Try new experience
with our app

INSTALL

Di Balik Kekang  

Di Balik Kekang 7. Kabur dari Rumah Sakit

Di Balik Kekang 7. Kabur dari Rumah Sakit


Rigel membawa Kintana ke rumah sakit menaiki mobil yang dikemudikan Haris. Sementara Dani, setelah membantu membawa barang-barang Kintana ke mobil Rigel, ia pergi ke parkiran motor untuk mengambil motornya. Dani mengendarai motornya mengekor mobil Rigel.


Sesampainya di rumah sakit, Rigel berteriak heboh karena begitu cemas dengan kondisi Kintana. Setelah dokter memeriksa dan mengabarkan kondisi Kintana, Rigel mengira salahnya yang telah salah memberikan makanan. Akan tetapi, saat sembunyi sembari mencuri dengar pembicaraan Kintana dengan dokter, ternyata karena Kintana minum dan makan pemberiannya saat sudah basi. Rigel pun menjadi tahu, jika hari-hari, Kintana dan Kasmirah Rumailah makan dengan serba kekurangan, serba seadanya. Mereka bisa makan sehari sekali sudah syukur. Rigel shock mendapati hal itu, semakin menyesal, dan membuat drop kondisi fisiknya yang sudah buruk.


“Dokter! Tolong, Dokter!” seru Haris yang kembali ke dekat kamar di mana Kintana diperiksa. Dokter dan suster ke luar dari kamar itu sebelum Haris masuk ke kamar.


“Dokter, tolong periksa pak Rigel, kondisinya tidak baik!” seru Haris cemas sembari menunjukkan Rigel yang duduk di kursi tunggu yang terletak tidak jauh dari ruangan itu. Dokter dan suster lekas menghampiri Rigel. Haris mengekor di belakang dokter.


Sementara itu, Kintana menyadari sedang berada di rumah sakit. Itu artinya ia perlu membayar. Ia tidak punya uang. Ia bingung sekarang.


“Berapa? Pasti mahal,” lirih Kintana kebingungan.


Kintana melihat dokter dan suster tidak ada di ruangan yang sedang ditempatinya. Dirinya hanya sendirian di ruangan itu. Ia tidak punya pilihan selain cara negatif.


“Aku harus segera kabur sebelum mereka kembali ke kamar ini,” batinnya sembari menatap ke arah pintu masuk kamar itu.


Kintana yang masih lemas beranjak dari tempat tidur. Ia melihat keberadaan tasnya dan alas kakinya. Ia mengambil dan memakai tas dan sepasang sepatunya itu. Ia mengendap-endap pergi dari kamar rumah sakit itu.


Saat melangkah kabur, badannya yang lemas, langkahnya yang terburu-buru, dan alas kakinya yang masih licin membuatnya hampir terjatuh. Saat mendapati halaman bertanah, ia mendapatkan ide menggesek-gesekkan sepasang sepatunya itu ke tanah untuk mencoba menghilangkan licin di sol sepatunya. Baru setelah itu, ia melangkah secepat-cepatnya pergi dari rumah sakit itu.


***


“Anda sepertinya belum makan dan banyak pikiran, Pak. Anda perlu beristirahat. Anda silakan mendaftar dan memesan kamar untuk rawat inap di rumah sakit ini biar kami bisa menangani Anda,” kata dokter.


“Dokter, saya baik-baik saja. Dokter tangani saja Kintana. Kintana yang perlu Anda, Dokter,” kata Rigel.


“Kintana hanya harus makan yang baik. Sama, Anda juga, Pak Rigel,” kata dokter.


“Kalau begitu, saya akan istirahat dan makan di rumah saja, tidak perlu dirawat di rumah sakit, Dokter. Saya akan pulang istirahat kalau Kintana sudah baik-baik saja dan pulang. Terima kasih, Dokter. Saya permisi mau mengintip Kintana dahulu.” Rigel beranjak dari duduknya dan melangkah ke kamar di mana Kintana ditangani. Dokter, suster, Dani, dan Haris menatap ke arah Rigel melangkah.


Rigel mengintip ke dalam kamar itu. Akan tetapi, ia tidak melihat Kintana. Deg, sontak napasnya tertarik cepat. Dag dig dug dag dig dug, jantungnya terpompa lebih cepat.


“Kintana tidak ada!” seru Rigel cemas. Dani, Haris, dokter, dan suster mendekat ke kamar itu untuk melihat. Ternyata benar Kintana tidak ada.


“Kemungkinan dia pergi dari rumah sakit! Haris, kau urus administrasi rumah sakit Kintana! Dani, ayo kita cari Kintana!” seru Rigel beruntun penuh kepanikan.


“Pak Rigel, Anda perlu beristirahat!” tegas dokter.


“Kintana jauh lebih penting dari diri saya, Dokter! Terima kasih atas perhatian Anda, Dokter!” kekeh Rigel.


“Benar kata dokter, Pak, Anda harus istirahat! Biar saya sendiri saja yang akan mencari Kintana!” tegas Dani juga.


Rigel mengabaikan kata-kata Dani. “Assalamualaikum, Dok, Sus, Haris! Ayo, Dani!” Rigel bergegas pergi mencari Kintana. Dani lekas mengekor tuannya. Haris lekas ke tempat administrasi rumah sakit.


Rigel dan Dani hendak naik mobil Rigel. Akan tetapi, kunci mobil sedang dibawa oleh Haris karena Haris yang tadi mengemudikan mobilnya. Rigel merasa tidak ada waktu untuk kembali ke dalam rumah sakit untuk meminta kuncinya karena ia sungguh mengkhawatirkan Kintana dan tidak mau kehilangan Kintana.


“Bodohnya aku, sudah pikun rupanya aku, kunci mobilnya di Haris!” seru kesal Rigel kepada dirinya sendiri.


“Akan saya ambil di Haris, Pak!” tegas Dani.


“Tidak ada waktu, Dani! Kamu bawa kendaraan kan?”


“Motor, Pak.”


“Ya tidak masalah, malah bagus bisa cepat!” seru Rigel terburu-buru.


Mereka akhirnya ke parkiran motor untuk mengambil motor Dani. Menggunakan motor, mereka menyusuri jalan yang ke arah rumah Kintana. Dani yang mengemudi dan Rigel yang mengedarkan pandangan mencari-cari Kintana.


***


Kintana merasa tidak ada yang mengikutinya. Ia merasa telah berhasil kabur. Ia akhirnya berjalan santai. Kemudian ia istirahat duduk di pinggir trotoar.


Kintana membuka tasnya untuk mengambil air mineral gelasan yang tinggal segelas beserta sedotan plastiknya, dari dua gelas yang tadi ia bawa dari rumah. Ia lekas menusuk dan meminum air mineralnya karena merasakan sangat lemas. Ia menghabiskan langsung air mineral itu. Segelas air mineral itu akhirnya cukup lumayan mengatasi kondisi fisiknya.


“Alhamdulillah,” suai bibirnya, tetapi di akhir terucap lirih sehingga terdengar seperti desahan napasnya.


Setelah merasa sedikit baikan fisiknya, Kintana terpikir mencari pekerjaan menjadi pembantu tidak tetap sesuai rencananya di hari sebelumnya dan di awal pagi tadi. Ia melihat sekelilingnya, mencari-cari jika mungkin ada perkampungan yang bisa ia datangi dan ia hampiri setiap rumahnya untuk ditawari jasanya. Akhirnya, ia melihat ada gang kampung yang cukup lebar tidak jauh dari trotoar yang ia duduki. Melihat lebarnya gang, ia berpikir kemungkinan ada rumah-rumah besar di kampung itu. Rumah-rumah besar yang mungkin akan butuh tenaganya. Ia tersenyum penuh harap. Ia lekas bangkit dan masuk ke gang itu.


Awal masuk gang beberapa rumah di kampung itu nampak kecil. Kemudian sesuai harapannya rumah-rumah berikutnya ada beberapa yang besar meskipun jumlahnya tidak sebanyak rumah yang kecil. Ia tersenyum penuh harap bisa mengais rezeki di kampung itu.


Kintana hendak menghampiri salah satu rumah yang besar, tetapi langkahnya terhenti tiba-tiba karena bersamaan itu ia melihat masjid berukuran medium. Ia melihat pintu-pintunya nampak tidak dikunci. Ia menjadi ingin sekali salat. Akan tetapi, ia tidak membawa mukena. Mukenanya sudah terlalu jelek untuk dibawanya ke mana-mana.


“Mungkin di dalam disediakan mukena,” pikir Kintana dalam benaknya.


Kintana mendekati masjid medium itu. Ia melepaskan alas kakinya dan masuk. Netranya mengedar memeriksa sekeliling bagian dalam. Ia tersenyum melihat rak berisi perlengkapan salat yang ia butuhkan. Ia lekas ke tempat wudu dan lekas kembali ke ruangan itu untuk menunaikan salat ashar.


Di saat itu, seorang gadis yang sedikit lebih tua dari Kintana melihat ada sepasang sepatu yang biasa dikenakan anak sekolah. Anak itu menduga jika ada anak sekolah yang mampir ke masjid wakaf kakeknya itu. Gadis itu menghampiri masjidnya. Ia melepas alas kakinya dan masuk. Ia melihat ada tas punggung anak sekolahan di dekat gadis yang sedang salat. Gadis yang sedang salat sudah salam sehingga ia bisa melihat wajahnya dari kemiringan. Nampak dari penglihatannya usianya kurang lebih sama dengan dirinya.


Saat Kintana telah melepas mukena, gadis itu jelas melihat seragam sekolah SMP swasta. Ternyata lebih mudah darinya. Ia menghampiri Kintana. Ia duduk di depan Kintana.


Dyandra mengulurkan tangannya ke Kintana. “Hai, aku Dyandra! Boleh kenalan dan berteman?” sapa gadis itu. Kintana terpaku karena sedikit terkejut bukan karena kedatangannya, tetapi lantaran heran ada anak remaja yang mau berkenalan dengannya dan mengajukan pertemanan. Biasanya tidak ada satu pun yang mau berkenalan apalagi berteman dengannya.


“Hei, tidak mau ya? Iya sih baru melihat, tidak kenal juga.” Gadis itu menarik uluran tangannya, tetapi Kintana meraih tangannya dan menjabat tangannya.


“Kintana,” sebut Kintana saat menjabat tangan Dyandra. “Memang kamu mau berteman sama aku? Aku ini anak pembantu tidak tetap dan aku juga sedang mencari pekerjaan menjadi pembantu tidak tetap,” beber Kintana sembari menduga anak itu pasti akan membatalkan niatnya berteman dengannya.


“Apa masalahnya? Kalau aku anak pedagang. Rumahku di sebelah masjid ini. Aku senang kamu salat di masjid peninggalan kakekku. Kakekku yang membangun masjid ini untuk warga di sini,” beber Dyandra.


Kintana tidak menduga, anak itu tetap mau berteman dengannya. Ia menjadi sedikit ternganga lalu lekas berubah tersenyum sangat manis. Ini adalah pertama kalinya ia mendapatkan teman. Ia sangat senang sekali.


“Eh, katanya kamu mau mencari pekerjaan menjadi pembantu tidak tetap. Memang seperti apa pembantu tidak tetap? Tidak menginap di rumah juragan maksudnya?” tanya Dyandra tidak paham.


“Begitu juga. Em aku carinya yang cuma bantu-bantu sedikit soalnya aku sekolah. Kalau ibu aku, soalnya khawatir tidak bisa mengurus aku kalau jadi pembantu full, soalnya aku hanya punya ibu. Akan tetapi, ibuku sudah tiada kemarin sore. Oleh sebab itu, aku sekarang harus cari kerja seperti ibuku,” papar Kintana.


“Inalillahi. Aku turut berduka.” Dyandra merasa Kintana hidupnya berat, tetapi begitu hebat kuat menghadapi. “Pekerjaan yang bantu-bantu sedikit contohnya bagaimana?” tanya Dyandra lagi.


“Misal bersih-bersih rumah saja, atau mencuci saja, atau memasak saja, atau apalah terserah. Pokoknya yang bisa aku kerjakan dan aku selesaikan sekarang juga. Pokoknya yang butuh waktu sebentar saja. Bisa juga semuanya kalau aku ada waktu sih,” terang Kintana.


“Dibayar berapa?” tanya Dyandra.


“Terserah yang memberi pekerjaan. Lima ribu juga boleh,” jawab Kintana.


Dyandra lalu terpikir sesuatu sembari netranya melihat ke sekeliling karpet masjid. “Misal membersihkan semua karpet masjid ini berapa?”


“Lima ribu juga boleh,” jawab Kintana.


“Kalau begitu bisa tolong bersihkan karpet-karpet masjid ini?” tanya Dyandra.


“Mencuci karpet-karpet ini? Waktuku sih cukup, tapi matahari tidak cukup untuk mengeringkan karena sudah sore,” terang Kintana.


“Tidak perlu dicuci hanya dikebas pakai sapu lidi. Kamu lihat sudah berdebu. Ayah dan ibuku sibuk sama bisnis jualan mereka masing-masing. Warga jarang yang perhatian. Kalau aku tidak terbiasa hehehehe ...,” terangnya sembari terkekeh di akhir. “Bisa tidak mengebasi karpet-karpet ini?” tanyanya kemudian.


“Bisa,” jawab Kintana.


“Em ... tapi sebelum magrib harus selesai. Soalnya ada warga yang salat magrib berjamaah di sini,” kata Dyandra.


“Oke, akan aku selesaikan sebelum magrib. Em ... mana sapu lidinya? Akan aku kerjakan sekarang juga.”


“Itu, di dinding sapu lidinya!” seru Dyandra menunjukkan. Kintana lekas beranjak merapikan mukena. Kemudian mengambil sapu lidi itu dan mengerjakan tugasnya. Dyandra ke luar dari masjid pergi ke rumahnya.


Di dalam kamarnya, Dyandra mengambil selembar uang dari dompetnya. Kemudian ia melihat dua box dua pasang sepatunya yang baru dibelinya. Satu box dari ayahnya dan satu box dari ibunya. Ia terpikir memberikan salah satunya untuk Kintana jika mungkin ukuran kakinya sama. Ia juga teringat kue-kue di kulkas sisa bisnis kue ibunya. Ia lekas ke dapur untuk mengambil semua sisa kue itu. Ia bungkus dan ia tempatkan kue-kue itu dalam kantong plastik besar putih bermerek swalayan. Setelah itu, ia membuat dua cangkir minuman cokelat hangat. Ia membawa dua cangkir minuman cokelat beserta setoples mini kue putri salju dan setoples mini mede menggunakan baki ke masjid di sebelah rumahnya. Teras samping masjid itu bersatu dengan teras samping rumah Dyandra.


Dyandra meletakkan yang dibawanya di teras masjid. Ia melihat sejenak ke dalam. Ia melihat Kintana mengerjakan pekerjaan itu dengan baik. Ia kembali ke minuman dan makanan yang ia letakkan di teras. Kemudian ia duduk santai melantai di teras sembari memakan kue putri salju dan mede. Sesekali ia menyesap minuman cokelat yang masih terlalu panas sehingga masih sedikit-sedikit ia sesap.


Beberapa menit kemudian Kintana telah selesai mengebas semua karpet masjid itu. Ia melihat Dyandra ada di teras masjid. Ia ke luar dan menghampiri Dyandra.


“Sudah selesai. Kamu boleh periksa dan akan aku ulangi bersihkan jika kurang bersih,” lapor Kintana.


“Sudah bersih. Sini, duduk minum dulu dan makan camilan dulu!” ajak Dyandra. Kintana menurut. “Nih, minum! Aku sendiri yang membuatkan untuk kamu. Kalau tidak enak bilang!” titah Dyandra. Kintana meminumnya dan menyukai minumannya. Cokelatnya pekat tidak terlalu manis.


“Enak, kok,” ujar Kintana.


“Nomor sepatu kamu berapa?” tanya Dyandra.


“Tiga tujuh,” jawab Kintana.


“Aku tiga delapan. Sedikit besar dari kamu, tapi sepertinya tidak masalah. Tunggu ya!” serunya lalu bergegas ke rumahnya.


Tidak lama kemudian Dyandra membawa dua box sepatu ke hadapan Kintana. “Dua-duanya nomor tiga delapan. Tidak masalahkan? Kamu bisa ganjal kapas kalau kebesaran. Kamu pilih! Ini dibelikan ibuku. Kalau ini dibelikan ayahku. Baru kemarin aku dibelikan.”


“Maksudnya untuk aku sepatunya?” tanya Kintana memastikan.


“Iya, tapi salah satu aja, yang satu buat aku,” ujar Dyandra. Kintana menatap tidak menyangka. Ia memang sedang perlu sepatu baru karena sepatunya sudah mau berlubang.


“Aku kelas satu SMA. Kalau kamu SMP kelas berapa?” tanya Dyandra.


“Kelas tiga,” jawab Kintana.


“Berarti mau ujian dong. Aku doain semoga kamu lulus dengan nilai bagus dan dapat SMA terbaik,” ucap Dyandra.


“Aamiin,” ucap Kintana, tetapi dalam hatinya ia tidak yakin soal melanjutkan ke jenjang SMA. “Em ... kamu SMA berarti aku panggilnya kak. Kak Dyandra,” katanya kemudian saat menyadari Dyandra senior. Dyandra tersenyum.


“Kamu pilihlah!” seru Dyandra yang lalu melangkah kembali ke rumahnya.


Kintana bingung memilih yang mana. Akan tetapi, ia melihat harga sepatunya masih tertera. Ia melihat semuanya mahal. Ia membandingkan harga dan ia memilih yang murah di antara kedua pasang sepatu itu.


Dyandra lekas kembali ke hadapan Kintana dengan membawa kantong plastik putih bermerek swalayan. “Ini buat kamu!” serunya. Kintana menerimanya lalu melihat isinya.


Dyandra menyodorkan uang. “Ini upah kamu,” katanya. Kintana melihat itu selembar lima puluh ribu.


“Uangnya kebesaran, Kak, aku tidak punya kembaliannya,” terang Kintana.


“Semuanya, tidak perlu kembalian,” terang Dyandra. Kintana menerima uang itu sembari menatap Dyandra dengan tidak menyangka akan mendapatkan rezeki sebanyak itu.


“Bagaimana, kamu pilih yang mana?” tanya Dyandra beralih ke soal sepatu.


“Ini saja, Kak Dyandra,” jawab Kintana.


“Berarti yang ini buat aku.”


“Terima kasih, Kak Dyandra.”


“Sama-sama. Ini sudah mau magrib, kamu masih mau mencari kerja lagi?”


“Pulang saja, Kak, soalnya mau belajar.”


“Kalau begitu setelah magrib saja, sekalian kamu salat magrib di sini.”


“Iya, Kak.”


***


Sementara itu, Rigel begitu kalut karena tidak kunjung menemukan Kintana. “Ke mana lagi kita harus mencarinya? Kita cari di jalanan ke arah pulang ke rumahnya tidak ada. Ke arah sebaliknya juga tidak ada.”


“Tenang, Pak, siapa tahu dia sudah ada di rumahnya. Bagaimana kalau kita lihat ke rumahnya?” kata Dani.


“Iya, coba kita lihat ke rumahnya!” seru Rigel setuju. Dani lekas melajukan motornya ke arah rumah Kintana.


Sesampainya di rumah Kintana, mereka mendapati rumah itu kosong membuat Rigel semakin panik. “Kosong, Dani. Di mana dia, Dani?”


“Tenang, Pak! Kita coba tanya warga dulu. Siapa tahu sedang pergi cari makan,” saran Dani.


Belum mereka bertanya-tanya, nampak Kintana berjalan santai menenteng banyak barang. Rigel lekas menarik Dani untuk bersembunyi meninggalkan motor Dani yang terparkir di depan rumah Kintana. Mereka melihat Kintana meletakkan barang-barang di tangannya di lantai teras lalu mengambil kunci di dalam tasnya. Kintana memutar kunci di lubang pintu lalu membawa masuk semua barang yang dibawanya.


“Alhamdulillah,” lirih Rigel lega. “Tapi apa dia sudah makan? Bagaimana cara aku mengetahui dia sudah makan tanpa bertanya, tanpa dia mengetahui aku, Dani?” resahnya kemudian.


“Mengintip, Pak,” saran Dani.


Mendengar saran itu, Rigel langsung melihat ke teras rumah Kintana. Ia lekas ke teras itu. Dani membiarkan sembari geleng-geleng heran. Bukan siapa-siapa Rigel, tapi sebegitunya Rigel terhadap Kintana.


Rigel ke sisi sempit teras. Dari jendela kecil dapur, ia melihat Kintana sudah berganti pakaian sederhana yang sudah compang-camping. Ia menyaksikan Kintana sedang menyiapkan telur dan peralatan memasak. Selain itu, Kintana juga menyiapkan satu sachet susu putih. Ia tersenyum senang menyaksikan apa yang dibelinya kemarin dimanfaatkan Kintana. Ia melihat sampai Kintana selesai makan dan minum lalu membereskan semuanya.


Allahuakbar Allahuakbar!


Suara adzan isya sudah berkumandang saat Kintana telah selesai membereskan dapur. Rigel sudah lega melihat Kintana sudah makan dan minum walaupun dengan menu sederhana. Akan tetapi, ia masih ingin melihat Kintana. Kali ini, ia melihat Kintana masuk ke kamar mandi lalu pergi dari dapur.


Rigel menduga Kintana pergi ke kamar. Ia pun beranjak dari jendela dapur ke jendela kamar depan. Tidak ada Kintana di kamar depan. Ia mundur lagi untuk memeriksa jendela kamar belakang. Ia melihat Kintana tengah mendirikan kasur busa. Kemudian nampak gadis itu menggelar sajadah. Berlanjut mengenakan mukena. Rigel tersenyum, ternyata Kintana sama seperti Kasmirah. Ia berpikir akan semakin malu jika menampakkan dirinya yang begitu buruk di hadapan Kintana. Senyuman Rigel segera memudar sampai napasnya mendengus miris saat melihat kondisi mukena Kintana. Ia kemudian meninggalkan rumah Kintana.


“Ayo, kita makan di warung pinggir jalan, Dani! Telepon Haris, ajak makan bersamaku juga! Sekalian ajak makan Argani, Cakara, dan Ismawan! Kan sekalian setelahnya mereka bertiga menggantikanmu mengawasi Kintana.”


“Baik, Pak!”


Kintana sudah selesai salat. Ia merasa tadi ada suara napas. Ia merasa berasal dari jendela kamarnya. Dengan masih mengenakan mukena, ia melihat ke jendela kamarnya, tetapi tidak ada siapa-siapa. Masih mengenakan mukena, ia memeriksa ke depan. Ia melihat dua pria berboncengan naik motor meninggalkan rumahnya. Ia ingat, saat pulang tadi memang ada motor terparkir di depan rumahnya. Ia melihat punggung pria yang di bonceng sampai menghilang dari pandangannya sembari merasakan rasa aneh yang muncul di hatinya yang entah apa itu yang tidak bisa ia ungkapkan, atau gambarkan, atau ia mengerti.


Bersambung

Terima kasih 

DelBlushOn Del BlushOn delblushon #delblushon :)