Contents
Dua Sisi
Bab 1 Kabut itu, Bernama Rindu
Hujan deras mengguyur kota Jakarta siang ini. Seorang pria terpaksa menghentikan motornya, dan berteduh di sebuah mini market. Jaket almamaternya basah kuyup. Ia melepas helm dan meletakkan di atas kaca spion.
Fauzan Altara Suanda, itulah nama yang tertera pada jaket almamaternya. Pria dengan wajah yang agak kearab-araban, hidung mancung, dan postur tubuh yang tinggi. Membuat para wanita yang juga berteduh di mini market itu, terus menatapnya. Bahkan ada beberapa yang saling berbisik-bisik.
Telinga Fauzan tidak tuli, ia mendengar apa yang dibisikkan mereka. Karena jarak antara dirinya dan wanita itu hanya satu meter saja. Tapi ia tak menghiraukannya. Ponsel di tangannya-lah yang menjadi fokus utama.
Sudah dua minggu ia mencari keberadaan Renata Dalia. Wanita yang telah merenggut sebagian hidupnya. ia menghilang tanpa jejak. Dua hari yang lalu, ponselnya masih bisa ia hubungi. Namun keesokkan harinya tiba-tiba nomornya nonaktif.
Fauzan sudah mencarinya kemana-mana. Bahkan ke tempat kostnya. Tapi sayang Renata sudah pindah dan tidak memberitahu pemilik kost, kemana ia pindah.
Fauzan mengusap wajah gusarnya. Tangannya masih memegang ponsel berharap ada yang mengabari keberadaan Renata.
"Re, kamu ada dimana? Aku sudah mencarimu kemana-mana selama dua minggu ini. Apa kamu tak merindukanku, Re?" Fauzan berkata dengan suara pelan sambil memandangi fotho Renata dan dirinya, ketika pertama kali bertemu.
"Mas Fauzan sedang apa di sini?" Seorang wanita menepuk pundaknya.
Fauzan menoleh sebentar. Lalu kembali menatap ponsel. Ia tak memperdulikan, wanita yang kini berdiri di sampingnya. Karena dia-lah akar dari semua masalah yang ia hadapi. Sampai-sampai harus kehilangan sang pujaan hati.
"Mas Fauzan kok diam aja sih?" Wanita itu terus bertanya dengan nada manja. Kali ini ia memegang lengannya. Seketika Fauzan langsung menepisnya.
"Bukan urusanmu." Ujar Fauzan ketus.
"Mas, kita ini udah tunangan lho. Masa sampai sekarang Mas Fauzan cuekin aku terus."
"Ya, itu resiko yang harus kamu tanggung karena kamu menerima pertunangan ini. Dan ingat jangan harap kamu bisa mendapatkan hatiku. Karena di hatiku hanya ada satu nama yaitu Renata."
Wanita itu memotong pembicaraan Fauzan,"Mas harusnya sadar. Kalian itu berbeda dan nggak mungkin bersatu. Mas harus belajar membuka hati untukku Syifa Karmila."
Fauzan tersenyum sinis,"Sampai kapan pun, kamu tak akan pernah bisa menggantikan posisinya di hatiku. Karena aku yakin dia satu-satunya wanita yang mengerti diriku."
"Tapi kalian beda, Mas."
"Perbedaan itu bisa disamakan."
Hujan sudah mulai reda Fauzan bersiap-siap untuk melanjutkan pencarian. Keberadaan Syifa tak dihiraukannya. ia mengenakan helm, lalu menyalakan mesin motor dan pergi.
***
Fauzan duduk di bangku taman kampus. Pencarian kemarin tak membuahkan hasil. Kebetulan, Renata satu kampus dengannya. Tapi berbeda fakultas. Fauzan di fakultas Sastra dan Renata di fakultas kedokteran. Namun itu tak memudahkan dirinya menemukan Renata.
Sudah berulangkali, ia mendatangi fakultas kedokteran dan menemui teman-temannya. Bahkan sampai menanyakan pada ketua program di kampus. Namun hasilnya nihil. Mereka sepertinya telah bersekongkol menyembunyikan keberadaannya.
Ponselnya tiba-tiba berdering. Dendu Calling …
Fauzan tak langsung mengangkatnya. Sebab sudah berapa kali Dendu menelpon hanya untuk mengerjainya saja. Ponselnya pun berhenti berdering. Ia hendak memasukkan benda pipih itu ke dalam saku. Namun ponsel berdering kembali, dari orang yang sama. Akhirnya ia mengalah dan mengangkat telepon.
"Zan, Lo pasti nggak bakalan percaya?" Tanpa basa-basi Dendu langsung bersuara.
"Eh, kalo nelpon itu salam dulu kek. Kebiasaan banget sih Lo." Fauzan agak jengkel dengan sikap Dendu yang to the point.
"Oh, sorry, gue lupa. Assalamualaikum, pak ustadz."
"Walaikumussalam, hei gue bukan ustadz ya. Ada apa Lo nelpon gue. Awas aja kalo Lo ngerjain gue lagi." Ancam Fauzan.
"Nggak-lah. Ini mah kabar yang pasti bikin Lo jingkrak-jingkrak." ujar Dendu membuat sengaja membuat Fauzan penasaran.
"Emang Lo punya kabar apa?"pancing Fauzan.
"Zan, gue di mall ketemu sama cewek yang seminggu ini Lo cari-cari. siapa itu namanya." Dendu mengingat-ingat."Oh, ya Renata. Tadi gue ketemu dia lagi ngobrol di sebuah cafe bersama si Jessi."
Senyum Fauzan seketika mengembang. Tapi ia tak akan percaya begitu saja dengan ucapan sang sahabat. "Lo jangan ngerjain gue ya. Gue nggak suka."
"Asli. Lo buka deh WhatsApp. Gue udah kirim fotonya. Takut Lo nggak percaya. Buruan gue tutup teleponnya sekarang. Kalo bener itu cewek yang Lo cari, telepon gue lagi. Ok." Tanpa persetujuan Fauzan, Dendu langsung menutup sambungan telpon.
Fauzan langsung mengaktifkan data pada ponselnya, lalu mencari pesan dari Dendu. Benar saja, ia mengiriminya sebuah foto. Harapan mulai melambung kembali, semoga cewek itu benar-benar Renata. ia langsung mengunduh fotho itu. Ada dua wanita yang saling berhadapan di meja sebuah caffe, ya salah satu dari cewek itu adalah Renata. Hati Fauzan seakan terbakar amarah. Ternyata selama ini Jessi telah membohonginya. Padahal ia sudah berulangkali memohon padanya, untuk diberitahu keberadaan Renata. Tapi dia terus saja menyangkalnya. Dan kali ini ia tak akan bisa menyangkal lagi. Fauzan akan menjadikan fotho ini sebagai bukti, kalau wanita super modis itu, telah mmenyembunyikan keberadaan Renata.
Fauzan langsung menelpon Dendu lewat WhatsApp."Du, mereka berdua masih ada di sana."
"Masih, Zan. Benerkan itu cewek yang lu cari selama ini?"
"Lu, ada di Mall mana? Gue mau ke sana."
"Gue ada di Mall daerah tanah Abang. Lu cepetan ke sini. Sebelum mereka pergi."
"Lu cari cara supaya mereka tetap di sana, sebelum gue sampai ke sana."
"Eh, Gue kan nggak kenal mereka...," belum sempat Dendu mengomel. Fauzan langsung menutup telpon. Dan bersiap untuk pergi untuk bertemu sang pujaan hati.
***
Fauzan celingukan mencari keberadaan Dendu. Tak jauh jarak dari dia berdiri, seorang pria perawakan kerempeng, rambut keriting, berkacamata, mengenakan kaos biru polos dan bercelana jeans, melambaikan tangan. ya, pria itu adalah Dendu. Ia pun langsung menghampirinya.
"Zan, sorry banget. Gue nggak bisa nahan mereka lebih lama. Mereka berdua sepuluh menit yang lalu udah pergi. Gue udah berusaha menahan malu, dengan berbagai alasan."
"Hmmm, nggak apa-apa, Du. Tadi mereka pergi ke arah mana?"
"Kayaknya mereka ke arah parkiran, deh." Jelas Dendu.
"Ya udah, gue mau nyusul mereka. kayaknya mereka masih berada di sekitaran sini."
"Eh, tapi gue nggak bisa nemenin lu cari mereka. Gue harus buru-buru balik ke rumah."
"Nggak apa-apa, biar gue cari sendiri aja."
"Semoga lu menemukan cewek lu."
Fauzan hanya menganggukkan kepala. Dan melangkahkan kaki menuju ke parkiran. Karena langkahnya yang tergesa-gesa. Beberapa kali ia harus bertabrakan dengan orang. Bahkan ada yang sampai mengatainya buta. Dia tak memperdulikannya yang ada dipikirannya hanya Renata. Ia tak ingin kehilangan kesempatan untuk menemukannya.
Fauzan telah berkeliling diparkiran. tapi tak menemukannya. perasaannya mengatakan kalau mereka masih berada di sini. Ia kembali masuk ke malla. Kini foto yang ada di ponselnya. Ia gunakan untuk mencari dan bertanya kepada orang-orang yang ada di dalam mall. Pikirannya benar-benar, sudah kalut. Kadang kala ia menjambak rambutnya sendiri. semua sudut mall sudah ia jelajahi. tapi hasilnya nihil. satu cara yang belum ia lakukan. ia menuju ke bagian informasi. untuk meminta bantuan mencarikan Renata.
Bagian informasi di mall itu, sudah mengumumkan ciri-ciri Renata dan Jessi. Fauzan menunggu dan terus menunggu. Satu jam sudah berlalu. tak ada yang datang ke bagian informasi. Pada akhirnya ia pun menyerah. Matanya memandang jam tangan yang sudah menunjukkan pukul 4 sore. ia harus berangkat ke kampus. Ada tugas yang harus ia kerjakan, sebelum perpustakaan kampus tutup. Ia pun meninggalkan mall itu, dengan lesu.
***
Seorang perempuan dengan berpakaian modis, berambut sebahu dengan poni sedikit mengembang. berjalan terburu-buru. Hari ini ia harus menyelesaikan praktikum nya. Namun tiba-tiba langkahnya harus terhenti. dari arah belakang, ada yang memanggil-manggil namanya. Ia pun menoleh. Setelah tau siapa orang yang memanggilnya. Wajahnya langsung berubah masam.
"Jessi, tunggu..." Panggil seorang pria sambil memegang ransel di sebelah tangannya, serta peluh yang bercucuran menghampirinya.
"Hah, Lu lagi lu lagi. Ada apa lagi sih? Gue enek liat muka lu." emosi Jessi meluap.
"Jess, lu sebenernya tau kan keberadaan Renata? Kali ini Lu nggak bisa bohong lagi. Gue punya buktinya."
"Zan, udah gue bilangin berapa kali. Gue nggak tau Renata dimana. Sebagai sahabatnya, Gue juga lagi nyariin. Bahkan semua orang yang kenal Renata lagi nyariin dia. Jadi, lu jangan setiap hari ngedatangin gue dan menanyakan hal yang sama. Kepala gue pusing." Keluh Jessi.
" Lu, nggak bisa bohong. Temen gue liat lu sana Renata di mall. ini buktinya." Fauzan menunjukkan fotho di ponselnya. Jessi mau tak mau, melihatnya juga. Ia terdiam sesaat.
"Eh, temen lu udah salah orang.Itu bukan Renata. Tapi sepupu gue. Emang tadi gue habis dari mall. Sekilas, memang sepupu gue mirip sama Renata."
"Lu, jangan ngeles mulu deh, Jess."
"Udah kalau lu nggak percaya. Terserah. Gue cape ngadepin Lu terus. Ini hari terakhir gue liat muka Lu. Dan lu jangan cariin gue lagi. Gue lagi sibuk praktikum. Lu jangan buat kuliah gue ancur karena otak gila lu itu. Kuliah di kedokteran itu butuh konsentrasi ekstra. Oke, Lu lebih baik move on dari Renata. Sebelum otak lu jadi miring."
Jessi pergi meninggalkan Fauzan menuju ke ruang praktikum. Fauzan hanya berdiri, bagai patung sambil memandangi foto Renata.
"Renata, kamu ada dimana? Aku mencarimu ke sana kemari, seperti orang gila. Aku merindukanmu, Ren." Rasa putus asa mulai merasuki Fauzan.