Contents
Akhir tanpa Pamit
Sebagai Tanda, Es Batu
Sepulang sekolah, Ajeng berkumpul di salah satu warung untuk menunggu yang lainnya. Bukan tanpa alasan, selain menjaga kebersamaan, hal ini juga sudah biasa mereka lakukan sejak SD. Dimana jumlahnya harus tetap sama seperti waktu berangkat.
Beberapa menit kemudian, satu per satu anak berdatangan. Dirasa semuanya sudah lengkap, merekapun segera beranjak dari sana. Selama di perjalanan, Ajeng terdiam. Ia tidak banyak berbincang kepada teman lainnya. Ia baru akan bersuara jika ada yang mengajaknya mengobrol. Beberapa kilo sudah mereka tempuh, sampai akhirnya mereka menginjakkan kaki di jalan setapak. Di sinilah, Ajeng berharap kembali berpapasan dengan Arya.
Sering kali ia mengalihkan pandangan ke arah belakang, berharap Arya sudah berada di belakangnya. Sering kali pula, setiap kendaraan yang lewat, ia beranggapan jika itu adalah Arya, sahabatnya. Namun nihil, hari itu Ajeng tidak beruntung, ia tidak berpapasan dengannya.
Perasaannya sedih dan dari sinilah ia mulai berfikir buruk perihal hubungannya bersama Arya.
"Apa mulai sekarang sampai esok, aku sudah tidak akan bertemu dengan Arya seperti minggu kemarin? Akankah semuanya akan jauh?" batinnya
Ketika sedang berjalan sembari malamun, pandangannya teralihkan ke es campur yang sedang ia genggam. Tanpa fikir panjang, ia mengambil beberapa batu es dan membuangnya tepat di tengah jalan. Ia jadikan es tersebut sebagai tanda, bahwa Ajeng sudah pulang. Siapa tau, Arya pun menantikan bertemu dengannya sepulang sekolah. Walaupun kenyataannya belum tentu dan itu hanyalah khayalan Ajeng.
"Semoga dia peka," batinnya kembali
*Sesampainya di Rumah
Beberapa menit kemudian, Ajeng tiba di rumah. Seperti biasa, rumahnya kosong. Sedangkan adiknya sudah pergi bermain entah kemana. Baru saja tiba, ia bergegas menuju kamar mandi. Setelah selesai, Ajeng mengisi perut kosongnya dengan nasi dan lauk sisa pagi tadi. Tinggal beberapa suap, terdengar beberapa temannya sudah memanggil dari teras rumah. Ajeng yang mendengar, segera selesaikan makan dan langsung menuju ke halaman rumah.
Di sana sudah ada teman-temannya yang siap mengajaknya bersepeda. Namun, di tengah-tengah mereka tidak terlihat kehadirannya. Iya, Arya. Ajeng kembali mengingatnya.
"Jeng, Ajeng!"
Suara tersebut membuatnya kaget
"Iya," jawabnya singkat
"Ayo, malah malamun," ucap Metha
"Iya bentar, aku ambil sepeda. Kalian duluan aja gapapa."
"Tidak, kita berangkat bareng."
"Tidak usah, kalian duluan aja. Lagian aku masih makan, tinggal beberapa suap lagi."
"Oh ya sudah, kita duluan ya."
"Iya."
Merekapun meninggalkan rumahnya, dan Ajeng kembali masuk. Namun saat sampai di daun pintu, terdengar keras suara salah satu dari mereka.
"Cepetan, ditunggu."
"Iya," jawabnya sedikit berteriak
Ia segera mengambil sepedanya dan menyusul mereka. Sesampainya di sana, Ajeng langsung bergabung dengan mereka.
"Kok tidak ada sih," batinnya
Iya, Ajeng kembali mencari Arya yang tidak terlihat di tengah-tengah mereka. Hambar, permainannya terasa hambar. Walaupun bergitu, ia masih bisa bermain seperti biasanya.
Larut dalam permainan, tidak terasa jam menunjukkan 15.45. Pertanda jam bermain harus mereka akhiri.
"Besok lagi ya, jangan lupa langsung ke sini," ucap Metha
Beberapa dari mereka mengiyakan permintaan tersebut, namun tidak dengan Ajeng, ia terdiam. Sampai meninggalkan tempat tersebut pun, Ajeng masih terdiam. Di pertengahan jalan, ia berniat mampir ke rumahnya. Dan tanpa berfikir panjang, ia belokkan sepeda ke arah rumah Arya. Sesampainya di sana,
"Arya, permisi," sapanya dengan sedikit berteriak
Ajeng mengulanginya beberapa kali, sampai akhirnya seorang laki-laki setengah paru baya keluar dari rumah tersebut.
"Sore om," sapanya
"Sore nak Ajeng. Ada apa nih, sore-sore kesini?"
"Hem, Arya nya ada om?"
"Arya, dia lagi main."
"Main? Maaf om, kalo boleh tau main kemana ya? Soalnya barusan tidak ada Arya di tempat biasa kita main sama yang lain."
"Om tidak tahu. Tapi ya jelas, tadi ada temannya yang jemput."
"Oh, gitu ya. Ya sudah om, Ajeng pamit ya. Sudah sore soalnya," ucapnya sembari tersenyum
"Iya iya, hati-hati ya"...
"Iya om."
Ajeng meninggalkan rumahnya dengan membawa seribu pertanyaan.
"Arya udah ada teman baru, sekarang lupa sama Ajeng," batinnya sembari menangis dan mengayuh sepeda
*Sesampainya di Rumah
"Udah pulang Jeng?" sapa mama nya
Ajeng yang sedang sedih, tidak menjawab pertanyaannya dan langsung menuju kamar. Mamanya yang penasaran dengan keadaan Ajeng, segera menyusulnya.
"Ajeng, kamu kenapa nak? Cerita sini sama mama."
Bujukan tersebut tidak membuatnya keluar, namun tidak berhenti. Takut terjadi apa-apa dengan putrinya, sang mama kembali membujuk Ajeng.
"Ajeng, Ajeng kenapa? Cerita yuk sama mama, kamu kenapa nak?"
"Arya udah punya teman baru ma, dan dia lupa sama Ajeng," jawabnya keras dari balik kamar
"Buka dulu yuk pintunya, kalo gini tidak enak ngobrolnya. Masa teriak-teriak," ucap sang mama
Hanya hitungan detik, pintu kamar terbuka. Di sinilah, mama nya sedikit memberikan nasihat kepada Ajeng.
"Nak, dengerin mama. Dalam hidup memang seperti itu. Perbanyak teman itu hal biasa sayang, apalagi di umur kamu yang sekarang," ucapnya lembut sembari mengelus rambutnya
"Tapi Arya lupa sama janjinya ma. Dia bilang sahabat, tapi kalo sahabat kenapa gini. Dia punya teman baru dan sekarang lupa sama Ajeng."
"Dia tidak lupa sayang, dia hanya sedang bermain dengan teman barunya. Ada waktunya berbagi, ada waktunya bersama, ada juga waktunya berpisah. Besok kan masih bisa main sama Arya? Udah ya, anak mama tidak boleh nangis gini ih, nanti cantik nya ilang," ujar sang mama sembari tertawa
Ajeng yang mengerti dengan penjelasannya, segera memeluk dan tertawa dipelukannya.