Contents
Mas Al, OTW!
Bab 1: Skandal Vidio
“Detik ini aku baru menyadari, tidak ada cinta yang benar-benar mempercayai tanpa tapi.”
-Andin Karisma Putri-
***
“Aku benar-benar tidak selingkuh, Mas,” lirih Andin dengan mata mengembun. “Aku sangat mencintaimu. Jangankan selingkuh, berniat menghianati cintamu saja gak ada.”
Telapak tangan Nino terkepal kuat mendengar penuturan perempuan yang baru menjadi istrinya sebulan ini. “Bohong!” Netra pria itu menunjukkan kilatan amarah. Andin menggeleng lirih, antara takut dan bingung harus menjelaskan bagaimana lagi. Sejujurnya, ini kali pertama Andin melihat pria dalam balutan jas hitam itu marah.
“Kamu benar-benar sudah menodai janji pernikahan kita!” Nino menarik napas panjang. “Aku pikir kamu perempuan baik-baik, ternyata kamu ... argh! Detik ini juga, kamu angkat kaki dari rumah ini.”
Andin menggeleng kuat. “Gak, Mas. Aku sama sekali gak melakukan apa yang kamu tuduhkan. Aku gak selingkuh.”
Nino tertawa miris. “Ndin, kamu gak buta, kan? Kamu udah lihat sendiri vidio itu, kan? Perempuan itu jelas-jelas kamu!” Nino menunjuk handphone di tangan Andin. Andin menggeleng kuat. “Perempuan dalam vidio itu jelas-jelas kamu, Ndin!”
“Mas, a--”
“Stop! Aku gak butuh penjelasan apapun dari perempuan jalang seperti kamu!” Nino berlalu menuju kamar dengan segala kekacauan dalam kepala.
“Mas ....” Suara Andin hirap termakan isakan. Tubuh perempuan itu luruh. Dia menggeleng kuat. “Aku sama sekali gak selingkuh. Perempuan dalam vidio ini bukan aku.”
Tangan bergetar Andin kembali memutar ulang vidio perempuan dan lelaki melakukan hubungan suami istri dalam kamar hotel. Ini bukan dia. Meskipun wajah perempuan dalam vidio ini wajahnya. Lelaki dalam vidio ini adalah lelaki yang sangat dia kenal, Roy. Lelaki itu mantan kekasihnya. Namun, sungguh, semenjak menikah dengan Nino, dia sudah tidak pernah berhubungan dengan lelaki itu.
Nino kembali muncul di hadapan Andin, membanting koper Andin. “Detik ini juga kamu pergi dari rumah ini!”
Andin memnggeleng lirih. Seluruh bahasanya tercekat di kerongkongan. Dia hanya bisa menggeleng, tanpa menjelaskan. Nino menarik lengan Andin dengan kekuatan penuh. Menghempas perempuan itu di emperan rumah. Andin terjembab bersamaan dengan koper yang dibanting di sampingnya, juga handphone yang terlepas dari genggamannya. “Kamu pergi dari rumah ini sekarang juga!”
Andin meraih kaki lelaki itu, bersimpuh, memeluk. Tangis perempuan itu semakin pecah. “Mas aku mohon, dengarkan dulu penjelasanku. Aku mohon.”
"Detik ini juga, kita selesai. Aku talak kamu, Andin Karisma Putri!"
Andin menyeka mata, menarik napas, memberanikan diri memandang sang suami. "Kalau itu memang keputusanmu, sebaiknya pulangkan baik-baik aku." Air mata Andin merembes lebih deras. Suaranya serak. "Kamu memintaku baik-baik. Kamu juga harus pulangkan aku baik-baik."
Nino sama sekali tak memandang Andin. Pria itu menarik kaki dengan kekuatan penuh hinggan tubuh Andin terjembab. Pria itu menutup pintu kasar.
“Mas!” pekik Andin menatap pintu rumah nanar. "Gimana caranya biar kamu percaya sama aku, Mas."
Isakan demi isakan lolos dari bibir bergincu oranye. Pundaknya naik turun selaras dengan isakan yang lolos. Matanya sembab. Wajahnya menyiratkan kehancuran. "Kamu janji akan terus percaya sama aku, Mas, mana buktinya?"
Andin mengusap mata perlahan. Hari sudah malam. Dia meraih handphone yang jatuh tak jauh dari tempatnya terjembab, memesan taksi online. Tujuan utamanya malam ini hanyalah rumah Papa. Tidak ada tempat lain selain di sana. Sebulan lalu Nino meminta izin baik-baik pada Papa Surya untuk memboyong Andin ke rumahnya. Namun, detik ini pria itu tidak mengembalikannya baik-baik, tetapi malah mengusirnya. Air mata Andin kembali jatuh saat mengingat kenyataan itu. Isakan lolos.
***
"Ngapain kamu ke sini lagi? Tidak puas sudah mengambil Nino dari Elsa? Kamu sudah membuat anak kandung saya sakit hati! Berani-beraninya kamu masih muncul di hadapan saya!" murka Sarah penuh penekanan disetiap kata.
"Ma, aku--"
"Saya gak mau lihat wajah kamu lagi. Sekarang juga kamu pergi dari sini, Ndin!" Sarah membuang wajah.
"Ma, aku mau ketemu Papa," ujar Andin dengan nada sendu.
Sarah tertawa miring. "Kamu sudah buat malu keluarga dengan skandal perselingkuhanmu itu. Asal kamu tahu, Papa jatuh sakit karena perbuatanmu itu. Papa pasti gak sudi lihat kamu, Ndin!"
Andin menggeleng tak percaya seraya menutup mulut dengan telapak tangan. "Papa sakit?"
Sarah mendorong tubuh Andin. "Pergi sekarang kamu dari sini! Saya gak sudi lihat kamu lagi!"
Andin terjembab. Sarah menutup pintu kasar. Tangis Andin pecah, bukan karena Sarah mengusirnya, tetapi karena mengetahui fakta Papa, pahlawan dunianya sakit karena perbuatan yang sebenarnya sama sekali tidak dia lakukan.
"Maafin Andin, Pa," lirih Andin dengan isakan yang lebih mendominasi. "Andin sama sekali gak melakukan hal semenjijikkan itu, Pa."
Perempuan itu menengadah. Matanya memancarkan kehancuran yang teramat sangat. Tangannya meremas dada. Ada nyeri hebat yang sedari tadi menyiksa. Perlahan netra Andin beralih menatap tas kecilnya, merogoh sesuatu dari dalam sana. Test pack dengan dua garis biru membuat tangisnya lebih pecah dari sebelumnya. Sekuat mungkin Andin menutup mulut agar isakan memilukan tertahan.
Harusnya malam ini kita bahagia merayakan kehamilanku, Mas. Bukannya ini yang kamu tunggu, batinnya mengiba. Tapi sekarang apa? Bahkan sebelum aku memberitahu kabar membahagiakan ini, kamu udah mengakhiri hubungan kita. Kamu melupakan janji pernikahan kita. Juga janjimu yang akan selalu percaya.
Andin meremas test pack dalam genggaman. Rasanya baru tadi pagi dia sangat bahagia melihat dua garis dari alat pengecek kehamilan itu. Bahkan dia sampai tak sabar menunggu sang suami pulang kerja untuk memberi tahukan kabar membahagiakan ini. Tadi sore dia sudah masak banyak, hendak memberikan kejutan. Ternyata malam dia yang dikejutkan dengan hal paling memilukan di dunianya. Kejutan dari sang suami lebih istimewa dari kejutan yang hendak dia berikan. Saking istimewanya, dia tidak akan pernah melupakan kejadian ini seumur hidup.
Bayangan saat pertama kali bertemu Nino hingga pria itu melamarnya, menikah, menjalani hari bersama terlintas dalam ingatan. Jika biasanya Andin akan menahan senyum hingga pipinya merona saat mengingat deret kejadian itu, kini berbeda, dia menangis dalam, meratapi kehancuran, penghianatan, kepahitan.
"Pa ... harus dengan siapa aku mengadu." Kalimat itu terucap dengan suara teramat menyayat, sebelum akhirnya tangis Andin berhenti. Perempuan itu mengusap wajah kasar berulang kali. Mencoba tersenyum, senyum untuk menutupi kehancuran.
"Sebelum semakin malam, aku harus cari kosan." Andin menarik napas dalam dan mengembuskan perlahan berulang kali. Perempuan itu bertekad mengabaikan sesak sejenak saja. Dia harus memikirkan malam ini bermalam di mana. Jika tadi tujuan utamanya rumah Papa Surya, kali ini dia harus merubah tujuannya. Tidak ada tujuan utama, yang ada di otaknya hanya, tempat bermalam.
Perempuan itu mengambil handphone dari dalam tas. Membuka aplikasi berwarna putih dengan logo F berwarna biru. Menuliskan sesuatu di fitur 'posting pembaruan status'.
Info rumah kontrakan, yang murah, tapi berfasilitas lengkap. Berhantu gak apa-apa.
Andin tersenyum kecil sebelum menekan fitur posting.
Bersambung ....