Try new experience
with our app

INSTALL

Love You Sersan  

Oh Jantung

SELAMAT MEMBACA
 

“Kalian?!” tunjuk Laura pada Kaelan dan Alika bergantian.

“Kenapa? Kaget?!” kata Alika yang melingkarkan tangan di lengan Kaelan yang masih mengontrol desiran aneh dalam hatinya.

“Ada apa ini?” tanya Nenek yang bingung melihat 4 anak muda di depannya dengan tampang yang bermacam rupa.

Kaelan yang berdiri tegap sambil melihat Alika tak berkedip, menuntut penjelasan dan tidak mengerti dengan apa yang dilakukan Alika terhadap dirinya. Tadi bilangnya tidak ingin menikah dan memaksa agar Kaelan menolak pernikahan dengan konsekuensinya, tapi setelah kedatangan Laura dan Joshua sikap Alika berubah 360 derajat bahkan posisi mereka terbilang dekat. Kaelan jadi bingung dan pusing sendiri dengan perubahan Alika.

“Tidak ada apa-apa, Nek. Siapa dia?” tanya Laura pura-pura tak kenal.

Nenek mendelik ke arah Kaelan dan Alika sebelum menjawab, “Calon pengantin.”

Ucapan Nenek sukses membuat mata Laura dan Joshua membulat sempurna, Alika tersenyum puas melihat ekspresi mereka.

Berhasil! Batin Alika tanpa memedulikan perasaan Kaelan yang menjadi tak karuan dan memikirkan dampak kedepannya dengan kesehatan jantung tepatnya hati mereka.

“Aku pulang,” pamit Joshua pada Laura sambil memberikan kecupan di pipi kiri dan kanan Laura tanpa malu.

Nenek Farida menatap tajam kelakuan mereka, ‘Tidak beretika.’ Batin Nenek Farida.

Kaelan yang tetap merasa cemburu memalingkan wajah, lebih memilih melihat Alika hingga tatapan mereka terkunci karena Alika tengah mengamati ekspresi Kaelan yang tampak kesal.

Alika merundukkan kepala, memutus tatapan tak berani melihat lebih dalam ke manik mata hitam Kaelan. Sepeninggal Joshua, Laura melengos masuk begitu saja, lebih dulu tanpa izin dan ketika di dalam rumah beberapa dikejutkan dengan beberapa tetangga dan juga sesepuh yang sudah berada di ruang tamu rumah.

Tetap acuh oleh keadaan sekitar, Laura masuk ke dalam kamar tanpa memedulikan mereka yang kini menatap miris perempuan tak beretika itu.

“Ayo, masuk!” ajak Nenek.

Kaelan ingin mengikuti langkah Nenek, sebelum cekalan di pergelangan tangan menghentikan langkah Kaelan. Ia menoleh ke arah seseorang yang menarik lengannya, mereka bersitatap sebelum akhirnya Alika berdeham mengusir kegugupan.

Bohong jika Alika tak gentar oleh tentara yang kini berada di sampingnya, wajah Kaelan penuh ketegasan dan sangat kaku, raut wajah datar tak berekspresi hingga bingung ia marah, kesal, atau bahagia.

“Ya?!” Kaelan bersuara ketika menunggu beberapa detik Alika tak juga mengeluarkan suara.

“Aku berubah pikiran.”

“Ya, saya tahu.”

“Tapi bukan berarti aku menerima pernikahan ini begitu saja.”

“Maksudnya?” alis Kaelan tertarik ke atas apa yang diucapkan Alika.

“Setelah menikah kamu harus mengikuti aturan yang kubuat,” kata Alika.

Saat berbicara dengan tentara di depannya, sungguh Alika merasa takut tapi ia berusaha menekan rasa takut dan kegugupannya dengan sangat sempurna. Kejadian saat Kaelan dalam pengaruh minuman laknat itu masih berputar di ingatannya, belum lagi wajah Kaelan yang ... ah! Menyiutkan nyalinya.

“Tidak perlu menikah jika seperti itu!” tolak Kaelan yang langsung melangkah lebih dulu, mengacuhkan Alika begitu saja.

“Hihhhh!” geram Alika menghentakkan kakinya.

Mendengar hentakan kaki Alika, Kaelan hanya tersenyum tipis sambil menggelengkan kepala.

‘Unik.’ Batin Kaelan.

Seunik itu Alika di depan Kaelan, terkesan dewasa tapi labil. Entahlah! Alika pun sedang bimbang dengan apa yang akan ia putuskan. Alika juga tak ingin mendapatkan ejekan dari Laura jika masalah ini diketahui kakak sepupunya itu, bisa habis jadi bulan-bulanan ejekan sepanjang masa jika memang Kaelan diketahui tak ingin menikahi Alika setelah kejadian ini.

Kaelan dan Alika kembali ke tempat duduk mereka semula, melanjutkan pembicaraan serius yang sedari tadi menjadi pokok pembahasan.

“Alika meno—"

Dehaman keras Alika menghentikan ucapan Kaelan, hingga ucapan Kaelan terjeda dan menggantung.

“Alika menerima jika memang keputusan Nenek dan semuanya mengharuskan Kaelan mempertanggungjawabkan semuanya dengan cara menikahi-ku,” putus Alika dengan satu kali tarikan napas.

Jujur ... jantung Alika jumpalitan kala mengatakan hal itu, tapi sudah kepalang tanggung. Mau taruh di mana mukanya di hadapan Laura? Lagi pula ia tidak tega melihat Kaelan yang penuh kewibawaan menjadi hinaan Laura seperti dirinya yang selalu di hina oleh kakak sepupunya itu.

“Ya! Memang seharusnya begitu, keputusan yang memang tidak bisa di ganggu gugat jika Kaelan tidak bertanggung jawab, maka kami dan Nenek kamu akan melaporkan semuanya ke pihak berwajib. Untuk pelajaran yang lain agar tidak semena-mena terlebih dengan statusnya sebagai anggota militer yang harusnya bisa menjadi contoh baik,” kata Pak Suroto.

‘Fix! Nikah jika kondisinya seperti ini, ya Tuhan kuatkanlah aku.’ Monolog Alika yang sebenarnya masih berat mengambil keputusan besar ini.

Mereka melakukan obrolan kecil, lebih tepatnya interogasi pada Kaelan yang di jawab dengan tegas oleh sosok tegap di hadapan Alika. Sesekali Alika mencuri pandang, begitu pun Kaelan dan semua tingkah mereka di perhatikan oleh sang Nenek—Farida.

“Pernikahan akan dilakukan esok hari setelah subuh, kalian harus menikah walaupun itu secara siri!” putus Pak Suroto.

“Saya tidak setuju!” Suara bariton dari ambang pintu menggema ke seluruh ruang tamu yang membuat Nenek Farida dan Alika terjengkit kaget.

“Ayah!” kata Kaelan yang langsung berdiri tegap.

“Permisi.” Suara tegas itu menyapa, lalu tanpa izin lagi masuk ke dalam ruangan dengan wajah yang sudah merah padam.

Plak!

Tamparan keras langsung di layangkan tepat di kedua pipi Kaelan.

“Memalukan!” hardiknya.

Kaelan diam dan tetap berdiri tegap tak tergoyahkan, matanya menatap depan tanpa takut.

“Saya di sini sebagai jendral! Bukan sebagai Ayah!” tegasnya.

Plak!

Tamparan keras kembali dilayangkan, sang Ibu yang setia mendampingi sang Suami yang berpangkat jendral itu diam tanpa melakukan pembelaan atau melarang sang Suami. Semua hanya bisa diam, tercengang dengan apa yang terjadi.

“Apa yang telah kamu lakukan?!”

“Siap, mencium bibirnya ... Jendral!” jawab tegas Kaelan dengan jujur.

‘Ya Tuhan, apa harus sejujur itu!’ rutuk Alika dalam hati yang malunya bukan kepalang tapi tetap melihat 2 orang yang tidak jauh dari posisinya, pipi Alika bahkan sudah terasa panas dan terlihat merah merona.

Tangan sang Jenderal kembali terkepal kuat mendengar hal itu, lalu tangannya kembali melayang bersiap memberikan tamparan untuk kesekian kalinya. 

“Jangan!” teriak Alika, refleks Alika memajukan tubuhnya sambil memejamkan mata, menghalangi sang Jenderal yang merupakan Ayah Kaelan untuk memberikan tamparan keras kembali. Kepala Alika menempel di dada Kaelan hingga detak jantung sang Sersan berdentum tak beraturan.

“Ekhem!” dehaman keras terdengar dari sang Jenderal.

Alika membuka mata, mendongakkan kepala hingga tatapan mereka terkunci, deru napas Kaelan menyapu wajah cantik Alika.

‘Gawat! Posisi tak menguntungkan, ishh!’ rutuk Alika dalam hati.

“Bisa memundurkan tubuhmu? Jantung saya tidak sehat,” aku Kaelan, entah dinamakan polos atau jujur ... duh memalukan!