Try new experience
with our app

INSTALL

The Secret Book of Hana 

Bagian 1: Buku Ajaib

  Bukan Jakarta namanya kalau tidak penuh dengan kesesakan dan permasalahan. Menurut beberapa pakar kemacetan, banjir, dan polusi udara di Jakarta sudah seperti lingkaran yang tidak bisa diatasi. Semuanya gelap dan tak tentu arah. Tapi, aku tetap cinta kota ini! Saat aku berada di luar kota bunyi-bunyi klaksonlah yang paling kurindukan. Saat aku keluar negeri, kecuekan orang-orangnya adalah yang paling kunantikan. Bayangkan, saat aku masih tinggal di daerah Sentiong, mudah saja bagiku menemukan ibu-ibu muda menjemur pakaian dengan hanya memakai kaos kutang saja. Uniknya saat ibu-ibu itu menjemur pakaian, di seberangnya, ada bapak-bapak yang memperhatikan sambil ngopi dan menghisap rokok. Setiap hari formasi bapak-bapak itu tidak pernah berubah. Kadang empat orang, kadang sepuluh orang tak jarang satu RT nongkrong di sela-sela atap rumah yang bertumpuk dan berdesakan, hanya untuk melihat ibu-ibu menjemur pakaian. Dasar, bapak-bapak mesum pikirku! Namun itulah Jakarta. Yang kurindukan dan aku selalu sedia untuk pulang ke Jakarta.

“Cepat sedikit dong pak.” Kataku sedikit teriak. 

  Namun, apa perduli sopir taksi ini. Dia tidak tahu masalah yang kuhadapi. Dia masih saja dengan santai mengendarai mobilnya tanpa merasa terburu-buru. Aku bisa pahami. Karena tidak semua yang menjadi mauku itu juga jadi kewajiban orang lain. Tapi aku kan penumpang, aku punya hak untuk sedikit cerewet. Kesabaranku sudah habis. Mungkin sedikit ancaman akan berhasil.

  “Pak, kalau saya telat bukan hanya saya yang dirugikan. Tapi seratus tamu yang menungguku bakal kecewa, ditambah uang sewa taxi ini jadi taruhannya pak.” Ucapku sedikit mengancam.

  Benar kata orang bijak, bahwa uang bisa merubah segalanya. Tepat setelah aku bilang uang sewa taksi bakal melayang, sopir taxi itu langsung tancap gas. Mungkin dibenaknya akan lebih mengerikan kalau pulang tidak bawa uang. Bukan hanya uang setoran akan melayang tapi juga, mungkin, Istrinya akan menyuruhnya tidur di luar lagi. Kalau sudah seperti itu si Joni tidak dapat tempat berteduh malam ini pikir si sopir.

  Mobil melaju dengan cepat, secepat doa-doa. Menembus ketidakmungkinan yang menghadang. “Tiiiiiinnnn…” klakson dibunyikan karena ada seorang nenek menyebrang tanpa melihat. Lalu “sreett”, mobil berhenti kepalaku membentur kursi bagian depan.

“Aduh, pak ati-ati dong.” Sambil kupegangi kepalaku. 

  Tiba-tiba sejurus kemudian beberapa warga mendekati mobil. Mereka menuntut keadilan karena mobil yang aku naiki tadi hampir menabrak seorang nenek-nenek. Di saat seperti ini orang Jakarta paling pintar mencari kesempatan. Moto mereka adalah rebut dulu sebelum di rebut orang. Mereka menuntut ganti rugi. Entah ganti rugi apa yang mereka maksud. Karena, aku lihat si nenek baik-baik saja malah dia sepertinya kasihan pada si sopir.

“Udah nek, kite ngerti kalo nenek sakit kan? Udah biar kite aje yang urus ni sopir.” Kata seorang warga merasa jadi pahlawan.

“Bang maap nih ye, bukannya apa-apa tapi, abang kan liat sendiri nenek ini gak papa!” Aku mulai kesal.

“Yeee, udah nabrak nyolot lagi. Mau lo apa?” 

  Perlu jadi catatan, orang-orang seperti mereka ini adalah orang yang sangat optimis. Di semua kesempatan mereka berusaha mendapatkan sesuatu. Toh kalo tidak dapat duit mereka akan dapat keringat karena berantem. Bayangkan saja, kejadian yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan musyawarah, mereka pancing agar menjadi lebih parah. Hingga kita tertekan dan mau mengeluarkan uang ganti rugi yang sebenarnya mereka tidak dirugikan. Dasar orang-orang banyak akal. Bahkan akal bulusnya lebih banyak daripada akal sehatnya. 

Saat suasana menegang. Terdengar suara telepon, kulihat itu dari Ibu Hana. Ini dia yang membuat aku terburu-buru. Hana sahabatku mau menikah tapi dia membuat masalah dengan mengurung diri di kamar. Dari dulu dia memang suka cari masalah bahkan saat terakhir dia ingin menikah saja masih membuat masalah dan menyusahkan. Menurut kabar dari Ibunya, Hana mengunci dirinya di kamar dan tidak mau keluar sampai aku datang. Ibu Hana sangat dekat denganku, namanya tante Greta, sejak jaman kuliah dia adalah Ibu kedua bagiku. Saat aku tidak punya uang dia selalu membantuku. Aku mengenal Hana sejak duduk di bangku kuliah.

Saat aku mau angkat telepon tante Greta, tiba-tiba handhone ku diambil. Srett

“Jadi gimana? Ganti rugi atau mau diselesaikan dengan cara lain?” Kata seorang warga sambil membawa teleponku.

  Ini sudah mulai jadi barbar, pikirku. Mau tidak mau aku harus selesaikan masalah ini dulu. Kusingkapkan lengan bajuku. Kutaruh jas yang kupakai di mobil. Aku bersiap, mari kite selesaikan ini dengan jantan dasar orang-orang barbar. Tapi tiba-tiba nenek yang sedari tadi hanya diam, berteriak kencang. Cukup! Kami kaget dan melihat ke arah nenek.

“Nenek tidak apa-apa. Udah bubar semua. Bubar!” 

Nenek kesal dan memukul-mukulkan tongkat ke warga yang cari ribut. Warga yang provokatif tadi lari tunggang langgang. Biar mampus mereka lari terbirit-birit. 

“Maaf ya Nek, gara-gara saya Nenek tadi hampir ketabrak.” Kata sopir taksi

“Ah, gak papa. Lain kali hati-hati.” 

“Nenek mau kemana?” tanyaku.

“Mau uuuu lang nak.” Jawab nenek sambil terdengar samar. 

Aku yang merasa sudah diselamatkan oleh si nenek menyuruh sopir taxi mengantarkan nenek ke rumah. 

“Biar saya yang ganti bang. Tolong antar sampai tujuan ya. Nanti saya naik ojek aja. Lagian jalanan agak macet. Kalo naik motor kan cepet.” 

Aku bicara kepada sopir lewat sela-sela jendela. Lalu kututup jendela tersebut dan aku mencari ojek.

  Dari tempat peristiwa tadi untuk menuju rumah Hana tidak begitu sulit karena memang jaraknya sudah dekat dan tidak begitu jauh. Aku harus melewati tiga kompleks mewah dulu baru sampai ke rumah tante Greta. Di pejalanan, tante Greta terus menelepon memastikan aku sampai mana. Dari dulu sejak kuliah, aku sangat dekat dengan keluarga Hana. Perhatian tante Greta melebihi dari perhatian keluarga-keluarga jauh maupun dekat yang kumiliki di Jakarta ini. Begitulah kenyataan bahwa terkadang hubungan darah tidak menjamin kita menjadi seorang keluarga. Kebanyakan, orang-orang yang kita baru kenal bisa melebihi hubungan darah. 

Aku sampai di rumah Hana. Ada Abil, Indra dan Maya menyambut dengan cemas. Mereka adalah keponakan Hana. 

“Mas lama banget sih?” Tanya Maya langsung menodong.

Sorry, tadi ada kejadian di jalan. Jalanan macet, karena orang penting Kuba datang.” Jawabku sekenanya. 

“Serius? Kok gak ada beritanya kalo Raul Castro dari Castro Family ke Indonesia? Sederet pertanyaan keluar dari mulut Maya.

“Maya, Kamu di bohongin sama mas  Mada! Lagian, kita udah gak bersahabat sama Kuba. Kita bersahabat sama pemilik modal.” Jawab Indra percaya diri. 

  Walau tante Greta seorang janda. Dia tetap mementingkan pendidikan. Mungkin memang itu sudah menjadi adat keluarga besar tante Greta. Maya keponakan Hana sangat antusias dengan masalah sosial dan semua hal yang berbau revolusioner. Dia sebenarnya adalah mahasiswa kedokteran namun karena sangat sering membaca buku-buku tentang perjuangan Ernesto Guevara dia lebih sering turun ke jalan daripada di dalam lab-lab kedokteran. Tinggal menunggu waktu saja sampai dia bergerilya layaknya Guevara!

  Sementara, Aldi adalah seorang ekonom kelas komplek. Dia pengamat ekonomi yang sedang meniti karir jadi pengusaha kopi. Memang seharusnya begitu bukan, menjadi ahli ekonomi harus terjun turun ke lapangan dengan berbisnis. Bukan hanya duduk dan mencemooh perkembangan ekonomi yang tak kunjung naik dan cenderung lesu.

  Sedangkan Hana anak semata wayang tante Greta adalah master di bidang komunikasi masa. Sempat menjadi asisten dosen dan sekarang bekerja di perusahaan sekala international di bidang komunikasi masa. Sungguh pencapaian yang bisa dibanggakan oleh seorang ibu tunggal yang berjuang keras.

  Tante Greta sudah duduk lemas di depan kamar Hana. Aku langsung menenangkannya dan mengetuk pelan kamar Hana. Pelan tuas pintu kamar berbunyi. Tante Greta langsung berdiri dan bersiap untuk marah. Namun kuberi tanda kepadanya dengan tanganku agar dia tetap duduk di kursi dan membiarkanku untuk masuk dan membujuk Hana.

“Bilang ke Hana, kalo sampai acara gagal aku coret dia dari keluarga Greta!” Tante Greta berbisik dengan kesal.

Saat aku masuk ke dalam kamar Hana aku terkejut, kamar begitu berantakan. Hana sambil merokok di dekat jendela melihat ke arahku.

“Gue gak mau lo ceramahin.” Hana langsung memberi ultimatum.

“Okey, gue diem. Tapi setidaknya bicara. Lo kenapa?”

“Gue gak tau, gue cuma ngerasa kalo Dito itu bukan jodoh gue.” Jawab Hana dengan masih menghisap rokok ditangannya. 

  Aku duduk di ujung kasur. Melihat ke arah Hana. Aku ingat betul bagaimana kami bertemu. Saat itu kami sedang dalam masa pengenalan kampus. Aku sedang telat dan terburu-buru. Aku tidak sengaja melihat Hana sedang berdebat dengan kakak tingkat perempuan. Hana ngotot merasa tidak bersalah karena barang bawaannya hilang, sedangkan kakak tingkat itu mau menghukumnya. Alhasil, karena perbuatannya itu dia diberdirikan di depan para anak baru. Mulai saat itu dia menjadi terkenal, selain karena keberaniannya untuk menyuarakan hal-hal yang tidak benar dia juga sangat cantik. Bahkan masuk ke dalam lima mahasiswa paling cantik di fakultas. Wajahnya yang menurutku seperti artis Korea dengan kacamata dan rambut yang selalu di ikat kuda membuat dia semakin tak tertandingi.

“Na, trus mau lo apa sekarang? Setidaknya lo bilang ke nyokap dan ijin baik-baik.”

“Gue bakal bilang ke nyokap dan kasih keputusan. Asal, lo mau temenin gue jalan-jalan.” Hana senyum iseng.

“Gak, gak mau. Lo tau kan terakhir kita pakai buku itu efeknya apa? Gue sudah duga lo bakal lakuin ini.” Jawabku tegas.

Aku tahu betul kalau Hana sebenarnya sengaja melakukan ini hanya ingin bicara denganku karena satu hal. Pasti ada hubungannya dengan buku itu. 

  Biar kuberitahu kalian. Buku itu adalah buku ajaib, bahkan awalnya aku mengira buku itu terkutuk. Dengan buku itu kita bisa kembali ke masa lalu yang kita pikirkan. Namun di masa itu kita akan menjadi orang lain. 

Bayangkan, bagaimana jika kau bisa kembali ke masa lalu. Apa yang kau akan rubah dan cari tahu. Kehidupan yang sia-sia atau cinta yang terpendam.

  Terakhir, aku dan Hana menyelami masa lalu. kami sangat depresi dan butuh waktu untuk menyembuhkannya. Kami kembali ke masa lalu seorang teman dimana ternyata di masa lalunya teman kami itu sudah mendapatkan perlakuan tidak senonoh dari Ayah tirinya. Jika memang Hana memaksa aku untuk kembali ke masa lalunya ini adalah yang pertama kali.

“Mada gimana?” Hana masih memaksa.

“Oke, tapi janji kali ini aja ya?” Aku menegaskan. 

“Gue gak mau ada apa-apa setelah kita kembali ke masa kini.” Hana senyum manja.

  Sejurus kemudian Hana mengambil sebuah kotak yang ditaruh di bawah lemarinya. Aku masih tidak yakin melakukannya dengan Hana. Namun, aku tahu, jika dia tidak dituruti pasti Hana akan mencari cara untuk keinginannya terlaksana. 

  Hana mulai membuka kotak. Wajahnya tampak bergairah. Matanya melebar senyumnya menggumpal. Saat Hana ingin mengambil buku, aku meyakinkannya dengan memegang tangannya. Dia mengangguk kepadaku untuk memberitahu bahwa dia siap menghadapi situasi kondisinya.

“Kalaupun nanti gue tau sesuatu yang tidak gue mau, gue bakal terima itu kok Da.” 

“Sebenarnya, apa sih tujuan lo” Aku bertanya lagi.

Please deh, jangan banyak nanya dulu. Kan tadi gue udah bilang, kalau gue mau buktiin perasaan gue ke Dito ini benar apa tidak.” Jawab Hana menggerutu.

“Siap?” Hana meyakinkan.

  Aku hanya diam. Hana mengambil buku. Terlihat buku itu dilapisi dengan kulit hewan yang dikeringkan bertuliskan tulisan jawa kalau diartikan berbunyi “keajaiban”, buku itu berwarna cokelat tua, setua kertasnya yang sudah kusam. Kertasnya kosong, tidak ada sedikitpun tulisan dan goresan tinta. 

  Cara menggunakan buku ajaib adalah, kita harus memejamkan mata dan salah satu dari kita memikirkan tempat tujuan kita atau menyebutkannya dalam hati. Maka secara ajaib akan muncul sebuah kata atau kalimat di kertas buku ajaib itu. Lalu kita akan tersedot ke dalam buku itu dan muncul di tempat yang sudah disebutkan tadi. Di dunia buku itu kita akan menjadi orang lain dan melihat diri kita sendiri di dunia masa lalu itu.

“Han..”

“Sttt.. ayo kita mulai.”

“Ta, tap…” Kataku, tidak yakin.

“Tutup mata.”

Hana kesal dan mencubit pinggangku dengan keras.

“Mada.. Tutup Mata.!”

“Iya, sabar.”

  Aku akhirnya memutuskan mengikuti  perintah Hana daripada pinggangku makin merah dicubitnya terus menerus. Seketika keadaan jadi tenang, yang kudengar hanya bisikan pelan dari mulut Hana yang aku tidak mengerti. Aku dan Hana membuka mata. Dari kertas itu muncul satu kalimat.

1. C a f é B a m b u

  Aku langsung heran, kenapa Hana memilih café bambu sebagai tempat pertama. Sebelum kekagetanku menyambar tiba-tiba ada cahaya terang muncul dari buku. Aku dan Hana masuk ke dalam buku itu.