Try new experience
with our app

INSTALL

Di Balik Kekang  

Di Balik Kekang 5. Masalah di Sekolah

Di Balik Kekang 5. Masalah di Sekolah


Setelah dari Kintana, Rigel langsung ke kantornya meskipun masih terlalu pagi untuknya. Saat itu, ia baru ingat tujuannya. Ia mengeluarkan kacamata Kintana dari saku kemejanya. Ia menatap kacamata itu sembari masih mengingat yang baru saja dilihatnya mengenai Kintana yang mendapatkan upah sangat sedikit dari hasil menjadi pembantu tidak tetap. Ia kembali berkaca-kaca mengingat hal itu. Baru kemudian, ia kembali berpikir jika Kintana akan sangat membutuhkan kacamata itu.


“Melihatnya seperti itu tadi jadi membuatku lupa, kalau aku mau memberikan kacamatanya ini,” lirih Rigel. “Aku harus menemui Kintana lagi,” ujarnya, tetapi ia merasa tidak berani menghampiri gadis itu lagi meskipun memiliki rencana akan menyuruh dan membayar orang lain untuk memberikan kacamata itu kepada Kintana. Oleh sebab itu, ia masih duduk di kursi kebesarannya di ruangannya sembari memandangi kacamata itu dan terus mengingat-ingat apa yang dilihatnya soal Kintana tadi.


***


Kintana menjadi pergi ke sekolah tanpa kacamata. Ia begitu kesulitan saat pelajaran karena tidak bisa melihat tulisan dengan baik. Meskipun demikian, ia tidak menyerah. Caranya mengamati tulisan membuat teman-temannya yang melihatnya, jahil dengan mentertawakannya.


“Sudah cupu, rabun,” celetuk siswi salah satu teman Kintana yang melihat cara membaca Kintana. Kemudian, anak itu menutup mulutnya menahan tawa.


“Tambah lagi yatim piatu,” celetuk siswi teman Kintana satu lagi. Anak itu terkekeh sedikit.


“Kasihan ... hihihihi,” celetuk siswa teman Kintana yang lainnya lagi. Setelah itu, anak itu menyunggingkan senyuman puas telah mengejek Kintana.


Kintana menghempaskan napasnya. Ia menyadari kondisinya yang sekarang akan membuat hinaan kepadanya bertambah. Ia berkaca-kaca dan mengelus dada. Ia berusaha untuk tidak mempedulikan perundangan mereka. Oleh sebab itu, ia semakin memfokuskan perhatiannya pada pelajaran.


“Anggap saja mengurangi dosa. Aku kan memiliki banyak sekali dosa,” batin Kintana mencoba berpikir positif.


***


Pagi, Dani menyelidiki Kintana. Ia menemukan sekolahnya dari informasi Argani yang sedang mengintai Kintana bersama Cakara dan Ismawan. Ia segera meluncur ke sekolah itu dengan mengenakan pakaian rapi. Ia kemudian bertanya kepada pihak sekolah untuk menemukan kelas Kintana dan apa pun tentang Kintana di sekolah itu. Setelah mengetahui kelas gadis itu, Cakara, Argani, dan Ismawan lekas menjaga Kintana dari depan kelas Kintana. Sementara itu, Dani mencari tahu informasi administrasi sekolah Kintana. Dani menemukan biaya sekolah gadis itu nunggak. Detik itu juga, ia langsung menghubungi Rigel untuk memberitahukan soal itu.


“Ada apa, Dan?” tanya Rigel.


“Ini soal gadis itu, Pak.”


“Kintana?”


“Benar, Pak.”


“Ada informasi apa tentang anak itu?”


“Belum bayar administrasi sekolah sama sekali selama kelas tiga ini, Pak. Pihak sekolah memberi waktu karena gadis itu pintar, Pak. Akan tetapi, katanya karena pihak sekolah mendengar kabar ibunya tiada, berarti sudah tidak ada yang akan membayar sekolahnya, Pak. Oleh sebab itu, pihak sekolah akan mencoba mencari orang yang mau membiayai Kintana, jika tidak ada yang mau, terpaksa terancam putus sekolah. Begitu, Pak, informasi yang saya dapatkan.”


“Katakan kepada pihak sekolah, aku Rigel Chandra Luminos yang akan membayar! Katakan kepada pihak sekolah, jangan memberitahukan soal aku yang membayar sekolah Kintana kepada Kintana! Sekarang juga aku akan ke sekolahan Kintana untuk membayar lunas! Kirimkan alamat sekolahnya!” kata Rigel bersungguh-sungguh.


“Baik, Pak!” tegas Dani lalu komunikasi terputus. Dani tersenyum sembari mengirimkan pesan berisi alamat sekolah Kintana.


“Tuan Rigel Chandra Luminos yang akan menanggung semua biayanya. Akan tetapi, beliau berpesan untuk jangan memberitahukan kepada Kintana. Jadi, saya mohon, kalian rahasiakan dari Kintana, biar tuan Rigel sendiri nanti yang akan memberitahukan! Tuan Rigel saat ini sedang meluncur ke sini untuk melunasi administrasi sekolah Kintana.”


“Baik, kami akan merahasiakan. Kami tunggu kedatangan beliau.” Pihak sekolah juga tersenyum karena ikut senang dan merasakan lega, Kintana anak baik dan pintar tidak akan putus sekolah.


***


“Untung lekas diketahui, jika tidak Kintana bisa saja tidak mendapatkan bantuan dan berakhir putus sekolah. Sekalian memberikan kacamatanya. Aku bisa minta tolong pada temannya untuk memberikan kacamata ini kepadanya,” lirih Rigel.


Rigel menghubungi orang kantornya. “Aku ada urusan sangat penting lagi saat ini, tapi aku akan segera kembali. Kira-kira dua jam dari sekarang aku akan kembali.”


Setelah itu, Rigel langsung pergi ke sekolahan Kintana. Ia tetap meminta Haris menyetir mobilnya. Ia meminta Haris mempercepat laju kendaraannya karena ia sangat ingin melunasi biaya sekolah Kintana. Ia merasa memiliki kesempatan untuk bertanggung jawab.


“Kalau boleh tahu siapa yang bersekolah, Pak?” tanya Haris kepo seperti biasa.


“Anak wanita yang meninggal kemarin,” terang Rigel.


“Untuk apa bapak ke sana?” tanya Haris penasaran.


“Dia belum membayar sekolah sama sekali selama kelas tiga. Ibunya sudah tiada dan ia tidak memiliki siapa pun yang membiayai sekolahnya. Kini ia tanggung jawabku. Ibunya tiada demi aku. Jadi, aku wajib bertanggung jawab atasnya,” terang Rigel agar Haris tidak berpikiran yang macam-macam.


“Anda benar-benar pria sejati, Pak, bertanggung jawab!” seru Haris kagum.


Rigel tersenyum getir sembari membatin, “Andai saja kamu tahu aku yang sebenarnya Haris, kalau aku bukan pria sejati.”


***


Sesampainya di sekolahan Kintana, hal pertama yang dilakukan Rigel mencari kelas Kintana. Ia melihat dari luar kelas Kintana. Kemudian, ia mengintip sedikit untuk melihat benar tidaknya Kintana ada di dalam kelas itu. Ia tersenyum saat melihat kebenarannya. Setelah itu, baru ia menemui pihak sekolah yang berkepentingan dalam urusan administrasi sekolah. Rigel langsung membayar lunas semua biayanya.


“Biaya-biaya berikutnya laporkan kepadaku!” tegas Rigel sembari segera mengeluarkan kartu namanya dari dompetnya. Kemudian, ia memberikan kartu itu kepada pihak sekolah bagian administrasi itu.


“Baik, Pak,” ujar petugas administrasi sekolah.


“Kalau boleh tahu, Anda siapanya Kintana, Pak? Kok Anda mau menanggung biaya sekolahnya?” tanya petugas administrasi itu penasaran.


“Saya tahu ibunya tiada. Saya juga tahu Kintana anak yang pintar. Akan sangat sayang sekali kalau sampai dia putus sekolah. Jadi, saya putuskan untuk membiayai sekolah Kintana,” jawab Rigel.


“Kami dari pihak sekolah sangat-sangat berterima kasih kepada Anda, Pak. Kintana anak baik dan cerdas. Dia sangat pantas mendapatkan bantuan dari Anda. Semoga berkah dan rezeki Anda berlimpah selalu,” kata pegawai itu.


“Aamiin,” ucap Rigel. “Saya pamit dulu. Assalamualaikum.”


“Waalaikumsalam.”


***


Berjalan pulang, Rigel mampir dahulu ke kelas Kintana. Ia kembali mengintip ke kelas itu. Ia melihat ada guru yang sedang mengajar. Tidak lama kemudian guru itu mengakhiri pelajarannya dan ke luar dari kelas itu. Saat itu, Rigel melambaikan tangan ke salah satu murid di dalam kelas itu untuk keluar sebentar. Siswi itu lekas ke luar menemui Rigel.


“Saya mau minta tolong ke kamu. Tolong berikan kacamata ini kepada Kintana. Kamu sekelas, pasti kenalkan sama Kintana?”


“Iya, kenal,” jawab siswi itu.


Rigel mengeluarkan dua lembar merah dari dompetnya. Kemudian, ia memberikannya kepada siswi itu bersama kacamata Kintana.


“Ini ada uang buat kamu. Berikan kacamatanya kepada Kintana! Jangan lupa!” tegas Rigel agar kacamata itu sungguh-sungguh diberikan kepada Kintana.


“Iya,” jawab siswi itu.


Siswi itu melihat guru lain menuju ke arah kelasnya. Ia tahu guru itu yang akan mengajar selanjutnya di kelasnya.


“Ada guru! Saya masuk dulu!” seru siswi itu lalu lekas masuk. Tidak lama berselang, guru itu sudah berada di depan kelas itu.


“Ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanya guru itu.


“Tidak ada, Pak. Saya sudah minta tolong ke salah satu siswi. Saya hanya mau memberikan kacamata Kintana. Saya permisi, Pak. Assalamualaikum.” Setelah menerangkan Rigel berpamitan.


“Waalaikumsalam.” Setelah Rigel beranjak pergi beberapa meter, guru itu masuk ke dalam kelas.


***


Sementara itu, siswi yang dititipi kacamata berpikiran curang. Ia enggan memberikan kacamata itu kepada Kintana. Bisa-bisa julukan pada Kintana yang sudah banyak tadi berkurang. Selain itu, ia merasa senang melihat Kintana kesusahan membaca. Ia pun berpikir, Kintana tanpa kacamata akan membuat nilai Kintana turun.


Ia membatin, “Jadi, Kintana tidak boleh memakai kacamatanya agar nilainya turun.” Ia menjadi senyum-senyum sendiri karena hal itu.


“Kintana, kamu sudah masuk sekolah? Ibu kamu baru tiada. Kalau kamu mau absen tidak apa-apa,” kata guru laki-laki yang baru saja masuk ke kelas itu.


“Kintana baik-baik saja, Pak. Demi ibu, Kintana akan semangat belajar,” kata Kintana.


“Bapak ikut berduka,” ucap guru itu.


“Terima kasih, Pak,” ucap Kintana.


Setelah Rigel pergi, Dani memerintahkan Argani, Cakara, dan Ismawan pulang istirahat karena mereka telah mengawasi Kintana sejak semalam. Ketiga pria itu menjadi melupakan tugas untuk mencari tahu apa Kintana sudah makan malam dan sarapan. Kini Dani sendirian yang mengawasi Kintana dari luar kelas Kintana.


***


Rigel sudah di kantor. Ia disibukan dengan pekerjaannya. Akan tetapi, pikirannya ke tempat lain. Rapat, ketemu klien, memeriksa dokumen, dan lain-lain yang dilakukannya, konsentrasinya selalu terganggu oleh Kintana. 


“Jam makan siang, aku akan ke sekolahan itu lagi,” ujarnya dalam hati.


***


Saat yang ditunggu itu cepat sekali datang. Rigel bergegas ke sekolah Kintana lagi dengan mengajak kembali Haris sopirnya. Ia masih merasa mengantuk dan malah semakin mengantuk oleh sebab semalaman tidak bisa tidur sehingga ia perlu mengajak Haris.


“Masih ada yang perlu dibayar, Pak?” tanya Haris yang menduga demikian.


“Tidak ada,” jawab Rigel.


“Lalu untuk apa ke sekolah itu lagi?”


“Ingin saja,” jawab Rigel apa adanya. Haris merasa aneh, tetapi ia tidak bertanya lagi.


“Bapak kelihatan lelah,” kata Haris saat melihat Rigel menguap.


“Aku baik-baik saja, Haris.”


***


Di saat yang sama, alarm jam istirahat sekolah SMP itu sedang berbunyi. Setelah guru keluar, anak-anak lekas keluar. Saat Kintana baru keluar dari bangkunya, seorang siswa dari belakangnya sengaja menabraknya hingga ia setengah terjatuh. Ia bersabar dan lekas bangkit. Saat ia berjalan dan baru ke luar dari kelas, seorang siswi yang sudah di luar duluan sengaja menjegal kakinya sehingga kali ini membuatnya benar-benar tersungkur. Semua anak mentertawakannya.


“Hihihihi, ayo teman-teman kita ke kantin! Aku punya berita penting!” tawa siswi yang tadi dititipi kacamata Kintana oleh Rigel sembari mengajak teman-temannya lekas ke kantin karena hendak menceritakan soal kacamata itu.


Dani yang melihat Kintana dijegal sangat terkejut hingga terbelalak. Ia ingat, kalau ia diperintahkan untuk menjaga anak itu bukan hanya menyelidiki anak itu. Ia sadar kalau Rigel tahu apa yang terjadi pada Kintana pasti Rigel akan marah.


Kintana bangkit dari jatuh. Ia tidak ke kantin. Ia memang biasa tidak ke kantin agar hemat. Ia biasanya juga tidak membawa bekal karena tidak ada apa pun yang bisa dibawa bekal. Saat ini ada yang dibawanya. Ia membawa dua gelas air mineral. Ia baru ingat saat sudah di luar kelas. Ia lekas kembali masuk dan mengambil satu gelas. Ia memilih duduk di bangku taman sekolah itu untuk meminum air mineral kemasan itu.


***


Di kantin, gadis yang dititipi Kacamata bercerita, “Tadi ada bapak-bapak memberikan ini padaku.” Ia mengeluarkan kacamata itu. “Kalian tahu ini punya siapa?”


“Apa punya si cupu rabun yatim piatu?” tebak salah satu temannya.


“Betul sekali. Aku sengaja tidak memberikannya. Biar saja dia kesusahan membaca. Semoga nilainya juga turun. Hihihihihihi!” tawa jahat anak itu. Anak-anak yang lain turut tersenyum senang dengan apa yang dilakukan oleh siswi itu.


“Em ... bisa diuangkan loh,” celetuk salah satu dari anak-anak itu.


“Diuangkan? Bagaimana caranya?” tanya salah seorang siswi di antara mereka.


“Kita tunjukkan pada si cupu. Kita mintai uang jika ia minta kacamatanya. Uangnya lumayan bisa buat kita jajan,” terang yang mengusulkan. Semua saling pandang dan tertarik dengan ide itu.


“Kita bisa minta harga tinggi, biar dia kesulitan,” saran salah satu siswi yang lainnya.


“Setuju setuju setuju!” seru mereka sepakat.


Setelah dari Kantin, mereka mencari Kintana. Mereka dengan segera menemukannya. Mereka segera menghampirinya.


“Cupu! Lihat nih!” seru siswi yang memegang kacamata Kintana.


Kintana berbinar dan langsung berseru, “Itu kacamataku!” Kintana hendak meraihnya, tetapi gadis itu berkelit. “Kembalikan kacamataku! Aku sangat membutuhkan kacamataku dan itu pemberian almarhumah ibuku!” rengek Kintana.


“Akan aku berikan, tapi berikan dulu cuan!” tegas temannya itu.


Saat itu Rigel telah datang dan mengetahuinya dengan mata kepalanya sendiri. “Aku sudah memberikan uang pada anak itu. Apa kurang yang aku berikan?” geram Rigel yang sedang mengamati dari jarak jauh bersama Dani.


“Aku tidak punya uang,” terang Kintana.


“Tidak peduli! Harus ada kompensasinya jika mau kacamata ini!” tegas gadis itu.


“Baik, aku akan membayar lain waktu kalau sudah ada uang!” ujar Kintana bersungguh-sungguh. “Berapa harus aku bayar?”


Anak-anak itu saling pandang dan berpikir. Mereka bingung menentukan harganya. Kemudian salah satu dari mereka berbinar-binar karena mendapatkan ide brilian.


“Satu juta!” celetuk siswa yang mendapatkan ide brilian itu.


“Nah, iya, satu juta! Itu sepadan karena selain butuh, kacamata ini adalah kenang-kenangan dari ibu kamu. Kamu tentunya sangat sayangkan dengan ibu kamu dan apa-apa pemberian darinya menjadi sangat berharga kan buat kamu?” kata siswi yang memiliki kacamata Kintana itu. Deg, Kintana merasa berat, tetapi apa yang dikatakan temannya itu ada benarnya. Kacamata itu berharga bukan sekedar karena butuh, tetapi karena itu hasil jerih payah ibunya yang sangat disayanginya. Kintana mengangguk menyetujuinya. Anak-anak itu berbinar-binar mendapati kesepakatan itu dengan Kintana.


Sementara itu yang mengamati dari jauh. “Kurang ajar!” geram Rigel.


Bersambung 

Terima kasih 

DelBlushOn Del BlushOn delblushon #delblushon :)