Contents
Di Balik Kekang
Di Balik Kekang 3. Diam-Diam
Di Balik Kekang 3. Diam-Diam
“Kenapa sepertinya Bapak takut dengan gadis itu?” tanya sopir Rigel.
“Pak Haris, anak itu belum tahu penyebab ibunya tiada. Bagaimana jika dia sampai tahu jika saya penyebabnya?” tanya Rigel sebagai alasan untuk menutupi alasan sebenarnya. Haris tidak bertanya lagi setelah mendapatkan jawaban itu dan ia memilih percaya dengan jawaban itu meskipun sesungguhnya merasa ada kebohongan.
“Em ... oleh sebab itu, aku perlu tahu mengenai anak itu. Dani, besok kamu selidiki anak itu! Cari tahu sekolah di mana, kelas berapa, berapa biayanya, sudah bayar atau belum, siapa saja teman-temannya, dan apa pun tentang anak itu sedetail mungkin!” perintah Rigel.
“Baik, Pak!” ujar Dani dengan tegas menandakan ia akan benar-benar menjalankan perintah itu.
“Pastikan anak itu tidak tahu jika sedang kita selidiki! Pastikan semua yang nanti kamu tanyai, peringatkan untuk tidak menceritakan kepada anak itu! Selain itu, intai anak itu dan jaga dia, jangan sampai kenapa-kenapa sedikit pun mulai sekarang juga setiap saat, soalnya dia sedang sendirian! Amati benar setiap aktivitasnya, tindak tanduknya, dan apa pun soal dia sesepele apa pun!” titah Rigel beruntun dengan setegas-tegasnya.
“Siap, Pak!” tegas Dani lagi.
Kemudian Rigel merasa alasan bohongnya ada benarnya juga. Jika sampai anak itu tahu penyebab kematian ibunya adalah dirinya, bisa jadi anak itu akan membencinya meskipun tidak tahu persoalan utama. Ia tidak mau sampai hal itu terjadi.
“Satu lagi, seperti yang aku katakan tadi, anak itu belum tahu soal alasan kematian ibunya. Aku khawatir warga akan memberitahukan. Cegah jangan sampai anak itu tahu!” titah Rigel lagi.
“Baik, Pak,” ujar Dani yang kali ini tidak setegas sebelumnya, tetapi tetap akan ia laksanakan. Ia hanya ragu akan bisa mencegah anak itu mengetahui alasan kematian ibunya. Kalaupun bisa, tidak akan lama anak itu akan tahu juga.
“Kalau begitu, jika mau mengintai sekaligus mengawal anak itu sekarang juga, saya akan menghubungi teman-teman. Besok, setelah saya menyelidiki anak itu, baru saya sendiri yang akan melanjutkan mengintai dan mengawal anak itu,” ujar Dani kemudian.
“Iya, telepon teman-teman kamu sekarang juga!” Rigel menyetujui. Dani lekas menelepon dan mengirimkan foto dan segala keterangan melalui aplikasi WhatsApp di ponsel pintarnya.
“Dia tadi tidak mengenaliku. Sepertinya dia tidak mengenal siapa aku. Apa Kasmirah tidak menceritakan tentang aku? Apa tidak pernah menunjukkan fotoku? Aku akan diam-diam ada di belakangnya karena aku tidak mungkin muncul di depannya. Dia akan penuh tanya dan bisa-bisa tahu lalu membenciku,” batin Rigel.
“Rekan-rekan sedang meluncur ke rumah almarhumah ibu Kasmirah Rumailah, Pak,” terang Dani.
“Bagus,” tanggapan Rigel. Ia sedikit tenang karena Kintana akan ada yang menjaga. “Jangan lupa laporkan kepadaku setiap detailnya yang kalian ketahui mengenai anak itu meskipun hal yang sama sekali tidak penting!” tegas Rigel untuk mengingatkan karena hal itu baginya sangat penting.
“Iya, saya sudah sampaikan hal itu kepada rekan-rekan,” terang Dani.
“Ada berapa orang yang kau suruh?” tanya Rigel.
“Tiga orang, Pak,” terang Dani.
“Ya, segitu cukup,” kata Rigel sepakat.
***
Isya telah berlalu dan waktu mendekati tengah malam, tetapi Kintana masih bersedih banjir air mata kehilangan Kasmirah Rumailah yang begitu mendadak. Sejak tadi, ia tidak berhenti menangis. Ia pun hanya menyempatkan diri untuk salat saja, tidak untuk aktivitas yang lainnya. Saat mengerjakan salat, air matanya juga terus mengalir. Makanan dan minuman dari Rigel sama sekali tidak disentuhnya. Makanan dan minuman apa pun yang tersedia di rumah itu juga tidak sedikit pun mengisi perut dan membasahi kerongkongannya. Selebihnya, ia berbaring di kasur busa kamar ibunya yang sejak tadi ia tempati sembari berlinang air mata. Ia enggan beranjak dari kamar itu karena ia masih mau bersama ibunya meskipun itu hanya kamar ibunya.
Sementara itu, di depan rumahnya ada tiga pria tegap nan tinggi besar ditambah berwajah sangar berdiam diri. Mereka tidak mendapati Kintana ke luar sedikit pun dari rumah itu. Mereka tidak melihat batang hidung Kintana sedikit pun sejak tadi beberapa menit bada isya berada di depan kediaman itu. Salah satu dari mereka lantas lekas menelepon Rigel untuk memberitahukan hal itu.
“Pak, sejak tadi kami belum melihat anak yang Bapak maksudkan,” lapor anak buah Rigel di lapangan. Sementara itu, Rigel sudah bersiap tidur di kamar pribadinya yang cukup luas lima kali lipat dari kamar almarhumah Kasmirah Rumailah.
“Kalian tidak salah alamat?” duga Rigel.
“Kami yakin tidak salah alamat,” terang anak buah Rigel.
“Em ... dia kan baru kehilangan ibunya. Mungkin dia enggan ke luar rumah karena hal itu. Mungkin sekarang dia sedang menangis. Apa kamu bisa melihat ke dalam untuk mengecek dia menangis atau tidak?”
“Bisa, Pak.”
Setelah memutuskan komunikasi, anak buah Rigel yang berkomunikasi dengan Rigel itu memasuki teras depan rumah Kintana yang memiliki lebar satu meter saja. Ia mendekati jendela kaca kamar depan. Ia mencoba melihat, tetapi kamar itu tertutup kelambu penuh. Ia berjalan ke sisi kamar yang juga memiliki teras, tetapi begitu sempit hanya setengah meter saja dan sisinya sudah rumah tetangga. Di sisi itu ada jendela kaca juga yang tertutup tirai juga. Setelah ia perhatikan, ternyata tirai itu tidak menutupi jendela itu dengan rapat. Ada celah sedikit di sisi yang belakang. Ia melipir mendekati celah itu. Ia mengintip Kintana. Ia melihat Kintana sedang menangis. Sudah cukup mengetahui, ia lekas kembali ke rekan-rekannya yang menanti di depan rumah itu.
“Pak Rigel memerintahkan mengecek anak itu. Anak itu ternyata sedang menangis,” terang pria yang tadi telah mengintip Kintana.
“Ya udah telepon bos lagi,” kata salah satu rekannya.
Pria yang tadi mengintip Kintana lekas menghubungi Rigel. “Pak anak itu sedang menangis.”
“Oh.” Rigel merasa hatinya tidak nyaman mendengar informasi itu. “Oke, terus kalian intai dan kawal dia! Laporkan setiap hal yang kalian lihat mengenai anak itu!”
“Baik, Pak.”
Rigel menjadi tidak bisa tidur. “Dia sedang sedih, jangan-jangan dia belum makan makanan yang aku berikan. Apa susu yang aku buatkan sudah diminumnya? Paling tidak kalau dia minum dia akan baik-baik saja.” Rigel pulang dari rumah Kasmirah Rumailah enggan makan karena sangat berduka kehilangan Kasmirah. Sejak pagi karena masalah pribadinya, ia sudah enggan makan. Sekarang mengetahui air mata Kintana masih terus jatuh, ia menjadi tidak bisa makan dan tidak bisa tidur.
Saat itu, Kintana merasa ada yang mengintipnya. Ia menjadi berhenti menangis. Kini ia takut akan siapa itu yang mengintipnya.
“Ibu, Kintana takut. Ibu, Kintana sendirian. Ibu, tadi ada yang mengintip Kintana. Siapa itu, Ibu? Apa niatnya, Ibu? Ibu ... Ibu ... Kintana takut.” Kini ia menangis memanggil ibunya karena takut dengan siapa pun itu yang mengintipnya. Ia khawatir ada penjahat entah maling atau apa.
Warga juga curiga dan menduga mereka maling. Warga sama-sama menggeruduk ketiga pria itu.
“Mau maling ya?” tegur salah satu warga yang menghampiri.
“Tidak, kami tidak mau maling,” jawab salah satu orang Rigel.
“Ah, bohong! Aku perhatikan kamu tadi masuk ke teras rumah ini dan ke jendela samping, mengintip!” seru warga yang berbeda.
“Kami punya gaji, hidup kami terjamin, buat apa maling?” kata anak buah Rigel satu lagi.
“Buat apa lagi kalau bukan mau maling ngintip rumah orang? Ah, udah kita tangkap saja mereka!” seru satu lagi warga yang menggeruduk mereka. Semua warga menjadi hendak menggeroyok mereka.
“Tunggu! Tunggu! Kami akan pergi! Rumah kami jauh lebih baik dari rumah ini! Memang apa yang bisa kami curi dari rumah ini?” cegah salah satu dari tiga pria tegap. Mendengar kata-kata mereka warga tidak jadi menangkap mereka. Ada benarnya juga kata-kata mereka, tidak ada apa pun yang bisa dicuri dari rumah Kintana. Teman-teman, ayo kita cabut!” kata pria tegap itu kemudian. Kedua rekannya menatapnya karena bagaimana dengan titah Rigel bos mereka. Akan tetapi, mereka mau tidak mau memang harus pergi dari depan rumah itu melihat warga yang hendak menyerang mereka. Ketiga pria itu terpaksa pergi dari depan rumah itu.
Kintana yang di dalam rumah dan sedang di kamar depan dapat mendengar yang terjadi. Ia mengintip dari jendela kamar. Ia melihat ada tiga pria yang asing dari pengetahuannya. Ketiganya ia saksikan telah pergi. Kintana merasa lega hingga mengelus dadanya dan menghempaskan napasnya. Ia lantas kembali berbaring di kasur dan lanjut menangis sampai tertidur.
“Hanya sementara. Kita akan kembali lagi, tapi nanti kita intai dan kawal jarak jauh agar tidak ada warga yang curiga, berpikiran aneh-aneh kepada kita,” bisik pria tegap yang tadi mengajak kedua rekannya untuk meninggalkan Kintana sembari jalan menjauhi rumah Kintana.
Sementara itu, Rigel matanya berkaca-kaca dan tidak bisa tidur semalaman. Masalah pribadinya sudah ia lupakan begitu juga dengan Dian Adrishta. Kini benaknya dipenuhi Kasmirah Rumailah dan Kintana.
Bersambung
Terima kasih
DelBlushOn Del BlushOn delblushon #delblushon :)