Contents
Let Up!
Anteseden Telaga Dahaga
KABUT makin menebal, embusan angin dingin mulai terasa. Dari sudut mataku, kulihat lelaki itu melangkah pelan ke tepian telaga. Terdengar gumaman yang sayup. “Lotta … Lotta ….”
Semula wajahnya tampak murung, lalu berubah semringah tatkala permukaan telaga beriak. Pandangannya seperti mencaricari. Desir angin terasa makin kencang ketika sosokku muncul. Meski khawatir mengejutkannya, kepala, tubuh, dan kakiku perlahan menampakkan diri.
Adam terpaku. Tangannya menutup mulut beberapa saat sebelum menatapku lekat. Tubuhnya tampak menunjukkan kegelisahan dan kesenangan tak terkira, tak pandai ia menyembunyikan rasa.
“Lotta … kaukah itu? Oh … cantiknya …. Rupamu elok, tubuhmu indah. Sungguh aku buta menilaimu buruk. Berbulanbulan sudah aku mencarimu ke mana-mana, Cintaku.”
Aku terkesiap mendengar ucapan Adam. Ketampanannya tak berkurang meski wajahnya sedikit lelah seperti tak tidur bermalam-malam.
Aku masih terpana ketika ia terus saja melangkah, tanpa memedulikan ketinggian air yang makin menenggelamkannya.
Matanya tak lepas menatapku, langkahnya besar-besar membuat air bergelombang lebih keras menunjukkan ketergesaannya untuk berada di hadapanku.
***
Langkahku terhenti seketika karena rambutku ditarik ke belakang.
“Perempuan jelek! Tak pantas kamu sekolah di sini!”
Suara Coralia, gadis populer satu sekolahku bergema ke seluruh area koridor. Diikuti cekikikan para pengikutnya yang berpenampilan seragam. Rambut diikat berantakan, riasan smoky eyes dan pemulas bibir merah menyala, serta pakaian separuh terbuka andalan mereka untuk memikat para lelaki tua dan muda.
Kondisi yang berkebalikan dengan diriku. Pakaianku satu ukuran lebih besar dari tubuhku, rambutku tak bisa diikat rapi karena bergelombang tak beraturan. Wajahku polos tanpa riasan.
“Dasar anak penyihir, makanya enggak punya Papa. Mamamu itu kawin dengan makhluk aneh, makanya wajahmu tak seperti manusia. Terkutuklah kau, Lotta!”
Cercaan itu terlontar berbarengan dengan entakan tangan mereka mendorongku sampai tersungkur di lantai.
Tak pernah bisa aku mengerti, mengapa wajahku yang masih berbentuk manusia lalu beribukan seorang peramu obat dari tanaman telah memberiku label anak penyihir. Tak ada yang membela seperti juga tak ada yang membantuku selama bertahun-tahun. Setiap kali aku mengadu kepada Mama, ia hanya memandangku iba.
“Nanti tiba saatnya dirimu akan menjadi yang terindah di seluruh bumi dan dipuja seluruh lelaki. Bersabarlah, Nak! Bila kamu terlalu lelah dan tak ada tempat mengadu, pergilah ke telaga itu. Curahan batinmu akan ada yang mendengarkan.”
Ketika kutatap Mama hendak bertanya lebih lanjut, ia hanya berucap, “Percayalah, Nak!” Sejak saat itu, setiap aku diperlakukan semena-mena, berlarilah aku ke Telaga Dahaga.
Atmosfer di sana demikian mengagumkan. Seperti berada pada dunia yang berbeda, kabut tampak menyelubungi permukaan air meski matahari bersinar. Air telaga begitu jernih dengan gradasi warna hijau cerah hingga gelap nun jauh di sana.
Rerimbunan pepohonan yang mengelilingi begitu indah dan asri, ditingkahi burung yang berlompatan di ranting pepohonan serta sahutan para serangga. Tak ada kesan menakutkan meski keheningannya membuatmu bisa mendengar degup jantungmu sendiri.
Terkadang aku melihat air beriak dan mendengar kecipak seolah-olah ada yang sedang bermain-main di telaga. Namun, tak tampak seorang atau semakhluk pun yang memunculkan diri. Lain waktu, ketika aku menangis tersedu-sedu, terasa ada yang membelai rambutku seakan-akan hendak menghibur. Sedemikian meyakinkannya hingga membuatku tak lama terdiam. Bukan karena ketakutan, melainkan ketenangan dan kenyamanan yang tak bisa digambarkan.
Hingga suatu hari, perasaan sakit hatiku memuncak. Mungkin itu juga salahku, mengapa demikian nekad pagi itu menyatakan cinta kepada Adam.
Mendengar kata-kataku, Adam menuding dan meludahiku.
“Kamu menjijikkan, Lotta. Becerminlah setiap kali ingin menemuiku. Lihat, apakah kau pantas? Kamu bukan manusia! Tak ada manusia yang memiliki rupa seburuk itu. Kalau kamu mengubah wujudmu menjadi makhluk cantik, mungkin aku bakal tertarik.”
Tubuhku mulai terasa panas, wajah memerah menahan amarah karena ditolak. Berlarilah aku secepatnya meninggalkan sekolah dengan air mata membasahi seluruh wajah.
Penolakan dan hinaan Adam membuatku terpuruk sedemikian dalam. Kata-katanya memojokkanku untuk berbuat di luar nalar, ingin menenggelamkan diri ke kedalaman telaga desa kami. Bukan didasari keinginan untuk mengakhiri hidup, akan tetapi hendak membuktikan kata-kata Mama mencurahkan sakit hatiku kepada Telaga Dahaga.
Dengan langkah terhuyung-huyung, tibalah aku di tepian telaga. Sebuah telaga yang indah bagiku, tetapi hampir tak seorang pun sudi mendatangi karena menganggapnya angker. Bahkan dahulu, menurut cerita para orang tua, pemburu yang mandi atau melepas haus di sini tidak kembali lagi.
Seperti suasana hatiku yang kalut, siang itu Telaga Dahaga diselimuti kabut. Lebih tebal daripada biasanya. Perlahan-lahan aku mulai berjalan memasuki air. Air mataku terus luruh seiring langkahku ke dalam air yang kian bertambah ketinggiannya. Anehnya, suhu permukaan air itu tak membekukan seperti dugaanku. Mula-mula sejuk, menghangat, lalu kembali sejuk. Membelai setiap pori-pori, memadamkan api dalam hatiku.
Permintaan yang terucap di batin tak lain adalah kata-kata Adam kepadaku tadi. “Jadikan aku makhluk yang cantik agar ia bertekuk lutut di hadapanku.” Begitu berulang-ulang hingga kucapai permukaannya yang bening setara dengan daguku.
Tiba-tiba diriku tak kuasa menahan kantuk. Mataku sedemikian berat, tetapi tubuhku terasa ringan seperti melayang di kedalaman telaga dengan keindahan pemandangannya. Jiwaku berkelana melintasi waktu dan dunia, fisikku bersalin rupa. Kusentuh rambutku yang perlahan memanjang hingga sepinggang, tubuhku kian meramping, buah dadaku terasa membesar dan kakiku sedemikian jenjang. Kuraba pipiku yang halus, hidungku memancung, alisku menebal, bulu mata lentik yang bisa kusentuh helai demi helainya, serta bibir kecil dan penuh.
Sungguh aku mengharapkan ada cermin seperti di kamar Mama, yang bisa kutatap untuk membuktikan perubahan demi perubahan ketika seluruh tubuhku memasrahkan diri kepada telaga, curahan hatiku selama ini. Kemukjizatan Telaga Dahaga telah mewujudkan harapan Adam untuk melihatku dalam penampakan berbeda.
Sejak itu aku memanggil-manggil nama Adam.
***
Ketika jari-jemari Adam—lelaki paling rupawan seantero desa—menelusuri permukaan kulit mulai pelipis hingga leher, jantungku mulai berdegup sedemikian kencangnya.
“Kamu cantik, Lotta!”
Leherku menggeleng tanpa kusadari menolak pernyataan itu. Namun, seketika tangannya memegangi wajahku, memaksa menatap mata biru jernihnya yang serupa langit di hari yang cerah.
Aku membalas tatapan tajamnya tanpa berkedip tatkala wajah Adam kini sudah tak berjarak lagi.
Embusan napasnya terdengar memburu seperti menahan gejolak rasa sekian purnama.
Mataku mulai terpejam ketika bibirnya menyapu merasai setiap inci bibirku. Perlahan-lahan bibirku memuaskan dahaga Adam sebelum akhirnya lidahnya berhasil mendesak bibir bawahku, membelit bagai ular sampai aku mengerang tanpa rasa sakit di bagian tubuh.
Pertukaran rasa kami meski baru di bibir saja, telah membangkitkan keinginan menyatukan hasrat naik ke tingkat lebih tinggi.
Tubuhku mulai menggeletar hebat ketika sebelah tangannya mulai merabai setiap jengkal pori-pori kulitku tanpa terkecuali. Tanganku tergerak membalasnya. Menelusup lewat bagian bawah kaus lalu mulai merabai punggung berototnya yang begitu kusukai.
Suara geraman keluar dari bibir Adam bersamaan dengan gerak tanganku melucuti satu per satu pakaiannya. Melepaskan semua yang melekat di tubuh lelaki yang sosoknya telah terkurung dalam benakku. Melemparkan ke sembarang arah dan membiarkan busana itu mengambang.
Kini aku dan lelaki itu demikian polos seperti ketika kami dilahirkan. Setelahnya adalah tawa, ungkapan cinta, kekaguman, dan pemuasan kebutuhan yang selama ini kami simpan sendiri saja.
Riak air telaga sedemikian besarnya, kejernihannya kini tak kentara lagi dengan penyatuan tubuh kami. Suhunya pun tak lagi sejuk melainkan menghangat seperti gejolak berahi kami menuntaskan semua hasrat yang sekian lama tertunda.
Bertepatan sempurnanya kekekalan raga kami, kabut tebal memudar lalu gelombang besar menyapu ke tepian. Tubuh Adam tak lagi terikut. Ia telah lebur bersamaku dalam kehidupan tanpa ruang dan waktu.
Kini setiap bulan purnama tiba, kebahagiaanku menggelora. Berbondong-bondong lelaki muda datang bertandang, bermain, dan bersenang-senang di Telaga Dahaga. Seperti cahaya merayu laron, satu per satu mereka terbujuk olehku, terpikat kecantikan dan elok lekuk tubuhku. Aku tinggal memilih satu yang kusuka sebelum bulan bulat berlayar menuju langit barat. Tak satu pun dari mereka merasa terdesak. Mereka sudi melanggengkan raga memasrahkan sukma bersamaku. Purnama demi purnama. []