Try new experience
with our app

INSTALL

Di Balik Kekang  

Di Balik Kekang 6. Malang

Di Balik Kekang 6. Malang


Rigel marah terhadap anak-anak yang jahat pada Kintana. Apalagi siswi yang tadi ia amanahi kacamata itu. Padahal ia sudah memberikan uang dua ratu ribu kepada siswi itu. Tega sekali mereka memeras Kintana. Rasanya ingin sekali ia menghampiri mereka untuk menegur, tetapi ia tidak berani muncul di hadapan Kintana.


“Apa saya perlu menghampiri mereka dan menegur mereka, Pak?” tanya Dani.


“Iya, sepertinya kamu harus menghampiri mereka dan memperingatkan mereka, Dani!” ujar Rigel dengan nada geram.


Akan tetapi, sebelum Dani melangkah, terdengar suara alarm tanda masuk. Anak-anak itu lekas masuk ke kelas mereka. Kintana juga melangkah ke kelas yang sama dengan mereka. Kintana sengaja jalan paling belakang agar tidak ditabrak lagi dan membuatnya terjatuh. Rigel diam-diam memotret anak-anak itu yang sedang melangkah menuju ke kelas.


“Bagaimana sekarang, Pak?”


“Kamu tunggu! Saat pulang, kamu kasih pelajaran atau kamu ancam salah satu atau beberapa anak itu agar tidak jahat lagi kepada Kintana! Akan aku transfer fotonya ke ponsel pintar kamu, agar kamu bisa hafal mana saja mereka yang jahat kepada Kintana!”


“Baik, Pak!” ujar Dani bersungguh-sungguh karena ia juga merasakan gemas ingin membalas anak-anak jahat itu.


“Selain hal itu, apa yang kamu lihat tentang Kintana sejak tadi?” tanya Rigel kepada Dani kemudian.


“Saat ke luar dari kelas, ada yang menjegalnya sampai terjatuh,” terang Dani. Keterangan itu membuat Rigel terbelalak. “Anak yang menjegal ada di antara mereka tadi. Saat Kintana jatuh, anak-anak tadi mentertawakan. Tidak ada satu pun yang menolong Kintana. Sejak tadi sebenarnya saya sudah ingin sekali memberikan pelajaran pada anak-anak itu, Pak,” papar Dani.


“Apa lagi?!” tanya Rigel dengan nada kembali kesal.


“Kintana tidak ke kantin. Ia duduk di bangku itu meminum air mineral gelasan.”


“Ketiga rekanmu yang aku perintahkan untuk mencari tahu apa Kintana semalam sudah makan dan pagi sudah sarapan, belum memberi kabar. Sepertinya mereka lupa atau kesulitan mendapatkan informasi itu. Kalau saat istirahat Kintana tidak makan siang juga, itu buruk,” kata Rigel yang kini semakin cemas akan kesehatan Kintana.


“Kau terus awasi! Aku akan kembali ke kantor. Cari tahu Kintana pulang jam berapa dan beri tahu aku! Aku akan datang lagi saat jam pulang. Aku akan ikut memberikan peringatan dan pelajaran kepada anak-anak yang jahat tadi,” ujar Rigel.


“Baik, Pak!” jawab Dani dengan tegas.


“Aku ke kantor dulu. Assalamualaikum!” Rigel berseru mengucap salam lalu pergi.


“Waalaikumsalam!” balas Dani berseru juga, mengiringi langkah pergi tuannya.


***


Kintana tidak makan siang membuat Rigel kembali enggan makan. Sejak kemarin pagi Rigel sendiri belum makan. Berawal karena kekasihnya yang membuatnya malas makan. Kemudian di pagi menjelang siang karena kehilangan Kasmirah Rumailah. Ditambah sorenya kesedihan Kintana hingga malam dan pagi lagi yang sekaligus membuatnya bertanya-tanya Kintana sudah makan apa belum. Lalu sekarang karena belum tahu kemarin dan pagi apa Kintana sudah makan. Ditambah lagi di jam makan siang mendapatkan informasi jika Kintana tidak makan siang.


“Apa jangan-jangan hari-hari sebelumnya Kintana juga tidak ke kantin? Almarhumah hanya seorang pembantu tidak tetap. Kemungkinan besar mereka tidak memiliki uang yang cukup. Tadi aku lihat sendiri, Kintana hanya mendapatkan lima belas ribu. Entah ia mengerjakan apa di dalam rumah itu selama itu sehingga hanya mendapatkan segitu.” Hal itu membuatnya teringat kesalahannya lalu membuatnya menyesal hingga berkaca-kaca. Ia lalu kembali bekerja dengan galau dan kondisi fisik yang tidak baik.


***


Melalui pesan WhatsApp, Rigel sudah mendapatkan jadwal pulang Kintana untuk saat ini. Ketika jam sudah menunjukkan pukul dua lebih tiga puluh lima menit, mendekati jadwal pulang Kintana, ia lekas berpamitan pergi dari kantor. Ia sekalian pamit pulang karena mental dan fisiknya sedang kacau karena pikirannya sedang terus-terusan ke Kintana dan Kasmirah Rumailah. Ia kembali pergi dengan ditemani Haris sebagai sopirnya.


“Ke SMP itu lagi, Pak?” heran Haris.


“Iya, soalnya aku mau memberi pelajaran ke anak-anak jahat yang sudah berani mengganggu Kintana!” ujar Rigel dengan nada emosi karena ia memang sedang emosi terhadap siswa-siswi teman-teman sekelas Kintana yang sudah keterlaluan itu. Haris dapat melihat tuannya itu begitu perhatian terhadap gadis SMP itu.


“Anda begitu perhatian dengan gadis SMP itu, Pak,” celetuk Haris heran.


“Haris, kamu tahukan ibunya tiada karena aku? Gadis itu tidak memiliki siapa pun, Haris,” alasan Rigel untuk menepis keheranan sopirnya itu.


“Iya, Pak, kalau bukan Anda siapa lagi ya, Pak?” kata Haris kemudian, mencoba memahami hal itu.


***


Pukul tiga tepat, alarm tanda pulang terdengar. Setelah guru ke luar dari kelas, anak-anak baru ke luar dari kelas. Kintana tidak mau terdorong atau terjegal jatuh kesekian kalinya sehingga kali ini ia menunggu semua teman sekelasnya keluar terlebih dahulu. Setelah kelas sudah benar-benar sepi, Kintana baru beranjak dari bangkunya dan ke luar dari kelasnya.


Akan tetapi, ia tidak tahu teman-temannya ada saja ide untuk menjahilinya. Menyadari Kintana belum keluar, beberapa siswa-siswi teman sekelasnya memiliki rencana sehingga mereka menanti ke luarnya Kintana dari kelas. Sebagian dari mereka bagian mengambil sabun lantai di tempat tukang kebersihan sekolah. Dengan sangat tergesa-gesa mereka mengambil dan sampai di depan kelas mereka lagi. Satu orang siswa dari mereka menuangkan cairan itu di depan kelas mereka. Setelah itu, semuanya bersembunyi sembari mengintip. Dani melihat itu semua, ia hendak mendekat dan menjaga Kintana agar tidak terkena jebakan. Akan tetapi, Kintana telah ke luar dari kelas dan menginjak sabun itu. Dani sangat khawatir. Akan tetapi, meskipun menginjak sabun itu, Kintana tidak terjatuh karena langkahnya begitu santai. Dani menjadi lega. Mereka yang sudah merencanakan itu begitu kecewa dan kesal kepada Kintana.


Rigel datang. “Bagaimana, Dani, kamu sudah memberikan pelajaran kepada mereka?” tanyanya datang-datang.


“Mereka baru ke luar kelas, Pak. Ini masih di lingkungan sekolah, saya pikir akan bermasalah jika saya melakukan di sini. Saya akan melakukan di luar sekolahan, Pak.”


“Kau benar.” Rigel berpikir tidak mungkin memberi mereka pelajaran selama mereka masih berada di sekolah.


“Mereka tadi mencoba menuang sabun di depan kelas mereka supaya diinjak Kintana. Untungnya Kintana tidak terjatuh meskipun menginjaknya,” terang Dani membuat Rigel semakin geram dengan anak-anak itu.


“Itu, Kintana sedang jalan di sana,” tunjuk Dani. Rigel melihat keberadaan Kintana dengan tersenyum.


“Gagal!” keluh salah satu siswi yang merencanakan kejahilan itu.


“Ya udah, kita pulang! Lain kali kita kerjai lagi!” seru salah satu siswa di antara mereka.


Saat mereka jalan sama-sama menuju ke pintu gerbang, salah satu siswa di antara mereka melihat bola basket menggelinding ke arahnya. Ia mengambil bola itu dan mendribelnya. Kemudian, salah satu siswi di antara mereka berbinar memiliki ide sehingga merebut bola itu. Siswi itu melihat Kintana sedang jalan santai melalui lantai teras dari kelas ke kelas. Siswi itu berlari mendekat ke Kintana lalu melemparkan bola itu ke arah Kintana. Kintana baru melihat kedatangan bola saat bola sudah sangat dekat. Refleks Kintana melangkah cepat untuk menghindari. Bola itu tepat mendarat di kepala Kintana. Kintana menjadi oleng lalu jatuh terjerembab karena melangkah cepat dengan alas kaki licin di lantai keramik sekolah ditambah benturan bola di kepalanya.


“Yes!” seru siswi itu puas. Teman-temannya pun bersorak senang dan saling tos.


Saat Kintana berusaha bangkit, alas kakinya licin sehingga ia kembali terjatuh. Kejadian itu membuat teman-teman sekelasnya yang senang menjahilinya semakin bersorak dan tertawa puas.


“Kintana!” seru Rigel yang ingin sekali mendekat, tetapi baru lima langkah, langkahnya tertahan oleh apa yang telah terjadi.


Salah satu siswa yang menjadi pelakunya mengejek, “Malang ....”


“Hahahaha!” tawa semua pelakunya.


“Mereka keterlaluan!” geram Dani yang langsung berlari mendekat ke Kintana.


Melihat Kintana didekati orang dewasa, teman-teman Kintana ketakutan. Mereka lekas pergi dengan berlari menuju ke pintu gerbang sekolah. Rigel melihat mereka para pelakunya telah kabur.


“Awas kalian! Aku tidak akan mengampuni kalian!” ujar Rigel dalam hatinya sembari melihat ke arah mereka pergi. Kemudian memorinya memutar ingatan perbuatan yang sama yang berbuah menjadi sekarang ini.


“Kamu tidak apa-apa?” tanya Dani sembari membantu Kintana berdiri. “Alas kaki kamu licin karena tadi menginjak sabun cair yang dituangkan oleh teman-teman kamu di depan kelasmu. Mungkin sebaiknya kamu lepas alas kakimu,” terangnya kemudian sembari memberikan saran.


“Iya, sepertinya memang sebaiknya begitu.” Kintana menerima saran itu. Ia berjongkok hendak melepaskan alas kakinya.


“Em ... kalau dilepas kamu jadi tanpa alas kaki.” Dani berpikir tanpa alas kaki juga tidak baik untuk Kintana.


“Tidak apa-apa, saya sudah terbiasa,” kata Kintana meskipun sebenarnya tidak terbiasa. Ia hampir tidak pernah tanpa alas kaki jika berjalan di luar rumah. Pernah sesekali saat masa kecil. Hanya di dalam rumahnya, ia berjalan tanpa alas kaki. Kintana lekas melepaskan alas kakinya daripada dirinya terjatuh.


Rigel yang melihat dari jauh lekas menelepon Dani. Hal itu membuat Dani heran. Sebab meskipun jauh, mereka termasuk dekat. Meskipun aneh, Dani mengangkat sambungan telepon online dari tuannya itu.


“Tawari dia tumpangan mobil! Kamu sama Haris yang antar dia pulang!” titah Rigel.


“Baik, Pak.” Dani akhirnya merasakan bosnya itu seperti tidak berani menunjukkan diri di hadapan Kintana. Ia lantas berpikir Rigel tidak berani berhadapan dengan Kintana karena khawatir Kintana akan tahu jika Rigel penyebab kematian ibu Kintana. Ia juga berpikir, bisa juga Rigel merasa bersalah atas kematian ibunya Kintana sehingga tidak punya muka di hadapan Kintana.


“Em ... ikut Om yuk! Om akan antarkan kamu pulang sampai rumah kamu dengan selamat,” ajak Dani.


“Terima kasih, tapi saya masih mau bekerja,” tolak Kintana dengan nada sangat lembut.


“Kalau begitu, akan saya antarkan sampai tempat kerja kamu,” tawar Dani.


“Tidak, terima kasih. Pekerjaan saya tidak tetap dan tempatnya juga tidak tetap. Setiap harinya harus mencari lagi. Sekarang saya masih mau mencari dulu pekerjaannya. Belum tahu akan dapat pekerjaan di mana. Soalnya saya kerjanya menawarkan jasa tenaga. Jasa pembantu tidak tetap,” terang Kintana.


Dani tidak tahu harus bagaimana lagi menawarkan tumpangan. “Kalau begitu ... saya akan kasih tumpangan sampai kamu menemukan tempat kerja,” ujar Dani kemudian. Jawaban Dani itu membuat Kintana ternganga dan sedikit mengangkat kedua alisnya lantaran heran. Bagaimana mungkin ada orang mau menawarkan tumpangan seperti itu. Apalagi mereka tidak saling kenal. Ia kemudian berpikir yang macam-macam, jangan-jangan, dan jangan-jangan. Ia menjadi takut dengan Dani.


“Saya permisi, Pak. Assalamualaikum.” Kintana menenteng sepasang sepatunya dengan tangan kiri dan hendak melangkah pergi. Akan tetapi, saat itu, tiba-tiba ia merasa mual dan mual dan akhirnya muntah. Ia pun merasa pusing lalu sempoyongan.


“Eh, kamu kenapa?!” tanya Dani berseru karena khawatir.


“Kintana kenapa?” Rigel yang melihat Kintana tidak baik-baik saja, ia yang tidak berani mendekat ke Kintana, menjadi berlari mendekat. Saat ia sudah dekat, Kintana mual lagi, muntah lagi, dan semakin pening lalu mau jatuh. Rigel lekas menangkap tubuhnya dan membopongnya.


“Kita bawa ke rumah sakit!” seru Rigel.


“Tidak perlu ke rumah sakit. Ke UKS saja, Pak,” lirih Kintana yang matanya setengah terpejam.


“Ini jam pulang, tidak ada yang akan mengurusmu di UKS!” tegas Rigel lalu berlari membopong Kintana ke arah ia memarkirkan mobil. Dani ikut berlari dan membantu Rigel membawa Kintana.


Saat itu, Kintana tidak melihat jelas siapa yang bersamanya sehingga ia tidak tahu. Selain itu, sore di hari kematian ibunya, ia tidak hafal wajah dan suara pria yang memberikan makanan untuknya. Ia pun tidak pernah mendengar sosok yang bersamanya sekarang ini dari ibunya atau dari siapa pun juga. Tidak juga pernah melihat foto atau wajahnya sebelum sore kemarin. Rigel bisa merasakan Kintana sama sekali tidak mengenalinya baik dari masa lampau maupun dari pertemuan kemarin sore. Hal itu membuat Rigel merasa aman dekat dengannya.


“Sepertinya tidak masalah aku muncul di hadapannya,” benak Rigel.


***


Kintana kemudian dalam keadaan benar-benar pingsan saat di perjalanan ke rumah sakit. Rigel rasanya panik setengah mati. Ia khawatir akan kehilangan gadis itu juga.


“Kebut Haris! Jangan sampai aku kehilangan dia! Aku sudah kehilangan ibunya kemarin!” seru Rigel panik.


***


“Tolong ... tolong ...! Tolong ada pasien gawat!” Sesampainya di rumah sakit, Rigel berteriak heboh. Ia tidak mau sampai kehilangan Kintana. Ia tidak mau semakin menyesal. Ia akan terpuruk habis jika sampai kehilangan Kintana juga.


“Dok, dia mual, muntah banyak beberapa kali, kepalanya sepertinya pusing, lalu dia pingsan!” terang Rigel beruntun dengan nada sangat tidak sabar dan cemas sekali.


“Tenang ya, Pak! Silakan Anda tunggu di luar, biar kami periksa!” tegas dokter.


“Saya akan tetap di sini, Dok! Kalian berdua saja yang ke luar!” ujar Rigel dengan nada kekeh tidak bisa diganggu gugat karena tidak mau jauh dari Kintana. Oleh sebab itu, dokter membiarkan. Kedua orang Rigel lekas ke luar dari ruang tindakan. Dani dan Haris menunggu di luar sembari saling pandang membawa rasa heran dengan bos mereka itu. Dokter dibantu suster segera memeriksa Kintana.


Tidak lama kemudian, dokter telah mendapatkan hasil pemeriksaannya. Ia merasa lega tidak ada yang serius.


“Salah makan dan kurang makan, Pak.”


“Salah makan apa? Kemarin aku hanya memberikannya tumis jamur tahu yang tidak pedas sama sekali. Lauk orek tempe tahu sedikit pedas sih. Suwir ayam juga sedikit pedas sepertinya. Apa dia tidak bisa makan pedas?” duga Rigel.


Tidak berselang nampak Kintana bergerak-gerak meskipun belum sadar. Dokter tersenyum melihat hal itu. Rigel khawatir kalau Kintana sadar dan melihatnya.


“Dia akan segera sadar,” terang dokter.


“Tolong jangan ceritakan tentang saya kepada gadis itu!” tegas Rigel lalu ke luar. Dokter mengangkat kedua alisnya merasa aneh. Meskipun keluar, Rigel mengintip dan mencuri dengar.


Kintana benar-benar sadar. Ia melihat sekelilingnya. Ia bisa menduga sedang berada di rumah sakit. Ia kemudian juga melihat kehadiran dokter dan suster.


“Kamu salah makan dan juga kurang makan. Memangnya kamu makan apa?” tanya dokter.


“Semalam saya mendapatkan minuman dan makanan gratis. Ada susu instan yang putih, nasi, sayur, dan lauk-pauk. Saya tidak memakannya semalam. Pagi saya baru menyadari kalau saya telah melewatkan minuman dan makanan itu. Saya lihat semuanya itu sudah basi kecuali nasi. Dibuang sayang soalnya saya jarang-jarang makan ada lauk dan sayur seperti itu. Ada susunya lagi. Paling sering lauk orek telur yang terbuat dari satu butir telur yang dibagi dua, setengah untuk sarapan dan setengah untuk makan sepulang sekolah. Dalam beberapa bulan, belum tentu saya bisa minum susu. Jadi, karena sayang, saya minum dan makan meskipun basi.”


Rigel dan dua orangnya yang ada di luar ruangan mendengarnya. Mereka sangat terkejut. Rigel shock sampai memejamkan matanya dan merapatkan bibir atas dan bibir bawahnya.


Dengan sendirinya, bibir Rigel dengan lirih berucap, “Malang ....”


“Malang sekali,” lirih Dani juga.


“Kasmirah Rumailah ... Kasmirah ... Kasmirah ....” Rigel menyebut-nyebut lirih nama itu penuh penyesalan. Kondisi fisiknya akhirnya sempoyongan dan hampir tumbang. Dani dan Haris saling pandang dan lekas bekerja sama merangkul Rigel dari samping kanan dan kiri untuk memapahnya ke kursi yang tidak jauh dari sisi itu. Rigel duduk di atas kursi besi itu.


“Haris, tolong kau minta medis memeriksa pak Rigel!” titah Dani dengan cemas. Haris lekas meninggalkan mereka untuk menghampiri dokter.


“Kasihan dia nasibnya begitu malang,” sesal Rigel kemudian sembari mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya.


Bersambung

Terima kasih 

DelBlushOn Del BlushOn delblushon #delblushon :)