Try new experience
with our app

INSTALL

Mas Al, OTW! 

Bab 2: Hantu Buntel

"Halo, Ndin. Lu seriusan nyari kontrakan, nih? Bukannya lu udah nikah, suami lu udah punya rumah sendiri."


Andin menjauhkan handphone dari telinganya sejenak, sebelum meletakkan handphone tepat di bawah mulut. "Panjang ceritanya, Mir. Lu ada info kontrakan kaya yang gua cari, gak? Gua butuh banget, nih. Malam ini juga."


"Ada, Ndin. Gratis malah. Tapi berhantu banget. Ada hantu buntel katanya."


Lipatan di dahi Andin tercipta. "Gratis?" beonya memastikan.


"Ho oh gratis. Mau, gak? Kalau mau tinggal sama gua."


"Mau banget, dong," terang Andin penuh kesungguhan. "Gua gak punya tempat tinggal soalnya. Lu kirim alamatnya, gih."


"Oke, gua share loc sekarang. Buruan otw, gua tunggu di depan rumah itu."


Sambungan telepon terputus. Chat masuk dari berwarna hijau. Buru-buru Andin membukanya, melihat lokasi rumah tersebut. "Lumayan jauh, sih. Tapi gak apa-apa lah. Yang penting ada dulu."


Andin memesan taksi online menuju rumah tersebut.


Taksi yang Andin pesan membelah keramaian kota 23 menit untuk sampai di lokasi yang Mirna berikan.


"Andin!" Mirna melambaikan tangan saat melihat Andin menyeret koper seraya bergantian melihat handphone dan gang kecil yang dilalui. Taksi yang Andin pesan tidak bisa berhenti tepat di depan rumah. Karena harus melewati gang kecil yang hanya muat untuk kendaraan roda dua.


"Mirna!" Andin menampilkan wajah sumringah sebelum memeluk Mirna erat.


Pelukan terlepas. Tanpa sengaja Mirna melihat mata sembab Andin. Perempuan itu menangkup wajah Andin. "Lo kenapa, Ndin?" Mata Mirna menyelidik lebih jauh setiap inci wajah Andin. "Lo habis nangis kejer, iya? Ada apa?"


Andin tersenyum kecil, menunduk. "Hidup gua hancur, Mir."


Mirna mengusap bahu Andin prihatin. "Nanti aja cerita, oke. Sekarang kita masuk, bersih-bersih dulu. Rumah ini udah gak kepakai dua tahun. Jadi pasti kotor banget."


Andin mengamati rumah tersebut, sebelum matanya mengamati sekitar. Banyak tumbuhan liar tumbuh subur. "Bay the way, ini rumah siapa, Mir? Ngeri juga dua tahun gak ditempati. Pasti gak dibersihi juga."


Mirna mengangguk sebelum membuka pagar besi rumah tersebut yang tingginya hanya satu meter. "Ini rumah almarhum kakek gua, Ndin. Dua tahun lalu dia meninggal. Jadi gak keurus deh rumahnya."


Andin mengangguk kecil. Dia mengikuti langkah Mirna. Mirna membuka pintu rumah, seketika mereka terbatuk. Debu dalam ruangan angkat tebal, sarang laba-laba di mana-mana, aroma lembab bercampur tanah menyeruak. Mereka mengusap hidung beberapa kali dengsn tempo tak menentu, sekadar mengurangi bersin.


Dengan bantuan senter handphone Mirna menekan sakelar lampu, menyala, tetapi sudah mulai redup. "Kayaknya mau putus deh lampunya."


Andin memandang lampu. "Iya, deh." Netra Andin beralih menatap Mirna. "Tapi gak apalah, kita bisa pakai senter."


Mereka berjalan menuju kamar utama, menekan sakelar lampu. Masih berfungsi dengan baik. Mereka tersenyum sebelum menuju ruangan lainnya, melakukan hal yang sama.


"Aku bersihin kamar mandi, iya. Kamu bersihin kamar utama. Biar nanti bisa cepat-cepat istirahat," tutur Andin seraya mengedar pandang di kamar mandi. Perlengkapan di ruangan ini masih lengkap, iya meskipun hampir semua sudut menjadi sarang laba-laba.


"Eh, jangan, Ndin. Mending kita bersihin kamar mandi bareng-bareng. Terus nanti bersihin kamar utama bareng-bareng. Biar cepat selesai." Andin menatap Mirna. Perempuan yang ditatap itu menggaruk tengkuk. "Rumah ini udah lama kosong juga. Ngeri kalau ngerjain sendiri-sendiri pisah ruangan. Nanti ada setan' buntel." Mirna mengakhiri kalimatnya dengan menyengir kikuk.


Andin mengangguk setuju. Mereka mulai membersihkan kamar mandi dengan Mirna fokus di bagian utara, Andin bagian selatan; saling memunggungi. Mereka fokus membersihkan lantai terlebih dahulu. Kebetulan sikat ada dua, sikat lantai dan sikat baju.


***


"Kok ngeri banget sih, Ndin, suami lu. Gila tuh laki, masa langsung percaya pas nonton vidio itu! Padahal kan dia udah tahu dalam-dalamnya lu. Masa iya gak bisa bedain, sih!" murka Mirna menggebu-gebu. Tangan perempuan itu terkepal kuat. "Gila tuh laki! Kesel banget gua sama laki lu, Ndin!"


Andin mengembuskan napas panjang, menunduk. "Iya gimana lagi, Mir. Gua udah usaha jelasin, tapi Mas Nino tetap gak percaya. Bahkan dia gak kasih kesempatan buat gua jelasin."


Air mata Andin kembali merembes. Mirna merasa bersalah melihat perempuan itu kembali menangis. Mirna mengusap bahu Andin perlahan. "Yang sabar, iya, Ndin. Kebenaran akan terungkap. Percaya sama gua. Gua akan bantu lu mengungkap kebenaran ini meskipun gua gak tahu caranya."


Andin mengangguk kecil. Perlahan dia mengangkat wajah, menatap Mirna. "Terus lu gimana? Maksudnya kenapa bisa balik di sini. Bukannya tiga tahun lalu lu menikah, iya. Terakhir gua dengar lu hamil. Anak lu?"


Mirna mengembuskan napas panjang, tersenyum. "Anak gua udah meninggal, keracunan makanan. Gua pisah sama suami gua karena suami gua ketahuan selingkuh sama adik tirinya."


Andin kaget mendengar cerita Mirna. Dia pikir masalahnya sudah paling berat, ternyata perempuan di hadapannya juga punya masalah berat. "Hah, keracunan makanan. Kok bisa?"


Mirna mengedikkan bahu. "Entahlah, Ndin. Gua gak tahu pasti. Yang gua tahu mulut anak gua berbusa, itu aja. Gua bawa ke klinik katanya keracunan makanan. Gua juga gak tahu pasti makanan yang mana yang merenggut nyawa anak gua."


Andin menatap Mirna sendu. Mirna menatap Andin. Mata mereka bertemu. Sorot keduanya memancarkan luka menganga yang cukup dalam. Dunia mereka sama-sama hancur.


"Peluk," lirih Andin seraya merentangkan tangan. Mirna menerima rentangan tangan Andin. Mereka berpelukan tanpa kata, cukup lama, berusaha meredakan sakit dari luka masing-masing. "Yang sabar iya, Mir."


"Kamu juga yang sabar, iya, Ndin."


Andin mengangguk kecil dalam pelukan itu. "Kita harus sama-sama sabar. Kita mulai lembaran baru di sini. Di rumah yang katanya ada setan buntel."


Mirna melepaskan peluk, tepat setelah mengusap mata. "Tapi beneran ada setan' buntel, Ndin."


Andin mengangguk kecil. "Gua percaya, kok. Secara emang rumah ini lama kosong. Bangsa lelembut suka sama rumah yang lama gak berpenghuni." Andin mengedar pandang dalam kamar utama. Mirna mengikutinya. Sebenarnya bulu kuduk perempuan itu meremang, tetapi perempuan itu berusaha tetap tenang. "Semoga para bangsa lelembut takut dengan janda muda."


"Aamiin." Mirna menjawab dengan lantang.


"Apa lagi satu janda mudanya sedang hamil dan suaminya gak tahu hal itu." Ada nada kegetiran dari kalimat Andin. Kalimat itu perpaduan antara suara hari dan gejolak rasa takut.


Mirna menatap Andin. "Lu hamil, Ndin?"


Andin mengangguk. "Ada buktinya, sebentar." Andin meraih tas selempangnya dan menunjukkan alat tes kehamilan yang menunjukkan dua garis.


Mata Mirna berbinar. "Selamat, Ndin." Perempuan itu kembali memeluk Andin. Andin sama sekali tak bereaksi. Pikiran perempuan itu berkelana pada sang suami.


"Mas Nino apa masih mungkin mau mengakui anak ini, Mir?" tanya Andin lirih, penuh kegetiran.


Mirna melepaskan peluk. Menangkup wajah Andin. Menatapnya lekat. Mata mereka bertemu. "Kalaupun enggak, anak dalam kandungan lu akan tetap bangga punya ibu sekuat dan sehebat lu, Ndin."


Bersambung ....