Try new experience
with our app

INSTALL

Wasiat Perempuan Bharata 

Bagian I: Lahirnya Sang Cakrawartin, Penguasa Dunia

SAKUNTALA kepada Duswanta:

Penantianku sudah cukup lama, kekasihku. Sudah saatnya kubawa Sarwadamana menghadapmu untuk menjadi penerusmu. Seperti janji yang pernah kauucapkan dulu.

Baginda Raja Duswanta, penguasa Kuru yang bijaksana, tidakkah kaulihat tanda cakra di telapak tangan anakmu? Belum cukupkah garis wajahmu yang tercetak saat ia tersenyum? Dengan apa lagi harus kubuktikan kesetiaanku sebagai putri Resi Kanwa yang mulia, yang tak pernah menginjakkan kaki keluar giriwarsa?

Kau yang datang kepadaku, Baginda. Raja muda perkasa yang begitu memesonaku, membuatku gelisah jika tak bersama denganmu. Hutan belantara seakan menjadi swarga sejak kedatanganmu.

Kau yang memintaku menjadi istrimu, tanpa upacara, tanpa seorang manusia pun sebagai saksi. Kau yang memberiku janji bahwa anak yang lahir dari rahimku akan jadi penerus takhtamu. Aku begitu memercayaimu sehingga rela melepasmu kembali ke Kuru tanpa membawaku. Sebelum pergi, sekali lagi kau berjanji, akan kembali menjemputku.

Janji adalah mantra pengikat jiwa antara manusia, suamiku. Bentuk tanggung jawabmu sebagai lelaki sejati.

Jadi aku menunggu. Namun, hingga Sarwadamana lahir dan besar, kau tak juga kembali. Apakah aku salah jika kami—aku dan anakmu—yang akhirnya datang meminta janjimu?

Tanda cakra di telapak tangan anakmu bukan sekadar bukti bahwa di dalam darahnya mengalir keagungan para raja dari garis ayahnya—yaitu kau, Baginda—melainkan juga dari garis leluhurmu, pun dari kebesaran jiwa ayahku, sang Vishwamitra. Ia memperoleh kemurnian jiwa dan kesucian para apsari dari garis ibuku, Dewi Menaka. Ia dididik dengan penuh kebijaksanaan di dalam asrama ayah asuhku yang dilindungi alam belantara.

Wajah putramu yang tampan itu juga memancarkan keagungan seorang raja besar seperti dirimu, Baginda. Sentuhan tangannya lembut menenangkan. Tak ada hewan sebuas apa pun yang tak tunduk kepadanya. Ia mungkin belum menjadi putra mahkota Kuru, tetapi ia telah menjadi raja di hutan tempat kami tinggal.

Suara putra beliamu tegas berwibawa, saat ia berkata kepadaku, “Jangan khawatir, Ibunda. Takdir mungkin akan membawa kita pada penderitaan, tetapi semua itu hanya sementara. Hidup setelah hiduplah yang lebih bermakna. Mari kita temui ayahku. Jika ia tidak mengakuiku, aku akan tetirah, menjalani hidup sebagai brahmana, seperti kakek Kanwa, dan membuatmu berbahagia.”

Tidakkah kautemukan sosok calon raja besar di dalam aura wajah penuh wibawa dan keteguhan sikap yang ia tunjukkan di hadapanmu?

Jika kau bersikeras menolak—hanya karena aku telah menghilangkan cincin yang kautitipkan kepadaku—kami tidak akan memaksa, wahai, Raja Duswanta. Apalah artinya seorang perempuan asing yang hanya dilindungi seorang remaja hijau tak berdaya?

Kami akan kembali ke dalam hutan, menjalani hidup seperti biasa. Sementara kau … kau akan kehilangan kesempatan menjadi ayah dan pendidik bagi putra mahkotamu.

Pilihan ada di tanganmu.

***

Legenda menyebutkan, setelah menolak kedatangan Sakuntala dan Sarwadamana di istana Kuru, Duswanta menjadi gelisah. Ia menyadari, harga dirinya sebagai raja yang ia pertaruhkan. Apakah rakyat akan mengakui ratu dan putra mahkota yang datang dari tempat antah berantah?

Akan tetapi, kisah sudah digariskan. Dewa mengirim sabda lewat hati nurani Duswanta, meyakinkannya untuk mengakui kehadiran istri dan anaknya. Sakuntala—putri resi berdarah bidadari itu—akhirnya memperoleh apa yang dijanjikan kepadanya.

Sarwadamana kemudian menjadi penerus Duswanta sebagai Raja Kuru. Di kemudian hari, wilayah kerajaannya meluas hingga mencakup seluruh pesisir dan anak benua. Sang penakluk bergelar Bharata, wilayah kekuasaannya disebut Bharatawarsha.

Di wilayah inilah, dari garis penerus Raja Bharata, lahir raja-raja besar dan kesatria-kesatria perkasa, serta para perempuan yang menjadi pelindung mereka.

***