Try new experience
with our app

INSTALL

CLBK (Cinta Lama Belum Kelar) 

3. Dia

Michelle datang ke toko siang hari. Saat tiba di toko yang dikelolanya, barang-barang yang ia pesan sudah tiba. Tito, salah satu pegawainya, sedang membongkar paket tersebut dan menata barang-barangnya.


"Chelle," panggil Denise. Menghampiri Michelle yang memperhatikan barang-barang jualannya yang sedang Tito keluarkan dari dus.


Seketika, Michelle menatap Denise. Gadis yang bekerja dengannya sebagai admin media sosial, sekaligus teman dekatnya juga.


"Ada apa? Kayaknya lo lagi khawatir atas sesuatu?" respons Michelle, melihat Denise terlihat tidak seperti biasanya. "Ada yang salah? Atau banyak buyer yang resek?"


Denise menggeleng pelan. "Gue rasa, kita harus cari desainer grafis yang baru deh. Soalnya ini udah lewat berapa hari dari seharusnya kita update di media sosial kita, tapi masih belum ada bahan buat update-an."


Michelle diam merenung. Apa yang dikatakan oleh Denise ada benarnya. Seminggu sudah Michelle memecat Angga, desainer grafis yang bekerja dengannya. Dan hingga kini Michelle belum mendapatkan desainer grafis yang cocok dengan toko yang dia kelola saat ini.


"Ya, gue pikir juga kayak gitu. Tapi lo tau sendiri, susah dapat desainer grafis yang bisa sekalian jadi fotografer dan punya attitude yang bagus serta bertanggung jawab dan nggak neko-neko."


"Terus kenapa lo mecat Angga? Bukannya dia bener-bener udah cocok sama lo?"


Michelle mengangkat bahu ringan. Dia tahu bahwa Angga adalah orang yang multitalenta. Pekerjaannya bagus, dia bisa bekerja cepat, serta hasil kerjanya sangat memuaskan. Hanya saja, ada satu kekurangan yang tidak bisa Michelle toleransi dari pria tersebut. Sampai saat ini siapa pun tidak tahu hal apa yang membuat Michelle memecat Angga. Terlalu memalukan sekaligus mengerikan untuk Michelle.


"Gue udah bilang kalau itu urusan pribadi gue dan juga Angga. Tapi sayangnya, kalau lo bilang urusan pribadi dan pekerjaan harus dipisahin, gue nggak bisa. Masalahnya, masalah itu juga ganggu ke pekerjaan gue."


Denise menghela napas. Gadis itu juga bertanya-tanya mengenai apa yang sebenarnya terjadi antara Michelle dan juga Angga. Namun melihat Michelle begitu tertutup atas permasalahan itu, Denise rasa dia tidak bisa memaksanya.


"Sebenarnya, gue punya kenalan seorang desainer grafis yang lumayan jago juga motret. Gue enggak tahu bakal pas atau enggak sama lo. Lo, kan, pemilih banget kalau urusan partner," pungkas Denise.


Michelle merenung sebentar. "Cewek or cowok?" dia tanya kemudian.


"Cowok," dengan cepat, Denise menjawab.


"Gue maunya cewek. Tapi, kalau menurut lo pekerjaan dia bagus dan attitude-nya oke, gue coba lihat aja dulu contoh desain yang biasa dia kerjain."


Denise mengangguk dengan antusias. Lalu menggiring Michelle ke mejanya.


"Malika? Seandainya lo enggak ngasih tahu sejak awal kalau dia cowok, kayaknya gue bakal ngira kalau ini orang adalah cewek, deh," komentar Michelle. 


Saat ini Michelle sedang duduk di mejanya seraya berselancar di akun Instagram milik desainer grafis yang diberitahukan Denise sebelumnya. Michelle agak heran karena nama akun orang tersebut Malikalika, seperti nama seorang perempuan saja.


Denise terkekeh di mejanya. "Enggak tahu. Dia terobsesi sama Malika kacang kedelai kali."


Michelle hanya menggeleng pelan mendengar jawaban Denise. Kemudian menyimpan ponselnya setelah dirasa cukup untuk mencari tahu cocok atau tidaknya desain yang orang itu buat atau tidak baginya.


"Gue rasa, gue suka sama desain yang teman lo buat. Mungkin lebih enak kalau kita bisa ketemu dulu kali, ya. Kira-kira, lo bisa tanya kapan dia punya waktu?"


Denise tersenyum puas karena Michelle akhirnya tertarik dengan karya orang yang dia rekomendasikan. "Oke. Gue tanya ke dia kapan dia bisa ketemu lo. Atau gue kirim kontaknya aja ke lo biar lebih afdol, boleh?"


"Oke." Michelle setuju begitu saja, sebab apa yang dikatakan oleh Denise ada benarnya. Lebih enak jika dirinya sendiri yang menghubungi orang itu.


Ponsel Michelle membunyikan notifikasi. Denise mengirimkan sebuah kontak seperti yang mereka setujui sebelumnya. Namun, Michelle seketika bergeming menatap nama yang dia baca di kontak yang Denise kirimkan.


"Rifki? Namanya Rifki?" tanya Michelle.


Denise mengangguk. "Ya. Kenapa? Kayak yang aneh gitu."


Michelle meringis menyadari reaksinya yang mungkin memang berlebihan. "Enggak ada. Gue cuma kenal aja sama orang dengan nama yang sama."


Denise terkekeh. "Siapa? Gebetan lo namanya Rifki juga? Tenang aja, di dunia ini banyak yang punya nama Rifki. Yang namanya Michelle atau Denise juga banyak."


Michelle berdecih sebal. "Iyaaa, gue tahu," decaknya. "Tapi gue gak punya gebetan."


Denise hanya menanggapi ucapan Michelle dengan gelengan kecil. Sementara Michelle membuka ponsel dan mengirimkan pesan singkat pada Rifki. Selama beberapa saat, gadis itu terdiam. Dilihatnya foto profil yang dipasang Rifki. Gambar salah satu tokoh di dalam anime terkenal.


'Enggak mungkin dia. Benar kata Denise, di dunia ini ada banyak manusia yang bernama Rifki. Pecinta anime juga bukan satu dua orang,' batin Michelle karena Rifki yang akan dia ajak kerja sama ini memiliki nama serta anime yang sama dengan Rifki yang pernah dia kenal di masa lalu.


***


Hari ini, Michelle datang lebih cepat daripada hari-hari biasanya, sebab Rifki bilang dia akan datang hari ini ke toko untuk berbicara dengan Michelle perihal kerjasama mereka.


"Rifki belum datang?" tanya Michelle, meletakkan tas kecil miliknya di atas meja kemudian duduk di balik kursi kayu miliknya.


Denise mengangkat bahu. "Kalian janjian jam berapa?"


"Sekitar jam delapan, sih."


"Nah. Sekarang aja baru jam delapan kurang sepuluh menit. Santai aja kali. Namanya juga Negeri Wakanda," balas Denise jenaka.


Michelle hanya bisa menggelengkan kepalanya sambil menghela napas dalam. Tidak ada yang salah dengan apa yang diucapkan oleh Denise. Namun tetap saja, dia pikir Rifki akan datang lebih cepat sehingga Michelle sangat terburu-buru tadi. Dia bahkan memilih pergi ke toko menggunakan ojek online ketimbang taksi.


Pintu toko yang terbuat dari kaca buram kemudian terbuka, membuat suara khas yang dihasilkan oleh lonceng yang sengaja Michelle letakkan tepat di depan pintu agar jika ada orang yang masuk siapa pun bisa mengetahuinya.


Michelle dan Denise berdiri, yakin bahwa orang itu adalah pria yang sedang mereka tunggu. Denise tersenyum lebar saat apa yang dipikirkannya adalah benar. Namun berbeda dengan Michelle, gadis itu justru terdiam seribu bahasa. Matanya membulat, lidahnya kelu, tak dapat mengatakan apa pun. Ketika pria itu datang menghampirinya, Michelle hanya merasakan dirinya seolah berubah menjadi jelly.


"Hai, Michelle," sapa Rifki. Duduk di hadapan Michelle dengan senyum lebar yang terpatri di wajahnya.


Sesaat setelah mendengar suara itu, Michelle berdecak. "Sialan," gumamnya pelan. Namun cukup untuk didengar oleh Denise mau pun Rifki di sana.


'Kenapa harus dia di antara milyaran manusia di dunia ini?' Michelle membatin kesal.


***