Contents
Möllerhatté
LEMBAH SERIBU MAYAT
MALAM itu adalah salah satu malam berbadai dalam kunjunganku di daerah tropis ketika aku tak sengaja menemukan terowongan tua itu. Malam terpanjang dan paling mengerikan seumur hidupku. Aku tidak pernah menduga akan berhasil keluar dari hutan hidup-hidup dalam keadaan terluka di tengah badai. Tapi sekarang aku sudah kembali di Wittenberge, masih dalam proses pemulihan dari trauma, berusaha melupakan malam menyeramkan itu yang ku lewatkan di dalam perut bumi seorang diri.
Tanganku masih sering terasa sakit. Ada hari-hari ketika rasa nyerinya membuatku merasa lebih baik aku memiliki satu tangan saja yang berfungsi normal daripada memiliki tangan lainnya yang sangat menyiksaku. Dokter berkata bahwa aku beruntung karena jika aku terlambat sedikit saja, mereka terpaksa mengamputasi tangan kiriku itu. Sekarang, aku sudah tidak yakin lagi bahwa amputasi adalah pilihan yang buruk. Paling tidak aku tidak akan tersiksa menahan rasa sakit luar biasa ini entah sampai kapan.
Semuanya bermula waktu temanku Mario, penduduk lokal sebuah pulau kecil di Provinsi Sulawesi Tenggara, Indonesia, mengundangku untuk mengunjungi dan tinggal bersama keluarganya. Kota asal Mario sangat cantik, bertengger di lereng gunung api yang tidak aktif di dekat mulut sempit sebuah teluk yang tampak lebih mirip danau besar daripada lautan.
Mario yang ramah membawaku berkeliling mengunjungi tempat-tempat mengagumkan yang hanya pernah aku lihat di majalah-majalah National Geographic. Pantai-pantai tersembunyi berpasir putih dengan air jernih serupa kristal berkilauan di bawah terik matahari. Di hari kelimaku di sana, dia membawaku camping di sebuah kawasan hutan bakau dekat sarang buaya muara.
“Tempat ini aman tidak, sih?” tanyaku bimbang. “Asal api unggunnya tetap menyala,buaya-buaya itu tidak akan berani mendekat,” jawabnya, terkekeh-kekeh, geli melihat kekuatiranku.
Saat kami kembali ke kota, dia memberitahuku mengenai keberadaan sebuah jalan setapak terpencil yang indah dan gampang dilintasi di kawasan perbukitan karst raksasa di bagian barat daya pulau. Desa terdekat dari situ berada di lereng barat sekitar tiga jam berjalan kaki dari jalan utama. Konon, orang-orang di desa itu agak kurang ramah kepada pendatang. Mereka juga, menurut rumor yang beredar, masih mempraktikkan ilmu hitam.
“Kau pernah mendengar tentang legenda poppo’?” tanya Mario kepadaku suatu malam saat kami sedang dudukduduk di balkon sambil minum bir dan merokok.
Aku tergelak. “Apa?” Kata aneh itu terdengar lucu di telinga Jermanku, sampai-sampai aku mengira telah salah dengar.
“Poppo’,” ulangnya sambil mengambil sebatang rokok lagi dan menyalakannya.
“Tidak. Apa itu poppo’?”
“Hm … bukan semacam hantu, sih. Tapi Lebih tepat disebut makhluk aneh, makhluk malam.” Dia mengembuskan asap rokoknya.
“Seperti vampir? Strigoi?”
Dia mengangguk pelan. “Ya, semacam itu. Tapi poppo’ adalah manusia biasa yang mempraktikkan ilmu hitam.”
“Kedengarannya menyeramkan. Jadi, apa yang dilakukan poppo’ ini? Mengisap darah orang-orang?”
“Mereka hanya menyerang orang-orang yang lemah, seperti yang lanjut usia atau sakit, wanita-wanita hamil, bayi, balita, anak kecil, orang-orang yang luka berat ….”
“Kalau begitu kita aman!” Aku menguap lebar dengan nyaring. Malam sudah larut. “Paling tidak untuk sekarang,” lanjutku, lalu tertawa.
“Konon, orang-orang di desa itu semuanya adalah jelmaan poppo’ di malam hari. Saat hari terang, mereka hanya sekumpulan petani, punya darah dan daging seperti kita. Bernapas. Tapi tengah malam, mereka akan masuk ke tengah hutan untuk bertransformasi. Apalagi kalau sedang tidak ada bulan di langit. Mereka lebih suka keluar ketika bulan tak tampak di langit, supaya mereka bisa melayang-layang di desa lain tanpa ketahuan, bersembunyi di sudut-sudut yang gelap, menunggu saat yang tepat untuk menyerang orang lemah dan lengah pertama yang mereka temui.” Dia mengangkat bahu. “Paling tidak begitulah yang diceritakan opa-ku kepadaku.”
“Mirip vampir kalau begitu.”
“Tidak juga.”
“Apa bedanya?”
“Hm, seperti yang kubilang, poppo’ itu manusia biasa yang mempraktikkan ilmu hitam. Saat mereka bertransformasi, mereka akan masuk ke tengah-tengah hutan untuk menyembunyikan tubuh mereka di tempat yang aman, dan mereka akan kembali saat fajar menyingsing.”
“Menyembunyikan tubuh? Apa maksudnya itu?” tanyaku heran.
Dia menyeringai penuh misteri sebelum melanjutkan. “Poppo’ akan melepaskan kepala dari tubuhnya, kemudian meninggalkan tubuhnya itu di tempat aman dan tersembunyi. Lalu kepalanya beterbangan ke mana-mana dengan organ tubuh yang masih menempel dan bergelantungan, mencari korban di malam hari.”
“Ugh!” Aku berseru. Membayangkan kepala terpenggal melayang-layang di udara dengan organ-organ tubuh yang basah dan berlumuran darah lebih membuatku jijik daripada ketakutan. “Ceritamu menarik dan lumayan mengerikan, sih. Dan menjijikkan.”
Dia tertawa terkekeh-kekeh. “Makanya orang-orang tidak pernah membuka jendela rumah mereka setelah matahari terbenam. Poppo’ selalu menunggu dengan sabar tanpa suara selama berjam-jam, melayang-layang di atas atap rumah calon korbannya.”
“Siapa, sih, yang cukup tolol membuka jendela rumahnya malam-malam?” Aku mendengus. “Ngomongngomong, aku mendengar cerita yang mirip itu waktu aku di Thailand.”
“Ya. Negara-negara di Asia Tenggara punya cerita versi mereka sendiri mengenai makhluk ini. Tapi karakteristiknya selalu sama, yaitu kepala yang terbang melayang-layang di malam hari mencari mangsa. Ada yang bilang ada poppo’ di dekatmu, kau akan mendengar bunyi seperti air yang menetes-netes. Tes … tes … tes .…” Dia merendahkan suaranya dengan dramatis. “Itu adalah bunyi tetesan darah dan cairan tubuhnya yang jatuh menimpa atap atau tanah. Dan kalau kau mendengar bunyi itu, berarti poppo’ sudah datang untuk memangsamu.”
“Uuuugh!”
“Opa-ku pernah cerita, dulu ada seorang pria yang terbangun dari tidurnya karena mendengar bunyi misterius seperti air yang menetes-netes di tengah malam. Dia lalu beranjak dari tempat tidur dan meninggalkan istrinya yang sedang hamil tua terlelap seorang diri. Dia pergi ke dapur untuk memeriksa kalau-kalau ada air yang menetes. Dia memeriksa wastafel tapi kerannya tidak terbuka. Dia masuk ke kamar mandi dan melihat keran air juga tidak terbuka. Dia menggaruk-garuk kepala dengan bingung, menduga mungkin dia tadi hanya bermimpi mendengar bunyi tetesan itu. Tapi tiba-tiba dia sadar bahwa dia lupa mengunci pintu depan. Dengan tergesa-gesa dia berlari ke kamarnya dan melihat pemandangan paling menyeramkan yang pernah disaksikannya seumur hidup: istrinya terbaring dengan kedua kaki terbuka lebar bermandikan darah, dan tepat di antara paha istrinya, sebuah kepala seorang wanita berambut panjang sedang menjilat-jilat dan memangsa bayi mereka yang belum lahir.” Mario membuat suara berdecak nyaring dan panjang di antara giginya yang dikatupkan.
“Untung saja aku sudah makan malam.” Aku berjengit jijik sementara dia tertawa terbahak-bahak. “Terima kasih untuk bahan mimpi buruk malam ini.”
“Tapi terlepas dari benar atau tidaknya cerita tadi, jalan setapak itu aman kok untuk dijelajahi, asalkan kau tidak berlama-lama di sana sampai matahari terbenam. Hutannya sangat lebat. Orang akan mudah sekali tersesat di sana. Aku pernah camping di sana beberapa kali, dan coba tebak? Aku tidak pernah melihat satu poppo’ pun!” Dia menyambar asbak lalu mematikan rokoknya.
“Hm, tapi kalau memang poppo’ itu benar-benar ada .…” Aku menjentikkan abu rokokku ke udara, tidak menghiraukan ekspresi mencela di wajahnya. “Aku ingin tahu bagaimana mereka melakukan praktik ilmu hitam seperti itu. Ada beberapa orang di Jerman yang ingin kubuat ketakutan setengah mati, terutama sepupuku yang sombong yang merasa dia jauh lebih baik daripadaku hanya karena ayahnya kaya raya. Pasti menyenangkan menamparnya
keras-keras dan mencekiknya dengan ususku.” Kami langsung tertawa terbahak-bahak.
Keesokan harinya, Mario harus pergi bekerja dan meninggalkanku seorang diri dengan ibunya yang baik, ramah, dan sama sekali tidak bisa berbahasa Inggris. Hari itu adalah ulang tahunku tapi aku tidak memberi tahu Mario karena aku tidak ingin mereka bertambah repot merayakannya setelah menampung dan menerimaku di sini dengan tangan terbuka. Setelah menelepon ibuku di Wittenberge, aku berjalan-jalan, menjelajahi pasar tradisional di sepanjang garis pantai, kemudian pergi berbelanja di supermarket kecil satu-satunya di kota itu di dekat pelabuhan kota.
Aku membeli beberapa lembar kaus dan celana jins untukku dan Mario yang harganya lumayan mahal. Tapi karena ini hari ulang tahunku, tidak ada salahnya sedikit berfoya-foya. Lalu, aku memanggil taksi dan meminta sopirnya mengantarku ke jalan utama, tempat jalan setapak yang disebutkan Mario itu bercabang dan bermula. Mario pernah bilang agar aku menunggu sampai dia libur supaya kami bisa pergi ke sana bersama-sama. Tapi aku hanya ingin sedikit bersenang-senang di hari ulang tahunku. Lagi pula, aku berencana hanya akan sedikit menjelajahi hutan, mengambil beberapa foto, kemudian kembali sebelum hari gelap.
Seharusnya aku mendengarkan kata-kata Mario.
Saat aku tiba di puncak bukit, aku sadar bahwa katakata Mario benar. Tempat ini sangat keren dan indah di antara deretan bukit-bukit kecil yang tampak bergulunggulung di kejauhan. Mulut teluk kelihatan jelas di kejauhan dengan latar belakang garis cakrawala yang berkilauan di bawah cahaya keemasan matahari. Aku mengambil beberapa foto, lalu berjalan menuruni sisi bukit yang lain ke arah deretan pepohonan. Menurut Mario, di situ ada sungai kecil, tersembunyi di antara rerimbunan tanaman. Hari masih pagi, tapi tubuhku sudah basah oleh keringat.
Aku berjalan pelan dan hati-hati, berusaha tidak tersandung bebatuan karang yang menjorok ke luar dari tanah karena sisi selatan bukit itu agak terjal, dan rerumputan yang basah membuatku mudah terpeleset. Aku bergerak di antara semak-semak dan akhirnya bisa mendengar bunyi aliran air beberapa meter di hadapanku. Hutan itu lengang dan semakin jauh aku masuk, semakin rimbun vegetasinya. Pepohonan dan semak belukar tumbuh semakin rapat. Langkah-langkahku tak berhenti walaupun kanopi di atasku yang menggantung rendah membuat sekitarku semakin gelap.
Terdengar bunyi berdecak nyaring setiap kali aku melangkah tergopoh-gopoh sambil berpegangan pada batang-batang pepohonan berlumpur di sepanjang pesisir sungai supaya tidak terjatuh. Saat aku sudah berada begitu dekat dengan tepi air, kedalaman lumpurnya sudah mencapai lutut, memaksaku bergelantungan pada seuntai akar keras berlumut sebelum aku menarik tubuhku ke luar dengan sekuat tenaga. Kemudian, aku berbaring sejenak di bawah sebatang pohon besar untuk mengambil napas dan menyadari bahwa beberapa saat yang lalu aku hampir saja tenggelam di dalam lumpur. Betapa bodohnya aku!
Aku memeriksa tas anti-airku untuk memeriksa telepon seluler dan kameraku, dan aku lega melihat keduanya masih dalam keadaan kering dan berfungsi dengan baik.
Permukaan air tenang gelap di hadapanku mengalir lembut dan tenang. Lalu aku melihat sesuatu di tepiannya. Sebuah benda yang seperti perangkap ikan tradisional terbuat dari serat palem yang dianyam.. Aku berjalan mendekat untuk memeriksanya. Benda itu basah dan kumal seakanakan telah ditinggalkan selama bertahun-tahun. Helai-helai serat palem yang sobek mencuat tak beraturan seperti helaihelai rambut kaku. Aku menendangnya kuat-kuat sampai ia menggelinding jatuh ke sungai dengan bunyi kecipak nyaring yang membuat permukaan air bergelombang sebelum lenyap tak berbekas.
Di bagian hutan ini, lebar sungainya hanya beberapa meter, tapi pepohonan tinggi dan semak-semak rimbun menutupi sisi sungai di seberang sehingga aku tak dapat melihat apa pun yang ada di baliknya. Sungai itu mengalir berkelok-kelok seperti sungai cokelat di kisah Charlie and the Chocolate Factory, menembus hutan di antara barisan pepohonan di kedua sisinya. Airnya sangat mengundang. Apalagi cuaca hari itu cerah. Jadi, tanpa ragu aku langsung melompat dan terkesiap karena tidak menyangka airnya sedingin itu. Aku membuka mata, tetapi tak dapat melihat apa-apa di dalam air yang keruh itu. Rasanya seperti berenang dalam kegelapan. Aku tak dapat lagi membedakan atas dan bawah, seperti melayang-layang di angkasa luar. Perangkap ikan yang kutendang tadi mengapung pelan ke arahku. Aku menyambar dan berpegangan padanya selama beberapa saat, sebelum kembali menyelam.
Embusan angin dingin menyambutku saat aku kembali
ke atas, dan dalam posisi terapung-apung, aku langsung menyadari kebodohanku sendiri. Tepi sungai di sebelah sini lumayan terjal dan berdiri dalam posisi hampir vertikal yang tentu saja akan sedikit menyulitkanku untuk memanjat naik. Sementara yang di seberangnya sangat landai.
Aku mencoba mengangkat tubuhku ke atas dan menyambar sejumput semak lalu menariknya kuat-kuat. Tapi seketika itu juga aku langsung melepaskan genggamanku, kembali terjatuh ke dalam air dengan rasa sakit menusuknusuk di sekujur telapak tanganku.
“Sial!” Aku menyumpah-nyumpah nyaring. “Sial sial
sial!”
Rupanya semak yang kutarik itu adalah sejenis tanaman berbahaya yang hanya tumbuh di daerah tropis. Rambut-rambut halus tajam mirip jarum tumbuh di sekujur batang dan rantingnya sebagai mekanisme pertahanan diri. Jika kulit kita terkena rambut-rambut itu, kulit kita akan sangat gatal dan perih. Rasa perihnya tidak terkira sehingga aku yakin aku akan pingsan beberapa detik lagi. Aku berenang ke tepi sungai di seberang dan begitu aku keluar dari dalam air, aku langsung membungkuk sampai kepalaku nyaris menyentuh tanah yang basah, berusaha tidak menjerit. Jantungku berdebar-debar keras, napasku memburu tidak keruan. Aku berguling ke samping dan berbaring telentang, membiarkan angin sepoi-sepoi meniupi tanganku berharap rasa sakitnya akan berkurang. Selama beberapa saat aku merasa yakin aku akan mati. Pikiran-pikiran mengerikan melintas di benakku.
Aku mengeluh dan mengerang kesakitan sambil berdoa kepada Tuhan yang selama ini tak pernah begitu kuyakini, supaya aku tidak dibiarkan mati konyol seorang diri di sini. Aku masih muda. Ada banyak hal yang belum kulakukan, tempat-tempat yang belum kukunjungi, teman-teman yang belum kutemui di perjalananku.
Teringat olehku keluarga dan teman-temanku di Jerman. Ibuku, apa yang akan terjadi padanya kalau aku mati? Siapa yang akan merawatnya? Siapa yang akan ….
Aku akan mati di tepi sungai ini, pikirku. Mereka akan menemukan tubuhku yang telah membusuk dan setengah terbenam di lumpur. Itu pun kalau hewan-hewan liar belum menelan tubuhku. Aku berusaha menstabilkan napas dan detak jantungku sambil menggertakkan gigi ketika rasa
sakitnya malah semakin menjadi-jadi.
***
Kesadaran datang kepadaku berjam-jam kemudian. Hari semakin gelap dan suhu udaranya sangat dingin. Hujan gerimis turun disertai petir yang menyambar-nyambar dengan sengit di langit dan guruh yang menggemuruh di kejauhan. Telapak tanganku masih nyeri bukan main. Aku tak tahu berapa lama aku terbaring tak sadarkan diri karena aku tidak membawa jam tangan. Sambil memaksa diri duduk berlutut aku merasakan sesuatu yang keras di saku celanaku dan langsung menghela napas lega saat menarik keluar sebuah senter anti-air kecil yang selalu kubawa ke mana-mana. Aku menyalakan dan mengarahkan cahayanya ke seberang sungai. Tampaknya mustahil bagiku memanjat dinding tebingnya yang terjal untuk mengambil tas ranselku dalam kondisi seperti ini.
Aku memeriksa tanganku yang terluka di bawah cahaya senter. Tanganku bengkak sehingga ukurannya dua kali lebih besar daripada ukuran normal. Kulitnya membiru. Rasanya masih berdenyut-denyut walaupun sudah tidak begitu terlalu sakit seperti tadi.
Hanya ada satu cara untuk keluar dari hutan ini, tapi aku tidak ingin pergi tanpa tasku. Aku harus mencari bagian sungai yang dangkal dan tebing yang tidak terjal supaya aku bisa ke seberang.
Aku memutar arah, berjalan susah payah menyelinap di antara semak-semak dengan hati-hati karena tidak ingin lagi menyentuh tanaman sialan itu. Seluruh persendianku terasa kaku dan kering seakan-akan aku sudah lama tidak menggunakannya.
Saat berjalan di antara pepohonan besar yang berbaris di sepanjang tepi sungai yamg gelap, aku melihat sesuatu. Aku mengarahkan senter ke sana dan menemukan selembar papan tua reyot kecil yang dipakukan sekenanya pada sebatang pohon. Ada tulisan tangan acak-acakan di permukaannya yang semua hurufnya kapital. Aku berjalan mendekat, menajamkan mata agar bisa membacanya lebih jelas. Tulisan itu ditulis dalam bahasa Indonesia.
“DILARANG BERENANG DI SINI. TEMPAT KHUSUS
MEMANDIKAN MAYAT. TERTANDA KEPALA DESA GUNUNG SEJUK.”
Seluruh rambut di sekujur tubuhku seketika berdiri tegak. Bahasa Indonesiaku memang tidak terlalu bagus, tapi dari empat atau lima kata yang tertulis di situ, aku bisa mengira-ngira artinya; sebuah informasi bagi siapa pun yang tersesat di dalam hutan.
Dilarang Berenang. Tempat khusus memandikan mayat.
Sisa kalimatnya tidak begitu kumengerti. Tapi aku tahu bahwa kata ”gunung” berarti mountain dalam ahasa Inggris. Perutku mendadak bergolak. Beberapa jam yang lalu aku berendam di sungai itu. Sekonyong-konyong aku menyadari bahwa gulungan-gulungan panjang serat palem yang kulihat tadi bukanlah perangkap ikan, melainkan bungkusan jenazah.
Karena tidak ingin tinggal berlama-lama lagi di dalam hutan, aku segera mempercepat langkah, berjalan segesit yang dimampukan kedua kakiku yang gemetar karena kedinginan. Baru beberapa menit berjalan, tiba-tiba petir menyambar, diikuti gemuruh nyaring di kejauhan yang menggetarkan tanah seperti gempa.
Beberapa saat kemudian, aku tiba di sebuah lapangan kecil di kaki bukit yang menjulang tinggi di antara pepohonan seperti makhluk besar kelam menyeramkan. Aku berjalan mengitari bukit itu, dan melihat mulut sebuah gua ketika petir menyambar. Namun, begitu aku mendekat, aku tahu itu mulut sebuah terowongan tua berbentuk persegi yang hampir roboh. Sepertinya longsor telah terjadi beberapa tahun yang lalu dan hampir menutupinya dari pandangan. Beberapa potongan balok kayu reyot tampak bergelantungan dan sebagian lagi berserakan di tanah.
Ketika aku akan kembali berjalan mengitari bukit, tiba-tiba angin berembus kencang mendera seluruh hutan, lalu hujan turun semakin deras. Aku tak punya pilihan lain kecuali berlindung di dalam terowongan tua itu. Dengan hati-hati aku melangkah masuk di antara rongsokan kayu lapuk sambil memandang berkeliling dalam pencahayaan senter sampai aku menemukan bangkai sebuah mobil tua yang pintu-pintunya telah copot tergeletak beberapa meter dari mulut terowongan dengan posisi bersandar di dinding pada salah satu sisinya. Aku melangkah semakin ke dalam. Tercium aroma tajam menyengat yang menggantung berat di udara. Semakin ke dalam, bau itu bertambah tajam. Perutku mulai bergolak lagi. Pasti ada bangkai hewan di dalam sini, pikirku sambil mengarahkan senter ke depan. Jauh di dalam kegelapan di hadapanku, aku bisa melihat terowongannya berbelok tajam ke utara. Aku berhenti, tidak ingin masuk lebih dalam melewati belokan itu.
Karena tak ada pilihan lain, aku terpaksa mendekati bangkai mobil dan mengintip ke dalamnya. Kursi-kursinya masih utuh walaupun ada sobekan-sobekan kain kotor dan kumal berserakan di atasnya. Paling tidak aku punya sesuatu untuk menghangatkan tubuh, pikirku suram. Aku memanjat masuk ke dalam dan berusaha membuat tubuhku sehangat mungkin di antara tumpukan kain-kain berdebu di jok belakang. Langsung terdengar bunyi berderit dan berdecit nyaring saat aku mencari posisi duduk yang nyaman. Bunyi deraan badai dan guruh terdengar menggelegar di luar sana, bergema di sepanjang dinding terowongan. Aku tak punya pilihan selain menunggu badai reda atau pagi datang.
Tanganku yang terluka berdenyut-denyut menyakitkan lagi. Kali ini disertai darah segar mengalir ke luar dari sayatansayatan kecil di kulit. Tapi aku tak berani menyentuhnya, khawatir akan membuat duri-duri halus berbisa itu masuk lebih dalam lagi.
Petir menyambar-nyambar dan selama sepersekian detik itu seluruh mulut terowongan tampak terang. Di luar tampak pohon-pohon dan semak-semak berayun-ayun liar dalam terpaan angin kencang. Aku menarik napas lalu duduk bersandar dengan mata terpejam menghadap mulut terowongan menunggu datangnya kantuk.
Rupanya aku benar-benar tertidur dan terbangun oleh bunyi aneh dari sisi kananku. Aku langsung bergerak menjauhi dinding dan memasang telinga. Selama beberapa saat tak terdengar apa pun. Namun, kemudian bunyi itu terdengar lagi.
Tap!
Bunyi itu berasal dari balik dinding, dari dalam bukit. Bunyi apakah itu? Aku bersandar erat pada badan mobil yang penyok dan dingin sambil mengerutkan kening karena kebingungan. Aku tak bisa memejamkan mata lagi. Aku menunggu. Dan tiba-tiba aku mendengar sesuatu yang membuat bulu kudukku berdiri tegak. Asalnya dari dalam kegelapan di belakangku, jauh dari dalam terowongan. Bunyi berderak seperti sesuatu yang bergesekan dengan dinding. Secara refleks aku mengarahkan senter ke dalam kegelapan.
Ternyata bunyi itu juga datang dari dalam dinding di balik belokan. Seperti bunyi kuku-kuku yang bergerak di sepanjang permukaan dinding. Membayangkannya menimbulkan rasa ngilu di ujung jari-jariku.
“Siapa di situ?” seruku. Bunyi itu langsung berhenti. Suaraku memantul di dinding menimbulkan gema terdistorsi yang merambat di seluruh terowongan. Aku bisa merasakan kehadiran sesuatu di dalam terowongan.
“Halo?” seruku lagi dengan suara gemetar.
Hening.
Dalam cahaya dari senterku, aku melihat sesuatu yang gelap dan panjang bergerak cepat di tanah sebelum ia menyelinap ke balik dinding dan lenyap di belokan.
Seekor ular! Ular besar. Mendadak aku merasa ngeri. Mungkinkah aku terjebak di dalam sebuah terowongan yang penuh ular? Pertanyaanku langsung terjawab ketika sudut mataku menangkap sesuatu merayap dengan cepat di langitlangit hanya beberapa meter di hadapanku. Aku langsung mengarahkan senterku ke sana tepat saat sesuatu yang ternyata seekor ular hitam besar itu menyelinap ke dalam sebuah retakan dan lenyap dari pandangan seakan-akan takut kepada cahaya.
Aku tidak ingin berada di dalam sarang ular ini, tapi aku tahu bahwa aku juga tidak akan bertahan di tengah badai sambil berusaha mencari jalan keluar dari hutan hanya dengan pakaian seadanya. Aku mengarahkan senter ke mana-mana dengan panik selama, berharap cahayanya akan mengusir makhluk-makhluk itu. Namun, dengan terkejut aku mendapati lebih banyak r lagi ular menyelinap masuk ke lubang-lubang dan retakan di sepanjang dinding dan langitlangit terowongan.
Kemudian dari dalam kegelapan terowongan, aku mendengar bunyi lain. Darahku kontan membeku. Tes …. Tes …. Tes ….
Bunyi tetesan pelan air diikuti desisan parau yang membuat jantungku serasa mau copot. Aku menatap dinding di belokan itu lekat-lekat, bagai tengah menantikan sesosok makhluk mengerikan yang segera menampakkan dirinya.
Tes … tes … tes ….
Kau akan mendengar bunyi seperti air yang menetes-netes saat malam telah larut dan hening ….
Bunyi itu terdengar semakin jelas dengan sesuatu yang bergerak mendekat, kemudian berhenti tiba-tiba tepat di balik belokan, meninggalkanku dalam keheningan paling mencekam yang pernah kualami seumur hidup. Detak jantungku semakin tak keruan. Dengan panik aku mengarahkan senter ke sana, menyapu seluruh permukaan dinding, berusaha mencari tahu sumber bunyi menyeramkan itu.
Kemudian dua hal sekaligus terjadi bersamaan. Aku merasakan tetesan air dingin di atas kepalaku berbarengan dengan padamnya senterku, menenggelamkanku dalam kegelapan total.
Aku bisa merasakan sesuatu bergerak pelan di atasku tatkala bunyi desisan itu kembali terdengar, lebih serak dan lebih agresif. Aku langsung menjerit sekeras-kerasnya dan melompat keluar dari mobil sampai jatuh mendarat keras di tanah pada perutku. Tapi aku langsung bangkit berdiri, berlari secepat mungkin ke arah mulut terowongan, menyelinap di antara pepohonan, tak berhenti sama sekali bahkan untuk sekadar menarik napas. Aku tak lagi peduli badai yang masih mendera seluruh daratan tanpa ampun. Aku hanya ingin berada sejauh mungkin dari terowongan itu.
Guruh menggelegar, angin mengempas pepohonan. Aku tak tahu kekuatan apa yang membawaku keluar dari hutan itu. Aku berlari terus sampai akhirnya berhasil menemukan jalan raya. Tapi aku tidak memelankan langkah sampai dadaku terasa sakit. Akhirnya, aku jatuh ke bahu jalan yang berlumpur dan tak sadarkan diri karena kelelahan.
Waktu aku siuman, aku mendapati diriku berada di rumah sakit. Mario menungguiku dengan wajah pucat. Dia tampak sangat terguncang. Menurutnya, aku telah tersesat di tengah hutan dan kebingungan mencari jalan ke luar saat badai datang. Beruntung, seorang sopir taksi yang hendak ke kota menemukanku terbaring tak sadarkan diri di tepi jalan.
Sungai kecil itu meluap beberapa jam kemudian, menimbulkan banjir bandang yang menyapu sepertiga kawasan hutan, menyebabkan kerusakan hebat di manamana, termasuk beberapa area perkebunan tidak jauh dari situ. Kalau aku tinggal lebih lama di dalam terowongan itu, mungkin aku sudah mati tenggelam dan tak akan pernah ditemukan lagi.
Aku menghubungi ibuku dan dia memaksaku segera pulang begitu kondisiku membaik. Aku tinggal di rumah sakit hanya dua hari. Masih ada waktu seminggu penuh sebelum penerbanganku kembali ke Jerman, tapi aku memutuskan untuk mendengarkan kata-kata ibuku. Aku ingin segera pulang. Aku bahkan tidak kembali ke hutan untuk mengambil tasku.
Aku mengucapkan selamat tinggal kepada Mario. Dia berjanji akan mengambil cuti beberapa minggu untuk mengunjungiku di Wittenberge tahun depan. Aku bilang bahwa kami akan selalu menyambut dan menerimanya dengan senang sebagai tamu kami. Aku tidak pernah menceritakan kepadanya kejadian di dalam terowongan malam itu.
Apa yang sebenarnya telah aku lihat?
Malam itu di dalam terowongan, beberapa detik sebelum senterku mati, aku menyadari sesuatu yang akan membuatku trauma seumur hidup. Aku tidak ingin memberitahukan yang sebenarnya kepada siapa pun. Aku takut orang-orang akan menganggapku gila.
Aku tahu betul yang kulihat merayap di dalam kegelapan terowongan malam itu bukanlah ular, melainkan rambut. Helai-helai panjang rambut hitam manusia.
“Tapi, Mrs. Fritz, kami tidak boleh berkeliaran di jalanan sampai larut malam. Makanya kami memutuskan untuk jalan lebih awal,” kata anak berambut merah pendek yang wajahnya tersembunyi di balik topeng hantu hijau bertampang muram.