Contents
Möllerhatté
PIKET MALAM
HUJAN deras mendera seluruh dataran. Malam itu aku sedang dalam perjalanan menuju Weatherhill. Petir menyambarnyambar di langit seperti lidah-lidah api raksasa. Keadaan ini sudah disiarkan di radio dalam acara ramalan cuaca beberapa hari yang lalu.
Sejam yang lalu aku menerima kabar bahwa telah terjadi kecelakaan mengerikan di tanjakan kecil di kawasan pegunungan terpencil berpuluh-puluh kilometer dari Crowsfall, kota asalku. Sebuah bus penuh penumpang telah tergelincir dan jatuh bergulingan ke dasar jurang. Tak ada yang selamat seorang pun. Para warga desa setempat telah berhasil mengevakuasi jasad para penumpang bus nahas itu dan membawa mereka ke sebuah rumah sakit kecil yang menampung mereka sampai badai reda. Terlalu berbahaya berkeliaran di luar dalam cuaca seperti ini.
Tapi aku tak punya pilihan lain.
Malam itu aku sedang menjalani sif malamku di rumah sakit kecil Crowsfall bersama seorang teman saat Dokter Timothy menelepon, mengabarkan berita mengenai kecelakaan itu. Dia tinggal di pesisir barat kota dan tak bisa menuju Weatherhill karena jembatan besar yang menghubungkan pesisir barat dan kota ambruk saat sungai meluap semalam.
Setelah menutup telepon, aku langsung menoleh ke arah Jennifer di balik konter. Dia menatapku dengan ekspresi muram di wajahnya yang bulat. Rambut pirangnya tampak berpendar keemasan di bawah cahaya lampu. “Ada kabar buruk, ya?” tanyanya pelan.
“Aku harus ke Weatherhill sekarang juga. Ada kecelakaan parah di sana dan mereka kekurangan tenaga untuk menangani jenazah para korban,” kataku sambil mengambil buku catatanku dari samping telepon lalu menghampirinya.
“Seburuk itu?” Dia terkesiap.
“Lebih buruk. Mereka tak punya tempat lain yang lebih memadai untuk menampung jenazah-jenazah, dan sekarang sudah hampir pukul 12.” Aku melirik jam tanganku. Dalam cuaca seperti ini, perjalananku ke sana akan memakan waktu kurang lebih satu setengah jam.
“Weatherhill itu, kan, memang desa yang terpencil sekali,” ujar Jennifer.
Setelah memberikan beberapa petunjuk mengenai laporan piket yang harus diselesaikan dan diserahkannya besok pagi, aku segera melangkah gontai ke parkiran sambil mengenakan jas hujanku. Udara dingin dan angin kencang membuat tubuhku sempoyongan saat aku berusaha menuju mobil yang kuparkir di sebelah selatan gedung.
Begitulah awal mulanya aku sekarang berkendara di tengah malam dalam amukan badai.
Deretan rumah semakin jarang ketika semakin dekat ke Weatherhill. Pepohonan yang berbaris di tepi jalan berayun-ayun liar diterpa angin. Aku melirik peta GPS mobil.
Kurang-lebih dua puluh menit lagi aku akan tiba di tujuanku.
Deretan rumah kecil-kecil sederhana yang didera badai tampak gelap dan muram. Sesekali aku melihat bar atau toko-toko kecil yang masih buka. Selebihnya adalah kawasan hutan atau barisan pepohonan tinggi.
Hampir pukul dua pagi saat aku tiba di halaman parkir rumah sakit itu, yang berdiri tepat di kaki sebuah bukit kecil yang tampak mengancam dengan awan tebal dan petir yang menyambar-nyambar di atasnya.
Seorang pria bertampang lelah dan mengantuk menyambutku saat aku berjalan masuk ke lobi dengan langkah gontai karena lelah dan kedinginan.
“Halo. Selamat datang. Aku Alex McLaggen.” Dia menyalamiku dengan sikap resmi.
“Terima kasih. Aku Julia,” jawabku singkat sambil menyambut uluran tangannya lalu menggantungkan jas hujan biruku di gantungan jaket di depan pintu. Air menetesnetes dari sepatu dan ujung celanaku, tapi baik aku maupun Alex McLaggen sama sekali tidak memedulikannya.
“Dokter Timothy memberi tahu saya bahwa semua korban sudah dibawa ke sini,” kataku.
Dia mengangguk cepat, mungkin sudah tak sabar ingin segera pulang beristirahat di rumahnya yang hangat dan nyaman.
“Kami sudah memasukkan hampir semuanya ke dalam ruang pendingin, tapi tidak cukup. Ada enam jenazah yang terpaksa kami taruh di bangsal inap di belakang. Sudah kusuntik formalin,” jelasnya.
Aku mengangguk sambil berjalan mengikutinya ke balik konter kecil yang hanya berisikan sebuah meja persegi, kursi kecil, dan televisi yang tengah menampilkan siaran olah raga.
“Apa kau tidak mau memeriksa mereka?”
“Oh, tidak. Tidak. Aku hanya seorang perawat pembantu. Aku belum menangani hal-hal seperti itu. Dokter Timothy nanti yang akan melakukannya saat dia tiba di sini beberapa jam lagi,” jawabku. Aku tidak suka melihat ekspresi nyengir seperti mengejek di wajahnya yang tirus dan pucat itu.
“Baiklah kalau begitu. Ini jurnal piket hariannya. Ini kolom untuk piket malam.” Dia menunjukkan. “Aku sudah mengisinya. Kau tinggal menambahkan sesuatu saja. Aku tinggal tidak jauh dari sini. Nomor telepon daruratku ada di halaman depan. Kalau ada sesuatu kau bisa menghubungiku. Misalnya ada seseorang yang terluka dan membutuhkan jahitan dan semacamnya. Tapi kita tidak ada pasien rawat inap malam ini, untungnya. Orang-orang di sini sangat kuno dan takut berobat ke dokter. Mereka hanya datang kalau mereka terluka parah atau mengalami kesulitan waktu melahirkan.” Dia berceloteh tanpa henti, mengeluhkan pekerjaan yang sepertinya tidak begitu disukainya ini.
Dia menyerahkan jurnal itu kepadaku lalu mengisi kolom absensi yang tergantung di dinding di belakang kami, mengamatinya selama beberapa saat.
“Oh, yang benar saja. Besok aku masuk sore lagi.” Dia mengeluh.
Aku tak berkomentar apa-apa, mulai membuka-buka jurnal itu.
“Kuharap aku akan segera dipindahtugaskan ke kota tahun depan. Aku sudah tidak betah tinggal di desa kecil seperti ini.” Dia mengeluh.
“Ngomong-ngomong, di mana temanmu? Di jadwal hari ini, kulihat kau seharusnya bertugas dengan seseorang bernama Gary. Tapi kenapa cuma kau sendiri?” tanyaku sambil duduk di kursi konter, mengamati jadwal yang tertulis di jurnal itu. Aku menggigiti ujung, memicingkan mata berusaha membaca tulisan-tulisan kecil yang tertera di situ. Alex menoleh kepadaku, tersenyum aneh menatapku.
“Oh, itu jadwal lama. Gary Phillips adalah perawat senior kami di sini. Usianya hampir delapan puluh tahun saat dia meninggal dunia bulan lalu. Waktu itu dia sedang piket malam seorang diri karena aku sedang cuti.”
“M-mmeninggal dunia, katamu?” Aku melongo menatapnya.
Dia mengangguk, masih dengan senyum anehnya.
“Ya. Dia meninggal dunia dalam tidurnya. Serangan jantung. Di kursi yang sedang kaududuki itu.”
Secara refleks aku langsung melompat berdiri, seakan-akan kursi itu memiliki aliran listrik yang dapat mencelakaiku. Alex McLaggen terkekeh-kekeh melihatku, membuatku ingin meninju wajahnya sekeras-kerasnya.
“Oh … begitu,” sahutku, gugup.
Dia menganggukkan kepala lagi, menyeringai lebar.
“Dan pena itu miliknya.” Dia menunjuk pena di tanganku dengan dagunya.
Aku langsung melemparkan benda itu dengan jijik mengingat tadi aku menggigitinya. Alex McLaggen tertawa terkekeh-kekeh seperti seekor dubuk. Aku mengambil enam buah permen menyegar napas dari dalam saku celanaku dan langsung menjejalkan semuanya sekaligus ke dalam mulutku.
“Dia dikubur di bawah pohon willow di belakang bangsal sana, kalau kau ingin tahu,” kata Alex lagi seraya berjalan gegas ke tengah-tengah lobi untuk mengangkat telepon yang berdering.
Dadaku sesak dan perutku mual bukan main. Aku memiliki firasat bahwa Alex McLaggen ini adalah pria berengsek. Aku bahkan sudah tidak menyukainya walaupun kami baru bertemu beberapa menit yang lalu.
Dia berbicara di telepon sambil bertolak pinggang, menjepitkan gagang telepon di antara telinga dan bahu. Setelah beberapa saat dia menghela napas, menutup teleponnya dengan kasar.
“Benda sialan ini selalu saja rusak. Berikan nomor telepon selulermu. Nanti kausuruh Lila memanaskan sup dan membuatkan segelas teh panas untukmu. Kurasa dia masih belum selesai di dapur. Sebaiknya kautunggu saja.”
“Oh, tidak usah repot-repot. Aku—”
“Ingat. Jangan telepon aku kalau tidak mendesak. Aku belum istirahat seharian ini. Mereka belum menemukan pengganti si tua Gary. Jadi, porsi pekerjaanku bertambah untuk sementara waktu.” Dia menyambar jas hujannya yang digantungkan di samping pintu depan, mengenakannya dengan sikap sok penting. “Besok pagi, perawat yang bertugas, namanya Marco, akan datang pukul 5. Berikan jurnal itu kepadanya,” tambahnya lagi saat aku memberikan nomorku. Lalu, sebelum aku sempat berkata apa-apa, dia sudah berlari ke luar menembus hujan, lenyap ditelan kegelapan dan kabut tebal, meninggalkanku seorang diri.
Aku menarik ritsleting jaketku sampai ke bawah dagu. Suara pelan dari televisi bergema di dinding saat aku melangkah mendekati konter. Paling tidak ada Lila si juru masak yang akan menemaniku malam ini, pikirku suram. Aku lalu menelepon Jennifer dan bercakap-cakap dengannya selama beberapa saat untuk mengusir rasa jenuh. Setelah itu, aku menyibukkan diri dengan membuka-buka Facebook dan Instagram selama beberapa saat. Kemudian, untuk mengalihkan pikiranku ke tempat lain, aku mengeraskan volume televisi, mengusir keheningan yang menggantung berat di udara.
Di luar hujan masih mendera dengan buas. Petir menyambar-nyambar, angin melolong-lolong tanpa henti. Pukul tiga pagi telepon selulerku berbunyi nyaring. Aku yang sedang terkantuk-kantuk terkejut dibuatnya. Seketika kantukku lenyap.
Kulihat sebuah nomor yang tidak kukenal. Aku menekan tombol jawab dan suara serak menyebalkan Alex McLaggen langsung memenuhi telingaku. “Julia?”
“Alex? Ada apa? Kukira kau sudah tidur.”
“Harusnya begitu. Kalau saja aku tidak begitu bodoh dan gegabah.” Dia mengomel.
“Ada apa?” tanyaku ogah-ogahan, merasa tidak suka harus berurusan dengannya lagi.
“Aku lupa memasukkan daftar nama dan identitas para korban di laporan piket malam. Aku sudah membuat daftarnya, kau tinggal memasukkan datanya ke komputer dan mencetak laporannya untuk sif berikutnya,” ujarnya, disusul sebuah serdawa yang menjijikkan. “Lalu kirim ke alamat email yang sudah kulingkari di papan di belakangmu secepatnya.”
“Baik. Di mana daftar itu?”“Aku meninggalkannya di clipboard kecil di atas meja dalam bangsal inap belakang.”
“Ok. Ada lagi yang ingin kau … tunggu sebentar.
Kaubilang di mana kautinggalkan daftar itu?”
“Di bangsal belakang.”
“Bukankah di sana kalian menaruh ma—”
“Kunci-kunci digantung di dinding di samping papan absensi. Terima kasih. Selamat bekerja.”
“Tunggu sebentar. Kau pikir— Halo? Halo? Alex?” seruku. Tapi pria berengsek itu sudah memutuskan sambungan teleponnya, meninggalkan tanggung jawabnya padaku.
Sambil mengutuki dirinya dalam hati, aku berjalan mendekati jendela dan menatap ke belakang. Bangsal itu berjarak sekitar lima puluh meter di selatan, terpisah dari gedung utama, hanya dihubungkan oleh jalur kecil berlantai semen dengan atap seadanya. Struktur persegi bangunannya tampak gelap dan kelam, hanya diterangi sebuah lampu kecil di bagian depannya.
Dalam deraan hujan yang deras, lampu itu tampak berayun-ayun dan berkelip-kelip suram.
Bagaimana aku masuk ke sana seorang diri di malam gelap dan di tengah badai seperti ini? Bahkan membayangkannya saja membuatku bergidik ngeri, seluruh rambut di tubuhku berdiri tegak. Aku sudah pernah beberapa kali masuk ke kamar mayat , tapi tak pernah seorang diri. Apalagi di malam hari. Si Alex berengsek itu memang sengaja ingin mengerjaiku. Aku yakin dia sedang tertawa terbahakbahak di kamarnya sekarang membayangkan diriku berjalan ke luar dalam kegelapan seorang diri. Lalu, bagaimana dengan laporannya?
Kata-katanya memang benar. Daftar itu sangat penting karena petugas piket pagi akan mengirimkan datanya untuk proses identifikasi bagi keluarga korban. Apa yang harus kulakukan sekarang?
Aku menggigit-gigit bibir dengan gelisah sambil mondar-mandir di belakang konter selama beberapa saat. Kemudian aku ingat Lila. Tentu saja. Aku akan memintanya menemaniku ke sana. Atau tidak sama sekali.
Bergegas aku menuju selasar besar di sebelah kanan lobi, berseru-seru memanggil nama Lila. Langkah-langkahku bergema di kedua dinding. Aku memeriksa ke dalam dapur dan bangsal utara tapi tak melihat siapa pun di sana.
Di mana wanita itu, pikirku suram. Aku memanggilmanggil lagi, tetapi yang terdengar hanya bunyi hujan yang mendera jendela.
Setelah menelusuri seluruh gedung utama dan tak melihat siapa pun, aku tak punya pilihan selain kembali ke lobi. Sialan. Sepertinya aku memang harus masuk ke bangsal gelap itu sendirian.
Aku menarik napas dalam-dalam berusaha mengumpulkan keberanianku. Cepat atau lambat aku juga akan melakukannya. Aku mmemang seorang perawat baru dan belum berpengalaman, tetapi tak ada salahnya mempersiapkan diri untuk momen-momen seperti ini. Aku harus bisa berpikir rasional dan tak membiarkan rasa takut menguasaiku.
Setelah mengambil kunci di dinding, aku memastikan ritsleting jaketku masih menutup rapat sampai ke bawah dagu, lalu aku berjalan ke arah pintu di samping konter, mendorongnya sampai mengayun terbuka.
Begitu aku berada di luar, suara amukan badai menyambutku, disusul cahaya petir yang menyambarnyambar di langit.
Aku berjalan pelan ke arah bangsal itu. Setiap melangkah, aku berusaha menyemangati diriku bahwa tak ada yang perlu ditakuti. Ini hanya bagian dari pekerjaanku. Jaket dan celanaku telah basah dalam sekejap. Aku menggigil, tapi aku tahu ini lebih karena rasa takut daripada udaranya yang dingin.
Tiba-tiba aku mendengar seseorang berseru di belakangku.
“Nona?”
Jantungku terasa mau copot. Aku langsung menoleh ke belakang dan melihat siluet seorang wanita gemuk-pendek berdiri di depan pintu belakang lobi, menatapku dengan ekspresi cemas dan bingung. Helai-helai rambut panjang ikalnya yang sudah memutih dibiarkan terjuntai begitu saja di atas bahunya.
“Oh, syukurlah ….” Aku mendesah lega, berjalan lekas menghampirinya. “Kau pasti Lila. Aku sudah berkeliling mencarimu. Aku mau ke bangsal belakang untuk mengambil sesuatu. Aku ingin ... eh … apa kau tidak keberatan menemaniku masuk ke dalam sana?”
“Ke bangsal? Untuk apa?” tanyanya, menatapku curiga.
“Alex meninggalkan sesuatu yang penting di sana dan dia memintaku mengambilnya.”
“Nona, kurasa itu bukan ide yang bagus, masuk ke sana malam-malam begini.” Dia menatap sekeliling kami. Semaksemak dan pepohonan tampak berayunan liar dalam terpaan badai. Samar-samar aku bisa melihat siluet gelap sebatang pohon willow besar yang menjulang tinggi tepat di belakang bangsal. Di situ mereka telah memakamkan si tua Gary yang malang bulan lalu.
“Aku harus mengambil daftar nama itu dan membuat laporannya. Itu sangat penting dan dibutuhkan untuk menghubungi keluarga para korban. Apa kau bisa menemaniku sebentar saja? Aku janji tidak akan lama,” kataku sambil mengusap-usap kedua bahunya dalam usahaku membujuknya.
“Tapi ….”
“Kumohon, Lila, temani aku sebentar saja. Kau tidak usah ikut masuk. Kau menunggu saja di depan pintu. Aku akan berlari masuk, mengambil daftarnya, lalu kita kembali lagi ke lobi. Oke?”
Dia menatapku dengan kening berkerut sebelum akhirnya mengangguk pelan.
“Terima kasih,” kataku. Sebenarnya, kehadirannya tidak terlalu membantu mengurangi rasa takutku.
Begitu kami tiba di depan pintu bangsal, Lila langsung mundur selangkah dan melepaskan tangannya dariku. Dengan gugup aku memasukkan kunci, mendorong pintu besinya yang berat dan dingin sampai terbuka dengan bunyi berderak nyaring yang bergema di seluruh ruangan,
Aku mengintip ke dalam dengan jantung berdebardebar. Suasananya tampak suram, hanya diterangi berkasberkas cahaya lampu kecil dari luar, tapi aku bisa melihat lima tubuh kaku terbaring di tempat tidur, berjejer.
Bau tajam formalin dan amis darah langsung menyergap hidungku, membuatku mual dan pusing. Bulu kudukku berdiri tegak. Rasanya kakiku tak berpijak lagi di lantai. Napasku memburu seperti habis berlari berpuluhpuluh kilometer tanpa henti.
Sekonyong-konyong petir menyambar. Cahayanya sekilas menerangi seluruh ruangan, cukup terang untuk membuatku melihat ekspresi-ekspresi mati dan memilukan di hadapanku. Wajah-wajah yang setengah hancur dan tubuh-tubuh remuk akibat kecelakaan itu.
Di mana daftar itu?
Aku memandang berkeliling, tapi karena gelap aku kesulitan melihat dengan jelas. Aku mengeluarkan telepon selulerku dari dalam saku, akan menyalakan senternya ketika tiba-tiba benda itu malah berdering nyaring.
Aku hampir saja melompat saking terkejutnya. Nomor tak dikenal lagi.
Aku menekan tombol jawab.
“Julia?”
“Alex?”
“Kenapa emailnya belum kaukirim juga, sih? Aku tidak bisa tidur sebelum email itu dikirimkan. Mereka akan mengomeli kita habis-habisan kalau daftar itu belum masuk pagi ini.” Suaranya terdengar jengkel.
Seketika itu juga rasa takutku lenyap, berganti kemarahan yang tak terbendung lagi kepada pria yang berbicara di telepon ini. Kuputuskan untuk menanggalkan segala sopan santunku dengannya.
“Bukan salahku. Kau yang teledor dan lupa mengerjakan tugas-tugasmu,” sahutku kesal. “Maaf?”
“Aku bilang, jangan mendesakku karena kecerobohanmu sendiri yang lupa mengerjakan sesuatu yang menjadi tanggung jawabmu. Dan sekarang aku harus masuk ke dalam kamar mayat di tengah malam seperti ini karena ulahmu. Aku harus membujuk Lila segala supaya dia mau menemaniku.” “Oh, begitu ya, Nona Sok Hebat dari Kota.” “Kaupanggil aku apa barusan?” balasku sengit.
“Mentang-mentang aku hanya bekerja di rumah sakit kecil kampungan seperti ini dan kau berpikir bisa berkata seenaknya. Tunggu sebentar. Apa maksudmu membujuk
Lila?”
“Membujuknya untuk menemaniku ke bangsal. Apa
kau tuli?”
“Apa maksudmu?”
“Maaf?”
“Apa maksudmu membujuk Lila untuk menemanimu? Aku lupa bilang tadi, Lila sudah pulang ke rumahnya di Gatholé kemarin. Dia cuti seminggu.”
“Apa? Lalu siapa wanita yang …?” Kata-kataku terhenti begitu saja. Petir kembali menyambar-nyambar menerangi seluruh ruangan. Dalam sepersekian detik itu aku menyadari sesuatu yang mengerikan. Bukankah tadi Alex bilang bahwa ada enam jenazah yang ditaruh di dalam bangsal ini?
Mataku mulai mengamati kelima jasad yang terbujur kaku tak bergerak di hadapanku dengan jantung berdebar-debar.
“Nona ….” Terdengar suara dingin dan serak mengerikan tepat di belakangku. Sebelum aku sempat bereaksi, kedua tangannya yang dingin dan kaku langsung melingkar dengan erat di tubuhku. Lalu aku jatuh terkulai lemas di lantai, tak sadarkan diri sepanjang sisa malam berbadai itu.