Contents
My Marriage Contract Partner
BAB 6. Sebuah Ikatan
Untaian benang-benang ini kini telah terjerat dijemari kita
Entah sampai kapan simpul ini akan mengikatnya
Di salah satu kamar di kediaman keluarga Nirubi, Andin menunggu prosesi ijab qabul selesai dilakukan. Sofia dengan setia menemani adiknya itu.
Awalnya Andin mengira dia akan tenang, karena dia tahu ini semua hanya sebuah pernikahan kontrak. Tapi entah mengapa saat melihat Ayah, seketika perasaan cemas timbul pada dirinya. Ada rasa bersalah pada Ayahnya karena dia berbohong tentang pernikahan kontrak ini. Andin paham walaupun ini adalah sebuah perjodohan tapi Ayahnya sangat ingin dia bahagia dalam pernikahan ini.
Setelah menunggu sekitar 30 menit, prosesi ijab qabul pun selesai dilakukan. Kemudian Sofia membawa Andin keluar dari kamar menuju ke tempat acara yang tempatnya ada di halaman belakang rumah keluarga Nirubi. Sesuai dengan permintaan Andin, pernikahan ini dilakukan secara tertutup. Hanya keluarga inti dari Aldebaran dan Andin saja yang hadir di acara ini, yang jumlahnya tidak lebih dari dua puluh orang.
Gunawan menghampiri Andin yang sekarang sedang berdiri di depan pintu yang memisahkan bagian rumah keluarga Nirubi dengan halaman belakang. Senyumnya mengembang saat dia berjalan menghampiri anak gadisnya itu. Gunawan mengambil posisi di sebelah Andin, memberikan ruang di lengannya sehingga Andin bisa menggandengnya disana.
Andin menatap dalam kedua mata Ayahnya. Seketika air mata turun membasahi pipinya, "Yah.... Ayah telah mengajariku cara berjalan sambil memegang jari-jariku, membantuku melewati sebuah gerbang tinggi saat itu. Aku adalah putri Ayah, aku adalah bagian dari hati Ayah, tolong sekali lagi bantu aku melewati gerbang tinggi ini."
Gunawan mengusap air mata putrinya, "Tangan Ayah akan selalu menuntunmu sayang... Jadi, jangan berbalik dan melihat kebelakang lagi." ucap Gunawan dengan mata berkaca-kaca.
Andin menggenggam erat lengan Ayahnya dan kemudian mulai berjalan menuju ke tempat acara.
Pintu menuju halaman belakang pun dibuka, Andin dan Gunawan berjalan menuju ke pelaminan dengan diiringi alunan musik dari orchestra. Di pelaminan yang ada didepan sana sudah ada Aldebaran yang berdiri dan bersiap menyambut Andin.
Sesampainya dipelaminan, Gunawan menggenggam tangan Andin lalu menangkupkan tangan itu pada genggaman tangan Aldebaran. "Hari ini Ayah telah menyerahkan putri Ayah kepadamu, tolong jaga dia, sayangi dia, hujani dia dengan cinta dan kasih sayang. Jangan sesekali mencoba untuk menyakitinya, atau kamu akan berhadapan dengan Ayah." kata Gunawan dengan tatapan mata dalam. Matanya juga berkaca-kaca.
Aldebaran tidak tahu harus menjawab apa, terlihat jelas sorot pengharapan di mata Gunawan. "Pasti, Ayah tidak perlu khawatir tentang hal itu." jawab Aldebaran dengan serius. Ya, meski ini hanya sebuah pernikahan kontrak, tapi bagaimanapun Andin akan menjadi istrinya. Jadi, selama kontrak berlangsung Andin akan menjadi tanggung jawabnya.
Mendengar jawaban dari Aldebaran, Gunawan menghela nafas lega.
Kemudian rangkaian acara pun dilanjutkan kembali dengan acara pemasangan cincin. Aldebaran dan Andin saling memasangkan cincin di jari manis satu sama lain. Dilanjutkan dengan acara sesi foto bersama. Beberapa anggota keluarga pun berfoto bersama Andin dan Aldebaran.
Setelah sesi foto bersama dilakukan, tiba saatnya mereka melakukan sesi foto berdua. Fotografer mengarahkan gaya mereka berdua agar terlihat lebih romantis dan mesra. Disini Aldebaran dan Andin terlihat sangat canggung satu sama lain.
"Bisa lebih mendekat lagi pak." ucap sang fotografer.
Kemudian Aldebaran menggeser sedikit posiisnya lebih mendekat pada Andin. Keduanya terlihat sangat kaku.
"Okeh... Fokus kamera, Satu... Dua..." kata fotografer itu.
'Cekrek'
Fotografer memotret mereka berdua. Fotografet memeriksa sebentar hasil foto-fotonya. Ada beberapa pose yang belum dilakukan dan itu tersa agak kurang. "Sekarang pose yang lebih mesra ya…. Pak Al bisa mencium bu Andin." ucap Fotografer.
Sontak mata Aldebaran dan Andin membulat saat mendengar apa yang disuruh oleh fotogarfer. Perasaan gugup dan canggung pun semakin meneyelimuti keduanya.
"Saya rasa foto-foto tadi sudah cukup." kata Aldebaran.
Mendengar jawaban anaknya, Fandita yang sedari tadi memperhatikan pun ikut berkomentar. "Aldebaran… This is your wedding day! Make today memorable for you, ini sekali seumur hidup. Ayolah... Andin kan sudah jadi istri kamu."
Kalau mamanya sudah menyuruhnya, Aldebaran tidak bisa membantah lagi. Aldebaran menengok pada Andin, "Hmm... gimana… boleh saya.... " tanya Aldebaran ragu.
Andin mengangguk pelan. Sejujurnya Andin juga tidak mau melakukan itu, berciuman. Tapi Andin tidak punya pilihan lain. Andin tidak ingin semua curiga dengan pernikahan kontraknya dengan Aldebaran. Setidaknya dengan melakukannya, pernikahan ini akan terlihat seperti pernikahan ‘normal’ pada umumnya.
Kemudian Aldebaran berjalan mendekat pada Andin, dengan perasaan canggung, perlahan ia mulai menangakupkan kedua tangannya pada wajah Andin. Sebuah kecupan pun mendarat di kening Andin. Entah kenapa refleks mata Andin menutup, tubuhnya seakan memberikan sinyal bahwa ciuman itu membuatnya ‘nyaman’. Kedua tangannya mencengkram kerah jas Aldebaran. Seketika Andin mengkaku, seperti ada sengatan ditubuhnya. Jantungnya berdegub cukup kencang. Padahal sebelumnya Andin sudah menyiapkan dirinya untuk hal ini, tapi tetap saja dirinya merasa sangat canggung..
Aldebaran sudah selesai menciumnya dan fotografer juga sudah selesai mengambil gambar, tapi Andin masih menutup kedua matanya.
"Ehem.” Aldebaran pura-pura batuk, “Sudah selesai.” kata Aldebaran dengan suara pelan, hampir berbisik.
Mendengar itu, Andin pun langsung membuka matanya. Perasaan gugup dan canggung jelas terlihat di wajahnya.
"Andin... Lu harus tenang. Andin nggak boleh baper, ingat Daegal... Your future husband." gumam Andin dalam hati sambil mengatur nafasnya.
-----
Rangkaian acara pun telah usai dan beberapa tamu undangan juga sudah ada yang pulang. Begitupun dengan Gunawan dan Sofia, mereka berdua juga sudah pulang.
Andin masih duduk disalah satu meja sambil menyantap makanannya. Aldebaran yang melihatnya kemudian berjalan menghampiri Andin.
Andin sedikit terkejut karena tiba-tiba ada seseorang yang duduk disampingnya. Andin menghentikan makannya, lalu dia menoleh ke arah samping kanannya. Ternyata orang yang duduk disampingnya adalah Aldebaran. Aldebaran datang sambil membawa piring yang berisi dimsum.
"Kakek menyuruh kita tinggal disini dulu selama beberapa hari. Nggak masalah kan?" tanya Aldebaran tanpa basa-basi.
Andin sedikit terkejut,"Oh…. Ng… nggak masalah kok." jawab Andin sambil mengangguk. Andin juga sudah mengira kalau hal itu akan terjadi, pihak keluarga suami akan meminta menantunya untuk menginap selama beberapa hari. Jadi untuk hal ini tentunya Andin sudah menyiapkan diri.
Tidak lama kemudian Fandita datang menghampiri mereka berdua.
"Andin... koper kamu sudah dibawa Ani ke kamar Aldebaran yaa... . Setelah ini kalian berdua istirahat, pasti kalian capek kan." ucap Fandita.
Andin mengulas senyumnya, "Iya Ma, terima kasih."
"Okeh yaudah. Kalian habisin dulu makanan kalian. Mama mau masuk, badan mama agak pegel."
Mendengar itu, Aldebaran pun menjadi khawatir. "Mama mau aku panggilin tukang pijet? Atau mungkin mama harus ke dokter?" Aldebaran memang seperti itu, perhatiannya pada sang mama memang tidak perlu diragukan lagi.
Fandita tersenyum. Dia mengusap bahu Aldebaran, "Nggak usah, mama cuma butuh istirahat aja ini. Setelah tidur nanti juga ilang pegelnya. Yaudah yaa... Mama masuk dulu."
"Iya ma…." jawab Andin dan Aldebaran bersamaan .
Kemudian Fandita beranjak pergi meninggalkan Andin dan Aldebaran.
----
Sesampainya di kamar, Andin mengambil kopernya. Koper itu berada di atas ottoman ( bangku ) yang letaknya ada di ujung tempat tidur. Andin membuka resleting kopernya dengan pelan untuk mengambil baju tidurnya. Sesekali dia melirik Aldebaran dari ekor matanya.
"Silahkan pakai kamar mandinya dulu. Saya pakainya nanti saja." kata Aldebaran yang saat ini sedang duduk bersandar disandaran tempat tidur sambil tetap fokus memandangi ponselnya.
Andin sedikit terkejut karena tiba-tiba Aldebaran bersuara, Mungkin itu karena Aldebaran menyadari kalau sejak tadi Andin memperhatikannya. "Oh, I… iya." jawab Andin sedikit gugup.
Andin mengambil baju tidurnya dari dalam koper, lalu ia berjalan menuju walk in closet untuk melepas gaunnya. Sekitar 30 menit Andin sudah berada disana. Ia sangat kesulitan untuk membuka resleting atau pengait gaun yang ada disana. Entah karena letaknya dipunggung atau apa, itu sulit sekali untuk dilepas. Andin sudah berusaha dan hampir menyerah sekarang, tangannya sudah mulai pegal.
Andin mendengus kesal. "Astaga.... Ini kenapa susah banget sih! Kaka Sofi... gue pingin lu disini… mana tangan gue udah pegel banget lagi. Haduh... ini kenapa susah banget ya. Perasaan kemarin pas nyoba nggak sesusah ini deh bukanya." gumam Andin.
"Masa gue minta tolong...." Terbesit keinginannya untuk meminta tolong Aldebran. Cepat-cepat Andin menghilangkan pikiran itu dari kepalanya. Andin menggelang cepat, "Enggak, enggak, nggak mungkin gue minta tolong ke dia. Ayoo... Andin jangan menyerah..." katanya sambil berusaha melepas pengait gaun di punggungnya.
"Arggh!" Andin refleks berteriak karena kesal. Teriakan itu cukup keras. Sedetik kemudian dia tersadar dan cepat-cepat menutup mulutnya, "Dodol banget sih Ndin, kalo pak Al denger gimana?" ucapnya sambil mengutuk dirinya sendiri.
Aldebaran terkeut karena tiba-tiba mendengar teriakan Andin dari dalam kamar mandi. Fokusnya dari ponsel pun berpindah, ia sekarang melihat ke arah walk in closet yang posisinya berada di belakang tempat tidurnya. Kamar mandinya memang letaknya ada di dalam walk in closet. "Tu anak kenapa ya? kok teriak-teriak." ucap Aldebaran sambil bangun dari tempat tidurnya.
Baru saja mengangkat tubuhnya untuk berdiri, tapi Aldebaran mengurungkan niatnya itu. "Eh ngapain gue nyamperin dia ya?" ucap Aldebaran sambil berfikir lagi.
Kemudian Aldebaran kembali duduk di tempat tidurnya. Menyandarkan punggungnya pada sandaran tempat tidur. Aldebaran mengambil posisi sambil membujurkan kakinya dan mulai kembali fokus dengan ponselnya.
Sesaat kemudian Aldebaran merasa ada seseorang yang memanggilnya dari arah belakang.
"Psstt... Sstt... Pak Al…. "
Aldebaran mencari sumber suara itu. Ia menoleh ke arah belakang samping kirinya. Aldebaran sedikit terkejut karena ia melihat Andin yang sedang berdiri dengan memasang senyum lebar. Andin juga masih memakai gaunnya.
"Kenapa?" tanya Aldebaran bingung.
"Hehe…. Ini... tadi saya kan mau mengganti baju saya, tapi.... " Andin ragu untuk melanjutkan kata-katanya.
"Tapi apa?" tanya Aldebaran.
"Haduh... gimana nih ya gue ngomongnya…." gumam Andin dalam hati. Andin bingung harus berbicara seperti apa.
"Andin.... " panggil Aldebaran.
Andin langsung menoleh pada Aldebaran. "hum…??"
"Ada apa?" tanya Aldebaran lagi.
"Ini... saya tadi kan mau ganti baju, tapi.... Ini pengait gaunnya susah banget dibukanya. Udah dari tadi saya coba buka tapi nggak bisa, sampek tangan saya pegel...." kata Andin sambil cemberut.
Aldebaran yang mendengar itu justru terkekeh.
"Yee dia tambah ngetawain lagi." gumam Andin setelah melihat respon dari Aldebaran.
"Jadi tadi itu teriak-teriak karena ini?" tanya Aldebaran.
"I... Iya... saya kesel aja, ini kenapa susah banget lepasnya. Padahal pas nyoba kemarin nggak susah-susah banget lepasinnya." jawab Andin dengan kesal.
"Aku minta tolong bukain mama ya." lanjut Andin sambil mengangkat gaunnya dan bersiap untuk melangkahkan kakinya untuk keluar dari kamarnya.
"Eh jangan!" Cegah Aldebaran.
Andin pun menghentikan langkahnya "Lah terus gimana?" tanyanya pada Aldebaran.
"Biar saya saja yang bantu."
Mendengar kata-kata itu, sontak Andin pun langsung menatap tajam ke arah Aldebaran, "hah?" Kepala Andin langsung dipenuhi dengan pikiran yang aneh-aneh.
Melihat respon Andin yang terkejut seperti itu, Aldebaran tidak ingin Andin salah tangkap dengan maksudnya. "Maksud saya… saya hanya bantu melepaskan kait itu, tidak lebih. Jadi jangan khawatir."
Andin merasa sudah tidak ada pilihan lagi sekarang, mau tidak mau dia harus menerima bantuan dari Aldebaran atau sepanjang malam dia akan tidur dengan memakai gaun yang berat itu.
"Hmm...ya...yaudah. Sa... saya minta tolong kalau gitu." kata Andin dengan gugup.
Lalu perlahan Aldebaran berjalan menghampiri Andin. Melihat Aldebaran yang berjalan mendekat ke arahnya, seketika perasaan gugup pun langsung menyelimuti Andin. Aldebaran mendekat dengan tatapan yang tidak biasa. Aldebaran sangat dekat Andin sekarang, entah mengapa Andin mulai takut. Andin memejamkan kedua matanya. Lagi-lagi aroma wangi parfum Aldebaran mengusik Andin. Parfum musk yang bercampur dengan wangi maskulin Aldebaran masih teringat jelas dikepalanya. Dan sekali lagi dia bisa mencium wangi itu sedekat ini.
Alih-alih melepaskan kait gaun Andin dari arah belakang, justru Aldebaran melakukannya dari arah depan. Perlahan Aldebaran menyisipkan tangannya ke punggung Andin, mencari pengait itu di belakang sana. Posisi yang sangat dekat seperti itu membuat Andin bisa merasakan hembusan nafas Aldebaran di telinganya. Model gaun yang terbuka dibagian punggung, membuat jari-jemari Aldebaran bisa bersentuhan langsung dengan kulit Andin. Andin bergidik, nafasnya seperti tertahan. Susah payah Andin berusaha untuk menelan ludahnya sendiri. Andin bisa merasakan kalau saat ini Aldebaran sedang berusaha untuk menarik pengait gaun itu. Beberapa saat kemudian, Andin bisa merasakan kalau gaunnya sudah sedikit longgar sekarang, pengait itu akhinya bisa lolos. Cepat-cepat Andin memegangi gaun itu agar tidak terlepas.
"Yang kuat peganginnya, nanti kalau gaun itu terlepas disini… saya tidak akan bertanggung jawab dengan apa yang akan terjadi selanjutnya." bisik Aldebaran pada Andin.
Seketika wajah Andin menjadi pun memerah setelah mendengar perkataan Aldebaran. Andin menjadi salah tingkah. Andin memegang erat gaunnya agar tidak terlepas sebelum akhirnya dia segera bergegas menuju ke walk in closet.
Senyum puas terlukis di wajah Aldebaran. Entah kenapa dia suka melihat rekasi salah tingkah Andin yang seperti itu. Cukup menggemaskan.
Bersambung...