku terkesiap. Wajahnya pucat dan membiru. Matanya terpejam dengan kerut-kerut di wajah, menunjukkan bahwa dia sangat kesakitan. Ada tetesan darah keluar dari mulutnya. “Anna!” jeritku nanap. “Bangunlah, Anna!”
Panik melandaku. Aku terus mengguncang tubuh Anna, tetapi dia tetap bergeming. Aku memeriksa denyut arteri karotis di lehernya. Pembuluh darah itu datar, tak ada denyutan. Mataku terbelalak ngeri.
“Miguel!” Aku berteriak lebih keras.
Sesaat kemudian langkah kaki Miguel yang cepat terdengar berisik waktu menaiki tangga, sementara aku menyadari bahwa Anna sudah tidak bernyawa.