Contents
My Marriage Contract Partner
BAB 2. Kesepakatan (Part 1)
Terhitung sudah tiga hari sejak Ayahnya memberitahukan tentang perjodohan itu, sejujurnya hati kecil Andin masih tidak ingin menerimanya. Namun setelah mengetahu suatu kenyataan, akhirnya Andin pun dengan berat hati menerima perjodohan tersebut.
Andin menghentikan langkahnya tepat di depan sebuah restoran mewah, matanya menatap sebuah pintu masuk kaca yang besar dan megah di depannya. Andin menghela nafas berat. Harusnya dia tidak di sini sekarang. Tapi jika Andin mengingat tentang pesan singkat yang dikirimkan Danendra Nirubi pada Ayahnya dua hari yang lalu, maka Andin tidak punya pilihan lain selain menerima perjodohan ini. Ya, dua hari yang lalu Andin tidak sengaja membaca pesan singkat dari Danendra yang masuk ke ponsel milik Ayahnya saat Ayahnya tidak sengaja meninggalkan ponsel itu di atas meja makan. Danendra Nirubi secara tidak langsung meminta Ayah Andin untuk membalas budi atas semua kebaikan yang sudah diberikannya kepada keluarga Andin. Kalau dipikir-pikir memang keluarga Andin sudah banyak merepotkan keluarga Nirubi. Mulai dari pengobatan Kakek hingga pengobatan Ibunya dulu, keluarga Nirubilah yang membiayai semuanya.
“Lagian aneh banget deh pak Danendra. Keluarga gue kan dari kalangan rakyat jelata, kenapa bisa-bisanya dia ngotot minta perjodohan ini tetep dilakukan sih? Kenapa dia nggak cari aja orang yang sederajat, kan enak tuh bisa tambah kaya. Aneh benget sumpah nih orang.” Terkadang hal itu juga yang membuat Andin tidak habis pikir. Orang sekaya itu kenapa mau menjodohkan cucunya dengan anak dari keluarga biasa seperti dirinya. Entah apa maksud dan tujuannya, Andin juga tidak tahu. Yang jelas Andin tidak paham dengan jalan pikiran Danendra.
Setelah sejenak meratapi nasibnya, Andin melihat ke sekelilingnya. Terlihat beberapa orang turun dari mobil mewahnya lalu masuk ke dalam restoran. Andin juga mulai sedikit risih dengan tatapan aneh orang-orang di sekitar sana, mulai dari pelayan atau tamu yang datang, itu terlihat tidak ramah. Mungkin karena penampilan Andin yang memang terlihat agak aneh untuk seorang tamu yang akan dinner mewah di restoran bintang lima ini. Celana jeans panjang dengan kemeja dan tas selempang. Andin memang hanya memakai itu, karena dia juga baru saja pulang dari kuliah. Pikirnya kalau harus pulang lagi dan mengganti bajunya itu tidak akan sempat, bisa-bisa dia akan terlambat. Lagipula Andin juga tidak berniat untuk memberikan first impression pada ‘calon suami’ yang akan ditemuinya ini.
Andin mendengus kesal. Dibuangnya jauh-jauh rasa kesalnya pada orang-orang yang ada di sana. Andin mencoba menghiraukan itu semua dan memilih untuk melanjutkan langkanhnya masuk ke dalam restoran mewah itu.
Sebuah makan malam memang sudah disiapkan khusus untuk Aldebaran dan Andin. Makan malam ini ditujukan agar Aldebaran dan Andin dapat lebih menganal lagi satu sama lain sebelum mereka berdua menikah.
Andin baru pertama kali menginjakkan kaki di restoran mewah seperti ini. Saat memasuki pintu masuk restoran, ada dua pelayan yang membukakan pintu dan menyapa Andin dengan ramah. Ramah? Oh tentu tidak. Bagi Andin mereka hanya pura-pura terlihat ramah saja.
"Selamat malam... Selamat datang di The Pinus Cafe and Resto." sapa petugas greeter restoran.
Andin membalasnya dengan senyuman ramah. Ramah? Tidak, dia hanya pura-pura terlihat ramah saja.
Kemudian salah satu waiter menghampiri Andin, "Bagaimana bu, apa ada yang bisa saya bantu?" tanya pelayan itu.
Andin sedikit kebingungan. Baru pertama kalinya dia masuk ke restoran mewah seperti ini, dia tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Karena Andin terlihat seperti kebingungan. Pelayan itu pun bertanya lagi pada Andin, "Mohon maaf bu, apa mungkin ibu sudah membuat janji sebelumnya. Mungkin ibu bisa memberi tahu saya atas nama siapa reservasi itu dilakukan, nanti saya antarkan ibu ke mejanya."
Reservasi? Andin mengutuk dirinya sendiri. Dia lupa bertanya pada Ayahnya nama ‘calon suami’ nya itu siapa, "Haduh… dodol banget sih lu Ndin. Nama cucunya kakek Danendra siapa ya, bisa-bisanya gue lupa nanya ke Ayah." Gumam Andin dalam hati.
Andin pun menatap ke arah pelayan itu sambil memasang senyuman lebar, memperlihatkan beberapa deret gigi depannya yang rapi, "Sebentar ya mas, saya... tanya dulu ke Ayah saya." Agak terkesan memalukan sih, tapi Andin tetaplah Andin. Dia bersikap bodoh amat.
"Baik bu, silahkan" Jawab pelayan itu.
Andin pun bergegas mengambil ponsel dari dalam tasnya, setelah itu dia mulai mengetikkan pesan dan langsung mengirimkannya pada Ayahnya.
Tiga menit, lima menit, bahkan sudah hampir sepuluh menit, pesan itu tidak kunjung dibaca oleh Ayahnya. Andin sudah muali agak malu sekarang. Apalagi perlayan itu ternyata tidak beranjak dari hadapannya. Pelayan itu masih berdiri di depan Andin sambil tetap mengembangkan senyumnya.
“Giginya nggak kering apa ya tuh orang. Pergi dulu kek sana, risih banget sumpah. Nggak percayaan banget sumpah, dikira mau maling kali ya gue di sini.” gumam Andin sedikit kesal. Karena waiter itu, akhirnya Andin pun terpakasa harus pura-pura tersenyum ramah. Agak menjengkelkan memang.
Saat menunggu balasan dari Ayahnya, tiba-tiba ada seorang pria dengan setelan jas berwarna navy masuk ke restoran. Pria tersebut disambut oleh beberapa pelayan. Melihat sambutannya yang sepeeti itu, sepertinya pria itu sudah sering datang kemari. Jas nya, jam tangannya, kacamatanya, sudah dipastikan semuanya adalah barang branded. Andin tersenyum kecut. Memang orang kaya disambutnya beda. Tidak ada tatapan aneh seperti yang dia terima tadi.
"Selamat malam pak, meja untuk anda sudah kami siapkan dilantai dua." kata seorang pelayan.
Pria itu mendongak. Rahang yang tegas dan leher yang terlihat kaku itu memang sepertinya sudah di desain untuk tidak menatap lawan bicaranya saat sedang berbicara. Tanpa menjawab satu patah kata pun dengan angkuhnya pria itu langsung berjalan menuju ke tempat yang sudah dipesannya. Naik tangga menuju ke lantai 2.
Langkahnya yang tegap, dagunya yang mendongak dan tatapan lurusnya membuat Andin sedikit kesal, "Dih, sombong banget jadi orang." gumam Andin saat pria tersebut lewat disebelahnya.
Baru satu langkah melewati Andin, pria itu pun menghentikan langkahnya. Sekejap kemudian dia pun membalikkan badannya.
Andin terkejut, cepat-cepat dirinya langsung menundukkan pandangannya. "Mati gue! Jangan-jangan dia denger lagi." gumam Andin dalam hati. Sumpah serapah juga dia umpatkan pada diirnya sendiri. Bisa-bisanya dengan bodohnya dirinya mengatai orang lain seperti itu.
Pria itu berjalan ke arah Andi, Andin semakin menunduk. Dia benar-benar sudah malu sekarang, dia tidak tahu harus meletakkan wajahnya dimana lagi. Pria itu semakin mendekat, hingga akhirnya… pria itu ternyata hanya melewati Andin, dia melewati Andin begitu saja dan menghampiri seorang pria lain yang berdiri sekitar dua meter di belakang Andin. Andin pun menengok ke arah pria angkuh tadi sambil menghela nafas lega. Batinnya, syukurlah pria angkuh tadi tidak mendengar semua ocehannya. Kalau sampai pria angkuh tadi mendengar semua ocehannya, mungkin saja Andin akan terkena masalah.
Meski begitu Andin masih saja kepo dengan pria yang menurutnya angkuh itu. Andin tidak sengaja menguping pembicaraan antara si pria angkuh itu dengan pria yang ada di belakangnya. Eits… bukan menguping ya, tapi Andin bisa mendengar karena memang suara keduanya yang terdengar cukup keras.
"Iya pak, apa ada lagi yang bisa kami bantu?" tanya pria di belakang Andin dengan ramah, senyumnya juga mengembang. Setelan jas yang di pakainya mengisyratkan kalau orang itu memiliki jabatan cukup penting di restoran ini.
"Nanti kalau ada perempuan yang bertanya meja saya dimana, suruh dia segera ke meja saya. Karena saya tidak punya banyak waktu." Ucap si pria Angkuh itu.
"Baik pak."
Setelah selesai berbicara dengan pria di belakang Andin, pria angkuh itu pun langsung beranjak pergi menuju tempat yang sudah dipesannya. Tidak lupa ada dua pelayan yang juga mengikuti di belakang.
Angkuh, kaku dan dingin, itu yang tergambar jelas di mata Andin saat melihat sosok pria tersebut. "Nggak bilang makasih, langsung pergi gitu aja. Astaga... Sombong banget jadi orang. Mana kalo jalan dongak lagi nggak lihat-lihat bawah... Baek-baek tuh orang nggak kesandung deh." gumam Andin dalam hati.
“Mohon maaf bu, bagaimana?” tanya pelayan dari tadi sudah menunggu Andin.
“Oh iya, iya. Sebentar.” Cukup sibuk mengomentari pria angkuh itu, hampir saja Andin lupa dengan pesan yang sudah dikirimkannya pada Ayahnya, pesan itu sudah di jawab oleh Ayahnya atau belum. Lalu Andin pun bergegas menyalakan ponsel yang sedang digenggamnya. Dilihatnya pesan yang masuk ke ponselnya. Beruntung akhirnya Ayahnya membalas pesan itu.
Ayah : Nama cucunya kakek Danendra itu Aldebaran, sayang…. Aldebaran Reswara Nirubi.
Seketika mata Andin pun membulat karena terkejut, "Astaga... Aldebaran kan anak cowok yang item cungkring terus manja itu kan. Ih masa sama dia sih!" gumam Andin dalam hati. Andin beru saja teringat satu hal. Dulu saat dia duduk di sekolah dasar, Ayahnya beberapa kali pernah mengajaknya ke kediaman keluarga Nirubi. Andin pernah melihat dari jauh seorang anak laki-laki berperawakan kurus dan berkulit gelap. Andin tahu itu adalah cucu Pak Danendra, Bara namanya. Andin bisa tahu karena setiap Andin pergi ke sana, ajudan dan pelayan yang ada di sekitar anak itu selalu memanggilnya dengan sebutan ‘den Bara’. Ya, anak laki-laki itu selalu dikelilingi oleh banyak ajudan dan pelayan. Andin mendengus kesal, anak itu saat kecil saja sangat dimanjakan, pasti sekarang dia jadi orang yang menyebalkan.
Tapi tidak ada pilihan lain, Andin tetap harus menemui Aldebaran, “Saya mau bertemu dengan pak Aldebaran.” kata Andin pada pelayan.
“Oh baik bu, silahkan ditunggu sebentar ya.” ucap pelayan tersebut. Kemudian pelayan itu bergegas menghampiri pria yang tadi sempat mengobrol dengan si pria angkuh.
Bukannya pelayan tadi yang mengantar Andin, namun justru pria yang sempat mengobrol dengan si pria angkuh yang datang menghampiri Andin. “Selamat malam bu. Silahkan, mari saya antarkan ke meja Pak Aldebaran.” sapa pria itu dengan ramah. Kalau yang satu ini benar-benar terlihat ramah, seperti tidak berpura-pura. Andin juga membalas pria itu dengan senyuman ramah.
Jujur saja Andin masih sedikit terlihat bingung. Namun, dia tetap mengikuti pria itu. Andin melirik name tag yang terpasang tepat di atas saku jas pria tersebut. Tertulis disana ‘Manager’, yang berati pria di sebelahnya adalah seorang manager di restoran ini. Andin menggeleng tidak percaya. Pikirnya, apa keluarga Nirubi itu memang sehabat itu…, sampai-sampai seorang manager restoran sendiri yang turun tangan untuk mengantarkan tamu dari keluarga Nirubi.
Akhirnya Andin pun sampai di meja yang sudah dipesan Aldebaran. Mata Andin terbelalak ketika melihat pria yang duduk di sana. "Masa sih gue harus nikah sama orang itu!" gumamnya tidak percaya. Pria dengan setelan jas yang sedang duduk di sana adalah ‘Si Pria angkuh’ tadi.
Andin mengutuk dirinya sendiri. Apa ini karma yang didapatkannya karena dari tadi mengolok-olok pria itu. "Sial banget sih hidup gue! Astagaa... Kalo nggak karena Ayah udah kabur deh gue sekarang." gumam Andin dengan kesal.
"Selamat malam pak, ini perempuan yang tadi bapak bilang sudah datang." kata manager restoran.
Aldebaran mengalihkan fokusnya dari ponsel dan sekarang melihat ke arah manager dan Andin. Aldebaran memperhatikan Andin dari ujung rambut hingga ujung kaki, sebelum akhirnya dia mempersilahkan Andin untuk duduk, "Silahkan duduk." ucapnya dengan dingin.
Manager restoran itu pun lalu menggeserkan kursi untuk Andin. Dan Andin pun mengambil posisi duduk di sana, tepat di hadapan Aldebaran. Setelah Aldebaran memperhatikannya dari ujung rambut hingga ujung kaki, sekarang giliran Andin yang memperhatikan Aldebaran. Andin ingin memastikan apa benar ini Aldebaran yang dulu? Apa dia tidak salah orang? Anak laki-laki yang kurus dan berkulit gelap itu kenapa sekarang memiliki tampang bak model bintang 5 seperti ini. Jujur Andin cukup terkejut melihatnya. Aldebaran terlihat cukup tampan. Ingat, hanya cukup tampan! Karena menurut Andin pria tertampan di dunia ini hanya ada tiga, pertama Ayahnya, kedua Ji Chang Wook, dan yang ketiga adalah Daegal.
"Ternyata mbak nya sudah menunggu dari tadi pak dibawah, tapi bapak dan mbaknya sama-sama nggak tau kalau mau bertemu satu sama lain." ucap manager restoran pada Aldebaran.
Ucapan manager restoran itu pun membuyarkan lamunan Andin.
Aldebaran menatap tajam ke arah manager restoran, "bisa tidak kalau langsung disiapkan saja makananya. Saya sudah tidak punya banyak waktu lagi." kata Aldebaran dengan nada ketusnya.
Andin tertegun mendengar jawaban ketus yang dilontarkan Aldebaran untuk manager restoran, "nih cowok yaa.... Bener-bener nggak ada ramah-ramahnya sama orang! Kesel gue! Bisa darah tinggi tiap hari gue kalo punya suami kayak dia." Beberapa detik yang lalu Andin sempat berfikir kalau ‘Si pria angkuh’ alias Aldebaran itu adalah pria yang tampan. Tapi setelah melihat kelakuan Aldebaran yang seperti ini, sepertinya Andin harus menarik semua kata-kata itu kembali. "B... Baik pak." jawab manager restoran yang kemudian bergegas segera pergi dari meja Aldebaran dan Andin.
Tidak lama kemudian, beberapa pelayan pun datang dan menyajikan makanan di atas meja. Setelah itu Aldebaran dan mempersilahkan Andin untuk menikmati hidangan yang sudah disajikan.
Sampai keduanya menyelesaikan makannya, tidak ada sedikit pun perbincangan diantara mereka, hingga Andin pun memberanikan diri untuk membuka pembicaraan.
Andin mencoba mengatur nafas sambil menenangkan hatinya sebelum memulai pembicaraan, "Aku disini karena ayahku yang menyuruhku, kamu kesini juga pasti karena kakekmu yang kaya raya itu kan?" ucap Andin sambil tersenyum setengah.
Aldebaran mengangguk, dia sedikit terkejut. Aldebaran tidak menyangka kalau Andin bisa berani berkata seperti itu di depannya.
Andin tersenyum kesal, "Bukankah hidup kita sangat menyedihkan sekali...." Lanjut Andin sambil menatap Aldebaran.
"Ya…. Lumayan." jawab Aldebaran singkat.
"Jadi…. Apa mungkin ada hal yang ingin anda tanyakan terlebih dahulu pak Aldebaran?" Andin bingung harus berbicara apa. Jadi pikirnya akan lebih baik jika membiarkan pria di depannya ini bicara terlebih dahulu.
"Anda bicara saja terlebih dahulu, saya akan bicara nanti setelahnya." jawab Aldebaran.
Andin berfikir sejenak. "Hmm…. Okeh, saya mau Tanya. Apa anda tidak masalah menikah dengan saya?" Andin memang tidak suka basa-basi. Jadi dia langsung bertanya pada intinya saja.
Aldebaran terdiam sebentar mendengar pertanyaan dari Andin. Sebelum akhirnya dia membuka suara, "bukankah yang dinamakan perjodohan itu memang seperti itu? Ada masalah atau tidaknya kita dengan pernikahan ini, itu tidak akan menjadi pertimbangan untuk keluarga kan? Yang mereka tahu kita menikah dengan seseorang yang sudah mereka tentukan. Yah! Hanya sebatas itu." jawaban yang sangat jujur. Agak terdengar miris memang, tapi kenyataannya memang seperti itu.
Mendengar jawaban Aldebaran yang seperti itu, Andin pun setuju. Andin tersenyum miris. "Lucu ya…. Di era modern seperti ini keluarga kita masih melakukan perjodohan untuk anak atau cucunya."
Kemudian Aldebaran berpikir sejenak. Seertinya ini adalah waktu yang tepat bagi dirinya untuk mengemukakan idenya tentang ‘Pernikahan Kontrak’ itu. Karena jujur saja Aldebaran juga membutuhkan bantuan Andin untuk masalah ini. Aldebaran berfikir siapa tahu Andin akan menerima idenya ini. Tentunya itu akan menguntungkan dirinya nanti.
Sambil berfikir, Aldebaran menyusun kata-kata di kepalanya. Dengan hati-hati dia memulai pembicaraannya, "jujur saya juga tidak ingin membuat kamu kesulitan di perjodohan ini. Maka dari itu saya ingin menawarkan sesuatu ke kamu. Mungkin ini terdengar aneh, tapi saya pikir ini bisa menguntungkan kita berdua." ucap Aldebaran dengan hati-hati. Aldebaran tidak ingin salah mengambil kata-kata yang justru nantinya akan membuat keadaan semakin runyam. Karena dia sendiri juga tidak tahu apakah wanita didepannya ini sebenarnya senang atau tidak dengan perjodohan ini.
Andin mengernyitkan dahinya. Pikirnya sepertinya ada hal penting yang ingin disampaikan oleh pria di depannya ini. Entah apa itu, Andin juga tidak tahu. Mungkin pria di depannya ini akan mengatakan kalau sebenarnya dirinya juga tidak setuju dengan perjodohan ini. Kalau memang benar seperti itu, tentunya Andin akan sangat senang sekali. Andin menyiapkan telinga dan matanya, fokus pada Aldebaran.
"Saya tidak punya pilihan lain selain menerima perjodohan ini. Maka dari itu saya ingin menawarkan sebuah kesepakatan dengan kamu." lanjut Aldebaran.
Raut wajah Andin pun berubah menjadi bingung. "Kesepakatan? Kesepakatan apa?" tanya Andin penasaran.
"Iya, sebuah kesepakatan. Kesepakatan pernikahan kontrak." jawab Aldebaran sambil melakukan penekanan di kata-kata ‘Pernikahan Kontrak’.
Andin yang sejak tadi fokus pun sedikit terkejut dengan pernyataan yang dilontarkan oleh Aldebaran. ‘Pernikahan Kontrak’ itu terdengar agak gila. Andin menarik tubuhnya ke belakang, menyandarkan dirinya pada sandaran kursi.
Melihat reaksi Andin yang terlihat terkejut seperti itu, Aldebaran pun menjelaskan maksudnya lebih detail lagi, "saya tahu pasti anda juga punya mimpi keluarga bahagia anda sendiri. Begitupun dengan saya, saya juga punya mimpi keluarga bahagia saya sendiri. Saya tidak mau karena perjodohan ini, mimpi itu hancur begitu saja. Jadi… saya ingin menawarkan kepada anda sebuah perjanjian pernikahan kontrak," jelas Aldebaran pelan-pelan, "hanya 6 bulan, tidak lebih. Setelah kita mendapatkan apa yang kita mau… kita berpisah." Lanjut Bara.
Andin menatap ke arah Aldebaran, karena masih kurang paham dengan apa yang dimaksud oleh Aldebaran. Andin mengisyaratkan untuk diberikan penjelasan yang lebih detail lagi.
Aldebaran sedikit menggeser kursinya. Memajukan posisi duduknya. "Jadi begini, saya menyetujui perjodohan ini karena saya ingin dijadikan pewaris oleh kakek saya. Karena kalau saya menolak perjodohan ini, maka otomatis saya tidak akan dijadikan pewaris oleh kakek saya. Saya pastinya tidak mau kalau itu sampai terjadi. Jadi saya berfikir untuk menawarkan perjanjian pernikahan kontrak ini pada anda. Tentunya dengan imbalan yang pantas.”
Andin mengangguk mendengar penjelasan dari Aldebaran. Dia sudah mulai sedikit paham dengan maksud Aldebaran.
Aldebaran pun melanjutkan penjelasannya, "okey! Langsung saja. Saya akan memberikan imbalan lima belas persen bagian dari warisan yang akan saya dapatkan nanti kepada anda jika anda setuju dengan tawaran pernikahan kontrak itu.” pungkas Aldebaran.
Andin membelalakkan matanya. Oh my god! 15%?! 15% untuk diskon baju saja sudah menggiurkan. Tapi ini 15% dari warisan keluarga Nirubi. Bisa jadi milyader dadakan kalau seperti itu. "Jadi intinya... pernikahan kita hanya sampai anda menjadi pewaris, setelahnya kita akan berpisah. Lalu... anda akan memberikan lima belas persen bagian warisan yang akan anda dapatkan. Begitu?" tanya Andin.
"Ya, betul seperti itu." jawab Aldebaran dengan entengnya.
Seketika perut Andin seperti dipenuhi dengan bunga-bunga. Untuk kali ini dia sangat setuju dengan ucapan Aldebaran. 1000% dia sangat setuju. "Wah… penawaran yang bagus tuh. Ternyata cowok macam dia bisa juga punya pemikiran semacam ini. “Hahaha ya jelas lah, pasti ni cowok juga udah punya cewek nih, mangkanya dia bikin perjanjian seperti ini. Hmm… tapi nggak papa deh, ini cukup menguntungkan kok buat gue. Dengan duit sebanyak itu, mungkin aja gue bisa mengembalikan semua yang pernah diberikan keluarga Nirubi ke keluarga gue. Jadi Ayah nggak perlu mikir unutk balas budi lagi." gumam Andin dalam hati.
"Gimana? Apa anda setuju?" tanya Aldebaran sambil mengulurkan tangannya.
Andin melihat tangan yang diulurkan oleh Aldebaran dan sejenak berfikir. Setelah cukup yakin, Andin pun langsung menjabat uluran tangan Aldebaran, "Hmm... Okey, aku setuju."
Aldebaran tersenyum puas. “Kontraknya akan dibuat oleh pengacara saya, jadi saya harap anda bisa datang ke kantor saya besok pagi." Ucap Aldebaran.
"Baik, besok pagi saya akan ke kantor anda." jawab Andin
----
-Keesokan Harinya-
Andin sudah sampai di depan gedung Wijayakara. Matanya berkeliling memandangi kemegahan gedung tersebut, "Waah.... Ini gede banget, nggak salah sih kalau kakak dulu pilih kantor ini buat jadi tempat magangnya." gumam Andin dalam hati.
Karena matanya dari tadi fokus memandangi setiap kemegahan gedung Wijayakara, Andin tidak sengaja menabrak seseorang. " Aduh!" katanya saat menabrak orang itu.
Keseimbangan Andin hampir goyah. Beruntung Andin tidak terjatuh. "Ah... maaf... maaf...." kata Andin sambil membantu membereskan beberapa kertas-kertas yang terjatuh milik orang yang di tabraknya itu. Andin memungut kertas-kertas yang berserakan itu di lantai.
"Oh iya tidak apa-apa." jawab pria tersebut sambil memunguti kertas-kertas juga. Ya, Andin menabrak seorang pria. Tapi karena suara yang terdengar cukup familiar bagi Andin, Andin pun menengok dan melihat kearah pria tersebut. Kemudian pandangan mata keduanya bertemu satu sama lain.
Andin terkejut, dia pun tersenyum lebar ketika melihat pria yang ada didepannya saat ini.
" Andin…." sapa pria itu.
Bersambung....