Contents
Möllerhatté
DEKORASI HALLOWEEN
“TRICK or Treat!”
Tiga penyihir cilik berseru nyaring saat aku membuka pintu depan. Matahari belum terbenam tapi mereka sudah mulai berkeliling Kompleks Möllerhatte untuk meminta permen dari rumah ke rumah.
“Masih terlalu dini untuk berkeliling, bukan?” tanyaku sambil berdiri di ambang pintu menatap mereka pura-pura kesal. Ketiganya menengadah menatapku dengan mata mereka yang bulat dan besar. Tipuan murahan yang biasa dilakukan anak-anak kecil untuk membujuk orang dewasa supaya mengabulkan permintaan mereka.
“Tapi, Mrs. Fritz, kami tidak boleh berkeliaran di jalanan sampai larut malam. Makanya kami memutuskan untuk jalan lebih awal,” kata anak berambut merah pendek yang wajahnya tersembunyi di balik topeng hantu hijau bertampang muram.
“Hei! Itu kau, kan, Geoffrey Johnson?” tanyaku. “Bukan. Aku bukan dia,” jawabnya panik.
“Sudah kubilang, Geoffrey. Seharusnya kau memakai topi atau sesuatu untuk menutupi kepalamu. Tidak banyak anak berambut merah di kompleks ini,” hardik penyihir cilik berambut hitam dengan aksen Boston yang kental.
Aku menghela napas sambil memutar-mutar bola mata dan menyambar mangkuk besar berisi permen dan cokelat di rak kayu kecil di samping pintu.
“Oh, ngomong-ngomong, Mrs. Fritz. Mayat itu benar- benar keren, deh. Seperti mayat sungguhan!” tukas Geoffrey sambil menunjuk tubuh kaku yang bergelantungan dari dahan pohon sycamore besar di halaman depan rumahku.
“Oh ya? Kau menyukainya? Butuh berminggu-minggu untuk membuatnya seperti itu.”
Aku mengamati dekorasi itu selama beberapa saat dengan bangga. Kedua tangannya terkulai lemas berayun- ayun oleh embusan angin sepoi-sepoi, menggambarkan adegan seseorang yang bunuh diri. Wajahnya yang pucat kehijauan dihiasi ekspresi kesakitan luar biasa seperti seseorang yang mati tak wajar. Kedua matanya setengah terbuka, lidahnya menjulur ke luar, memberikan efek yang lebih alami dan dramatis.
“Anda juaranya, deh, Mrs. Fritz. Dekorasi Halloween Anda selalu yang paling keren di kompleks kita setiap tahun.” “Oh, terima kasih. Aku senang kalian menyukainya.”
Aku menaruh segenggam penuh permen di keranjang besar yang dipegang dengan erat Geoffrey Johnson.
“Wow! Mrs. Fritz, Anda benar-benar keren, deh!” ujar penyihir kecil itu dengan mulut terbuka lebar.
Aku mengedipkan sebelah mata. “Sesama penyihir ha- rus saling membantu, kan? Kalian pantas mendapatkannya. Tapi setelah kupikir-pikir, kalian pantas mendapatkan sesuatu yang lebih.”
Aku mengeluarkan tiga buah amplop putih dari saku mantelku dan memberikannya kepada mereka.
“Kalian pantas mendapatkan lima dolar untuk kostum kalian. Kalian penyihir paling keren yang pernah kulihat.”
Setelah menyerukan “ooooh” dan “aaaah” juga “woooow”, ketiga anak kecil itu akhirnya melanjutkan perjalanan rumah berikutnya.
Aku menutup pintu dan bergegas kembali ke dapur untuk menyelesaikan makan malamku yang terbengkalai. Aku mendengar suara anak-anak yang berlarian di luar, bersenang-senang menikmati malam Halloween.
Belum sejam berlalu dan aku baru saja hendak memasukkan potongan daging sapi ke dalam oven ketika tiba- tiba bel pintu depanku kembali berbunyi. Aku menggeram pelan dan bergegas berjalan ke pintu depan.
Aku menyangka akan melihat sekumpulan anak kecil dengan kostum konyol menatapku penuh harap, tapi yang berdiri di depan pintuku adalah Carol Oxley, wanita gendut pemarah yang tinggal di seberang jalan.
“Hai, Carol. Ada yang bisa kubantu?” tanyaku pura- pura ramah dengan sebuah senyum palsu yang kupaksakan di bibirku.
Dia tidak langsung menjawab. Bibirnya menekuk penuh cela tampak menahan emosi, membuat kelima dagunya bergetar pelan. Kedua matanya berkilat-kilat murka.
“Kaupikir itu lucu?” sergahnya.
Aku bisa merasakan semburan beberapa tetes air liur mendarat di wajahku.
“Maaf?” tanyaku sambil menyeka pipiku masih tidak mengerti.
Dia melipat tangan lalu memutar tubuh dan memberi kode ke arah tubuh kaku yang bergelantungan di pohon di halamanku.
“Oh … itu …. Keren, bukan? Geoffrey Johnson menyukainya. Mereka menganggap itu dekorasi Halloween paling keren di kompleks ini. Tampak seperti sungguhan, kan?” Kulemparkan pandangan setengah mengejek ke arah halaman depan rumah Carol di seberang jalan yang didekorasi seadanya dengan beberapa buah labu penyok dan orang-orangan sawah sederhana.
“Keren? Keren katamu?” Amarahnya menyembur tak terbendung. Wajahku menjadi lebih basah sekarang oleh air liurnya.
“Uhh. Kau ingin menenggelamkanku di sini atau apa, Carol? Ha ha ha,” ujarku setengah bercanda dan setengah menyindir.
Namun, sapi tua itu tampaknya sudah kehabisan kesabaran. Dia langsung mengentakkan kakinya tiga kali dengan kuat ke lantai teras rumahku.
“Kaupikir dekorasi mayat itu keren? Lucu? Biar kuberitahu tahu kau sesuatu, Erin. Semenjak kau pindah ke kompleks ini lima tahun lalu, kami sudah mengamati gerak-gerikmu. Kau adalah wanita yang suka sekali mencari perhatian semua orang dengan … dengan sikapmu yang sok eksentrik itu. Belum lagi selera berpakaianmu yang aneh.” Dia bergidik dengan jijik menatap mantel hitam yang kukenakan dan topi penyihir panjang di kepalaku. “Kaupikir orang-orang suka melihatmu bersikap tidak wajar seperti ini? Hei, sadar diri kau!”
Dia menjentikkan jempolnya beberapa senti saja dari hidungku dengan nyaring membuatku terkejut.
“Ini baru peringatan awal untukmu, Erin. Bersikaplah yang wajar dan sepatutnya kalau kau ingin tinggal lama di sini. Kami tidak suka kontroversi dan semacamnya. Sekarang, singkirkan benda menjijikkan itu!” Dia menunjuk dekorasi Halloween-ku dengan murka, seakan-akan benda itu telah menyinggung perasaannya.
“Maaf, Carol. Kau punya masalah apa denganku sebenarnya?” tanyaku tenang dengan kening berkerut.
“Masalah apa?!” teriaknya histeris. Aku memiringkan tubuh ke belakang sedikit untuk menghindari bom air liurnya. “MASALAH APA KATAMU?”
Dia menarik napas dalam-dalam. Wajah gemuknya sekarang tampak merah padam seperti sweater wol yang dikenakannya.
“Kau pikir dekorasi seperti itu wajar? Kau pikir anak- anak tidak akan trauma melihatnya?”
“Kau perlu menenangkan diri, Carol. Semua orang juga tahu itu hanya dekorasi Halloween. Tak perlu dibesar- besarkan.” Aku melipat tangan di dada. Wanita pongah ini tidak terima dekorasi Halloween-ku jauh lebih keren daripada dekorasinya. Selama bertahun-tahun sebelum aku pindah ke sini, dia selalu mendapatkan pujian untuk dekorasi Halloween, Natal, dan perayaan-perayaan lainnya dari banyak orang. Namun, semuanya berubah saat aku datang lima tahun yang lalu.
“Kau berani membantahku? Aku ketua dewan ibu-ibu kompleks di sini, kau wanita lancang. Aku bisa mengusirmu dari Möllerhatté kalau aku mau,” ancamnya. Dan aku memutuskan sudah waktunya aku berhenti bersikap ramah pada nenek tua ini.
“Dengarkan aku, Carol. Hentikan omong kosongmu dan tinggalkan rumahku sekarang juga.” Aku mengambil beberapa langkah ke depan sambil mengacungkan jari ke wajahnya. “Apa menurutmu aku adalah orang yang mudah diintimidasi? Coba, aku ingin lihat seberapa besar nyalimu. Coba lakukan lagi.”
Dia sudah membuka mulut untuk membalas, tapi begitu melihat ekspresi keras di wajahku dan sorot mataku yang bengis, dia langsung mundur dengan sempoyongan dan nyaris terjungkal ke belakang.
“Lihat saja nanti! Kau akan menyesalinya! Setelah suamiku pulang dari perjalanan bisnisnya di New York, kami akan melaporkanmu ke dewan kota!” serunya sambil berlalu. Sejam\tkemudian\taku\tmendapati\tdiriku\tsedang menikmati makan malam dengan tenang di ruang tengah.
Waktu hampir saja menunjukkan pukul tujuh malam saat bel depan berbunyi lagi untuk ketiga kalinya malam itu.
“Trick or Treat!” teriak dua orang gadis remaja yang mengenakan kostum Mystique dan Wonder Woman.
“Happy Halloween!” ujarku ceria sambil memberikan segenggam penuh permen kepada mereka.
“Wow, Mrs. Fritz! Dekorasi Anda keren sekali!” seru Mystique pelan.
“Terima kasih. Siapa nama kalian?” “Aku Diane dan ini temanku Brianna.”
Si Wonder Woman menyahut dengan polos, “Menurutku lebih keren dekorasi Mrs. Oxley, deh.”
Refleks, Diane menyikutnya pelan.
“Oh, tidak apa-apa. Aku setuju. Dekorasi rumah Carol memang yang paling keren tahun ini,” ujarku sambil memandang ke seberang jalan. Tampak sebuah balon parasut besar dan bundar berwarna merah berbentuk figur manusia yang berayunan di udara terikat pada cerobong asap rumah Carol.
“Kalau diperhatikan, balon itu mirip sekali, ya, dengan Mrs. Oxley,” ujar Brianna sambil tertawa cekikikan pelan. Temannya lagi-lagi menyikutnya.
“Tidak sopan mengejek orang seperti itu,” ujarnya.
Tapi kali ini aku harus setuju dengan Brianna. Balon itu memang tampak luar biasa mirip Carol. Ekspresi ngeri yang tergambar di balon itu benar-benar tampak seperti aslinya.
“Dan ngomong-ngomong …” lanjut Brianna lagi. Dia menatap tubuh kaku yang bergelantungan di pohon itu dengan saksama selama beberapa saat. “Boneka itu mirip sekali, deh, dengan Mr. Oxley. Iya, kan?”
Kali ini aku tak mampu lagi menahan diri. Sebuah tawa menggelegar langsung lolos dari bibirku dan aku hanya bisa duduk di teras sambil memegangi perut terpingkal-pingkal tanpa henti selama lima menit.