Try new experience
with our app

INSTALL

Möllerhatté 

KUTUKAN JONATHAN

AKU dan Jonathan Alexandris sudah bersahabat semenjak kami kanak-kanak. Saat itu aku dan keluargaku baru saja pindah di kota kecil bernama Marfa karena tuntutan pekerjaan ayah dan ibuku yang berprofesi dokter. Menjadi seorang anak tunggal sangatlah sulit bagiku mengingat kedua orang tuaku selalu sibuk bekerja, hampir tidak pernah punya waktu untukku. Setiap pulang sekolah aku hanya bisa menghabiskan waktu di rumah menonton film-film kartun atau bermain Play Station seorang diri. Tak ada teman atau saudara untuk bermain bersama atau berbagi rasa sepi.

Lama kelamaan, aku bosan hanya menghabiskan waktu seorang diri di rumah. Terkadang aku iri kepada anak- anak lainnya yang memiliki saudara sehingga bisa bermain bersama.

Tapi kemudian aku bertemu Jonathan. Sejak saat itu, kami tidak pernah terpisahkan lagi. Dia selalu datang bermain ke rumahku sepulang sekolah. Lalu, lama kelamaan orang tuaku pun, akhirnya, menerima kehadiran Jonathan dalam kehidupan kami. Dia selalu menginap pada akhir pekan dan menemaniku ke mana pun aku pergi. Jonathan telah menjadi lebih dari seorang teman bagiku. Dia juga adalah seorang saudara.

Kami tumbuh besar bersama dan masuk ke universitas yang sama di kota kelahiran ayahku yang jauh lebih besar dan ramai daripada Marfa. Bertahun-tahun kemudian aku memutuskan menikah dan memulai sebuah keluarga. Jonathan tidak ragu untuk menyuarakan kekuatirannya bahwa ini mungkin akan berdampak kepada persahabatan kami. Bahwa mungkin kami akan semakin jarang bertemu karena memiliki sebuah keluarga berarti memiliki tanggung jawab yang sangat besar dan membutuhkan seluruh konsentrasi dan waktuku. Tetapi aku menenangkannya dan berkata bahwa dia adalah keluargaku, dan hubungan kekeluargaan tidak akan pernah luntur sampai kapan pun.

Jonathan tidak pernah menikah. Dia bukan tipe orang yang ingin tinggal di suatu tempat dan memulai sebuah keluarga. Dia tidak pernah betah tinggal di tempat yang sama lama-lama. Energinya terlalu banyak dan otaknya selalu bekerja memacunya untuk terus bergerak dan menghabiskan waktu berkeliling dunia.

Setelah aku menikah, kami semakin jarang bertemu karena aku fokus kepada pekerjaan dan keluargaku, dan dia terus berpindah-pindah tempat. Namun, kami selalu berusaha meluangkan waktu untuk bertemu dan sekadar bercakap-cakap mengenang masa lalu setiap kali dia datang berkunjung atau aku kebetulan sedang berada di kota yang sama dengannya. Saat Facebook dan media sosial lainnya bermunculan, kami mendapatkan cara yang lebih dan murah untuk berkomunikasi.

Setiap kali dia sedang mengunjungi tempat-tempat luar biasa, dia selalu menandai namaku di foto-foto yang diunggahnya. Terakhir kali kami bertemu adalah beberapa tahun yang lalu saat aku memintanya menjadi wali permandian putraku, Tommy. Saat itu aku menyadari ada yang berubah dengan dirinya. Dia tampak jauh lebih tua dan kurus. Wajahnya tampak pucat dan tirus seperti sedang sakit. Dia juga semakin jarang tersenyum dan tertawa, padahal itu adalah salah satu ciri khas yang membuat orang- orang menyukainya.

Saat aku menanyakan hal itu kepadanya, dia hanya tertawa pelan sambil berkata bahwa aku tidak perlu mencemaskannya. Menurutnya, dia hanya kecapaian karena telah menghabiskan waktu bertahun-tahun menjelajahi dunia. Saat itu, ada sebuah suara kecil di balik kepalaku yang mengatakan bahwa ada yang tidak beres dengannya. Aku sudah mengenalnya sejak lama, jadi aku tahu pasti kalau ada yang berbeda dengannya. Namun, karena aku masih sibuk mengurus pembaptisan putraku, aku menepiskan kekhawatiranku dan memutuskan menikmati kebersamaan kami yang semakin jarang terjadi.

Setelah pertemuan terakhir kami itu, dia semakin jarang mengirim kabar kepadaku. Beberapa kali aku mengirimkan pesan di Facebook, dan baru dibalasnya berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan kemudian. Pertanda kedua yang memberiku firasat bahwa ada yang tidak beres adalah ketika dia sama sekali berhenti mengabariku selama setahun penuh. Aku betul-betul khawatir, tapi aku juga disibukkan oleh pekerjaan dan mengurus Tommy yang saat itu masih berumur 2 tahun dan membutuhkan perhatian ekstra.

Pada malam Halloween, setahun setelah percakapan kami yang terakhir di Facebook, akhirnya dia menjawab pesanku, “Hai, Sobat, apa kabar?”

Mataku langsung memelotot menatap pesannya itu. Perasaanku bercampur aduk memenuhi dada. Marah, cemas, lega, senang, menjadi satu. Aku lantas meneleponnya.

Aku:\tHai, Jonathan. Aku sudah meninggal dan dikuburkan tahun lalu. Apa tidak ada yang memberitahumu?

Jonathan: Ha ha ha. Kau masih sinis saja seperti perawan tua. Aku:\tDi mana kau, anak bodoh? Kenapa kau tidak pernah mengabariku? Aku mencemaskanmu selama ini, tahu!

Jonathan: Maaf … maaf. Iya, aku tahu. Aku sibuk sekali dua tahun terakhir ini. Aku ada di Spanyol sekarang. Apa sih yang kaukerjakan sebenarnya selama ini di sana? Apa kau sudah bertemu seorang gadis yang membuatmu tergila-gila dan membuatmu betah?

Jonathan: Ha ha ha. Gadis mana yang kaubicarakan? Dengar. Aku tidak bisa lama-lama. Mereka sedang menungguku.

Aku:\tMereka? Siapa mereka?

Jonathan: Oh, mereka… uhm… teman-temanku.

Aku:\tJon, kau tidak sedang terlibat dengan mafia pengedar obat-obatan terlarang atau organisasi kriminal rahasia lainnya, kan?

Jonathan: Ha ha ha, tentu saja tidak, bodoh.

Aku:\tAda apa, sih, sebenarnya?

Jonathan: Tunggu sampai aku pulang, Pak Tua Tidak Sabaran.

Aku–


Terdengar suara orang menjerit disusul bunyi berdentum nyaring yang memekakkan telinga. Aku sampai harus menjauhkan telepon dari wajahku.


Aku:\tYa ampun, Jonathan! Apa itu? Bunyi apa itu tadi? Di mana kau? Apa yang sedang terjadi?

Jonathan: Brian, dengar. Aku tidak bisa berbicara banyak denganmu. Aku harus pergi sekarang ... uhm… sampai ketemu nanti.


Dia langsung memutuskan sambungan teleponnya. Itu adalah terakhir kalinya kami bercakap-cakap karena beberapa bulan setelah itu, aku mendapat kabar bahwa Jonathan telah mengakhiri hidupnya dengan cara menggantung diri di kamar apartemennya di Madrid. Aku benar-benar terpukul mendengar berita kematiannya itu. Aku meminta izin cuti seminggu kepada atasanku untuk menghadiri acara pemakamannya yang sederhana dan sepi di Madrid.

Setelah kematian Jonathan, aku kembali berkutat dengan berbagai macam pekerjaan dan proyek besar yang menuntut untuk segera diselesaikan. Aku masih terus dihantui rasa bersalah atas kepergian sahabatku itu. Seharusnya, aku bisa lebih memperhatikannya. Mungkin aku bisa melihat tanda-tanda aneh atau perubahan drastis pada sikapnya sehingga aku bisa mencegahnya melakukan sesuatu yang bodoh. Tetapi semuanya sudah terlambat. Jonathan sudah tiada. Dan waktu tak dapat diputar kembali. Penyesalan terus menghantuiku selama berbulan-bulan.

Suatu malam sepulang kerja, aku mendapatkan sebuah kejutan tak terduga yang membuatku mempertanyakan segala hal yang kupercayai selama ini. Saat itu Cee, istriku, dan Tommy sedang menghabiskan akhir pekan di rumah orang tua Cee di kota lain berpuluh-puluh kilometer jaraknya dari tempat tinggal kami. Sehabis mandi dan membuat secangkir teh panas, aku menonton teve sebentar sebelum tidur karena besok aku harus bangun pagi-pagi sekali dan menyusul Cee.

Tengah malam, aku terbangun oleh bunyi bel pintu.

Aku langsung memasang telinga untuk memastikan bahwa aku tidak salah dengar. Bunyi itu terdengar lagi. Aku bangkit berdiri dan dengan ragu berjalan menuju ruang tamu yang gelap. Siapa yang datang di larut malam seperti ini? Aku bertanya-tanya dalam hati, teringat peristiwa perampokan brutal yang terjadi di pinggiran kota beberapa hari yang lalu. Untung saja, kami tinggal di kompleks yang cukup aman. Namun, jantungku mulai berdegup tidak karuan saat aku berjalan mendekati pintu depan.

Aku berdiri beberapa inci dari pintu , berusaha tidak membuat suara sekecil apa pun.

“Siapa?” Hening.

“Siapa di situ?” tanyaku lagi. Masih diam.

“Siapa kau? Apa yang kauinginkan? Katakan padaku atau aku akan membunyikan alarm dan polisi akan segera kesini!” Keringat dingin mulai mengalir membasahi punggungku. Kalau orang itu, siapa pun dia, merasa tidak perlu repot-repot memberitahukan identitasnya, pastilah dia bukan orang yang baik.

“Brian?”

Seketika itu juga jantungku seperti mau copot mendengar suara barusan. Suara yang begitu kurindukan selama ini. Tapi... ini tidak mungkin. Tanpa berpikir dua kali aku langsung membuka pintu lebar-lebar dan tidak percaya melihat siapa yang sedang berdiri di hadapanku.

“Jo ... Jonathan?” Bibirku bergetar luar biasa saat aku menyebut namanya.

Selama berbulan-bulan ini dadaku masih terasa sakit setiap kali ada yang menyebutkan namanya. Dan sekarang, dia sedang berdiri di hadapanku. Seolah-olah peristiwa berbulan-bulan yang lalu itu sama sekali tidak pernah terjadi. Dia menatapku dan tersenyum.

“Brian ... senang melihatmu lagi. Apa aku mengganggumu? Apa kau sudah tidur tadi?” tanyanya, seakan-akan tak ada hal yang lebih penting daripada jam istirahatku.

“Kau .... ini ... aku tidak .... Bagaimana mungkin?” Seluruh tubuhku gemetar hebat. Aku harus berpegangan pada bingkai pintu supaya tidak roboh, dadaku mulai sesak.

 

“Hmmm ” Dia bergumam sambil menyentuh dagu-

nya, “Kisahnya panjang, Sobat. Aku akan menceritakannya nanti. Tapi ngomong-ngomong, apa aku boleh masuk? Atau

... aku bisa kembali lagi lain waktu kalau waktunya tidak tepat.”

“Te-tentu saja. Masuklah,” kataku, masih belum dapat memercayai semua ini. Beberapa bulan yang lalu aku terbang ke Madrid untuk menghadiri pemakamannya. Aku melihat jasadnya yang kaku terbaring di dalam peti mati dengan mata kepalaku sendiri. Lalu kalau dia memang sudah mati, bagaimana mungkin dia bisa berada di sini sekarang?

Dia tersenyum lagi lalu berjalan masuk melewatiku dan langsung duduk di ruang tamu. Setelah menutup pintu, aku duduk di hadapannya. Dia memandangku tanpa berke- dip selama beberapa saat, membuatku semakin bingung dan canggung tak tahu harus berkata apa lagi. Kemudian, dia mulai membuka suara.

“Kurasa, aku berutang sebuah penjelasan padamu, Brian.” Dia melipat kedua tangannya di dada.

“Apa yang terjadi, Jon? Kukira kau sudah mati. Aku di sana saat mereka memakamkan jasadmu.” Suaraku terdengar lemah dan gemetar, juga melengking parau seakan-akan ada sesuatu yang menyumbat tenggorokanku.

“Hmmm yang mereka makamkan itu bukan aku.”

“Apa maksudmu? Kau mau bilang bahwa aku bodoh, begitu? Bahwa aku tidak bisa mengenali jasad sahabatku sendiri?” Tiba-tiba aku merasa marah kepadanya. Kalau memang dia masih hidup selama ini, apa yang telah mencegahnya datang menemuiku dan menjelaskan semuanya? Kenapa dia harus menunggu selama berbulan- bulan dan membiarkanku tersiksa rasa penyesalan yang tak kunjung habis?

Tiba-tiba ekspresi wajahnya berubah muram dan ujung bibirnya berkedut-kedut pelan.

“Maafkan aku, Brian. Yang kaulihat di dalam peti mati itu bukan aku.” “Oh ya? Lalu siapa?”

“Itu jasad Jonathan Alexandris.”

“Apa?\tLelucon\tapa\tini,\tJonathan?”\ttanyaku meninggikan suara, bingung bercampur marah.

“Aku serius. Itu ... bukan aku. Hm ... memang dulu aku yang berada di dalam tubuh itu, tapi sekarang aku sudah bebas. Aku sekarang sudah berada di dalam tubuh sejatiku.” Aku menatapnya bingung. Kata-katanya sangat tidak masuk akal bagiku. Tubuh sejati? Apa artinya itu? Apa dia sedang mabuk atau mungkin sudah kehilangan akal sehatnya?

Sepertinya dia bisa membaca pikiranku karena dia langsung mendecakkan lidah dengan tidak sabaran lalu menegakkan punggung dan mencondongkan diri ke depan supaya aku bisa mendengar kata-katanya lebih jelas.

“Aku sudah mati, ya. Tubuh yang kalian makamkan itu adalah tubuh lamaku. Dan sekarang aku terlahir kembali di tubuh baru ini. Tubuhku yang sebenarnya. Kini aku tak lagi dibatasi waktu dan ruang seperti kalian. Kau tak dapat melihat wujudku yang sebenarnya karena keterbatasanmu sebagai manusia biasa, Brian. Yang kaulihat sekarang hanyalah proyeksi dari ingatanmu akan diriku yang dulu.

Jadi, kau melihatku sebagaimana kau selalu mengenalku. Kau melihatku sebagai Jonathan, sahabatmu. Tapi kenyataan sebenarnya adalah aku bukan Jonathan lagi. Aku lebih daripada itu ” Kata-katanya dibiarkan menggantung begitu saja, seolah-olah ingin menantangku untuk mendesaknya dengan lebih banyak pertanyaan lagi. Aku hanya bisa duduk melongo memandangnya, berusaha mencerna omong kosong yang baru saja diutarakannya kepadaku.

“Jadi maksudmu, kau sudah mati dan terlahir kembali, begitu?” tanyaku, memandangnya dengan tajam, merasa yakin bahwa dia akan segera meninggalkan segala keseriusannya lalu tertawa terbahak-bahak karena telah berhasil membodohiku dengan sebuah lelucon tolol.

“Aku tahu kau tidak akan percaya. Aku tidak menyalahkanmu. Kalian manusia biasa memiliki kelemahan dalam mengamati hal-hal di luar pemahaman kalian yang terbatas.”

Sejenak kulihat ekspresi jijik di wajahnya saat mengucapkan hal itu. Seakan-akan dia merasa aku tidak pantas berada dalam satu ruangan yang sama dengannya. Tapi secepat datangnya, ekspresi itu langsung hilang saat dia kembali memfokuskan pandangannya kepadaku.

“Jon, selama berbulan-bulan, kupikir kau sudah mati, dan aku menghabiskan waktuku selama ini dengan rasa bersalah. Sekarang kau datang dan ingin aku memercayai kata-katamu? Bagaimana kalau kaukatakan saja apa yang sebenarnya terjadi dan di mana saja kau selama ini? Apa kau

 

telah memalsukan kematianmu sendiri? Apa kau sedang dikejar-kejar mafia atau semacamnya dan ingin melindungi dirimu?”

Dia menatapku tanpa suara selama beberapa detik. Matanya tampak berkilat-kilat tajam seperti mata hewan buas. Kemudian, di luar dugaanku, dia tertawa terkekeh- kekeh.

“Brian, sudah kubilang kau tidak akan mengerti apa yang telah terjadi padaku, Hanya ada satu cara. Aku akan menunjukkannya kepadamu.”

Dan sebelum aku sempat menghindar, dia langsung bangkit berdiri dan melompat menerjang ke arahku seperti seekor serigala kelaparan. Aku hanya bisa terkesiap menahan napas saat dia menindih tubuhku dan menempelkan kedua tangannya yang sedingin es di wajahku. Seketika itu juga mata kami bertemu dan aku tak kuasa melawannya. Seluruh tubuhku tiba-tiba sakit teramat sangat yang melumpuhkan pancaindraku. Dalam kepalaku aku mendengar jeritan- jeritan pilu yang menyayat hati dan emosi dari orang-orang yang telah mati di tangannya.

Beberapa detik yang lalu kami masih berada di ruang tamu rumahku, tetapi sekarang aku mendapati diriku sedang melayang-layang di udara seperti seekor burung malam. Beratus-ratus meter di bawahku aku melihat cahaya lampu dari rumah-rumah yang bertebaran sejauh mataku memandang. Aku menyadari bahwa dia berada di dalam kepalaku sekarang. Dai sedang merasukiku, menguasaiku, mengambil alih benakku.

Lalu, mendadak aku merasakan jiwaku melayang turun dan mendarat di sebuah lorong gelap yang sepi. Kulihat seorang wanita muda sedang berjalan seorang diri, tak menyadari kehadiranku. Rasa lapar tak tertahankan langsung menguasaiku. Dengan kecepatan luar biasa, aku menerjang wanita malang itu, menindih tubuhnya di atas permukaan tanah yang dingin dan basah, lalu menghunjamkan gigi-gigiku ke lehernya yang jenjang. Seketika itu juga, aku merasakan sesuatu yang begitu manis membasahi bibir dan lidahku. Dengan rakus aku menikmati darahnya dan tak berhenti sampai tubuhnya menjadi kaku dan dingin tak bergerak di bawahku.

Sebelum aku sempat menyadari yang sedang terjadi, aku kembali mendapati diriku sedang berada di ruang tamu rumahku dengan Jonathan yang duduk di hadapanku sambil tersenyum puas penuh kemenangan.

Aku merasa sangat mual. Aku masih bisa merasakan darah hangat wanita malang itu di lidahku. Aku langsung berdiri dan jatuh terkapar di lantai, muntah-muntah.

“Apa ... apaan itu tadi ...,” seruku, berusaha mengendalikan rasa mual yang mencengkeram perut dan dadaku seperti sesuatu yang menjijikkan. “Apa yang baru saja terjadi ...” Aku kembali memuntahkan isi perutku ke lantai.

“Aku baru saja menunjukkan kepadamu sedikit dari apa yang bisa kulakukan sekarang,” ucapnya tenang, masih duduk santai, seakan-akan aku tidak sedang terkapar di lantai dan memuntahkan seluruh isi perutku ke mana-mana.

 

“Apa?”Aku menoleh ke arahnya tapi dia sudah lenyap. “Kau juga bisa menjadi seperti diriku, kalau kau mau.” Dia sedang berdiri tepat di sampingku sambil mencondongkan tubuhnya ke bawah dan menatapku sambil tersenyum, membuatku terkejut luar biasa dan langsung mundur menjauhinya dengan rasa takut luar biasa. Aku menyadari bahwa siapa pun pria ini, dia bukanlah Jonathan sahabatku. Dia bukanlah orang yang ku kenal selama ini.

“Siapa kau? Apa yang kauinginkan dariku?” Suaraku lebih mirip orang yang sedang memohon daripada meminta sebuah penjelasan. Perutku masih bergolak tidak karuan. Aku merapatkan tubuh ke dinding berusaha menjaga jarak di antara kami walaupun aku sebenarnya sudah tahu bahwa sekarang nyawaku berada di dalam belas kasihan makhluk mengerikan ini.

Sambil menegakkan tubuhnya yang tampak tinggi menjulang di hadapanku. Cahaya samar dari ruang tengah membuat siluetnya kelihatan begitu mengancam dan berbahaya. Dia tidak mendekatiku dan hanya berdiri memandangku selama beberapa saat sementara aku berusaha untuk menarik napas dan menenangkan detak jantungku Jonathan berkata, “Aku sahabatmu, Brian. Aku memang bukan Jonathan lagi. Tapi aku tetap sahabatmu. Itulah sebabnya aku datang menemuimu malam ini.”

“Apa yang kauinginkan dariku? Makhluk apa kau sebenarnya? Apa yang telah kaulakukan kepada sahabatku?” “Aku tidak menginginkan apa-apa darimu, Brian. Sudah kubilang, aku bukan Jonathan. Tapi aku tetap sahabatmu. Dan aku peduli kepadamu. Aku datang ke sini malam ini untuk memberikan sebuah penawaran kepadamu.”

Aku diam menatapnya. Dia tidak bergeser dari posisinya.

“Apa maksudmu?”

“Kau sudah lihat, bukan, bahwa aku berkata yang sesungguhnya? Tak ada yang bisa membatasiku sekarang. Aku dapat melakukan apa pun yang ingin kulakukan.”

“Maksudmu ... seperti... seperti yang kaulakukan kepada wanita malang itu?”

“Kau tidak perlu kasihan kepadanya. Bagiku dia hanyalah kudapan malam. Tidak lebih.”

“Kau tidak sungguh-sungguh, kan?”

“Brian, saat kau sudah berubah sepenuhnya seperti diriku dan menanggalkan tubuh fanamu untuk selamanya, kau akan menyadarinya. Semuanya sebanding. Nyawa wanita itu dan manusia-manusia lemah lainnya sebanding dengan apa yang akan kau alami. Kau akan berterima kasih kepadaku nanti.”

Aku terisak, menggeleng. “Tapi aku tidak ingin menjadi vampir!” Tanpa kusadari air mataku telah mengalir turun membasahi wajahku yang basah oleh keringat dan sisa-sisa makan malamku.

Jonathan langsung tertawa terbahak-bahak. Dia menggeleng-geleng. “Vampir. Hm ... ya, kurasa itu adalah nama yang mereka berikan bagi kami. Tapi perlu kauketahui, Sobat. Aku lebih dari sekadar makhluk pengisap darah seperti dalam legenda-legenda konyol manusia. Aku ... jauh ... lebih ... berharga ... daripada manusia dan makhluk mana pun.” Dia mencondongkan tubuhnya ke arahku dan tersenyum sinis. “Aku datang kemari karena aku peduli kepadamu. Aku ingin menawarkan jalan ini supaya kau bisa menjadi seperti diriku. Bebaskan dirimu dari belenggu tubuhmu yang fana dan jadilah sepertiku. Abadi dan berkuasa selamanya. Tak ada batasan. Kematian bukan lagi sebuah momok yang membayangi setiap saat, seperti makhluk buas yang mengintai dalam kegelapan, menunggu waktu yang tepat untuk menyerang.”

Aku terisak-isak dan merasakan seluruh tubuhku mendingin mendengar kebengisan kata-katanya. Dia dulu sahabatku yang berhati baik dan polos, tak pernah menyakiti siapa pun. Tapi sekarang, yang berada di hadapanku adalah sosok makhluk berhati beku yang menganggap nyawa manusia sama tidak berartinya seperti kecoak dapat dia remukkan kalau dia mau.

Aku memohon kepadanya, “Kumohon ... kumohon, Jonathan ”

Dia bangkit dan berjalan pelan menghampiriku. “Brian, aku bisa saja menghabisimu malam ini kalau aku mau. Tapi tidak. Aku masih punya hati. Aku masih menganggapmu sahabatku. Aku datang untuk memberikan sebuah pilihan kepadamu. Semuanya tergantung kamu. Aku tidak akan memaksamu. Kau bisa bergabung denganku dan menjadi makhluk paling kuat di dunia ini untuk selamanya, atau tetap terbelenggu pada nasibmu sebagai manusia fana dan mampus seperti yang lainnya. Pikirkan baik-baik.” Aku merapatkan tubuhku ke dinding dengan gemetaran, tak tahu apa yang akan dilakukannya kepadaku.

Dia mencondongkan tubuhnya ke arahku sampai wajah kami hanya tinggal berjarak beberapa senti saja. “Brian,” katanya lembut. “Aku peduli kepadamu. Kaupikir aku akan tinggal diam saja melihatmu terikat pada keterbatasan manusia sementara aku menikmati semua ini seorang diri? Kau selalu baik kepadaku. Saat semua orang, bahkan keluargaku sendiri membuangku, kau tetap menerimaku dalam rumahmu dan menganggapku sebagai saudaramu sendiri. Sudah waktunya bagiku membalas semua kebaikanmu kepadaku.”

Aku memalingkan wajah, berusaha menjauhkan diriku darinya. Aku sungguh ketakutan dan nyaris putus asa. “Pikirkan baik-baik.” Dia mengecup keningku dengan lembut. Bibirnya sedingin es.

Aku hanya bisa memejamkan mataku sambil terisak-isak. Setelah beberapa menit berlalu dalam keheningan yang mencekam, aku baru berani membuka kedua mataku perlahan-lahan.

Dia telah lenyap. Hanya ada aku sendiri di dalam kegelapan ruang tamuku yang menyesakkan. Seluruh tubuhku bermandikan keringat dingin dan muntah. Aku tahu yang baru saja terjadi bukanlah mimpi atau halusinasi, tak peduli seberapa kuat pun aku berusaha melupakannya. Kata-kata Jonathan masih terngiang-ngiang di telingaku. Kata-kata sahabatku yang selama ini kupikir sudah mati. Dia muncul kembali dari kegelapan dan datang menemuiku untuk menawarkan sebuah jalan pintas yang hanya akan membawaku ke dalam malam panjang gelap tanpa akhir dan menjadi makhluk terkutuk sama seperti dirinya.

Aku memaksakan diri untuk berdiri. Kedua lututku goyah dan gemetar. Apa pun itu, aku tidak akan pernah mengambil jalan seperti yang telah ditempuh Jonathan. Aku tidak pernah bermimpi untuk melakukannya.

Tanpa berpikir panjang lagi, aku langsung berjalan ke luar rumah, bergegas masuk ke dalam mobilku, dan tidak berhenti mengemudi selama berjam-jam sampai aku tiba di rumah orang tua Cee.

***

Keesokan paginya, setelah tertidur lelap sepanjang sisa hari itu, aku terbangun dan merasakan tangan Cee membelai punggungku dengan lembut. Cee adalah wanita yang luar biasa baik dan penuh pengertian. Terkadang saat aku sedang stres memikirkan banyak hal dan ingin sedikit waktu untuk menyendiri, dia akan memberikannya kepadaku. Seperti tadi subuh saat aku tiba di rumah orang tuanya, dia terkejut melihat tampangku yang berantakan dan bagian depan kausku yang penuh noda muntahan. Tapi saat dia bertanya apa yang telah terjadi dan aku hanya menggeleng, dia tidak mendesakku lagi. Dia malah menyuruhku masuk untuk membersihkan diri lalu berbaring dan beristirahat sementara dia membuatkan secangkir teh panas di dapur.

Aku tahu aku berutang sebuah penjelasan kepadanya atas kemunculanku yang tiba-tiba di pagi buta. Tapi apa yang akan kukatakan kepadanya? Bahwa sahabatku telah kembali dari kematian dan mendatangi rumah kami semalam? Jadi, aku memutuskan untuk diam sementara waktu ini sampai aku dapat memberikan penjelasan yang lebih masuk akal. Waktu telah menunjukkan pukul sebelas siang lewat beberapa menit saat aku akhirnya terbangun. Tubuhku terasa jauh lebih segar dan aku bisa melihat langit biru yang cerah di luar jendela dengan gumpalan awan putih yang seperti sekawanan domba. Peristiwa semalam mulai terasa seperti mimpi buruk saja. Atau memang begitu? Apakah semalam aku cuma bermimpi?

Kehadiran Jonathan semalam terasa begitu nyata dan semua ucapannya masih terngiang-ngiang dalam kepalaku. Aneh sekali bukan, bahwa saat sebuah hal di luar nalar terjadi, tak peduli seberapa pun nyatanya, otak kita masih berusaha mencari sebuah penjelasan yang masuk akal. Kurasa ini adalah sebuah mekanisme pertahanan tubuh untuk mencegah kita menjadi kehilangan kewarasan saat hal-hal di luar logika sedang terjadi.

Dan itulah yang terjadi padaku. Sekarang, setelah jauh dari rumahku dan berada ditengah orang-orang yang menyayangi dan peduli kepadaku, peristiwa semalam telah memudar dalam benakku, hanya terasa seperti sebuah mimpi buruk melelahkan yang mulai terlupakan.

Sampai pada Minggu sore, saat kami bertiga pulang ke rumah. Aku menemukan sisa-sisa muntahan kering yang berceceran di lantai ruang tamu. Darahku langsung terasa beku. Cepat-cepat aku mengambil kain pel dan membersihkan lantai tanpa menghiraukan tatapan Cee yang penuh tanda tanya.

Malamnya, saat keluargaku telah tertidur lelap, aku malah menyibukkan diri di ruang tengah dengan segelas anggur hitam sambil melakukan penelusuran mengenai asal- usul vampir di internet.

Aku berhasil menemukan beberapa fakta aneh yang membenarkan teoriku mengenai pertemuanku dengan Jonathan. Dalam berbagai legenda di seluruh dunia, seseorang hanya menjadi vampir kalau dia melakukan dosa yang paling dikutuk dalam kepercayaannya sendiri. Dalam hal ini adalah bunuh diri. Saking parahnya, bahkan neraka pun tidak mau menerima orang yang mengakhiri hidup mereka sendiri. Mereka selamanya dikutuk menjadi makhluk-makhluk malam, terikat pada rasa haus mereka selamanya akan darah makhluk hidup dan menghantui sudut-sudut yang gelap dan tersembunyi. Cahaya matahari juga dapat berakibat fatal bagi mereka. Satu lagi fakta penting yang kutemukan adalah: walaupun mereka pada dasarnya adalah makhluk yang luar biasa kuat dan memiliki beberapa kemampuan supranatural seperti terbang, kecepatan luar biasa, dan lain- lain, mereka juga memiliki sebuah kelemahan. Mereka tidak dapat masuk ke dalam rumah-rumah kalau tidak diizinkan oleh pemiliknya. Kurasa itulah sebabnya mengapa Jonathan tidak bisa masuk begitu saja ke dalam rumahku malam itu sampai aku memberinya izin.

Semakin lama aku semakin terobsesi untuk melindungi keluargaku dan semua orang yang kukenal dari Jonathan. Aku mulai rajin ke gereja padahal sebelumnya tak pernah sama sekali. Aku berteman dengan Pastor Romeo yang mengajariku cara berdoa dan cara mengusir kekuatan roh-roh jahat dari dalam kehidupanku. Dia berkata bahwa iblis tidak akan berani mendekati anak-anak terang yang berjalan di bawah cahaya kebenaran. Kata-katanya, sejauh ini, terbukti benar. Setelah malam itu, aku tidak pernah merasakan kehadiran Jonathan lagi.

Setiap malam sebelum tidur, aku mengurapi sudut-sudut rumahku dengan air suci dan berdoa meminta perlindungan dari kuasa-kuasa kegelapan yang ingin mengganggu kami. Semua ini kulakukan tanpa sepenge- tahuan istriku. Aku tidak ingin dia menganggapku aneh atau sudah gila karena terobsesi hal-hal seperti ini. Akan ada waktunya nanti untuk menjelaskan semuanya kepada Cee.

Selama beberapa tahun kemudian, kehidupan kami berjalan aman tanpa gangguan. Namun kadang-kadang, saat aku sedang sendirian berjalan di kota pada malam hari, aku merasa ada sesuatu yang gelap dan dingin mengintaiku dari kejauhan, menunggu aku lengah supaya dia menemukan celah untuk kembali menghantuiku seperti malam itu. Aku tahu Jonathan masih ada di luar sana, merasa marah dan bingung karena aku telah membangun sebuah benteng pertahanan yang kuat sehingga dia tidak bisa menembusnya. Suatu hari, benteng yang telah kubangun dengan susah payah itu roboh, hancur berkeping-keping ketika aku menerima sebuah kabar buruk. Cee dan Tommy sedang di jalan yang ramai saat sebuah sedan putih kehilangan kendali dan menghantam bagian depan mobil mereka dengan keras. Mobil Cee terempas ke luar pagar pembatas jalan dan jatuh bergulingan di sisi perbukitan sebelum mendarat di sebuah cekungan luas dan dalam yang penuh bebatuan cadas. Cee tewas di tempat saat itu juga. Sementara putra kami harus dilarikan ke rumah sakit. Kondisinya sangat kritis. Ketika aku tiba di rumah sakit, dokter berkata bahwa otak Tommy cedera hebat yang membuatnya koma dan kecil kemungkinannya akan bisa sadar kembali. Aku tenggelam dalam lubang hitam depresi. Aku merasa tidak akan pernah berhasil ke luar dari sana. Teman-teman dan keluargaku datang silih berganti menghiburku, tetapi tak ada yang bisa mengurangi kesedihanku. Setiap malam di rumah sakit, aku menghabiskan berjam-jam berdoa di samping tempat tidur Tommy, meminta Tuhan untuk menyembuhkannya dan mengambil nyawaku saja sebagai gantinya. Namun, setiap pagi saat aku bangun, aku selalu mendapati putraku masih dalam kindisi yang sama: tergolek tak berdaya. Selang infus dan perban yang membungkus hampir seluruh tubuhnya yang kecil dan lemah seakan-akan menjadi pengingat bagiku betapa rapuhnya kehidupan ini.

Jantungku selalu serasa mau copot setiap kali monitor detak jantung dan tekanan darahnya berhenti selama beberapa detik. Aku akan langsung berlari ke luar dan berteriak-teriak di sepanjang selasar memanggil dokter dan para perawat untuk menyelamatkan putraku. Aku benar- benar putus asa. Sekarang ini kewarasanku hanya bergantung pada seberapa kuatnya putraku bertahan melawan maut yang sedang membayangi dirinya. Aku tahu dia sedang mengalami penderitaan teramat sangat dan egois sekali bagiku untuk memintanya bertahan di usianya yang baru beranjak lima tahun. Tapi aku tak sanggup membayangkan kehilangan dia untuk selamanya. Aku akan hancur tanpanya.

Suatu malam, setelah jantungnya berhenti berdetak selama hampir dua menit, dokter memberitahuku bahwa tingkat ketidaksadaran putraku sekarang lebih dalam daripada sebelumnya. Dalam banyak kasus, orang yang mengalami hal ini umumnya tidak pernah kembali lagi. Organ-organ tubuhnya mungkin masih dapat berfungsi dengan bantuan peralatan-peralatan medis yang terhubung dengan dirinya, tapi kesadarannya setipis kabut.

Hatiku hancur seketika. Sebelumnya aku masih percaya Tuhan tidak akan pernah meninggalkanku dan putraku akan kembali kepadaku.

Namun setelah malam itu, seluruh imanku langsung remuk seperti hatiku. Dengan marah aku melemparkan salib yang selama ini kupakai di leherku tinggi-tinggi ke udara dan melihatnya jatuh dalam kegelapan di luar jendela kamar, tak terlihat lagi. Lalu aku jatuh terduduk di lantai dan menangis terisak-isak selama hampir sejam sampai aku merasakan sepasang tangan dingin mengangkatku dan merangkulku dengan lembut, mendekapku dalam pelukannya.

Aku menengadah dan kudapati Jonathan menatapku dengan ekspresi penuh penyesalan. Kedua matanya yang hitam berkaca-kaca. Wajahnya pucat seperti salju, kontras dengan jaket hitam panjang yang dikenakannya. “Oh, Brian, maafkan aku. Maafkan aku. Seandainya aku bisa menolongmu. Seandainya aku bisa menolong Cee dan putramu,” ujarnya lembut.

“Apa ... apa maksudmu?” kataku masih tenggelam dalam keputusasaan, merasa terkejut melihat kehadirannya. “Aku bisa menyelamatkan mereka hari itu. Seandainya

kau tidak membuat pertahanan. Seandainya saja kau tidak mengelilingi mereka dengan kekuatan doa-doamu, aku pasti bisa mendekati mereka dan mencegah kecelakaan itu.” Kata-katanya terdengar lirih dan penuh penyesalan. “Aku peduli kepadamu. Kau adalah sahabatku. Tapi kau tidak membiarkanku menolongmu. Kau malah membangun sebuah dinding pemisah di antara kita. Andai saja kau percaya kepadaku dan menerimaku malam itu seperti kau menerimaku berpuluh-puluh tahun yang lalu, ini semua tidak akan pernah terjadi. Keluargamu pasti selamat.”

Dan aku langsung meraung sejadi-jadinya, roboh ke lantai, tapi dengan mudah dia mengangkatku kembali ke dalam pelukannya dan membiarkanku terisak-isak seperti seorang anak kecil di dadanya.

Aku telah bersikap begitu bodoh. Kupikir selama ini aku telah melakukan hal yang benar. Aku pikir selama ini dengan mendekatkan diriku kepada Tuhan, aku telah melindungi keluargaku. Ternyata aku salah besar. Kenyataannya, Tuhan tidak menolong Cee dan Tommy. Kenyataannya, Tuhan membiarkan Cee direbut paksa dariku. Kenyataannya, Tuhan membiarkan putraku berjuang melawan maut di usianya yang masih begitu muda.

 

Dan Jonathan, sahabatku yang selama ini ku anggap sebagai monster menyeramkan, makhluk malam yang terkutuk, malah menunjukkan rasa simpati luar biasa kepadaku dan ikut menangis bersamaku. Lalu, karena kebodohanku sendiri, aku telah mencegahnya menolong keluargaku dari maut.

“Jonathan ... tolong aku ...,” Aku memohon dengan suara yang hampir tercekat di tenggorokan, “Tolong aku ... Aku sudah tidak sanggup lagi. Terlalu sakit ... rasanya terlalu sakit ... aku tidak sanggup lagi ”

Dia mengangkatku dan membaringkanku di sofa panjang di samping tempat tidur Tommy yang terbaring lemah meregang nyawa. Dia menyeka air mata yang membasahi wajahku dengan jari-jarinya yang dingin.

Seperti seorang ayah yang sedang menenangkan putranya yang gelisah, Jonathan berkata, “Untuk itulah aku datang. Aku tidak pernah meninggalkanmu. Aku selalu menunggu saat yang tepat untuk kembali karena aku peduli kepadamu.”

“Terlalu sakit ” Aku memegangi dadaku yang terasa sesak.

“Aku tahu. Aku tahu\t” Dia mengelus pipiku dengan lembut. “Aku akan menolongmu.”

Dia kemudian berdiri, berjalan menghampiri Tommy. Sebelum aku sempat mencegahnya, dia langsung menarik selang infus dan seluruh peralatan penyokong kehidupan yang terhubung pada tubuh putraku. Seketika itu juga sinyal vital di monitor mesin-mesin di samping tempat tidur langsung menampakkan garis lurus disertai bunyi bip panjang.

“Jonathan! Apa yang kaulakukan?” hardikku sambil bangkit dan berlari menghampirinya. Dia tidak menjawab tetapi langsung mengangkat Tommy.

Aku berseru panik, “Jonathan! “Brian, percayalah padaku. Kau ingin aku menolong putramu, bukan? Kau harus percaya kepadaku.” Dia mengecup dahi Tommy yang lebam-lebam dan penuh goresan luka.

“Apa yang akan kaulakukan?” tanyaku bingung bercampur ngeri.

Dia mengayun-ayunkan tubuh putraku dengan lembut dalam pelukannya, seperti sedang menimang bayi.

“Aku akan menolongnya. Dia adalah lelaki kecil yang tampan. Dia sangat mirip denganmu.”

Sesaat aku merasa ingin merampas putraku darinya. Apalagi bunyi mesin-mesin di sekeliling kami mulai membuat telingaku sakit. Tapi aku tak kuasa mencegahnya. Setelah semua yang terjadi padaku, setelah segala yang kupercayai telah mengecewakanku, kurasa aku tidak punya pilihan selain membiarkan dirinya menolongku.

“Jonathan ... aku ”

“Kau pulanglah, Brian. Pulang dan beristirahatlah. Kau memerlukannya. Biarkan aku menolongmu.”

“Apa yang kaulakukan? Kau mau membawa putraku ke mana?” Aku mengikutinya.

Dia berhenti tepat di depan jendela kamar rumah sakit. Kulihat jendela itu perlahan terbuka dengan sendirinya.

 

Seketika angin malam menerobos masuk dan menyentuh kulitku dengan lembut.

“Percayalah kepadaku, Sobat. Aku ingin menolongmu. Sekarang, kau pulang dan beristirahat, oke? Aku akan menemuimu lagi besok menjelang tengah malam. Aku akan mengakhiri semua penderitaanmu, selamanya.” Dia langsung melayang ke luar melalui jendela itu dan lenyap ditelan kegelapan malam.

***

Setelah pertemuanku yang kedua kali dengan Jonathan, aku mulai menyadari sesuatu yang selama ini hampir kuabaikan. Bahwa tak peduli bagaimana sakit yang kurasakan karena kematian Cee, dan kepergian putraku, aku tidak pernah sendiri. Aku bukan satu-satunya orang yang mengalami hal seperti ini; bukan satu-satunya yang harus menelan kepahitan setelah ditinggal pergi orang-orang yang sangat kusayangi. Itulah yang membuat kita menjadi manusia seutuhnya. Kemampuan kita untuk menyayangi dan mencintai dengan ketulusan hati, kemampuan kita merasakan sakit dan mengikhlaskan kepergian orang yang kita sayangi membuat kita sanggup melanjutkan kehidupan tanpa kehadiran mereka.

Jadi malam itu, setibanya di rumah, aku langsung membaringkan diri di kamar dan langsung tertidur pulas tanpa berganti pakaian terlebih dahulu. Tidurku dipenuhi mimpi-mimpi indah, bertemu Cee dan Tommy dan mereka mengatakan kepadaku bahwa mereka sangat menyayangiku. Aku sangat merindukan mereka. Mereka baru beberapa hari

 

tiada, tapi rasanya mereka sudah berada begitu jauh dariku, dan tanganku tak mampu lagi menggapai mereka.Tengah malam aku terbangun oleh bunyi bel pintu depan. Aku langsung menegakkan tubuh dan memasang telinga. Bel berbunyi kembali. Tidak salah lagi. Aku langsung bangkit dari tempat tidur dan bergegas turun ke bawah, menuju ruang depan yang gelap. Sama seperti sebelumnya, aku berhenti beberapa inci dari pintu dengan berbagai macam perasaan berkecamuk dalam dadaku.

“Jonathan ...,” ujarku pelan.

Aku tidak perlu menunggu jawaban apa pun. Aku sudah tahu apa yang akan segera terjadi. Aku mengulurkan tangan ke gagang pintu dan memandanginya dengan ragu selama beberapa saat. Butuh beberapa detik bagiku untuk kembali menemukan kekuatan sebelum aku membuka pintu. Seraut wajah kecil pucat menengadah menatapku,

tersenyum lebar.

“Papa,” ujarnya.

Aku langsung jatuh berlutut. Dadaku terasa sesak dan sulit bernapas.

“T-ttommy ...,” bisikku lirih sambil memandanginya. Dia masih mengenakan piyama hijau dari rumah sakit,

tapi perban-perban yang meliliti seluruh tubuhnya telah lenyap. Luka-luka dan lebam-lebamnya juga telah hilang tak berbekas, seakan-akan kecelakaan itu tidak pernah terjadi.

“Papa, aku kangen sekali.”

 

Tommy tersenyum sambil mengulurkan kedua tangannya, memintaku menggendongnya.

“Papa juga sangat merindukanmu, Nak.” “Papa. biarkan aku masuk. Aku ingin memelukmu,” katanya lagi, tanpa mengalihkan tatapannya dariku.

Sebelum aku menjawab, Jonathan tiba-tiba muncul di tengah-tengah halaman, memandangi kami. Dia tersenyum penuh haru melihatku meneteskan air mata. Aku balas tersenyum. Dia mengangguk.

“Papa,” ujar Tommy lagi, bibirnya melengkung cemberut.

“T-ttentu saja, sayangku. Tentu saja. Masuklah. Papa kangen betul kepadamu.”

Tommy langsung masuk dan memelukku erat-erat. Tubuhnya dingin dan menguarkan bau amis yang menusuk hidung. Tapi aku tidak peduli. Aku memeluknya dan menghujani kepalanya dengan sejuta ciuman.

“Papa sangat merindukanmu, Nak. Sangat merindukanmu,” bisikku sambil menempelkan kedua tanganku di pipinya yang dingin. Samar-samar kuihat noda- noda gelap besar di dadanya.

“Aku ingin bermain, Papa. Boleh?” “Tentu saja, Sayang.”

“Asyik!’’

“Tapi ada syaratnya. Kita tidur dulu, oke? Kita akan bermain besok pagi.”

Dia mengangguk, lalu mendaratkan sebuah kecupan di pipiku, seperti yang selalu dilakukannya kalau aku mengabulkan permintaannya.

Kupeluk dia sekali lagi dan kukecup pipinya dengan lembut. Putraku tersayang. Belahan jiwaku. “Papa mencintaimu, Nak.”

“Aku juga sayang Papa.”

Lalu aku merogoh kantong belakang celanaku dan mengeluarkan sebuah pasak kayu panjang yang telah disucikan oleh Pastor Romeo. Sebelum dia menyadari apa yang akan kulakukan, aku langsung menancapkan pasak itu ke dadanya dalam-dalam sampai menembus jantungnya. Seketika dia menjerit dan meronta-ronta berusaha melepaskan diri dariku, tapi aku memeluknya semakin erat. Jonathan tampak terperanjat luar biasa dan langsung berlari mendekat berusaha mencegahku, tapi karena aku belum mengizinkannya masuk, tubuhnya langsung terpental ke luar, mendarat keras di depan pintu gerbang.

Jeritan Tommy teredam di dadaku. Kudorong pasak kayu itu semakin dalam. Semua kenangan-kenangan tentangnya mulai berputar-putar di dalam kepalaku. Saat dia lahir, saat dia mengucapkan kata pertamanya, saat dia bermimpi buruk di tengah malam dan memintaku menemaninya tidur sampai pagi, hari pertamanya masuk sekolah, dan hari terakhir sebelum kecelakaan itu, ketika dia berpamitan kepadaku sebelum pergi ke sekolah, mengecup pipiku sambil berkata bahwa dia menyayangiku.

Aku menangis tersedu-sedu saat merasakan tubuh putraku lebur menjadi debu dalam pelukanku. Pasak kayu itu jatuh ke lantai dengan bunyi berdenting nyaring begitu tubuh Tommy telah hancur seluruhnya. Aku meratapi abu tubuh putraku yang berserakan di lantai.

“Tidurlah, Nak. Istirahatlah dengan tenang. “

“Brian, apa yang kau lakukan?” Jonathan berseru ngeri di depan pintu. “Aku melakukan apa yang harus kulakukan.”

“Kau baru saja membunuh putramu sendiri.”

“Putraku sudah mati dalam kecelakaan itu, Jonathan. Kita berdua tahu itu. Melihatnya lagi malam ini membuatku sadar bahwa aku lebih baik melihat dia pergi bersama ibunya daripada melihatnya menjadi makhluk terkutuk seperti dirimu untuk selamanya. Aku terlalu menyayanginya. Aku tidak menginginkan kehidupan seperti itu baginya.” Aku menyeka air mataku yang terus mengalir seperti air bah.

“Brian.” Dia memandangku dengan putus asa. Alih-alih air mata, darah mulai mengalir keluar dari kedua matanya, membasahi wajahnya yang pucat. Dia menangis seperti bertahun-tahun yang lalu saat ayahnya menghajarnya, dan dia berlari ke rumahku.

“Aku tahu, kau ingin menolongku. Dan kau benar, aku tidak akan sanggup melanjutkan hidup tanpa Cee dan Tommy. Aku hanya manusia biasa, tidak akan sanggup menanggung rasa sakit ditinggal mereka.”

Tangisnya sedikit mereda. Dia menatapku dengan ekspresi penuh tanda tanya. “Apa maksudmu?”

Aku menarik napas dalam-dalam. “Aku membutuhkan bantuanmu. Aku tidak akan sanggup hidup tanpa keluargaku. Kumohon, masuklah. Aku mengizinkanmu.” Aku mundur untuk memberinya jalan. “Masuk dan tolonglah aku.”