Contents
Di Balik Kekang
Di Balik Kekang 4. Jangan Sia-siakan
Di Balik Kekang 4. Jangan Sia-siakan
Subuh saat terbangun, Kintana mencari-cari kacamatanya. Ia ingat jika kacamatanya jatuh di makam. Ia lantas menghempaskan napasnya. Sayang sekali karena itu satu-satunya kacamata miliknya pemberian ibunya. Ibunya membeli kacamata itu dengan kerja keras. Dirinya akan kesulitan belajar tanpa kacamata itu.
“Ibu, maaf,” sesal Kintana dengan suara lirih. Ia kemudian lekas bangkit untuk ke kamar mandi.
Kintana mandi dengan cepat. Setelah itu, ia melaksanakan salat subuh di kamarnya sendiri. Setelah itu, selesai rangkaian ibadahnya, ia mendapatkan pemikiran.
“Aku akan berangkat sekarang juga. Aku akan mampir ke makam dahulu. Siapa tahu kacamata itu masih ada. Setelah itu, aku akan mencari kerja seperti kemarin baru berangkat ke sekolah,” batinnya dengan mantap. Ia lekas bangkit dan mengenakan seragamnya yang kemarin sedikit kotor oleh tanah makam saat ia bersimpuh.
Selesai bersiap sekolah, ia ke luar dari kamarnya. Saat itu, ia baru menyadari sesuatu. Ia lekas ke dapur yang terletak sangat dekat dengan kamarnya. Ia menyadari telah menyia-nyiakan makanan dan minuman untuknya. Ia lekas memeriksa makanan dan minuman itu. Semuanya sudah basi kecuali nasi.
“Ya Allah, hari-hari biasanya makan tanpa lauk. Kemarin aku malah menyia-nyiakan. Ibu pasti marah kalau tahu,” lirihnya menyesal. “Sekarang bagaimana? Sayang-sayang kalau dibuang, tapi ini semua sudah basi,” kini ia bingung karena merasa sayang jika makanan sebanyak itu dibuang.
“Astaqfirullahaladzim!” sebutnya lantaran merasa berdosa. Akhirnya, ia memutuskan meneguk habis susu basi itu. Kemudian, ia paksakan juga memakan nasi dengan lauk dan sayur basi. Ia menyantap semua itu dengan tergesa-gesa. Memang ia sedang tergesa-gesa, tetapi ia makan dengan tergesa-gesa lantaran untuk mengabaikan rasa mual menyantap makanan basi itu.
Selesai itu, ia mengambil air mineral gelasan yang ada di kardus di ruang tamu. Ia minum hingga menghabiskan sebanyak tiga gelas. Ia minum banyak untuk menghilangkan rasa tidak enak dari makanan dan minuman basi yang sudah dimakannya. Ia kemudian mengambil lagi dua gelas, tetapi kali ini untuk bekalnya ke sekolah.
Saat itu, ketiga pria yang semalam mengintai kembali datang mengintai Kintana. Akan tetapi, kali ini mereka memperhatikan Kintana dari jarak jauh. Belum lama mereka datang, mereka melihat Kintana ke luar dengan memakai seragam sekolah SMP swasta. Mereka lekas mengikuti Kintana diam-diam.
“Ini masih terlalu pagi kan, kalau berangkat sekolah?” celetuk salah satu dari ketiga pria itu dengan berbisik karena menurutnya cukup aneh Kintana berangkat di pagi buta.
“Mungkin jarak ke sekolahnya jauh,” duga rekannya.
“Ibunya baru tiada, harusnya tidak apa-apa, tidak masuk sekolah dahulu,” pendapat rekan yang satu lagi.
Setelah mereka ikuti, ternyata Kintana pergi ke makam. Ia menghampiri makam ibunya. Saat itu, kesedihannya yang sangat menjadi kembali lagi. Ia bertekuk lutut beralas tanah kembali. Ia memeluk nisan ibunya dan menangis.
“Ibu ....” Kintana menangis sembari menyapa lirih bernada penuh kepedihan.
Kemudian, pikiran positifnya lekas mengingatkannya jika ia harus bekerja. Apalagi ibunya telah tiada. Jika ia tidak bekerja, bagaimana hidupnya nanti, sekolahnya, dan masa depannya? Sia-sia jika waktu ia habiskan menangis di makam ibunya. Jika ia sia-siakan waktu, sama saja seperti makanan yang sudah ia sia-siakan sebelumnya. Ia merasa tidak boleh membuat kesalahan yang sama kedua kalinya. Ia harus lekas pergi dari makam dan mencari pekerjaan menjadi pembantu tidak tetap, mumpung hari masih terlalu pagi untuk ke sekolah.
“Kacamataku!” serunya saat ia teringat tujuannya ke makam ibunya. Ia lekas mencari-cari kacamata itu. Akan tetapi, ia tidak menemukannya.
“Ya Allah, kacamatanya hilang. Bagaimana sekarang? Aku akan kesulitan tanpa kacamata. Ibu, maafkan Kintana. Ibu sudah bersusah payah membelikan kacamata untuk Kintana, tapi malah Kintana hilangkan,” keluhnya merasa susah tanpa kacamata itu dan merasa bersalah telah mensia-siakan benda hasil jerih payah ibunya. Kintana menghempaskan napas untuk menghempas masalah kacamata itu. “Ya sudahlah!”
“Ibu, Kintana pergi dulu. Kintana harus bekerja seperti Ibu. Doakan Kintana bisa bekerja dan tetap sekolah. Assalamualaikum.” Kintana kemudian pergi dengan menahan kesedihan akan kehilangan ibunya dan kegundahannya kehilangan kacamata yang sangat ia butuhkan.
***
Rigel yang tidak tidur semalaman, tidak sabar menunggu informasi dari ketiga anak buahnya yang sedang mengintai Kintana. Oleh sebab itu, ia lekas menghubungi salah satu dari ketiganya. Di mana hari masih terlalu pagi dan ketiga anak buahnya tengah mengikuti Kintana yang baru saja dari makam.
“Argani, Cakara, Ismawan!” panggil Rigel kepada ketiga anak buahnya, padahal ia sedang menelepon Argani. Ia memanggil dengan nada tidak sabaran dan khawatir.
“Bagaimana?! Bagaimana?! Terangkan! Terangkan! Terangkan sedetail mungkin!” tanyanya yang lagi-lagi dengan nada tidak sabaran dan menjadi berulang secara beruntun. Kemudian ia pun langsung memberikan perintah.
“Kintana berangkat sekolah pagi buta. Ternyata dia ke makam. Di makam dia menangis. Kemudian di makam itu, ia mencari-cari kacamatanya. Saat ini, Kintana sedang menghampiri rumah-rumah. Kami mengawasi dari jauh sehingga belum jelas untuk apa dia menghampiri rumah-rumah itu. Kami melihat sepertinya ia sedang menawarkan sesuatu ke setiap rumah yang dihampirinya, tetapi setiap pemilik rumah nampaknya menggeleng menolak,” terang Argani.
“Apa yang dia tawarkan? Kalian cari tahu!” titah Rigel.
“Baik, Pak!” tegas Argani untuk menyatakan bersungguh-sungguh memenuhi perintah Rigel itu. Rigel memutuskan komunikasi.
“E ... pagi-pagi berangkat, apa dia sarapan? Semalam dia makan dan minum tidak? Kalau semalam tidak dan sekarang juga tidak, itu tidak akan baik. Ya Allah ....” Rigel segera menghubungi Argani lagi.
“Iya, Pak, kami masih mengikuti Kintana. Kami belum mendapatkan informasi dia menawarkan apa,” terang Argani sebelum Rigel menanyakan hal itu. Akan tetapi, Rigel menghubungi lagi bukan untuk menanyakan hal itu.
“Aku tahu, baru juga aku perintahkan. Aku mau kalian cari tahu juga apa dia sarapan dan apa semalam dia makan,” terang Rigel.
“Baik, Pak, akan kami cari tahu!” ujar tegas Argani.
“Terima kasih. Maaf kalau sudah merepotkan kalian,” kata Rigel.
“Sudah tugas kami yang mengabdi kepada Anda, Pak,” ujar Argani dengan nada santun. Rigel mengakhiri komunikasi lagi dengan Argani.
Kemudian Rigel teringat soal kacamata Kintana. “Oh, Kintana mencari kacamatanya? Aku ... mengantongi kacamatanya itu. Oh, aku lupa mengembalikan kacamatanya. Dia akan sangat butuh kacamatanya itu. Aku harus segera mengantarkan kacamata itu kepada Kintana. Em ... bagaimana nanti cara aku memberikan kacamatanya? Aku tidak bisa menunjukkan diriku di hadapannya. Em ... mungkin nanti akan ada seseorang yang bisa membantuku. Akan aku beri uang untuk memberikan kacamata kepada Kintana.” Rigel lekas masuk ke kamar mandi karena hendak pergi mengantarkan kacamata itu.
Rigel hanya mandi asal. Kemudian mengenakan baju formal tanpa rapi. Mengambil dompet. Mengambil kacamata itu di saku kemeja yang kemarin dipakainya. Setelah itu, ia lekas berangkat. Ia sadar diri sedang mengantuk karena tidak tidur semalaman sehingga ia memerintahkan Haris mengemudikan mobil.
***
“Kita coba berpencar cukup ke tiga rumah saja di antara yang tadi didatangi Kintana dan menolak Kintana. Kita tanya Kintana menawarkan apa,” ide Cakara.
“Ide bagus, ayo, kita lakukan!” seru Ismawan. Mereka lekas berpencar. Mereka sama-sama mendapatkan jawaban jika Kintana sedang menawarkan diri menjadi pembantu. Ketiganya lekas berkumpul lagi.
“Aku mendapatkan jawaban kalau Kintana menawarkan tenaganya untuk mengerjakan pekerjaan rumah seperti memasak, bersih-bersih, mencuci, atau setrika,” terang Argani.
“Iya, aku pun mendapatkan jawaban demikian,” ujar Cakara.
“Katanya ia menawarkan diri menjadi pembantu tidak tetap,” terang Ismawan.
“Berarti sudah jelas soal kenapa Kintana mendatangi rumah-rumah orang. Untuk soal Kintana sudah makan atau belum, bagaimana caranya kalau tidak tanya langsung ke orangnya?” bingung Argani.
“Kita laporkan bos soal hal ini dahulu. Sepertinya hal ini sesuatu yang penting diketahui oleh bos,” saran Cakara.
“Iya, silakan kamu yang telepon bos!” setuju Argani. Cakara mengangguk dan lekas mengeluarkan ponsel pintarnya.
“Halo Cakara! Ada informasi apa?” tanya Rigel tanpa basa-basi karena sangat penasaran dan ingin tahu apa pun soal Kintana.
“Kintana sedang menawarkan tenaganya untuk menyelesaikan tugas rumah tangga, Pak,” terang Cakara.
“Maksudnya menjadi pembantu?” tanya Rigel memperjelas.
“Benar, Pak,” jawab Cakara.
“Apa kalau begitu dia akan berhenti sekolah?” tanya Rigel cemas.
“Tidak tahu, Pak. Em ... yang kami ketahui, Kintana menawarkan jasa menjadi pembantu tidak tetap. Ia menawarkan jasa tenaganya untuk memasak, atau menyapu, atau mencuci, atau pekerjaan rumah tangga yang lainnya yang hanya untuk saat ini juga Kintana kerjakan. Begitu, Pak,” terang Cakara.
“Hm ... aku mengerti maksudnya Cakara. Ibunya juga bekerja menjadi pembantu tidak tetap. Bisa jadi ia akan putus sekolah atau ... bisa jadi dia akan mengerjakan keduanya. Iya menjadi pembantu, iya sekolah. Kalian teruskan cari tahu segalanya tentang dia!”
“Baik, Pak!” tegas Cakara.
“Kirimkan lokasi kalian sekarang juga karena aku akan menghampiri anak itu sekarang!” imbuh Rigel.
“Baik, Pak!” jawab Cakara.
Rigel memutuskan komunikasi. Setelah itu, ia menghempaskan napasnya. Ia merasa telah mensia-siakan ibu dan anak itu sampai kondisi kehidupan mereka begitu memprihatinkan. Ia menduga ada banyak hal memperihatinkan yang lainnya yang telah terjadi pada ibu dan anak itu.
“Kenapa aku sia-siakan mereka?” sesalnya tidak habis pikir atas masa lalunya yang atas pilihannya sendiri.
***
Kintana akhirnya mendapatkan keluarga yang membutuhkan tenaganya. Keluarga itu memiliki orang sepuh yang terbaring di ranjang karena fisiknya dimakan usia. Mereka meminta Kintana untuk menyeka, menggantikan baju, dan mendadani wanita sepuh yang mereka miliki. Dengan senang hati Kintana mengerjakannya.
“Lihat, sepertinya ada yang mau menerima jasanya! Kintana masuk ke dalam rumah itu!” seru Ismawan. Ketiga anak buah Rigel itu lekas mendekat ke rumah itu, tetapi tetap mereka menjaga jarak dan lihat sana-sini khawatir terjadi masalah seperti semalam.
***
Rigel telah sampai lokasi di mana ada Kintana. Ia menemukan ketiga anak buahnya yang sedang mengawasi Kintana. Ia lekas menghampiri mereka bertiga. Sementara Haris sopirnya tetap berada di mobil.
“Mana Kintana?” tanya Rigel.
“Di dalam rumah itu, Pak,” terang Ismawan.
“Di dalam rumah itu? Apa maksudnya ada yang menerima tawaran jasanya sebagai pembantu?” tanya Rigel memastikan.
“Sepertinya demikian, Pak,” jawab Ismawan. Rigel mengelus dadanya karena merasakan tidak nyaman mendengar informasi itu.
“Sudah berapa lama Kintana ada di dalam?” tanya Rigel.
“Tiga puluh menit lebih, Pak,” jawab Ismawan.
“Ya Allah, pekerjaan apa yang sedang ia kerjakan di dalam rumah itu?” Rigel cemas Kintana mendapatkan pekerjaan berat.
Kintana akhirnya nampak ke luar dari rumah itu setelah empat puluh menit.
“Kenapa jauh-jauh? Ayo mendekat!” ajak Rigel. Rigel dan ketiga anak buahnya mendekat diam-diam.
Saat keluar, Kintana memperhatikan dua lembar uang hasil kerjanya. Ia melihat selembar sepuluh ribu dan selembar lima ribu. Rigel yang mengamati bersama ketiga anak buahnya juga melihat dua lembar uang yang didapatkan Kintana itu.
“Alhamdulillah akhirnya dapat rezeki. Cukup dulu kerjanya. Sekarang saatnya ke sekolah, jangan sampai terlambat lagi seperti kemarin. Sepulang sekolah baru mencari kerja lagi sebanyak-banyaknya.” Kintana tersenyum penuh syukur. Rigel merasa miris dan menjadi berkaca-kaca.
“Apa yang sudah aku lakukan?” lirih Rigel merasa telah melakukan kesalahan. Ia lantas kembali ke mobilnya dan melupakan tujuannya memberikan kacamata Kintana. Ia tidak tahan melihat yang telah disia-siakannya.
Bersambung
Terima kasih
DelBlushOn Del BlushOn delblushon #delblushon :)