Contents
Mas Al, OTW!
Bab 4: Pemecatan
Elsa memutuskan panggilan secara sepihak, menghapus riwayat panggilan diterima, buru-buru meletakkan handphone Nino ke tempat semula. Gadis itu beralih mengotak-atik handphonenya sendiri. Mencari nama 'Mbak Andin' untuk mengirim pesan.
[Inget iya Mbak. Urusan lu sama Nino udah berakhir. Jangan pernah ganggu dia lagi. Atau gua akan benci banget sama lu.]
Nino sudah kembali duduk di hadapannya saat dia baru saja mengirim pesan. Elsa menyimpan handphonenya kembali dalam tas.
"Kerjaan?" tanya Nino membuka percakapan. "Kalau sibuk, kamu pulang duluan aja gak apa-apa."
Elsa mengangkat wajah, menatap pria itu, lantas menggeleng. "Enggak, kok. Gak sibuk sama sekali."
Nino mengangguk kecil. "Tapi kamu pulang duluan gak apa-apa. Makasih udah luangin waktu buat aku." Nino menyandarkan tubuh di sandaran kursi.
Elsa menggeleng singkat. "Aku gak sibuk, kok." Gadis itu tersenyum semanis mungkin, mencondongkan tubuh ke depan. "Mana mungkin aku ninggalin sahabat aku yang lagi galau berat karena kakakku."
"Tapi jujur, Sa. Aku lagi pengin sendiri," lirih Nino tanpa menatap.
Elsa mengangguk kecil. Mengerucutkan bibir sejenak sebelum tersenyum kecil. Dia sadar betul, Nino berniat mengusirnya meskipun dengan cara halus. "Oke, aku pulang duluan, iya." Elsa menatap lekat pria yang memandang arah lain. Menepuk bahunya. "Kalau ada apa-apa, kabari aku."
Nino mengangguk kecil, tetap tanpa menatapnya. Elsa mengembuskan napas panjang sebelum berlalu.
"Sabar Elsa, tenang. Ini masih permulaan. Ini udah awal yang sangat bagus." Dia mengembuskan napas lagi, lebih panjang dari sebelumnya. "Lu pasti bisa dapatin Nino, gak lama lagi." Seulas senyum manis terbit setelah kalimat terakhir.
Dalam kafe Nino hanya melamun. Jadi telunjuknya menjentik meja. Tatapan matanya lurus ke depan, kosong. Beberapa detik setelah itu dia mengecek handphone, melihat riwayat panggilan. Tidak ada panggilan masuk. Pria itu mengembuskan napas panjang. Bagaimanapun kemarin caranya mengusir Andin, tetapi sungguh, dia masih sangat mengharapkan perempuan itu menghubunginya, menjelaskan semuanya, menyakinkan perempuan dalam vidio skandal itu bukan dirinya.
***
"Bu Andin Karisma Putri, berhubung kasus vidio skandal yang menyandung Anda sedari kemarin, hari ini saya putuskan, ini hari terakhir Anda mengajar di Universitas Pelita Nusa. Ini hari terakhir Anda menjadi dosen di Universitas Pelita Nusa. Anda resmi dipecat."
Kalimat Bapak Rektor kampus bagaikan petir di siang bolong. Andin membeku, lidahnya kelu, aksaranya hirap untuk beberapa detik.
"Seperti yang pernah saya jelaskan dan disepakati saat Anda pertama kali diterima bekerja di sini. Yayasan ini memiliki peraturan khusus dari kepala yayasan, salah satunya, dosen dan staf yang tersandung kasus skandal, narkoba, korupsi akan dipecat."
Air mata Andin luruh. Dunianya runtuh. "Pak, perempuan di vidio itu bukan saya." Kalimat itu keluar setelah berusaha keras mengumpulkan kekuatan.
Bapak Rektor menggeleng lambat. "Saya sangat kecewa terhadap Anda. Saya pikir Anda dosen yang baik, profesional, dan bisa menjadi contoh teladan untuk mahasiswa mahasiswi. Ternyata apa? Anda meruntuhkan penilaian saya dengan sangat mudah."
Andin menggeleng. Wajahnya menatap sendu. "Tolong, Pak, beri saya waktu untuk mencari bukti. Perempuan dalam vidio itu bukan saya."
Pria paruh baya di hadapan Andin menggeleng kecil. "Maaf, saya sebagai rektor tidak mau mengambil resiko lebih besar untuk dosen seperti Anda dengan mempertaruhkan nama universitas. Universitas ini anti terhadap pelaku narkoba, skandal, dan korupsi."
"Pak ...."
"Sekian, silahkan keluar dari ruangan saya," tegas Rektor seraya menunjuk pintu keluar.
Andin menarik napas panjang, menahan untuk mengeluarkannya beberapa saat. "Baik, Pak, terima kasih," lirihnya bergetar.
Andin menyusuri koridor kampus menuju ruang dosen dengan penuh kepiluan. Kakinya seperti sudah tak berpijak di tanah. Dia tidak pernah menyangka dunianya akan sehancur ini. Nino, Papa, dan pekerjaan hilang secara bersamaan.
Mahasiswa dan mahasiswi yang berlalu lalang mengamatinya, menatapnya dengan tatapan jijik. Sorot memuja hirap dari netra mereka. Bahkan, Andin mendengar beberapa mahasiswi berbisik membicarakannya. Ini sungguh menyakitkan.
"Bu Andin tersandung kasus skandal."
"Vidionya sudah menyebar luas diseluruh jagad Maya."
"Gak nyangka saya tuh, ternyata beliau seperti itu."
"Padahal selama ini dia dosen teladan."
Andin menghentikan langkah sebelum memasuki ruang dosen. Dia bersembunyi di samping pintu, menggenggam erat pintu seraya menutup mulut, menekan kuat, agar Isak tak lolos. Setelah lebih tenang dia menghapus air mata. Menarik napas panjang, mengeluarkan perlahan. Mengumpulkan kekuatan, masuk ruangan. Dosen-dosen yang berkumpul mendadak bungkam. Andin membereskan barang-barang sebelum berlalu. Lidahnya sudah terlalu kelu untuk sekadar berpamitan.
Andin pulang naik angkot. Jika biasanya Papa selalu menjadi sandaran utamanya saat bersedih, kali ini dia sendiri. Tidak ada lagi tempat bercerita. Dia hanya bisa menangis sejadi-jadinya, tengkurap, memeluk guling.
"Ndin, lu kenapa?" tanya Mirna seraya tergopoh-gopoh ke arahnya. Perempuan itu duduk di tepi ranjang, mengusap bahu Andin yang bergetar hebat. "Andin, jangan begini, dong. Cerita sama gua."
Andin merubah posisinya menjadi duduk, berhambur ke pelukan Mirna. Menangis sejadi-jadinya.
Mirna mengusap bahu Andin perlahan dengan tempo lambat. Wajahnya menyiratkan kecemasan. "Ndin, ada apa, sih? Jangan buat gua bingung."
"Andin, please, jangan gini. Gua mohon. Cerita ada apa?"
"Andin." Mirna melepaskan peluk, mengusap air mata Andin. Menatap manik yang terus saja hujan. "Lu kenapa?"
"Gua dipecat." Tangis Andin kembali menjadi. Perempuan itu kembali memeluk Mirna. Mirna bungkam seribu bahasa. Dia membiarkan seluruh kesedihan Andin tumpah. Jika sebelum ini selalu ada Papa yang senantiasa memeluknya, sekarang dia harus bersyukur karena sekarang dia punya Mirna.
Andin melepas peluk. "Semua karena vidio itu."
Mirna menghapus air mata Andin. "Udah, Ndin. Gak apa-apa. Ada gua. Ada calon anak lu. Kita usaha cari jalan keluar bareng-bareng."
"Gua gak yakin, Mir."
Mirna menatap Andin lekat. "Semua masalah pasti ada jalan keluarnya. Percaya sama gua."
Andin menggeleng. "Percaya sama lu musyrik."
Mirna tersenyum miring. "Iya kan daripada gak ada kepercayaan jatuhnya sesat."
Andin kembali menangis. "Gua udah gak punya pekerjaan. Gua harus gimana?"
"Cari kerjaan baru, oke. Yang gak beresiko sama kehamilan lu."
Andin bungkam, tatapan matanya kosong.
"Gua ambil piring buat makan, iya. Lu pasti belum makan. Tadi pulang kerja gua beli makanan," ujar Mirna sebelum berlalu.
Andin tanpa sengaja melihat pantulan dirinya dari cermin. Netra perempuan itu mengamati pantulan tubuhnya. Saat mengedar, pandangannya berhenti di perut. Ada nyawa yang sedang dia kandung. Tangannya bergerak mengelus perut yang masih datar. Tiba-tiba ingatannya tertuju pada Nino. Pria itu ... bagaimanapun juga harus tahu bayi yang dia kandung darah dagingnya.
Andin mengambil handphone dalam tas. Mencari nomor sang suami, menghubunginya. Lama berdering, akhirnya telepon itu terangkat. Dia berusaha menjelaskan, tak ada jawaban dari Nino. Ternyata yang mengangkat Elsa. Elsa mematikan sambungan telepon secara sepihak. Beberapa menit setelah itu pesan dari nomor Elsa masuk.
Andin menatap nanar pantulan dirinya. "Baru kemarin, Mas, kamu usir aku. Kenapa sudah bersama perempuan lain?"
Bersambung ....
B