Contents
Let Up!
Kenikmatan Terakhir
KAU telah memencet bel. Artinya kau tak bisa lagi berbalik dan menyelamatkan diri jika terjadi sesuatu yang tidak terduga. Kaupandangi rumah itu. Sambil menunggu, kau melihat pagar rumah itu begitu tinggi, berwarna hitam, gelap, dan rumah semegah itu dikelilingi tembok-tembok pembatas yang tinggi. Di atas tembok pembatas rumah itu, ada kawat berduri yang dipasang rapi, mengitari seluruh rumah. Kau membayangkan seandainya saja ada pencuri yang berusaha masuk menyelinap, tentu dia akan terinjak duri, atau beling yang juga dipasang di atas pagar pembatas. Atau mungkin saja, seperti yang dikatakan oleh orang-orang, kalaupun bisa lolos dari kawat berduri atau beling, akan ada serentetan tembakan yang mungkin langsung menghabisi nyawa si pencuri. Demikian mengerikan. Konon, pernah ada yang berhasil lolos dari kawat dan beling, tetapi kepalanya langsung tertembak, tepat di kening. Membuatnya terkapar tak berdaya.
Lubang pintu setinggi kepalamu yang hanya memperlihatkan kepala dari dalam, terbuka. Bukan sebagaimana yang kaubayangkan bakal disambut perempuan cantik dengan leher jenjangnya. Sebaliknya, kau hanya disambut oleh seseorang berkepala plontos, dengan kumis dan jambangnya yang lebat. Dengan nada tinggi seperti membentak, ia bertanya tentang maksud kedatanganmu. Tentu saja kau mengatakan bahwa kau ingin tidur dengan penghuni rumah ini. Ia bertanya lagi, apakah kau sudah tahu harga dan konsekuensinya. Kau mengangguk pelan setengah ragu. Ia membentakmu lagi. Kali ini nadanya lebih tinggi dan membuat telingamu pekak. Karena kaget dan karena terpaksa, kau mengangguk cepat. Mantap. Si penjaga tersenyum. Setelah itu, ia menanyaimu tentang nomor antrean. Jika belum, kau bisa mengambilnya sekarang, dan kembali bulan depan. Kau telah mengambil antrean itu sebulan yang lalu lewat sistem daring. Berkali-kali kau mendaftar dan gagal. Setiap malam saat tepat pukul nol nol, kau membuka komputer. Mengisi formulir pendaftaran untuk tidur dengan perempuan itu. Di sana, kau harus mengisi berapa jumlah kekayaanmu, kau harus membayar setengah dari harta kekayaanmu. Kau harus membayar di muka. Namun, kau tak ingin menunda lagi. Kau telah meniduri banyak wanita, tetapi perempuan penghuni rumah ini, konon memberikan pelayanan terbaik kepada setiap pelanggan yang datang. Mungkin karena itu, harganya begitu mahal. Selain harga separuh dari kekayaan para pelanggan, harga dari persetubuhan dengannya adalah hal yang tak pernah terbayangkan oleh lelaki mana pun. Kematian. Kau lelah bertualang. Kau lelah meniduri banyak wanita yang haus kepuasan. Kau lebih banyak memuaskan mereka ketimbang dipuaskan. Terkadang demikian. Dari percintaan yang dimulai selepas magrib hingga pagi tiba, tak ada tanda-tanda kau akan ejakulasi. Tak jarang, percintaanpercintaanmu dengan perempuan yang memasuki usia paruh baya, membuatmu kecewa karena mereka tak pernah bisa memuaskanmu.
Menyewa pelacur? Kau hafal segala jenis pelacur. Dari kelas elite hingga kelas rendahan yang mengajakmu bercinta dekat comberan. Ketika perempuan-perempuan paruh baya itu memberikanmu sejumlah uang dan hasratmu tidak tertuntaskan, maka kau menyewa pelacur di hotel bintang lima. Saat kau memiliki uang begitu berlimpah setelah meniduri banyak wanita paruh baya itu, kau tidak cukup menyewa satu orang pelacur. Kau bahkan menyewa lima hingga sepuluh orang. Dan dari sekian yang kautiduri hingga semua dari mereka lemas tak berdaya, kau masih saja belum berejakulasi. Hal semacam itu membuatmu jenuh dan terkadang kau memberikan rating bintang satu, yang membuat manajer mereka merengek dan mengiba memintamu supaya mengubah ulasan menjadi bintang lima. Kau tersenyum kecut. Setelah mereka mengiba sedemikian rupa, hingga menangis dan bersujud di kakimu, akhirnya kau menuruti permintaannya. Namun, dengan satu syarat, kau diperbolehkan tidur dengan perempuan yang kausuka dengan uang yang kaubawa ala kadarnya meski hanya sepuluh ribu rupiah. Si manajer dengan berat hati mengabulkan permintaanmu. Semua penjaja wanita di seluruh negeri kaukenal dengan baik. Kau adalah perwakilan dari lelaki bajingan. Ulasanmu berarti mewakili seluruh ulasan lelaki hidung belang.
Yang membuatmu paling bergairah adalah percumbuan dengan remaja. Usia tujuh belas hingga dua puluh tahun. Entah kenapa, dengan mereka kau sangat bergairah. Berahimu menyala. Tak butuh waktu lama mengambil hati mereka. Asalkan ada uang—yang tentu saja kaudapatkan dari perempuan-perempuan paruh baya yang kautiduri—dan kau mengajak mereka ke mal, membelikan mereka gadget terbaru, bahkan tak jarang pula kau membelikan motor meski hanya untuk tidur semalam. Sesungguhnya kau tak terlalu butuh uang. Dalam kepalamu hanya ada bagaimana kau bisa puas setelah memuaskan. Hal yang tidak pernah kaudapatkan. Kau memang bisa ejakulasi tidur dengan para remaja itu, tetapi masih ada hasrat dan dahaga yang belum bisa kaureguk. Dan kau telah lama tahu tentang pelacuran istimewa itu. Pelacuran dengan kematian dan separuh dari kekayaan sebagai harga. Namun, kau belum ingin mati ketika itu. Setelah kau lelah dan merasa cukup bertualang, sekaligus bermaksud menuntaskan rasa penasaranmu, akhirnya kau berdiri di pintu itu. Tentu setelah rumit sekali proses mendapatkan nomor antreannya.
Jarak antara mendapatkan nomor antre hingga kedatanganmu di kediaman pelacur itu satu bulan. Setelah mendapatkan nomor itu, tiba-tiba ada saja orang yang mengajakmu duduk dan berbincang. Kau mengira mereka adalah lelaki hidung belang. Mereka menanyakan tentang pekerjaanmu, bagaimana kau mendapatkan uang, dan untuk apa kau menggunakannya. Ada beberapa bagian yang kau sangat enggan menjawabnya hingga mereka menunjukkan bahwa mereka adalah bagian dari acara pelacur, untuk meniduri perempuan paling menggairahkan sepanjang sejarah pelacuran di negeri itu. Dengan berat hati, kau membuka rahasia. Pekerjaanmu hanya meniduri perempuan dan kau menghabiskan uangmu juga untuk meniduri perempuan. Namun, dari entah berapa ratus atau berapa ribu, kau belum terpuaskan. Dan ketika salah seorang dari mereka pada seminggu sebelum kedatanganmu di rumah megah itu menanyakan berapa kemampuanmu membayar; kau tak memegang uang banyak ketika itu. Hanya lima ratus ribu di kantongmu. Kau menghitung semua kekayaan yang kaumiliki, berikut dompet, baju, jaket, topi, sepatu, kalung rantai, sabuk, dan semua yang melekat di tubuhmu, harganya tidak lebih dari lima juta rupiah. Artinya kau hanya bisa membayar separuh dari yang kaumiliki. Lelaki itu mengangguk-angguk.
Akhirnya kau benar-benar datang membawa bukti transfer sejumlah uang yang kaujanjikan. Banyak di antara temantemanmu yang sebenarnya sudah tergiur sedemikian rupa dan mendapatkan kesempatan mengantre. Namun, pelan-pelan mereka mundur teratur. Mereka khawatir dengan anak dan istri mereka. Siapa yang akan menghidupi jika mereka tak ada? Dan tentu saja uang yang telah ditransfer tidak akan pernah bisa diminta kembali. Ada salah seorang temanmu yang benar-benar nekat mendatangi perempuan itu dengan mengikuti seluruh syarat. Ia benar-benar penasaran dengan penawaran yang diberikan: kematian. Setelah kejadian ia mendatangi rumah pelacuran itu, tak pernah ada kabar lagi tentangnya. Polisi melacak keberadaannya, tetapi sia-sia. Kau sebagai sesama lelaki hidung belang tentu saja bungkam. Teman macam apa yang tega membuka aib sahabat sendiri?
Kau bebas melenggang ke mana pun kau mau. Tak ada keluarga yang kaukhawatirkan jika kau benar-benar mati setelah ini. Tak ada istri dan anak yang akan menangisi kepergianmu. Perempuan-perempuan sosialita itu tentu bisa dengan mudah mencari lelaki penggantimu karena harta kekayaan yang mereka miliki.
Pagar berderit dibuka pelan dan dengan sangat cekatan seseorang dari luar menutup matamu dengan kain. Ia berbisik pelan di telingamu agar kau tidak boleh membuka matamu selama berada di rumah ini. Bahkan kau dituntun, tidak boleh berjalan sendiri. Kau berusaha menyentuh perabotan yang ada di sana, tetapi tentu saja tidak berhasil. Mereka menghalangimu dengan segala cara agar kau tidak menyentuh atau menjejak apa pun.
Kau merasa dibawa ke kamar yang beraroma bebungaan. Setelah kau menduga sudah berada di tempat yang dituju, terdengar bunyi “klik”. Agaknya pintu dikunci dari luar. Lalu kau mendengar gemericik air.
“Kemarilah.”
Kau mendengar suara seorang perempuan.
Kau hampir saja membuka penutup matamu, kalau saja perempuan itu tidak mencegahnya.
“Membuka mata artinya kematian. Tanpa persetubuhan.” “Tetapi itu tidak tertulis di situs. Juga tidak ada persyaratan harus menutup mata selama percumbuan.”
Perempuan itu terkikik. Mengerikan sekali. Kikiknya menggema ke seluruh ruangan, menandakan kamar ini sangat luas.
“Kalau kau mau, bukalah matamu, dan kau akan mati tanpa persetubuhan denganku. Jika kau ingin mencari kenikmatan sebagaimana lelaki yang mencari kenikmatan paling nikmat dalam setiap persetubuhan, tutuplah matamu, hingga percumbuan selesai. Meski hasil akhirnya sama. Kau tetap mati. Pilihan ada di tanganmu.”
Kau tidak memiliki pilihan yang baik. Padahal kau selalu berangan-angan perempuan di depanmu, yang mungkin berada sekitar dua puluh atau tiga puluh langkah darimu, memiliki kulit bening bercahaya. Kaki dan lehernya jenjang, rambutnya tergerai lurus ketika angin mengempasnya. Kau hanya bisa berangan-angan karena kau tidak diizinkan untuk melihatnya. “Baiklah.”
Ia menyuruhmu mendekat. Hatimu bergetar dahsyat. Semacam persetubuhan pertamamu yang membuat dadamu berdebar-debar karena belum pernah melakukannya. Kau masih ingat hal itu, bahkan kejadian itu, adalah percumbuan ternikmat yang kaurasakan—yang setelahnya segala macam percumbuan terasa hambar belaka.
Ketika itu kau duduk di taman kota, sepulang sekolah, kau masih duduk di bangku SMP. Tiba-tiba seorang perempuan paruh baya duduk di sampingmu dengan wajah bersedih. Ia sesenggukan sehingga membuat hatimu iba. Kau bertanya dan ia bercerita tentang dirinya sebagai perempuan yang kesepian.
“Aku akan menemanimu, Bu,” katamu ketika itu. Kemudian kaulihat perempuan itu melengkungkan bibirnya ke atas, memberikan seulas senyum.
“Maukah kau ikut denganku?” Perempuan itu mengajakmu. Kau mengangguk tanpa ragu, demi senyum di wajah perempuan itu, yang entah kenapa membuat hatimu bergetar hebat.
Kau tak berdaya di hadapan perempuan itu. Ia menyentuh seluruh tubuhmu dengan lidahnya. Membuatmu menggelinjang tak karuan. Aroma wewangian yang tercium hidungmu membuat napasmu mendesah tak karuan. Mungkin percumbuan itu tak lama. Setelah kau mengejang dan mencengkeram bahu perempuan itu dengan kuat, kau benar-benar tergeletak tak berdaya. Setelahnya, kau ditinggal begitu saja. Setelah membersihkan diri dengan begitu cepat, perempuan itu meninggalkan beberapa lembar merah yang tak kauingat betul jumlah persisnya.
Gairah yang sama. Gelora yang sama. Perempuan termahal itu menyuruhmu berbaring. Ia melepaskan bajumu satu per satu. Lalu kau disuruhnya berdiri. Ada benda runcing yang menjalari tubuhmu. Kau menggelinjang dan membuat perempuan itu marah. Rasanya sungguh lain. Entah pisau, entah belati yang merabai tubuhmu. Tengkukmu, betismu, dan bagian-bagian yang membuatmu mengerang keenakan. Tepat di pergelangan tanganmu, perempuan itu menekan belati itu sedikit. Kau mencium aroma darah meski samar-samar, karena ruangan ini lebih didominasi melati dan mawar. Kedua tanganmu telah terluka, tetapi kau tak bisa melihatnya. Kau disuruh merebah kembali. Ada dingin yang menjalari kedua pergelangan tanganmu. Setelahnya, kau benar-benar disetubuhi seperti orang kesetanan. Semua aliran darahmu menderas. Perempuan itu menyodorkan tanganmu yang berdarah, kau disuruh mengisapnya. Asin. Amis. Namun yang kaucium tetap aroma mawar dan melati. Kau sama sekali tak merasakan kesakitan. Hanya saja tubuhmu lemas meski kau mengalami ereksi sempurna. Tepat saat kau menggelinjang memuntahkan sperma dalam rahimnya, kau merasa kematian begitu dekat. Semuanya berangsur pudar. Dan perempuan itu mencium pipimu, melumat bibirmu. Kau tak bisa lagi merasa jijik. Ada aroma nanah, dan darah membusuk di wajahnya. Kau merasakan wajahnya yang tak rata. Dan kau benar-benar tak berdaya, saat darahmu telah benar-benar habis. []