Try new experience
with our app

INSTALL

Mas Al, OTW! 

BB 3: Desakan Berpisah

Mirna melepaskan peluk. Menangkup wajah Andin. Menatapnya lekat. Mata mereka bertemu. "Kalaupun enggak, anak dalam kandungan lu akan tetap bangga punya ibu sekuat dan sehebat lu, Ndin."


Andin menggeleng kecil. "Tapi gua gak yakin, Mir." Dia menutup wajah dengan telapak tangan sejenak sebelum berujar, "Kalau nyatanya gua gak mampu gimana, Mir?"


Mirna mencekal bahu Andin. Menatap perempuan itu lamat. "Lu pasti bisa. Pasti mampu. Kalaupun enggak, akan selalu ada gua di samping lu, Ndin. Gua akan selalu support lu, apapun yang terjadi." Mirna semakin menatap Andin lekat. "Sekarang lu udah masuk list alasan kenapa gua harus bertahan hidup setelah kehilangan suami dan anak. Apa lu masih tega bilang gak mampu? Kalau sampai lu gak mampu dan nyerah, terus siapa yang jadi alasan gua bertahan hidup? Gua udah gak punya siapa-siapa, Ndin."


Suara Mirna parau di akhir kalimat. Andin membalas tatapan Mirna dengan sendu. Bibir Andin maju beberapa senti, terharu. "Aa, Mirna." Perempuan itu memeluk perempuan berambut pendek di hadapannya. "Makasih, iya."


Mirna mengangguk kecil. "Sama-sama, Ndin." Perempuan itu meregangkan peluk. "Pokoknya kita harus mulai lembaran baru di sini. Abaikan semua yang udah pernah terjadi di masa lalu." Mirna melirik perut Andin, mengusapnya. "Lu harus bertahan untuk bayi yang ada dalam kandungan lu. Darah daging lu. Oke?"


Andin mengangguk kecil. Mirna tersenyum. "Ada atau gak ada Nino di samping lu. Diakuin atau enggak anak lu. Buat dia beruntung punya ibu sekuat dan sehebat lu. Gua yakin suatu saat nanti lu bakal dapat gantinya, Ndin."


Andin semakin terharu mendengar penuturan Mirna. "Makasih banyak banget pokoknya, Mir. Gua gak tau lagi harus bilang apa selain kata makasih."


Mirna menepuk bahu Andin perlahan bertempo lambat. "Gak perlu makasih, Ndin. Kita itu keluarga mulai sekarang. Kita harus saling bahu membahu."


Andin mengangguk. Mereka kembali berpelukan sejenak sebelum Mirna berujar, "Iya udah, sekarang kita tidur, oke. Kasihan bayimu kalau diajak begadang. Pokoknya besok harus lebih bahagia menjalani hidup."


Andin mengangguk. Mirna mulai merebahkan tubuh. Perempuan berambut panjang itu menyapu pandang. Mirna memejamkan mata sejenak, sebelum kembali membukanya dan menatap Andin. "Lu kenapa sih, Ndin?"


Andin menyipitkan mata. Berbisik, "Katanya ada setan buntel di rumah ini."


Mirna kembali duduk. Menyipitkan mata, mengedar pandang ke sekitar, mengangguk kecil beberapa kali. "Katanya sih gitu."


Andin menatap penuh tanya pada Mirna. "Kata siapa, Mir?"


"Kata bocah-bocah sekitar rumah ini," jawab Mirna enteng sebelum kembali merebahkan tubuh.


Andin mendekatkan mulut pada telinga Mirna. Kembali berbisik, "Bocah-bocah siapa, Mir?"

"Itu, bocah-bocah SD yang biasa berangkat sekolah lewat depan rumah." Mirna menjawab dengan mata terpejam.

Mendadak wajah Andin berubah datar. Merasa tertipu dengan berita hantu buntel. Andin mengembuskan napas panjang, kesal. Perempuan itu merebahkan tubuh, menarik selimut, memejamkan mata.

***

"Mau tunggu apa lagi kamu, Nino? Mbak Andin udah terbukti selingkuh. Bahkan dia udah melakukan hal gak seharusnya dengan Roy," papar Elsa dengan raut serius. Gadis dalam balutan dress marun selutut itu mengembuskan napas panjang, membuang muka sekilas. "Dia udah nyakitin kamu, lho, Nino. Mau tunggu apa lagi? Bahkan Mbak Andin udah buat malu keluarga kamu karena vidio skandalnya itu."

Nino memejamkan mata sejenak. Menghantam tubuh pada sandaran kursi kafe yang diduduki. "Aku masih gak percaya aja, Sa."

Elsa tersenyum miring. Matanya menatap lekat manik Nino. "Gak percaya? Emang vidio itu kurang membuktikan apa, sih?" Gadis itu melipat tangan di depan dada. "Mbak Andin emang tampilannya aja yang polos, baik, setia. Aslinya busuk." Elsa memberi penekanan pada kata 'busuk'.

Mendengar itu Nino menatap lawan bicaranya lekat. "Apa katamu, Sa?"

Elsa mengangkat sebelah alisnya. "Mbak Andin itu aslinya busuk!" Elsa memberi penekanan pada setiap kata. "Kamu menyesal nikah sama Mbak Andin?"

Nino bungkam. Otaknya menerawang jauh pertanyaan Elsa. Menyesal? Nino menarik napas panjang sebelum mengembuskan perlahan. Air mukanya berubah semakin keruh.

"Nino! Kamu menyesal nikah sama Mbak Andin?"

Nino mengembuskan napas panjang. "Stop! Jangan bahas itu lagi."

Elsa menumpuk tangan di atas meja yang menyekat mereka. Gadis itu mendoyongkan tubuh ke depan. "Aku berharap tahu, Nino. Aku itu sahabat kamu. Lama banget kita bersahabat, kan." Elsa kembali menegakkan tubuh. Membuang wajah. "Itu kalau kamu lupa, sih."

"Iya aku nyesel nikah sama dia! Aku pikir dia perempuan baik-baik, ternyata enggak!" tegas Nino seraya menatap Elsa tajam. "Puas kamu?" Pria itu menyembunyikan wajah di antara tumpukan tangan.

Tanpa Nino ketahui seulas senyum terbit dari wajah Elsa. Bibir bergincu itu melekuk penuh kemenangan, sebelum akhirnya dia kembali memasang wajah prihatin. Elsa mengelus bahu Nino dengan lembut. "Yang sabar, iya, Nino. Cepat atau lambat Mbak Andin akan dapat balasannya."

"Aku mau ke toilet," ujar Nino sebelum berlalu. Elsa mengikuti pergerakan pria itu lewat ekor mata.

Handphone Nino berdering, panggilan masuk, nomor tak dikenal. Elsa mengamati nomor yang tertera. Dia bisa menebak nomor itu milik siapa. Tanpa pikir panjang Elsa meraih handphone itu dan menggeser ikon hijau, menerima.

"Halo, Mas. Akhirnya kamu angkat telepon juga. Mas, aku mau jelasin semuanya. Aku gak selingkuh, Mas."

"Mas, halo? Kamu masih di sana, kan? Aku yakin kamu masih di sana. Gak apa-apa kok meskipun kamu diam. Yang penting kamu dengerin aku."

"Aku sama sekali gak selingkuh, Mas. Perempuan di vidio itu bukan aku. Aku berani bersumpah, Mas."

"Dan, aku hamil, Mas. Anak kamu. Darah daging kamu. Kamu harus percaya sama aku, Mas."

Dada Elsa naik turun mendengar kalimat terakhir. Hamil? Dia tidak suka mendengar kabar itu. Kabar kehamilan Andin akan membuat semuanya tak berjalan sesuai rencananya. Dia tidak rela Nino mendengar kabar ini. Kalau sampai pria itu percaya dengan omongan Andin, bisa-bisa dia kembali ke pelukan Andin. Elsa tidak rela itu terjadi.

"Mas a--"

"Stop, Mbak! Jangan ganggu Nino lagi. Nino udah gak sudi dengar suara lu. Bahkan Nino juga gak sudi tahu apapun tentang lu!" Elsa memberi penekanan disetiap kata.

"Mana Mas Nino? Mbak harus bicara sama dia. Please, Sa, kasih handphonenya ke Mas Nino. Mbak mau memperbaiki semuanya."

Elsa tersenyum mengejek. "Apa sih, Mbak, yang mau diperbaiki? Hubungan kalian udah hancur. Semua udah hancur karena ulah lu sendiri."

"Sa, Mb--"

"Stop! Apa Mbak gak mikir gitu, gak cuma Nino dan keluarganya yang kena imbas buruk. Gak cuma hidup lu yang hancur. Tapi keluarga kita juga hancur, Mbak. Gara-gara vidio skandal lu itu, Papa jatuh sakit, kena struk. Itu semua salah lu. Apa lu gak ngerasa bersalah?" Elsa tertawa miris. "Otak lu dimana sih, Mbak? Lu pakai buat apa? Apa jangan-jangan lu emang udah gak sayang sama Papa?"



Bersambung ....