Contents
Let Up!
Di Balik Tembok Biara
NAPASKU memburu. Dengan cepat, aku mengedarkan pandangan, mencari tempat untuk bersembunyi dari kejaran mereka.
Ruangan Suster Clara! Secepat kilat aku berlari menikung ke kanan menuju ruangan di ujung lorong, dekat pintu di sayap timur Biara St. Lucas. Lorong-lorong gelap dalam biara ini sedikit menyulitkan, tetapi rasa takut telah memacu adrenalinku untuk terus berlari.
Ruangan itu tidak terkunci. Aku langsung masuk dan mengunci pintunya dari dalam. Di bawah meja kerja, aku meringkuk memeluk lutut sambil berusaha mengatur napasku yang hampir putus. Aku menajamkan telinga, mencermati keadaan. Beberapa saat aku mendengar derap langkah kaki di lorong, lalu sunyi. Apakah aku sudah selamat? Apakah mereka sudah menyerah?
Aku menunggu dengan gelisah. Suara detik jam dinding menjadi penanda keheningan yang mencekam. Malam semakin pekat. Telingaku memerangkap suara kesunyian, tetapi aku tak berani bergerak sedikit pun.
***
Papa memasukkanku ke asrama Biara St. Lucas satu minggu setelah Mama meninggal. Pekerjaan yang menuntutnya hampir selalu bepergian ke luar kota, bahkan luar negeri, membuatnya mengambil keputusan yang tidak menyenangkan ini. Aku tak punya pilihan selain menurut. Lagi pula, ini adalah pilihan yang lebih baik daripada harus tinggal bersama Bibi Jossie yang supergalak.
Biara St. Lucas terletak di atas bukit, agak terpisah dari pemukiman penduduk walaupun tidak terlalu jauh. Bangunannya yang kokoh merupakan peninggalan zaman pertengahan. Bentuknya mirip benteng, terdiri atas beberapa bangunan di dalam satu tembok tinggi melingkar. Temboktembok yang terbuat dari batu tampak kokoh walaupun usianya sudah berabad-abad. Luas total biara ini lebih dari dua hektar, begitu kata Papa. Biara ini merupakan pusat kegiatan para biarawati, tetapi juga terbuka untuk tempat tinggal anak-anak perempuan terlantar dari keluarga miskin atau bermasalah.
Para biarawati menempati sisi barat biara. Sementara asrama—tempat tinggal anak-anak perempuan yang ditampung—ada di bangunan sisi timur. Pada bagian selatan terdapat chapel, tempat setiap pagi dan petang diadakan misa terbuka untuk umum. Bagian utara biara merupakan lahan yang diolah oleh para biarawati menjadi kebun penyuplai kebutuhan sayur harian biara. Pohon-pohon besar di belakangnya tampak seperti hutan kecil, menyembunyikan tembok utara biara. Jika malam tiba, penerangan hanya akan ada di bangunan barat dan timur, sisi selatan hanya terdapat penerangan di depan chapel, sedangkan sisi utara gelap gulita.
Suatu malam setelah makan, aku pergi ke gedung barat untuk menemui Suster Adelia, sekadar berbagi cerita dengannya. Dia adalah salah satu suster yang paling kupercaya. Setelah mamaku meninggal, Suster Adelia menjadi tempatku berkeluh kesah.
Hari sudah cukup larut ketika Suster Adelia menyuruhku kembali ke asrama dan beristirahat. Hanya ada sedikit cahaya samar dari gedung barat dan asrama timur yang menerangi jalan di antaranya. Udara cukup dingin malam itu, aku menegakkan kerah jaket untuk menghindari angin dingin yang menerpa tengkukku. Sepertinya semua orang telah terlelap.
Aku bergegas menerobos pekat malam menuju cahaya asrama timur yang temaram. Tiba-tiba mataku menangkap cahaya berkelip di utara, di hutan belakang kebun. Apakah itu kunangkunang? Aku menyipitkan mata, menajamkan pandangan, berusaha melihat lebih jelas.
Karena penasaran, aku membelokkan langkah ke utara. Aku mendengar suara tawa seperti berasal dari beberapa orang perempuan dan laki-laki. Seketika bulu kudukku berdiri. Ada laki-laki di biara malam-malam begini? Mau apa mereka? Atau itu suara makhluk halus penunggu hutan?
Langkahku semakin dekat dengan hutan. Cahaya itu sekarang lebih jelas terlihat, aku yakin itu bukan kunang-kunang. Itu cahaya obor! Aku memilih bersembunyi di balik pepohonan untuk melihat apa yang terjadi.
Dalam penerangan yang minim, aku merasa melihat Rossie dan Liz—teman asramaku—bersama beberapa pemuda sedang berpesta.
Di bawah obor yang menyala, aku melihat seorang pemuda jangkung, memegang botol—yang kupikir adalah minuman keras—merangkul dan mencium leher Rossie. Rossie tertawa geli karena aksinya itu.
Tak jauh dari mereka ada beberapa pasang lelaki dan perempuan yang juga sedang berciuman dengan penuh gairah. Liz adalah salah satu dari mereka, tapi aku tak mengenali yang lain.
Rossie sekarang membalikkan badannya menghadap pemuda itu. Tanpa canggung ia melumat bibir pasangannya. Pemuda itu membuang botol di tangannya, kemudian menyibak rok Rossie dan mulai meraba-raba, tampak penuh nafsu. Pemuda itu menjilat telinga Rossie, lalu turun ke leher dan dadanya.
Ada desiran halus yang mendadak merayapi tubuhku. Sensasi aneh yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Aku merasa ada bagian-bagian tubuhku yang menghangat. Aku terpaku menyaksikan kegilaan mereka.
Tepat ketika Rossie telah menanggalkan seluruh pakaiannya, sebuah tangan mencengkeram bahuku.
“Siapa kau?” Suara bariton yang terdengar tepat di telingaku, kontan membuatku menjerit kaget. Namun, dengan cepat pemilik tangan kekar itu membungkam mulutku.
Jeritanku membuyarkan kegiatan orang-orang yang kuintai. Mereka terlihat sangat marah dan panik. Menyadari situasi yang tidak menguntungkan, aku menggigit tangan laki-laki itu sehingga sekapannya terlepas dan aku berlari sekencangkencangnya menuju asrama timur.
“Kejar dia, jangan sampai lolos!” Aku masih bisa mendengar perintah laki-laki yang marah itu kepada teman-temannya.
Jarak dari kebun ke asrama timur sudah dekat tetapi rasanya jauh sekali. Ketika aku sampai di pintu masuk asrama, tiga orang laki-laki yang mengejarku sudah hampir menyusulku. Kepanikan memaksaku kembali berlari menyusuri lorong-lorong asrama yang telah dimatikan lampunya. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku agar segera beradaptasi dengan kegelapan yang hampir pekat kalau saja tidak ada cahaya yang menyeruak masuk dari lubang-lubang ventilasi.
Aku tak mungkin berlari ke kamar. Mereka mungkin sudah menduganya dan dapat menangkapku di sana. Aku memutuskan menuju ruang makan. Di ujung ruangan itu ada pintu ke ruang pakaian. Aku berencana bersembunyi di sana.
Sial! Pintu ruang pakaian terkunci! Aku tersengal-sengal, desakan udara dalam paru-paruku terasa hampir meledak.
Langkah kaki para pengejarku bergema di lorong—sepertinya mereka tidak berlari, mungkin tidak mau menimbulkan keributan atau berusaha mencari dengan hati-hati dalam gelap. Aku harus berputar lewat ruang cuci untuk menghindari mereka.
*** Teng! Teng! Teng!
Lonceng chapel berbunyi lima kali. Aku tersentak bangun. Rupanya aku tertidur di bawah meja kerja Suster Clara semalam.
Aku merasa sedikit ragu untuk keluar dari ruangan ini. Namun, jika aku tidak segera keluar dan menghadiri misa pagi, maka aku akan dapat masalah.
Kubuka pintu perlahan, udara pagi yang segar menyeruak masuk ke dalam paru-paruku yang semalam hampir meledak. Sepertinya sudah aman. Aku bergegas ke kamarku dan mengganti pakaian dengan seragam yang kugantung di balik pintu. Setelah membasuh wajah dan menggosok gigi, aku segera berlari kecil menuju chapel.
Untunglah aku masih melihat beberapa anak perempuan berbaris masuk ke dalam chapel. Aku tidak terlalu terlambat.
Aku duduk di bangku paling belakang. Tiba-tiba Rossie dan Liz pindah duduk mengapitku. Liz menggenggam tanganku sedemikian erat sehingga jari-jariku seperti mati rasa.
Rossie menyodorkan secarik kertas yang berisi ancaman akan membunuhku jika aku melaporkan kejadian semalam.
“Kami akan mengawasimu, Brenda,” bisik Rossie sebelum kami meninggalkan chapel setelah misa selesai.
***
Rossie dan Liz tidak main-main. Mereka mengawasi setiap gerakanku. Siang hari sepulang sekolah mereka menguntitku kemana pun aku pergi. Kami belajar di sekolah umum di luar biara, pergi dan pulang memakai bus biara yang dikemudikan Suster Matilde.
Sudah sebulan aku menjadi seperti tawanan mereka, bahkan di sekolah, aku tak bebas melakukan apa pun. Mereka dan pacarnya—yang kulihat di hutan—mengawasiku dengan pandangan yang mengintimidasi.
Para pemuda itu ternyata satu sekolah dengan kami, satu tahun lebih tua. Bukan kali itu saja mereka berpesta di hutan biara. Letaknya yang jauh dari permukiman dan asrama biarawati, membuat mereka bebas melakukan apa pun.
Hingga pagi itu, aku tak melihat Rossie di chapel. Wajah Liz tegang dan tidak lagi mengawasiku. Ada apa dengan Rossie? Apakah dia sakit?
Malam harinya, Suster Clara—penanggung jawab asrama— memintaku mengantarkan makanan ke kamar Rossie. Liz buruburu mengambil baki makanan yang kupegang, tetapi Suster Clara menyuruhnya menikmati makan malam setelah seharian mengurus Rossie. Wajah Liz terlihat tidak senang.
Aku tidak mengacuhkan tatapan Liz yang mengancam dan bergegas menuju kamar Rossie. Bagaimanapun aku juga ingin tahu keadaan Rossie.
Rossie terlihat pucat dan lemah. Ia terbaring di tempat tidur, sementara di bawah tempat tidurnya terdapat baskom kecil. Baunya minta ampun. Apakah ia muntah di situ?
“Apakah kau baik-baik saja?” tanyaku enggan. Setelah teror yang mereka lakukan, aku sedikit merasa senang melihat kondisinya yang menyedihkan ini.
Dia hanya diam tak menghiraukanku.
“Makanlah. Suster Clara menyuruhku membawakan makan malam untukmu.”
Ketika kubuka tudung makanan itu, Rossie tiba-tiba mencondongkan tubuhnya ke samping tempat tidur dan memuntahkan cairan bening ke baskom di bawahnya.
Aku menahan rasa mual melihatnya, tetapi aku menjadi iba. Aku duduk di sebelahnya dan mengelap keringat dingin yang bercucuran di wajahnya.
“Minumlah teh hangat ini.” Aku menyuguhkan cangkir yang menguarkan aroma teh chamomile yang menenangkan di depan hidungnya. Ia menyesapnya pelan. Ia tampak lebih nyaman sesudahnya.
“Mau kusuapi?” tanyaku lagi. Ia menatap mataku dalam. Tidak ada sorot mengintimidasi darinya kali ini. Ia lalu mengangguk pelan.
Aku menyuapkan beberapa sendok sup krim ayam dan potongan crouton. Ia makan dengan sangat lambat, mungkin menahan rasa mual. Setelah beberapa suap, ia berhenti.
“Apa kau baik-baik saja?” tanyaku untuk kedua kali. Matanya terlihat berkaca-kaca.
“Aku hamil, Brenda. Dan Larry sialan itu mencampakkanku.” Buliran bening itu luruh membasahi wajahnya yang lesi. “Kau puas sekarang?” Matanya menerawang jauh.
“Kita harus melaporkannya kepada Suster Clara,” kataku setelah berhasil mengumpulkan kesadaran yang pecah akibat hantaman ucapan Rossie.
“Apa kau gila?” Rossie tiba-tiba histeris. “Ia akan menendangku dari sini. Lalu aku akan tinggal di mana? Orang tuaku tak peduli padaku.” Tangannya mencengkeram dan mengguncangkan lenganku. Sekarang tangisnya pecah tak terkendali.
Aku mendekapnya erat. Dapat kurasakan kesepian dan kekecewaan yang memorak-porandakan keangkuhannya.
Masih teringat jelas liukan tubuhnya yang menggelayut manja dalam dekapan pemuda jangkung itu. Rabaan tangannya pada bagian tubuh paling sensitif kekasihnya dan ketika kulit mereka menyatu dalam gairah liar, bahkan sanggup membangkitkan desiran halus di pangkal pahaku jika aku mengingatnya. Bibirnya yang agresif menyesap, mengecup, telah melecut berahi, bukan saja pada kekasihnya, tetapi juga kepadaku yang melihatnya, malam itu.
“Kita harus melaporkannya, Rossie. Kau butuh perawatan. Kasihan bayimu.”
Belum lagi Rossie mengiyakan, Liz masuk kamar tanpa mengetuk. Ia mendorongku menjauh dari Rossie.
“Jangan coba-coba memberi tahu siapa pun masalah ini. Kami akan mencari jalan keluar sendiri,” katanya dengan nada mengancam.
“Maksudmu? Apa kau akan menggugurkan anak itu? Jangan gila!” pekikku tak senang.
“Aku tak punya pilihan lain, Brenda. Aku masih 17 tahun. Apa yang harus kulakukan dengan seorang bayi?” Rossie membela diri.
“Tapi …, itu adalah pembunuhan! Bayi itu berhak hidup!” Liz meninjuku tepat di ulu hati. Aku terhuyung kesakitan.
“Hei! Kenapa kau meninjuku?”
Aku menerjang Liz hingga ia membentur sisi tempat tidur dan terjungkal. Ketika ia bangkit dan akan kembali meninjuku, Rossie lagi-lagi memuntahkan isi perutnya ke baskom. Aku dan Liz sontak menghentikan perkelahian kami dan menolong Rossie.
“Aku akan tetap memberi tahu Suster Clara. Kau perlu pertolongan, Rossie. Dan kau, Liz, aku akan berurusan denganmu nanti. Rossie tidak boleh dibiarkan begini. Suster Clara pasti dapat membuat keputusan yang bijaksana untuk hal ini,” ujarku sambil menunjuk wajah Liz.
***
Berita kehamilan Rossie menggemparkan biara. Suster Clara dipanggil menghadap Suster Bernadette—kepala Biara St. Lucas. Beberapa perwakilan dari keuskupan segera datang untuk melakukan investigasi. Selama beberapa hari biara tertutup untuk umum.
Liz dan Rossie menceritakan semua pesta yang mereka adakan di dalam hutan bersama pemuda-pemudi dari permukiman dekat biara. Larry dicari untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Namun, ia menghilang.
Suster Bernadette memutuskan Rossie harus mempertahankan bayinya dan melanjutkan pendidikan setelah melahirkan. Ia boleh tetap tinggal di asrama dengan anaknya, tetapi ia juga harus bekerja di biara.
Liz diizinkan tetap tinggal di asrama, tetapi ia menjalani hukuman membersihkan biara dan bekerja di kebun selama 6 bulan sebagai hukuman. Aku sering membantunya setelah pulang sekolah. Kini kami berteman baik, walaupun terkadang aku masih ingin meninju perutnya.
Suster Bernadette memerintahkan untuk memasang beberapa lampu penerangan di hutan dan kebun, serta memugar tembok utara yang rupanya memiliki celah sehingga pemuda-pemudi itu bebas keluar masuk walaupun pintu gerbang biara telah ditutup.
Aku berharap kejadian yang menimpa Rossie tidak terulang lagi pada siapa pun di asrama ini, walaupun peristiwa itu telah membangkitkan sesuatu dalam diriku yang kadang bergejolak di dalam dada dan di balik rokku. []