Contents
On The Way
BAB 1. Belum Rezeki
AKU menyambar kunci mobil di atas nakas dan keluar dengan tergesa. Aroma teh dan nasi goreng membuatku membelokkan langkah ke ruang makan.
“Sarapan dulu, Kang,” ucap Dewi, istriku.
“Sebenarnya Akang mau cepat, Dek. Minum teh aja, ya.”
Dia mengangguk sambil tersenyum. Senyum itu malah membuatku tidak tega melewatkan sarapan buatannya. Kuambil sendok dan mulai menyantap nasi goreng tersebut meski tidak sampai habis.
“Akang berangkat dulu, ya.”
Begitulah yang kulakukan setiap hari, sarapan dan berangkat mencari nafkah sebagai driver taksi online. Arif Budiman, biasa orang memanggilku dengan sebutan Kang Arif. Besar sekali harapan orang tua agar aku menjadi orang yang arif dan berbudi luhur dengan memberi nama tersebut.
Customer pertamaku hari ini seorang wanita dengan penampilan modis dan elegan. Mungkin, dia seorang wanita karier yang bekerja di perusahaan besar. Wajahnya cukup manis dengan polesan yang tipis. Rambut hitam sepunggung menambah kecantikannya.
“Mas, malah bengong? Cepet bantuin.”
“I-iya, Mbak.”
Beberapa kardus yang berada di sebelahnya segera kuangkat. Entah apa isi kardus-kardus tersebut, tetapi cukup berat untuk ukuran seorang wanita.
“Cepet, ya, Mas. Saya sedang ditunggu,” ucapnya lagi.
“Saya usahakan, Mbak. Biasanya jam-jam segini jalanan banyak macetnya.”
“Cari jalan yang nggak macet, lah.”
Aku mengembuskan napas panjang. Ternyata, wanita cantik ini sangat ketus dalam berbicara.
Sepanjang perjalanan, kami hanya diam tanpa obrolan sama sekali. Beberapa kali aku meliriknya dari kaca spion. Tampaknya dia sedang menelepon seseorang yang tak kunjung diangkat. Hal itu terlihat dari wajahnya yang cemberut. Wanita itu beberapa kali mendengkus kesal.
Untuk ke sekian kali, aku meliriknya. Ternyata dia juga sedang melihat ke spion. Tatapan kami bertemu lewat kaca.
“Apa lihat-lihat? Belum pernah lihat perempuan cantik? Masnya jomlo, ya? Atau mungkin istrinya jelek?” ucapnya dengan nada sinis.
“Bukan gitu, Mbak. Saya cuma—“
“Halah, nggak usah ngeles,” potongnya.
Aku kembali mengembuskan napas panjang sementara dia sibuk dengan ponselnya lagi.
Kali ini panggilannya diangkat. Aku jadi penasaran, siapa orang dari tadi coba dihubunginya?
“Halo, Mas. Kamu masih tidur? Bukannya tadi udah bangun? Kamu gimana, sih? Kamu nggak denger tadi aku ngomong apa? Anaknya diurusin, dibuatin sarapan. Terus jangan lupa, pakaian di mesin cuci dikeluarin, tadi aku buru-buru,” cecarnya begitu panggilan terhubung.
Aku tidak dapat membayangkan bila berada pada posisi orang di seberang telepon. Dari pembicaraan yang kudengar, sepertinya ia menelepon suaminya.
“Mas, bisa lebih cepat? Saya buru-buru ini.”
Aku menambah kecepatan. Namun, jalanan yang ramai membuat kami terpaksa melambat kembali. Apa lagi, banyak sepeda motor yang menyalip sesuka hati. Mereka benar-benar seperti raja jalanan.
Aku menginjak pedal gas saat sebuah sepeda motor menyalip dan melintas di depan kami. Hal tersebut membuatku langsung menginjak rem. Mobil yang kukemudikan berhenti mendadak.
“Aw!” Wanita itu memegang dahinya. Sepertinya ia terbentur.
“Gimana, sih, Mas?!”
“Maaf, Mbak. Ada motor nyalip.”
Dia mendengkus kesal. Raut wajahnya semakin cemberut, nyaris menghilangkan kecantikannya.
Akhirnya, kami tiba di tujuan. Sebuah gedung perkantoran yang cukup mentereng. Aku membantu mengangkat barang-barang bawaannya.
“Nih.” Wanita itu menyodorkan uang. “Tadinya saya mau kasih lebih karena Mas udah bantu saya angkat barang-barang. Tapi, karena dari tadi saya perhatikan Mas lirik-lirik terus, belum lagi sudah buat saya kejedot, jadi saya bayar sesuai tarif. Uang tipnya nggak jadi.”
“Iya, nggak apa-apa, Mbak. Mungkin belum rezeki saya dapat uang lebih dari Mbak,” jawabku sambil menerima uang darinya.
Sepanjang perjalanan menuju tempat biasa nongkrong menunggu orderan, terbayang wajah Dewi. Gadis berhijab yang kini hobi memakai daster sejak menjadi istriku. Meski kecantikannya terbilang standar, dia memiliki kelembutan dan selalu melayaniku dengan baik. Beruntungnya aku mempunyai istri yang suka tersenyum dan jarang sekali mengomel. Standar kebahagiaan setiap orang memang berbeda-beda, tetapi aku yakin apa yang kudapat sudah sesuai dengan takaran yang terbaik di mata Sang Pencipta.