Try new experience
with our app

INSTALL

Love You Sersan  

YANG PERTAMA

SELAMAT MEMBACA

 

Alika memundurkan tubuhnya, menundukkan kepala agar mengalihkan pandangan mata dengan Kaelan yang kini menatapnya tanpa kedip dengan tampang serius. Setelah mundur, ia membalikkan tubuhnya.

Jantungnya mencelos hingga rasanya sampai ke rongga perut, tatapan mata sang Jenderal begitu menusuk tajam ke manik mata Alika.

“Apa yang kamu lakukan?!” tanya ayahnya Kaelan penuh kewibawaan.

“Ma-maaf ... saya tidak terbiasa melihat kekerasan, jika anda mau menamparnya silahkan tapi jangan di depan saya. Tidak bermaksud membela Elan karena memang dia bersalah sudah merampas ciuman pertama saya, Pak. Eh?!” cerocos Alika yang tanpa sadar malah curcol di depan calon ayah mertua, ditepuk mulutnya sendiri sambil memejamkan mata.

‘Ya ampun, malunya. Duh ini mulut enggak bisa di rem!’ rutuk Alika dalam hati.

Ibu Kaelan—Winda mengulum senyum mendengar ucapan terlampau polos dari Alika, tidak ada salahnya ucapan Alika hanya menggelikan saja. Yang dikatakan Alika memang benar adanya, ia tidak pernah berpacaran, hanya memang teman lelaki cukup banyak. Prioritas hidupnya sekarang hanya lulus dari kuliah agar mempunyai gelar Dokter, tidak ada yang penting dari hal itu.

“Elan?” tanya Pak Aditama.

“Kaelan maksud saya, Pak. Nama Kaelan terlalu panjang dan sulit diucapkan, rumit namanya serumit orangnya,” celetuk Alika.

Kaelan yang dicap seperti itu mendengus kesal, tak terima disebut seseorang yang terbilang ‘rumit’ padahal maksud Alika rumit kisah cintanya dengan Laura dan sekarang terjebak dengan dirinya.

“Kamu selamat kali ini, Kaelan!” putus sang Jenderal tatapannya tetap sinis memandang sang anak, baru pulang bertugas sudah membuat masalah, pikir Pak Aditama.

“Silahkan duduk, Pak, Bu,” sapa Nenek Farida yang langsung memberikan tempat kepada orang tua Kaelan.

Kaelan dan Alika pun ikut duduk, tidak ada tempat lagi jadi mereka duduk bersisian, sekarang mereka benar-benar seperti terdakwa.

Pak Suroto yang merupakan sesepuh warga langsung menjelaskan kronologi apa saja yang terjadi, Pak Aditama dan Bu Winda hanya mendengarkan dengan seksama, tatapan tajam dilayangkan Pak Aditama pada Kaelan selama tingkah lakunya diadukan oleh sesepuh warga beserta Nenek Farida secara detail.

Tangan beliau sudah gatal untuk menampar keras anaknya, tapi beliau tahan sekuat mungkin karena atas permintaan sang pemilik rumah agar tidak ada kekerasan di dalam membuat keputusan.

Alika menautkan kedua tangan lalu meremas tangannya menetralkan rasa gugup bercampur malu, ini seperti aib untuk Alika. Ia bersyukur Kaelan tidak melakukan hal lebih dari itu, jika ia melakukan hal lebih dari itu, mungkin Alika akan larut oleh trauma berkepanjangan dalam hidupnya dan orang yang akan dibenci dalam hidupnya adalah Kaelan.

Di tengah kesusahan, tetap saja terselip rasa syukur di hati Alika, begitu pun Kaelan yang tidak mempermalukan nama baik orang tuanya dengan cara menjijikkan dan tak patut ditiru.

“Anak kami akan tetap bertanggung jawab, tapi tidak bisa menikah—"

“Apa?!” pekik Nenek Farida menjeda ucapan sang Jenderal.

“Tidak bisa menikah siri maksud suami saya, Nek,” imbuh Bu Winda sebelum menimbulkan kesalahpahaman.

Mulut nenek membulat membentuk huruf ‘O’ diikuti yang lain, Alika hanya diam. Lebih baik diam dari pada banyak bicara, sekalinya ia berbicara seringkali ucapannya tanpa rem dan itu membahayakan bisa juga memalukan.

“Jika Alika menikah dengan Kaelan harus mentaati prosedur di kesatuan kami, tidak bisa menikah siri karena itu sebuah pelanggaran dan akan mendapatkan hukuman penjara dan juga administrasi, itu sangat merugikan Kaelan kedepannya,” terang Pak Aditama.

“Saya harap Nenek bisa mempercayai kami, Kaelan akan bertanggung jawab atas apa yang sudah ia lakukan. Benar ‘kan, Nak?” timpal Bu Winda sambil melontarkan sebuah pertanyaan.

“Ya, tentu,” jawab Kaelan, singkat, padat, jelas.

“Kamu bersedia Nak Alika menikah dengan seorang tentara? Bukan hal mudah menjadi seorang istri tentara, kamu harus memahami posisi calon suamimu yang bukan hanya milik dirimu sendiri dan keluarga tapi milik negara, mengemban tugas yang berat,” jelas Bu Winda kini pada Alika.

“I-iya, Bu,” jawab Alika terbata karena sebuah keraguan yang cukup besar dalam hatinya.

“Kamu ragu dengan anak saya?” Suara bariton penuh ketegasan kembali menciutkan nyali Alika.

Saat bersamaan Laura keluar dari kamar, membawa gelas di tangan dan melirik sekilas arah orang-orang yang masih berkumpul di ruang tamu rumah itu. Ada rasa penasaran tapi ia berusaha tetap abai.

“Saya siap menikah dengan Kaelan,” jawab Alika tegas dengan suara lantang hingga semua orang yang berada di ruangan itu melebarkan mata tak percaya, tak terkecuali Alika.

Menyadari kini dirinya menjadi pusat perhatian, cengiran tanpa dosa dilayangkan Alika, ia berusaha memudarkan rasa malu atas sikapnya. Kaelan memijat pelipis, pening mendera padahal baru beberapa jam mengenal gadis semacam Alika tapi cukup membuat perasaannya campur aduk.

“Baik jika seperti itu, saya akan memberikan kepercayaan pada anda untuk mengurus semua administrasi yang memang harus dipenuhi Alika sebagai persyaratan menjadi seorang istri tentara,” putus Nenek yang membuat semuanya menjadi lega karena kesepakatan telah dibuat.

Setelah itu sesepuh dan warga lainnya pamit undur diri terlebih dulu bukan malam tapi kini sudah dini hari, perjanjian secara tertulis untuk pertanggungjawaban Kaelan pun sudah ditandatangani malam itu juga atas permintaan ayahnya sendiri, beliau tidak ingin sang anak lari dan menjadi seorang pengecut. Sekecil apa pun kesalahan harus di pertanggung jawabkan.

“Motormu biar ajudan ayah yang mengambilnya, sekarang pulang sama kami. Dan jangan lupakan hukuman yang akan ayah berikan sebagai atasanmu!” 

“Yah ... sudahlah, jangan terlalu keras,” bela sang Ibu.

“Kami pamit ya, Nek, Alika,” pamit Bu Winda.

“Oh iya silahkan, Nak Winda,” sahut Nenek.

“Alika, antar sampai depan,” titah neneknya yang dijawab anggukan patuh Alika.

Pak Aditama dan Bu Winda melangkah lebih dulu, Alika dan Kaelan mengekor di belakang.

“Mana ponselmu?” tanya Kaelan.

“Untuk?” Bukan menjawab Alika malah balik bertanya.

“Serahkan saja,” pinta Kaelan.

Alika menurut, ia mengambil ponsel di saku celananya yang cukup dalam.

“Ini.”

Kaelan mengambil dan menekan layar ponsel Alika dengan cepat lalu mengembalikannya kembali.

“Simpan nomor ponsel saya.”

“Hahh! Kukira kamu mau menyadapnya,” celetuk Alika.

Alis Kaelan tertarik satu ke atas, matanya memicing ke arah Alika.

“Tidak penting!” ketusnya yang sukses membuat Alika kesal.

“Aku pun tak akan menghubungimu walaupun kamu menaruh seribu nomor sekali pun!” tukas Alika mencebik kesal.

“Benarkah?” tanya Kaelan memajukan posisi tubuhnya hingga wajah mereka kini tak berjarak.

Plak!

Refleks Alika menampar pipi Kaelan cukup keras karena kaget ketika Kaelan seolah mengikis jarak wajah mereka, orang tua Kaelan langsung membalikkan tubuh untuk melihat apa yang terjadi.

Plak!

Sekali lagi tamparan dilayangkan.

“Duh! Sersan Kaelan maaf nyamuknya menempel di pipi, aku gemas,” kata Alika sambil tersenyum sangat manis ke arah orang tua Kaelan yang langsung di balas senyuman oleh Bu Winda kemudian mereka masuk ke dalam mobil lebih dulu.

“Awas mendekat seperti tadi! Akan kuberi ini,” kata Alika mengepalkan tangan seolah ingin memberikan bogem mentah ke wajah Kaelan.

“Tidak perlu memberikan apa pun lagi, cukup menjadi orang pertama yang merampas sesuatu sudah membahagiakan untuk saya,” celetuk Kaelan sambil mengarahkan satu jarinya di bibir dan mengedipkan satu mata menggoda.

“Hah?!” Mulut Alika terbuka, ia tak percaya ucapan itu terlontar dari sang Sersan.

Dengan santai Kaelan melangkah maju, masuk ke dalam mobil dengan tersenyum puas ....