Try new experience
with our app

INSTALL

Möllerhatté 

PERTEMUAN TENGAH MALAM

MALAM itu adalah ulang tahunku yang ke-34. Namun, kebetulan juga hari itu menjadi hari yang paling kubenci. Aku duduk di sudut bar yang gelap dan berbau asap rokok seorang diri, l menenggak sebotol anggur, berpura-pura melupakan segala keputusasaan dan rasa sakit yang kuderita selama lima belas tahun terakhir ini. Seandainya aku dapat memutar waktu kembali, aku pasti akan memperbaiki semuanya. Terutama hubunganku dengan ayahku.

Setiap kali aku ingat peristiwa malam itu saat kami bertengkar, aku tak mampu menahan diri untuk tidak merasa mual dan jijik kepada diriku sendiri. Waktu itu kami masih tinggal di rumah kami yang lama di tepi kota, di sebelah selatan sungai kecil bernama Greenfall yang membelah kota menjadi dua. Aku baru saja pulang dalam keadaan setengah mabuk setelah minum-minum bersama dua orang temanku.

“Jason, kau habis minum-minum lagi?” tanya ayahku dengan ekspresi putus asa bercampur kesal saat dia membukakan pintu untukku.

“Hanya beberapa gelas, kok.” Tentu saja aku berdusta. Setelah menutup pintu, ayah mengikutiku ke dapur. Aku mengisi gelas dengan air di wastafel.

“Jason, kau tahu, aku dan ibumu tidak suka kalau kau selalu menghabiskan waktumu minum-minum setiap malam. Usiamu sudah hampir dua puluh tahun. Sudah waktunya kau memikirkan masa depanmu, Nak,” kata ayah dari belakangku.

Aku meneguk isi gelasku tanpa suara, kesal. Kepalaku yang terasa berputar-putar karena alkohol bertambah pusing oleh khotbah tidak perlu dari ayah yang terdengar sangat sok tahu di telingaku.

“Aku tahu. Aku tahu. Kalian sudah ingin cepat-cepat mengusirku dari sini,” sergahku, sambil bertopang pada kedua siku di tepi wastafel.

“Kau tahu bukan itu maksud Ayah,” jawabnya. Ada nada putus asa dalam suaranya. “Kau bukan anak kecil, dan umur kami sudah tidak muda lagi. Apa yang akan terjadi padamu kalau aku dan ibumu sudah tidak ada lagi? Siapa yang akan mengurusmu?”

“Aku bisa mengurus diriku sendiri,” sahutku dengan pongah. Aku memutar tubuh menghadapi ayahku yang sedang berdiri di depan meja makan sambil menatapku dengan ekspresi lelah di wajahnya.

“Kalau begitu, tunjukkan. Tunjukkan kepada dirimu sendiri bahwa kau adalah orang yang bertanggung jawab. Kau menolak melanjutkan kuliahmu. Apa kau sadar kalau banyak anak-anak seusiamu di luar sana yang ingin kuliah tapi mereka tidak seberuntung dirimu?”

“Sudah kubilang aku tidak ingin kuliah. Aku tidak menyukainya. Aku benci sekolah. Aku ingin mencari pekerjaan dan melakukan apa pun yang kuinginkan.” Aku melambaikan tangan tidak sabar kepadanya.

Dia menggeleng-geleng.

“Aku dan ibumu sudah memberimu kesempatan selama hampir dua tahun terakhir ini. Tapi kami tidak melihat perubahan yang signifikan padamu. Kau belum mendapatkan pekerjaan apa pun. Yang kaulakukan setiap hari adalah bermalas-malasan dan minum-minum bersama kedua anak berandalan itu. Jangan pikir ibumu tidak tahu kau sering mengambil uang dari dompetnya untuk membeli minuman.”

“Aku tidak mencurinya!” Nada suaraku meninggi. “Aku akan menggantinya kalau aku sudah kerja nanti dan punya uang sendiri.”

“Kalau begitu, buktikan bahwa kau memang mampu melakukannya.”

Aku berjalan melewati ayahku menuju tangga. “Kalian memang sudah ingin cepat-cepat mengusirku, ya?” 

“Kami hanya ingin kau bisa mandiri dan tidak mengandalkan orang lain lagi. Tubuhmu besar dan kuat. Kau juga cerdas. Apa yang menjadi penghalangmu untuk meraih kesuksesan yang sudah menanti di depan mata? Kau hanya ... malas. Kau tidak ingin bekerja. Kau kira semuanya bisa didapatkan dengan mudah.” 

“Malas?” seruku tersinggung mendengar kata-katanya. “Malas, Ayah bilang? Lalu apa kabarnya Ayah? Yang ayah kerjakan hanya tinggal di rumah seharian sementara Ibu bekerja keras di rumah sakit. Lalu, Ayah menguliahiku mengenai kemandirian dan kerja keras?” Aku tertawa mengejek.

“Kau tahu betul satu-satunya alasan Ayah sudah berhenti bekerja karena Ayah sakit. Dan itu bukan kemauan ayah. Ibumu yang mendesak supaya Ayah beristirahat dulu di rumah sampai benar-benar pulih.” 

Aku tahu dia tidak sedang mengada-ada. Beberapa bulan yang lalu ayahku mendapat serangan jantung ringan sehingga harus dirawat di rumah sakit selama hampir sebulan. Dia terpaksa berhenti dari pekerjaannya di kantor pos dan melanjutkan perawatan di rumah. Dokter menyarankan dia beristirahat total selama enam bulan sebelum kembali beraktivitas seperti biasa.

Aku menyadari semua itu, tapi mendengarnya mengataiku malas membuat darahku terasa mendidih. Aku merasa dia sudah tidak adil kepadaku sementara dia sendiri hanya menghabiskan waktu duduk-duduk di rumah sepanjang hari.

“Itu, kan, alasan Ayah saja,” ujarku sengit. “Aku yakin Ayah sudah sembuh sekarang. Ayah hanya senang menghabiskan waktu bermalas-malasan di rumah sementara Ibu bekerja keras untuk membiayai semua kebutuhan Ayah dan—“

“Cukup, Jason!” 

“Kenapa? Ayah bisa mengataiku malas dan aku tidak boleh mengatakan yang sebenarnya tentang diri Ayah? Aku jadi heran. Sebenarnya ada berapa orang malas di rumah ini?” Sebelum aku menyadarinya tangan ayahku sudah melayang dan mendarat dengan keras di pipi kiriku.

Aku terempas ke belakang sampai menghantam dinding. Kepalaku terantuk permukaan kayunya dengan bunyi berderak yang cukup nyaring. Aku terkejut. Rasa nyeri seketika itu juga langsung menguasaiku. Aku tak percaya apa yang baru saja dilakukan ayahku. Seumur hidup baru pertama kali itu dia memukulku. Aku mengusap-usap belakang kepalaku. Kedua lututku melemas saat aku merasakan sesuatu yang hangat dan basah di sana. Di bawah temaram cahaya lampu dapur aku melihat darah kental di tanganku.

“Jason … m-maafkan Ayah. A-ayah tidak sengaja. Apa kau terluka?” Ayahku berkata dengan suara bergetar. Wajahnya tampak pucat sekali. Dia sama terkejutnya dengan diriku. 

Aku mengusap belakang kepalaku sekali lagi dan melihat lebih banyak darah mengalir di jari-jariku. Aku gemetar. Rasa sakitnya memang tidak seberapa, tetapi melihat darah segar dan kental seperti itu membuat tubuhku terasa lumpuh.

“Jason ….” Dia mengulurkan tangan ke arahku.

Aku menghardiknya, “Jangan sentuh aku!” Aku menyandarkan tubuh di dinding karena tak sanggup lagi menahan beban tubuhku yang gemetar hebat. 

Dia berhenti beberapa langkah dariku, terkejut mendengarku meneriakinya seperti itu.

“Jason, kau t-tterluka. Biarkan Ayah mengobatimu.” Dia menghampiriku lagi. “Maafkan Ayah. Ayah tidak bermaksud menyakitimu. Ayah—“

“Kubilang, jangan sentuh aku!”

Aku menjauhinya dan melangkah mendekati meja, menyambar tisu yang langsung kutempelkan kuat-kuat di belakang kepalaku.

“Nak ….” Wajah ayahku tampak penuh penyesalan. Matanya berkaca-kaca.

“Jangan pernah sok menguliahiku lagi tentang hidupku. Jangan pernah mengurusiku lagi. Aku tidak perlu dinasihati oleh seorang pecundang seperti dirimu yang bahkan tak mampu mengurus dirinya sendiri tanpa bantuan ibuku.” Aku mengumpat penuh kepahitan sambil menatapnya seakanakan dia adalah manusia paling hina di muka bumi ini. Tangannya terulur lagi ke arahku, tapi langsung membeku saat mendengar kata-kataku.

“Aku tidak butuh ayah sepertimu. Aku akan meninggalkan rumah ini besok pagi. Jangan pernah mencariku. Aku tidak ingin melihatmu lagi.”

“Jason … Ayah mohon … jangan ….”

Aku berjalan melewatinya dan mengabaikan permintaan maafnya. Aku bisa melihat air matanya menetes pelan membasahi wajahnya yang pucat dan dipenuhi kerutan usia. Tapi aku tidak peduli. Malam itu aku sangat marah. Aku tidak ingin melihatnya lagi. Aku sangat membencinya. Apa dia tidak tahu bahwa dia telah sangat menyakiti perasaanku. Kata-katanya telah melukai harga diriku. Itulah yang ada dalam kepalaku malam itu, waktu aku berlari masuk ke kamar, membanting pintu kuat-kuat, meninggalkannya seorang diri di ruang makan.

Beberapa menit kemudian, dari jendela, aku melihatnya berjalan menyeberangi halaman rumah dan masuk ke mobil yang diparkir di depan jalan untuk menjemput ibuku di rumah sakit. Saat itu aku tidak menyadari bahwa itu adalah terakhir kali aku melihatnya.

Ayahku meninggal dunia malam itu, sehari sebelum hari ulang tahunku yang ke-19, lima belas tahun yang lalu. Dalam perjalanan menuju ke rumah sakit untuk menjemput pulang ibuku yang bekerja sebagai seorang perawat, dua orang pria bersenjata mencegatnya di Jalan Escarot yang sepi. Mereka menyarangkan sebutir peluru di kepala ayahku dan langsung membawa kabur mobilnya. Mereka mengempaskan tubuh ayahku begitu saja di tengah jalan seperti bangkai hewan yang tak berarti.

Sejak malam itu, aku hidup dalam penyesalan terbesar selama bertahun-tahun. Pada saat-saat terakhir hidup ayahku, aku malah menyakiti hatinya dan membuatnya menitikkan air mata. Setiap malam aku hanya bisa menangis menyesali sikapku yang benar-benar tak berperasaan terhadap dirinya. Tapi nasi sudah menjadi bubur.

Ibuku berusaha menenangkan dan menghiburku. Dia berkata bahwa Ayah tahu aku sangat menyayanginya dan aku tidak bersungguh-sungguh mengucapkan hal-hal buruk itu kepadanya. Tapi kata-kata ibuku tak mampu membuatku merasa jauh lebih baik, tak peduli seberapa ingin aku memercayainya.

Setahun menjelang kepergian ayahku, aku pindah ke kota lain, melanjutkan kuliah di sebuah universitas ternama, seperti yang selalu diinginkan Ayah. Aku pikir dengan mewujudkan mimpi-mimpinya bagiku, mungkin aku bisa memaafkan diriku sendiri. Mungkin aku bisa berdamai dengan masa laluku.

Ternyata, aku salah.

Aku lulus dengan nilai-nilai memuaskan dan akhirnya diterima di sebuah perusahaan ternama di New York. Tapi itu semua tidak mampu membuatku bahagia. Semua pencapaianku yang luar biasa dalam hidup tak mampu mengusir kepahitan dan penyesalan yang kurasakan.

Selalu terngiang-ngiang di telingaku pepatah lama yang berbunyi”: Sayangilah mereka yang dekat denganmu saat mereka masih ada. Hidup ini tak dapat diduga-duga. Mungkin ini adalah terakhir kalinya kau melihat mereka.

Jadi, selama bertahun-tahun setelah kematian Ayah, setiap menjelang hari ulang tahunku, aku akan menghabiskan waktu semalam suntuk untuk minum-minum sampai aku tenggelam dalam keputusasaan dan penyesalan teramat sangat. Kupikir alkohol bisa membantuku sejenak melumpuhkan rasa sakit yang menyiksaku.

Di malam ulang tahunku yang ke-34, jam telah menunjukkan pukul 10 lewat beberapa menit saat aku berjalan ke luar dari lobi kantor. Aku sudah memutuskan tidak membawa mobil karena sepulang kerja aku akan langsung ke bar yang biasa kukunjungi, minum beberapa botol bir seperti seseorang yang telah kehilangan harapan hidup.

Lewat tengah malam aku berjalan sempoyongan keluar dari bar yang masih ramai oleh pengunjung. Dengan gontai aku melangkah ke arah bak sampah di samping untuk buang air kecil.

Saat itu aku mendengar suara teredam seperti seseorang yang sedang mengaduh kesakitan dari lorong sempit dan gelap di samping bar. Walaupun kepalaku terasa berat, tapi aku masih sadar, tidak terlalu mabuk untuk melakukan hal-hal yang bodoh.

“Kumohon … j-jangan sakiti aku .…” Suara serak seorang pria, terdengar ketakutan dan penuh permohonan.

“Tutup mulutmu!” kata pria yang lain.

“Aku tidak punya uang lagi. Aku—“

Suara pria pertama terhenti tiba-tiba. Terdengar bunyi berdentang nyaring saat tong sampah jatuh bergulingan di tanah. Aku langsung berjalan cepat mendekati lorong itu dengan jantung berdebar-debar kencang.

“Tolong … jangan …”

Aku berdiri di mulut lorong, melihat siluet dua orang pria yang sedang bergulat di antara tumpukan kantong plastik sampah besar yang berserakan di tanah.

Sebelum aku sempat menyadari apa yang terjadi, pria kedua, yang tubuhnya lebih besar, mengeluarkan sebilah pisau kecil dari balik saku jaketnya, menghunjamkannya ke dada pria pertama.

“Hei!” teriakku parau.

Pria bertubuh besar itu menoleh dengan terkejut ke arahku, tak menyangka ada seseorang yang tengah mengamati mereka. Wajahnya setengah tersembunyi kegelapan. Dia menatapku terbelalak selama beberapa detik sebelum melepaskan pria dalam cengkeramannya itu. Dia kemudian berputar ke arah yang berlawanan, berlari secepat mungkin tanpa menoleh lagi.

Pria bertubuh kecil itu bersandar di dinding sebelum jatuh terduduk lemas. Aku berjalan menghampirinya.

“Tuan, apa kau baik-baik saja?” tanyaku, berlutut di depannya.

Dia tidak menjawab. Satu tangan memegang dada. Pisau kecil itu masih menancap. Sementara tangan yang satunya menggapai-gapai ke arahku dengan putus asa. Dia membuka mulut tapi tak ada suara yang keluar. Napasnya memburu seakan-akan dia sedang kehabisan udara.

“Tuan, kau terluka,” ujarku dengan suara gemetar. Bagian depan sweater kelabunya basah. “S-ssebaiknya aku membawamu ke rumah sakit ….”

Dia menatapku. Tangannya yang bebas menggenggam kerah jaketku. Tiba-tiba seluruh tubuhnya gemetar hebat disertai kejang-kejang. Darah segar dan kental mengalir dari sudut-sudut bibirnya.

“Tuan … b-bertahanlah. Aku akan mencari pertolo—“

Genggamannya terlepas dari jaketku. Tangannya jatuh terkulai di samping tubuhnya. Dia mengembuskan napas sekali lagi lalu tak bergerak sama sekali. Matanya menatap kosong ke arahku.

“T-ttuan?” seruku pelan dengan suara parau. Aku memegang wajahnya yang penuh ditumbuhi janggut dan cambang. Kulitnya masih terasa hangat.

“T-ttuan … kumohon … bertahanlah. Aku akan mencari pertolongan.” Kedua tanganku bergetar hebat saat menyentuh wajahnya. Apa yang harus kulakukan?

“Tak ada yang bisa kaulakukan untuknya.” Tiba-tiba terdengar sebuah suara dingin dan lembut dari belakangku.

Refleks aku menoleh ke belakang dan langsung jatuh terduduk saking terkejutnya. Tampak siluet seorang pria bertubuh tinggi besar dalam balutan jaket hitam panjang berdiri menatapku. Tudung jaketnya menutupi kepalanya sehingga aku tak dapat melihat wajahnya dengan jelas.

“Siapa kau?” tanyaku. Rasa takut dan bingung bercampur menjadi satu. Sesaat kukira pria yang tadi telah kembali untuk menghabisiku juga. Tapi ternyata dugaanku salah. Pria ini berbeda. Dia menatapku tanpa suara, tak memedulikan pertanyaanku sama sekali.

“Siapa kau?” kataku sekali lagi.

Dia lalu melangkah perlahan ke tengah-tengah lorong. Cahaya lampu dari jalan jatuh tepat di tubuh dan setengah wajahnya.

“Kau tak bisa menolongnya. Waktunya sudah tiba,” ujarnya. Suaranya lembut dan merdu, tapi juga dingin dan berbahaya di saat yang bersamaan. Walaupun aku masih sangat terkejut dan agak ketakutan, tapi aku mengerti maksudnya.

Sosoknya yang jangkung dan berbahu lebar tampak kuat dan berwibawa. Jenis sosok yang mampu membuatmu tak berkutik hanya dengan tatapan matanya.

“Apa yang kauinginkan?” kataku.

Dia menurunkan tudung jaketnya sehingga aku bisa melihat wajahnya dengan lebih jelas. Seumur hidup aku belum pernah melihat orang dengan fitur wajah sesempurna dirinya. Matanya yang biru-gelap tajam dan menusuk. Hidungnya lurus sempurna mencuat dari tengah-tengah wajahnya. Senyum kecil misterius tersungging di bibirnya yang seperti lukisan. Rahangnya kukuh.

Dia tampan luar biasa bagaikan dewa-dewa dalam buku mitologi Yunani Kuno. Tubuhnya juga menguarkan aroma lembut pepermin dan apel hijau, mengingatkanku kepada masa kecil yang kuhabiskan di perkebunan apel kakekku setiap liburan musim panas.

Dia berkata, “Kau menangis, Jason.” 

Aku terkejut. Bagaimana dia bisa tahu namaku? Siapa dia?

“Aku …. ” Kata-kataku tak selesai. Dia menghampiri, membungkuk, dan mengamati tubuh lemas di hadapan kami

“Jeremy Holmes. Hm …. ” Dia mengusap-usap dagunya. “Lima puluh tujuh tahun. Usia yang matang.”

Dagunya yang sempurna nyaris menyentuh wajah pria itu. Kemudian dia menegakkan tubuh dan menatapku lagi. Ada sesuatu yang misterius dari dirinya. Dia tampak seperti masih berusia dua puluh , tapi sorot matanya berkata lain. Ada sesuatu yang menyiratkan bahwa dia telah lama berkelana di bumi ini. “Jason, sebaiknya kau pulang sekarang.” “Tapi ….” Aku menatap pria malang itu.

“Seperti yang kubilang tadi. Tak ada lagi yang bisa kaulakukan. Tak ada yang bisa kalian lakukan untuk mencegahnya.”

Sesaat aku menyadari bahwa keheningan total telah menyelubungi kami semenjak kedatangannya. Tak ada kendaraan atau orang yang berlalu lalang di jalan besar di belakangku. Suara musik dari dalam bar pun tidak terdengar.

Aku menoleh ke balik punggungku, melihat kabut aneh berpendar kebiruan melayang turun di atas jalan, menenggelamkan deretan rumah dan pepohonan di seberang sana dalam tirainya yang semakin lama semakin tebal. Udara dingin terasa menusuk sampai ke tulang.

Saat aku menoleh kembali pria itu masih berdiri seperti patung mengamatiku tanpa suara. Lalu dia tersenyum. Ada sesuatu dalan dirinya yang membuat seluruh tubuhku merinding saat melihatnya. Dia berjalan mendekatiku. Seketika itu juga udara bertambah dingin.

“Sama seperti kau tidak bisa mencegah kematian ayahmu lima belas tahun yang lalu,” katanya. Mendadak aku merasa sebilah belati telah dihunjamkan ke dalam jantungku. Seluruh tubuhku bergetar. Ujung-ujung jariku dingin. Lututku goyah. “Aku masih menyesalinya sampai sekarang,” ujarku lirih. “Kematian adalah sesuatu yang tidak perlu ditakuti atau disesali sama sekali. Pada akhirnya semua manusia akan ke sana, suka atau tidak. Cobalah melihatnya dari sudut pandang lain. Kematian bukanlah akhir segalanya. Saat seseorang meninggalkan dunia ini, mereka hanya akan meninggalkan dua kesan bagi orang-orang yang ditinggalkannya. Baik atau buruk. Semua tergantung padamu. Kesan apa yang ingin kautinggalkan nanti.”

Aku menoleh, menatap tubuh Jeremy Holmes. Aku merasa wajahnya tampak jauh lebih damai sekarang. Tak ada rasa sakit atau beban sama sekali. “Kurasa aku membuat kesan yang buruk kepada ayahku sebelum dia pergi. Aku mengatakan hal-hal yang tidak baik kepadanya.” “Itu tidak relevan lagi bagi ayahmu. Dia pernah ada di sini, tapi dia bukan lagi bagian dari dunia ini sekarang.”

“Seandainya aku dapat memutar waktu, aku ingin menebus kesalahan-kesalahanku kepadanya.” Tanpa sadar air mataku menetes. Aku menunduk sambil menutupi wajah dengan kedua tangan yang gemetaran.

“Kehidupan ibarat sekuntum bunga di padang. Mekar hari ini, besok layu karena panas matahari. Ombak yang pecah di tengah samudra. Setitik uap air di udara .... Eksistensinyalah yang membuat kehidupan itu berarti. Fakta bahwa ia begitu rapuh dan rentan tidak membuat maknanya berkurang sama sekali.”

Aku menggeleng, menyeka air mataku. “Maafkan aku. Aku selalu emosional seperti ini setiap malam ulang tahunku.” Aku menatapnya. “Kematian ada karena ada kehidupan. Keduanya selalu berdampingan seperti terang dan gelap. Awal dan akhir. Manusia tak mungkin memahami segala rahasia tersembunyi dalam relung-relung eksistensi mereka sendiri. Sama mustahilnya dengan menampung seluruh air samudra ke sebuah gelas. Akal manusia tak dapat memahami segala yang berada di luar eksistensi mereka. “Biar kuberi tahu kau sebuah rahasia, Jason. Banyak orang menganggap maut adalah sebuah entitas yang jahat, dingin, dan tak berperasaan, seperti sosok antagonis dalam sebuah film. Tapi pada dasarnya, maut selalu bersifat netral. Ia tidak pandang bulu. Tak memandang, usia, kelas sosial, jenis kelamin, agama, apa pun. Kalau waktumu sudah tiba, ia akan datang menjemput. Ia tak pernah datang lebih awal atau terlambat. 

“Seandainya ia bisa memilih, mungkin banyak orang yang seharusnya mati tetapi masih hidup di dunia ini. Atau sebaliknya, banyak orang baik yang mati yang sepatutnya masih diberi kesempatan untuk melanjutkan kehidupan mereka.”

“Itu sangat tidak adil,” kataku.

“Ini bukan masalah benar dan salah atau adil dan tak adil. Kau tak bisa mengukur moral sesuatu yang tak dapat kaulihat. Kenyataannya, maut akan datang menjemput saat waktunya tiba. Tak peduli siapa pun orang itu, baik atau jahat.

“Maut adalah setiap detik dari jam yang berdetak pelan. Saat malam menjelang, kantuk akan datang dan sudah waktunya untuk beristirahat.”

“Aku hanya berharap diberi kesempatan untuk meminta maaf kepada ayahku. Aku tahu aku tak dapat mencegah kepergiannya, tapi paling tidak aku ingin dia tahu bahwa aku sangat menyayanginya.” 

“Ah …. ” Dia tersenyum lagi sopan. Kali ini ada sedikit kesan geli di wajahnya. “Cinta. Sebuah konsep yang sampai sekarang belum dapat kupahami seutuhnya. Beberapa orang rela mati demi cinta, menyepelekan keselamatan diri mereka sendiri dan berkorban nyawa untuk orang yang mereka cintai. Namun, tak sedikit juga orang yang mati karena cinta.

“Seseorang pernah berkata bahwa cinta adalah satusatunya hal yang dapat diterima oleh persepsi manusia, yang mampu menjembatani dimensi ruang dan waktu. Aku tak mengerti. Banyak manusia yang emosinya masih dipengaruhi perasaan cinta mereka kepada seseorang yang telah mati. Seorang wanita yang tetap mencintai mendiang suaminya sampai akhir hayatnya.” 

Dia menatapku sekilas. Sorot matanya yang tajam sedikit melunak. “Seorang anak yang hidup tersiksa dalam kepahitan dan penyesalan selama bertahun-tahun karena sebuah kesalahan yang telah dilakukan terhadap mendiang ayahnya.”

Aku mengalihkan pandangan darinya. Kata-katanya begitu menusuk sekaligus menenangkan dan damai.

“Kematian dan kehidupan harus berjalan seimbang. Sama seperti memberi dan menerima. Untuk setiap kehidupan, harus ada kematian yang terjadi. Begitu juga sebaliknya. Silih berganti. Kalau tidak, Bumi tidak akan sanggup menampung semua orang. Keseimbangan itu harus selalu ada, dan pasti akan selalu ada. Ia tidak terikat pada hukum alam.

“Tak seorang pun memiliki kuasa untuk mengendalikannya. Ia seperti aliran air. Saat ia menemukan jalan buntu, ia akan membuat jalan yang baru.

“Ingatlah satu hal. Kematian tidaklah seburuk seperti yang disangkakan orang-orang selama ini. Ia datang untuk mengambil dan memberikan ruang bagi kehidupan yang lain agar tumbuh dan berkembang. Kehidupan tidak akan

memiliki arti apa-apa tanpa kematian.”

“Seandainya ada yang bisa kulakukan .…”

“Apa maksudmu?”

“Ayahku adalah orang yang baik. Dia seharusnya masih ada di sini, di tempatku. Ini tidak adil. Kenapa orang baik seperti dirinya dijemput lebih awal oleh maut?”

“Kau berharap bertukar posisi dengan ayahmu sekarang ini?”

Aku menatapnya tajam, lalu mengangguk.

“Pulanglah sekarang, Jason,” katanya. “Pulang ke apartemenmu. Kita akan bertemu lagi nanti saat waktumu tiba.”

Dia berjalan pelan mendekati tubuh kaku di bawah kakinya, lalu membungkuk. Dia mengangkat jasad kaku Jeremy Holmes yang tampak sama ringannya dengan sehelai kertas dalam pelukannya. 

Aku menatapnya tanpa suara “Aku hanya ingin meminta maaf kepada ayahku. Apa kau bisa membantuku?” 

Dia berjalan pelan mendekatiku. Kedua matanya yang dingin tampak menyala-nyala seperti bola api. Selama beberapa saat aku mengira dia akan melakukan sesuatu yang buruk. Aku menarik napas menunggu jawabannya. “Tentu saja. Kenapa tidak?”

Lalu dia mengulurkan satu tangan ke arahku. Aku masih sempat melihat ujung jari-jarinya yang panjang dan pucat melesat dengan cepat ke depan. Aku tak sempat menghindar. Tangannya dengan mudahnya menyeruak masuk ke dalam dadaku.

Aku bisa merasakan jari-jarinya yang sedingin es mencengkeram jantungku dengan kuat. Aku terkesiap. Seluruh darahku terasa beku. Napasku terhenti seketika saat rasa sakit luar biasa melumpuhkan seluruh pancaindraku. Udara di paru-paruku tersedot ke luar dengan paksa melalui tenggorokanku. Aku memelotot memandangnya. Seluruh tubuhku gemetar. Aku membuka mulut lebar-lebar tapi tak ada suara yang keluar.

Dia mengencangkan cengkeramannya di jantungku sementara kedua tanganku menggapai-gapai tak berdaya berusaha melepaskan diri darinya. Tapi aku tahu kalau aku sama tak berdayanya seperti seekor bayi domba dalam terkaman seekor singa jantan dewasa yang perkasa.

Kemudian, dia menarik ke luar lagi tangannya dari tubuhku. Aku jatuh terkulai ke lantai lorong yang dingin dan keras.

Hal terakhir yang kulihat sebelum semuanya tampak gelap adalah siluet tubuhnya yang besar dan tampak mengancam berdiri di atasku, terselubung dalam kabut yang pekat dan gelap yang berputar-putar.

***

“Jason?” seru sebuah suara, panik dan gemetaran. Aku membuka mata perlahan. Rasa sakit yang luar biasa mencengkeram bagian belakang kepalaku. Kedua bola mataku berdenyut-denyut nyeri membutakan.

“Apa yang terjadi? Di mana aku?” tanyaku dengan suara serak. Tapi aku tahu bahwa aku sedang terkulai lemas di lantai, bersandar pada dinding.

“Ya Tuhan, maafkan aku. Maafkan aku. Aku tidak bermaksud ….” Orang itu menangis. Lalu dengan kedua lengannya yang kukuh dia menarikku ke dalam pelukannya. Air matanya menetes membasahi dahiku. “Maafkan aku, Nak. Kukira tadi kau sudah ….” Ada kepahitan teramat sangat dalam suaranya.

Aku berusaha memfokuskan pandangan untuk menatap wajahnya. 

“Ayah?” Aku bingung dan linglung. Ia tampak pucat, cemas, lega, dan takut semua menjadi satu. Bibirnya bergetar saat dia tak henti-hentinya meminta maaf kepadaku sambil mendekapku lebih erat dalam pelukannya.

“Jason, maafkan Ayah. Ayah tak tahu kenapa bisa hilang kendali seperti tadi,” ucapnya masih terisak-isak. “Kau tidak apaapa? Bagaimana kepalamu? Apa kau terluka? Sebaiknya kita ke rumah sakit sekarang.”

Aku memandang berkeliling dan menyadari bahwa aku sedang berada di rumah kami yang lama di selatan Sungai Greenfall. Aku mengenali kertas dinding ruang makan yang bermotif bunga lili kecil.

“Aku tidak apa-apa,” jawabku lemah.

“Maafkan Ayah, Jason. Ayah benar-benar ketakutan tadi. Maafkan Ayah.”

Aku langsung mengulurkan tangan dan balas memeluknya. Air mataku pun mengalir deras. Rasanya berpuluh-puluh tahun telah berlalu sejak aku masih kanak-kanak dan berlari memeluknya setiap aku pulang sekolah.

“Tidak, Ayah. Aku yang minta maaf. Tidak seharusnya aku mengucapkan hal-hal seperti itu kepada Ayah setelah semua yang Ayah lakukan kepadaku,” ujarku.

“Tidak. Tidak.” Dia menggeleng. “Tidak seharusnya Ayah lepas kendali seperti tadi. Kalau terjadi sesuatu padamu, Ayah tidak akan pernah memaafkan diri Ayah.” Dia melepaskan pelukannya, menatap wajahku lekat-lekat. “Kau anak Ayah satusatunya.”

Aku menunduk, haru bercampur malu. Betapa selama ini aku telah menjadi seorang anak yang benar-benar tidak pernah bersyukur dan berterima kasih. Ayahku telah berkorban begitu banyak untukku, aku malah bersenang-senang.

“Aku ingin berbaring. Kepalaku agak pusing,” kataku. Ayah membantuku berdiri kemudian memapahku berjalan ke sofa besar di ruang tamu.

“Kemari. Biar Ayah periksa kepalamu di bawah cahaya lampu.”

Aku menegakkan tubuh di sofa sementara ayahku memeriksa luka di belakang kepalaku.

“Apa kita perlu ke rumah sakit?” tanyanya.

“Aku tidak apa-apa, kok. Hanya sedikit pusing.” Aku berusaha menenangkannya.

“Kau yakin, Nak?”

“Aku tidak apa-apa,” kataku lagi sambil bersandar di sofa dan memejamkan mata. Kepalaku masih berdenyut-denyut menyakitkan.

“Maafkan Ayah, Jason,” ujarnya lagi pelan. Suaranya parau. Aku membuka mata, menatapnya.

“Aku memang pantas ditampar seperti tadi. Kalau aku jadi Ayah, aku akan menghajar diriku sendiri habis-habisan sampai kapok.” Aku tertawa, lega dan penuh kebahagiaan.

Dia menatapku bingung. Gurauanku tidak lucu sama sekali baginya.“Tentu saja itu tidak benar. Tidak sepantasnya Ayah melakukan hal seperti itu.” 

Aku masih tergelak.“Aku sungguh-sungguh, Ayah. Aku tidak apa-apa. Sebaiknya Ayah bergegas menjemput Ibu.” Aku melirik jam dinding di hadapan kami. Tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang dingin merayap turun di punggungku. “Sudah hampir jam 11.”

“Kau yakin kau tidak apa-apa?” tanyanya lagi.

Aku mengibaskan tangan kepadanya tidak sabaran. “Ayah masih ingin berdebat di sini, atau diomeli Ibu karena menjemput??”

Dia menghela napas berat. Sesaat dia tampak bimbang, tapi kemudian dia mengangkat bahu, berdiri, mengambil jaketnya yang digantung di dekat televisi. Lalu dia mengambil beberapa balok es kecil dari kulkas, membungkusnya dengan sehelai kain, memberikannya kepadaku untuk mengompres kepalaku.

“Baiklah. Tapi kau jangan ke mana-mana. Tetap di tempatmu. Tunggu sampai ibumu tiba untuk memeriksa kepalamu.”

Aku mengangguk pelan, berjengit saat esnya bersentuhan dengan kepalaku.

“Ayah,” kataku saat dia tiba di ambang pintu.

“Ya?”

Aku membuka mulut tapi suaraku seperti tercekat di tenggorokan. Aku tahu aku seharusnya tidak melakukan hal ini. Aku tahu aku telah diberikan kesempatan kedua untuk memperbaiki semuanya dengan ayahku. Mengapa aku masih berharap bisa mengubah takdir? Aku tidak ingin kehilangan ayahku untuk kedua kalinya. Aku tidak ingin hatiku hancur kembali.

“Ayah,” ujarku ragu, “sebaiknya Ayah tidak lewat Jalan Escarot.”

Dia mengerutkan kening. Aku memutar otak mencari alasan yang masuk akal.

“Akhir-akhir ini sering terjadi perampokan di daerah itu. 

Sebaiknya Ayah menghindarinya untuk sementara ini.” 

“Oh ya? Kenapa Ayah tidak pernah dengar?”

“Aku tadi mendengar percakapan orang-orang di jalan. Ada baiknya Ayah mengambil jalan memutar yang ramai di 

daerah pasar malam dekat tepi barat sungai.”

Dia mengangkat bahu, kemudian mengangguk.

“Baiklah kalau begitu. Ayah pergi dulu. Jangan beranjak dari situ. Kepalamu harus diperiksa.”

Aku kembali berbaring miring di sofa sambil memejamkan mata. Lukaku masih berdenyut-denyut menyakitkan. Kepalaku pusing.

Apa aku akan berhasil? Aku bertanya-tanya dalam hati. Apa aku mampu mengubah takdir dan menyelamatkan ayahku? Aku tahu aku telah menantang maut. Aku tahu aku telah berupaya mempermainkan dan menipunya.

Aku melakukannya untuk ayahku. Aku akan melakukan apa pun untuk menyelamatkannya. Bahkan jika aku harus berhadapan sendiri dan berduel dengan maut sekalipun.

Menit-menit yang kulalui seorang diri di ruang tamu terasa seperti berjam-jam lamanya. Tahu-tahu aku telah tertidur, hanyut terbawa ke dalam alam mimpi yang gelap. Kabut biru aneh yang mengepul-ngepul seperti asap mengelilingiku dari semua arah, seakan-akan tak ingin menyingkapkan segala misteri di baliknya.

***

Saat aku membuka mata. Sebuah pekikan tertahan langsung lolos dari antara kedua deret gigiku yang terkatup karena menahan rasa nyeri di dadaku. Aku membuka mulut lebar-lebar dan menyedot udara banyak-banyak sampai terbatuk-batuk, membuat rasa sakit itu semakin menjadijadi. Aku mendapati diriku dalam posisi menelungkup di tanah, tepat di hadapan sebuah bak sampah besar yang menguarkan berbagai macam bau tak sedap bercampur oli dan alkohol. 

Aku mengangkat kepala sedikit untuk melihat sekeliling. Aku berada di lorong di samping bar. Suasananya sunyi sekali. Di kejauhan sayup-sayup aku mendengar deru Sungai Greenfall yang lembut dan menyejukkan.

Aku memaksa diri bangkit. Napasku masih tersengalsengal. Dadaku nyeri setiap kali aku menarik napas, seolah ada sebilah belati yang menancap di jantungku. Aku duduk bersandar di bak sampah selama beberapa saat, berusaha menormalkan napas dan detak jantungku.

Kulirik arlojiku. Pukul empat tiga puluh menit. Langit masih gelap walaupun aku yakin beberapa saat lagi matahari akan terbit. Udara terasa dingin sekali. Semuanya hanya mimpi ….

Aku berusaha mengingat-ingat setiap detail kejadian aneh semalam.

Pria aneh itu.

Ayahku. Semuanya hanya mimpi. 

Sepertinya aku minum terlalu banyak semalam dan jatuh tertidur di lorong sempit ini saat keluar untuk buang air kecil. Secara refleks aku memandang ke samping, ke arah ujung lorong satunya. Sesosok tubuh dalam balutan sweater kelabu pudar bersandar pada dinding kotor bar. Sebilah pisau kecil menancap di dadanya.

Aku berdiri, dengan ragu berjalan ke arahnya. Tubuhnya telah kaku. Matanya setengah terbuka. Noda darah gelap besar, setengah kering dan beku, menghiasi bagian depan sweater-nya di sekitar pisau yang menembus tubuhnya itu.

Selama beberapa saat aku hanya berdiri mematung menatapnya. Pikiranku terasa kosong. Lalu, aku menyadari dua hal yang membuat seluruh rambut di tubuhku berdiri tegak.

Pertama, aku ingat pria misterius semalam. Apakah itu hanya mimpi? Atau kenyataan?

Kedua, tak ada orang lain di sekitarku. Kalau ada yang mendapatiku dengan mayat pria malang ini, situasinya akan buruk bagiku. Aku akan dituduh sebagai orang yang telah menghabisinya.

Aku langsung beranjak dari situ, bergegas menuju jalan besar di depan bar yang telah tutup, bukan berbelok ke kanan ke apartemenku. Aku mengambil jalan ke selatan, menuju rumah ibuku, beratus-ratus meter dari sini.

Jalan-jalan masih tampak sepi, hanya ada beberapa kendaraan yang berlalu lalang. Aku terus berjalan secepat mungkin di sepanjang trotoar. Dadaku masih teras sesak dan berdenyut-denyut menyakitkan. Tapi aku tidak berhenti. Aku harus secepatnya menjauh dari bar itu. Hal terakhir yang tidak kuinginkan adalah dituduh sebagai pelaku pembunuhan.

Langit gelap perlahan berubah kelabu pucat saat pagi mendekat. Di ufuk timur aku bisa melihat semburat merah pucat menyelinap dari balik awan-awan gelap yang menggantung rendah di langit. Sebuah mobil truk kecil melintas saat aku hendak menyeberang dan berbelok di tepi sungai. Rumah ibuku sudah dekat. Aku hanya tinggal menyusuri jalan sejauh lima ratus meter. Aku sedang tidak ingin sendiri. Semua yang telah terjadi tadi malam membuatku mempertanyakan kewarasanku sendiri. Semuanya terasa begitu aneh. Seperti mimpi, tapi juga seperti kenyataan.

Kicauan burung-burung terdengar dari pepohonan di kedua sisi sungai saat aku mengambil jalan pintas di lorong kecil yang akan membawaku ke selatan sungai. 

Keringat membasahi punggungku walaupun udara masih dingin menusuk. Langkah-langkahku bergema di dindingdinding lorong. Aku berbelok ke kanan dan tiba di Kompleks Perumahan Greenfall Nomor 7. Saat aku menyusuri trotoar, tiba-tiba punggungku terasa dingin. Perasaanku tidak enak. Aku menoleh ke balik dan langsung terkesiap.

Jauh di ujung jalan, di sebelah barat perumahan, tepat di pertigaan jalan yang baru saja kulewati, tampak siluet gelap besar seorang pria jangkung berdiri seperti patung mengamatiku. Kontan aku berlari sambil bergantian memandang ke belakang dan ke depan. Orang itu bergeming di tempatnya. 

Ketika tiba di depan rumah ibuku, aku langsung melompat masuk ke halaman. Aku berpegangan pada tepian pagar dengan napas tersengal-sengal. Kulihat orang itu masih ada

Langit semakin terang, tapi kegelapan masih menyelubunginya seperti asap hitam yang mematikan. Lalu seperti seekor hewan pemangsa yang mengintai dari balik pohon, dia bergerak mundur dan langsung hilang ditelan kegelapan di sekelilingnya.

Masih dengan jantung yang berdebar-debar tak keruan, aku berjalan ke pintu rumah. Kulihat jendela kamar ibuku di lantai dua terbuka lebar. Dia memang selalu bangun lebih pagi walaupun dia sudah pensiun lama. Aku menekan bel pintu. Sesekali masih menoleh ke balik punggungku dengan khawatir, berharap aku tidak diikuti. Mobil tua ayahku masih ada di halaman samping, terlindung di balik kain terpal besar berwarna oranye seperti biasanya. Aku menekan bel sekali lagi. Aku mendengar bunyi berderak pelan saat seseorang melangkah turun di tangga dengan tergesa-gesa. Kemudian pintu kayu tebal itu terbuka. Untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun yang lalu, aku kembali melihat wajah yang sangat kurindukan.

“Jason?”

Kantuk masih tampak jelas di wajahnya. Tapi begitu melihatku, kedua matanya langsung berbinar-binar. Sebuah senyuman lebar tersungging di bibirnya.

“Ayah?” ujarku parau. Aku langsung memeluknya erat-erat. Rambutnya telah memutih. Wajahnya penuh kerutan usia, dan dia tampak jauh lebih letih daripada yang kuingat. Tubuhnya agak sedikit bungkuk. Aku nyaris tak mengenalinya. Tapi dia adalah ayahku. Tak salah lagi. Aku berhasilmengubah masa lalu dan membawa ayahku kembali.

“Jason? Ada apa?” tanyanya terkejut. Tapi aku tak mampu menemukan kata-kata yang dapat kuucapkan kepadanya. Tenggorokanku seperti tersekat. Air mata haru membasahi pipiku dan bahunya karena aku membenamkan wajahku di sana.

“Aku sangat merindukanmu, Ayah,” ujarku di antara tangisanku. Tubuhnya yang renta terasa begitu ringan dan rapuh dalam pelukanku. Aku sudah lupa sama sekali rasanya memeluk dirinya.

“Kau kan baru saja datang mengunjungi ayah bulan lalu,” katanya sambil mengelus-elus punggungku dengan lembut.

Bulan lalu? Terakhir kali aku mengunjunginya adalah bulan lalu? Anak macam apa aku ini?

Aku membenamkan wajahku semakin dalam di balik bahunya, merasa malu kepada diriku sendiri karena telah menyia-nyiakan sisa waktu ayahku begitu saja. Dia sangat menyayangiku tapi aku bahkan tak punya waktu untuk datang sebentar dan menengoknya di sini!

“Maafkan aku, Ayah. Aku agak melupakanmu akhirakhir ini.” Kulepaskan pelukanku. Dia mengajakku masuk, tampak senang luar biasa melihat kedatanganku.

“Tidak apa-apa, Nak. Ayah mengerti kau sangat sibuk. Tidak usah kaupikirkan.”

Dia membawaku ke ruang makan, lalu memanaskan air untuk membuatkanku segelas teh. Aku tak mengalihkan pandanganku darinya. Kuperhatikan dia tampak lebih letih dan lamban daripada yang kuingat. Usia senja telah mengubah sosoknya yang dulu tegap dan kuat. Bahunya yang lebar sekarang merosot lemah. Bagaimana seseorang dapat berubah begitu banyak hanya dalam kurun waktu lima belas tahun? Aku menatap jam dinding. Hampir pukul 6.

“Di mana Ibu? Apa dia belum bangun?” tanyaku a heran. Biasanya ibuku selalu bangun lebih awal daripada kami.

Ayahku yang sedang mengaduk gelas tehnya mendadak berhenti, menatapku bingung.

“Apa maksudmu?” Dia heran, seakan-akan aku baru saja menanyakan sesuatu yang aneh.

“Ibu. Apa ibu masih tidur?” Aku mengulangi pertanyaanku lagi. dalam hati merasa sedih karena aku yakin usia tua rupanya juga telah memengaruhi ketajaman pendengaran ayahku. Dia tak menjawab, masih menatapku dengan bingung. 

“Jason? Apa kau habis minum-minum lagi? Apa kau mabuk?” Dia membawa kedua gelas teh yang masih menguarkan uap panas, menaruhnya di meja di hadapanku. Aroma lembut lavender langsung memenuhi seluruh ruang makan.

“Ya, aku minum sedikit tadi malam, tapi aku tidak—“

“Ini tidak lucu, Nak.” Dia memotong kata-kataku sambil menggeleng-geleng. Helai-helai rambutnya yang putih jatuh menutupi dahinya yang penuh kerutan.

“Maksud Ayah?” tanyaku semakin bingung. Tiba-tiba aku ingat sesuatu yang diucapkan si pria misterius semalam. Tak seorang pun memiliki kuasa untuk mengendalikan maut. Ia seperti aliran air. Saat ia menemukan jalan buntu, ia akan membuat jalan yang baru ….

Ia akan membuat jalan yang baru ….

Aku memang telah mengubah takdir ayahku. Aku memintanya menghindari jalan itu agar ia tidak dirampok dan dibunuh. Dan dia berhasil luput dari cengkeraman maut.

Beberapa tahun setelah itu, dalam perjalanan mengantarkan ibuku bekerja, mobil mereka ditabrak sebuah truk besar di jalan Escarot. Ayah selamat tapi ibuku tidak seberuntung itu.

Truk itu menghantam sisi mobil mereka dan meremukkan tubuh ibuku sedemikian rupa. Sebuah keajaiban bahwa ayahku masih hidup sampai hari ini.

Tidak seharusnya aku mengubah takdir. Malam itu, saat dalam perjalanan menjemput ibuku, seharusnya memang Ayah bertemu dengan maut. Dia memang telah ditakdirkan untuk meninggal malam itu. Waktunya telah berakhir. Tapi karena keegoisanku, aku mengelabui maut dan memintanya mengambil jalan lain.