Try new experience
with our app

INSTALL

Di Balik Kekang  

Di Balik Kekang 2. Siapa?

Di Balik Kekang 2. Siapa?


Saat Kintana datang, Rigel cukup terhenyak. Ia bisa menduga siapa Kintana, tetapi ia tidak tahu namanya. Ia lantas bertanya kepada warga yang ada di dekatnya. Warga memberitahukan sembari menuduh Kintana yang bukan-bukan, membuatnya harus menahan amarah.


Langit sore yang teduh dan cerah menaungi hari sendu Kintana. Hari yang mendadak terjadi tanpa memberi tanda atau aba-aba. Hari yang tidak disangkanya. Ibunya yang tadi pagi masih baik-baik saja, sehat bugar, tiba-tiba terbujur kaku. Shock berat, napasnya tersengal-sengal, dan tangis pilu pecah saat ia sepulang sekolah harus berada di sebuah tempat pemakaman dan melihat jenazah Kasmirah Rumailah hendak dikubur.


“Ibu ... ibu ... ibu .....” Kintana memanggil-manggil ibunya sembari menangis meraung-raung.


“Ibu ... apa yang terjadi? Kenapa ibu pergi meninggalkan Kintana? Ibu ... Kintana masih butuh Ibu. Kintana tidak bisa tanpa Ibu. Bangun, Bu! Bangun! Jangan tinggalkan Kintana, Bu! Bangun, Bu!”


Pekikan campur tangisan Kintana pelan-pelan menusuk hati Rigel. Rigel tidak sanggup melihat kesedihan gadis itu. Ia hendak mendekat untuk menenangkan, tetapi masa lalu membuat langkahnya terhenti dan hal itu semakin membuat hatinya tersayat. Sedih melihat gadis itu sedih, sedih tidak bisa mendekati gadis itu, dirinya pun sedang terpukul atas kepergian Kasmirah Rumailah, ditambah rasa sesal, dan sesal.


“Ingin sekali aku memeluknya, tetapi aku tidak berani untuk mendekatinya dan menunjukkan diriku kepadanya,” batin Rigel sembari berkaca-kaca dan tangan kanannya seakan mau meraih gadis itu.


“Harus ada yang menenangkannya. Kalian tolong tenangkan gadis itu!” Akhirnya Rigel memerintahkan ibu-ibu yang berdiri dekat dengannya yang tadi menyatakan Kintana anak haram. Mereka iba dan menuruti Rigel. Mereka melangkah mendekati Kintana dan memeluk Kintana bersama-sama.


“Tenang, masih ada kami. Tetangga sama dengan saudara, Nduk.”


“Kalau kamu menangis begini kasihan ibu kamu, Nduk, jadi tidak tenang di alamnya. Kamu harus kuat kalau kamu sayang sama ibu kamu.”


Kintana berusaha mengendalikan dirinya. Ia menghela dan menghembuskan napas besar-besar untuk menghempaskan beban rasa yang begitu menyesakkan di dalam hatinya.


“Ibumu akan kami kuburkan. Kamu sudah ikhlas, Nak?” tanya warga pria yang hendak menurunkan jenazah Kasmirah. Dengan berat hati Kintana mengangguk bersama linangan air mata yang tidak kunjung berhenti. Air mata Rigel jatuh tak tertahankan untuk kesekian kalinya yang kali ini lantaran air mata Kintana.


***


Pemakaman telah selesai. Warga yang mengiringi telah kembali ke rumah masing-masing. Namun, tentu tidak dengan Kintana dan Rigel. Kintana masih bersimpuh di tanah dengan bersimbah air mata. Sementara Rigel bersimbah air mata dengan berdiri jarak jauh dan bersembunyi di balik sebuah pohon besar karena ia tidak berani menunjukkan dirinya di hadapan Kintana.


“Bu, sebenarnya apa yang terjadi sama Ibu? Ibu sakit apa? Begitu mendadak. Belum ada yang memberitahu Kintana, Ibu sakit apa.”


“Ibu, tanpa Ibu apa yang akan Kintana lakukan sekarang? Kintana sepertinya akan berhenti sekolah dan bekerja menjadi pembantu seperti Ibu. Em ... tapi ... Ibu akan sedih jika Kintana tidak sekolah. Em ... Kintana akan berusaha bekerja seperti Ibu sembari tetap bersekolah. Seperti kata Ibu, ada Allah dan pasti ada jalan.” Kintana lalu memeluk pusara ibunya, terdiam sembari berlinang air mata terus. Melihat hal itu, Rigel ingin sekali mendekat dan mengusap-usap punggung dan puncak kepala Kintana, tetapi tidak bisa ia lakukan. Kacamata Kintana menjadi terjatuh di gundukan tanah makam ibunya. Kemudian benda itu meluncur karena kemiringan tanahnya hingga sampai di sepatu Kintana yang nampak buluk dan sedikit ada lubang, tetapi bersih. Tidak lama kemudian, Kintana pingsan.


Rigel tidak berani mendekat, tetapi kondisi Kintana memaksanya berlari menghampiri. Ia melihat kacamata Kintana. Ia ambil dan simpan di saku kemeja lengan panjangnya. Tas punggung Kintana ia lepaskan dari kedua lengan Kintana berganti ia yang memakainya di punggung. Kemudian ia segera pungut tubuh mungil nan kurus itu. Ia bergegas membawa Kintana ke mobilnya. Ia dudukkan gadis itu di bangku belakang, duduk bersamanya. Tubuh Kintana bersandar miring ke pintu mobil. Saat ia telah masuk ke dalam mobil, ia merubah posisi tubuh Kintana miring bersandar ke dadanya. Di bagian depan ada sopir dan salah seorang anak buahnya. Ia menggunakan sopir dan mengajak seorang anak buahnya sejak kehilangan Kasmirah Rumailah di rumah sakit. Ia membutuhkan keduanya karena dalam keadaan sangat terpukul ia tidak sanggup menyetir dan ia butuh tenaga untuk membantunya mencari alamat rumah sekaligus mengurus jenazah Kasmirah Rumailah.


“Kita ke mana, Pak? Apa ke rumah sakit?” tanya sopir Rigel yang melihat juragannya membawa seorang gadis yang pingsan.


“Ke rumah Kasmirah Rumailah. Dia hanya pingsan,” jawab Rigel. Sopir segera melajukan kendaraan ke tempat sebelumnya ia mengantarkan tuannya beserta jenazah seorang wanita yang tidak ia kenal, tetapi bosnya sangat terpukul dan seakan yang mengalami musibah yang menandakan wanita itu orang yang sangat dekat dengan bosnya.


“Pak, apa saya boleh tahu siapa yang tiada? Soalnya saya lihat Bapak sedih sekali,” celetuk sopir yang sangat penasaran.


“Wanita itu tiada karena melindungi aku. Kini putrinya menjadi sebatang kara. Apa kamu pikir aku orang yang tidak punya hati?” jawab Rigel.


“Oh,” tanggapan singkat sopir yang aslinya dalam benak masih menaruh curiga ada hubungan khusus antara bosnya dengan alrmahumah Kasmirah Rumailah. Anak buah Rigel yang tidak bertanya sesungguhnya juga penasaran dan menduga-duga, tetapi tidak berani berucap hal itu, lagi pula itu urusan pribadi bosnya.


***


Rigel masuk sendiri ke dalam rumah almarhumah Kasmirah Rumailah sembari menggendong Kintana. Ia membaringkan Kintana di tempat tidur busa yang tertata di lantai beralas karpet di salah satu kamar di rumah itu. Ia meletakkan tas Kintana di atas keranjang plastik berisi tumpukan baju. Ia menyelimuti tubuh Kintana dengan selimut tipis yang tertata di atas kasur itu. Kemudian ia memberikan sedikit usapan di puncak kepala gadis itu. Setelah itu, ia ke luar dari kamar itu.


Rigel menyempatkan melihat rumah mungil itu. Kecil sekali, luasnya keseluruhan rumah itu hanya empat kali enam meter. Ada dua kamar yang tiap kamarnya hanya dua kali dua meter dengan kasur busa tanpa dipan, hanya tergeletak begitu saja dengan alas karpet usang. Tempat baju masing-masing di dua kamar itu hanya berupa keranjang plastik. Dua kamar itu bersebelahan langsung dengan ruang tamu yang hanya dua kali empat meter, yang hanya terdapat satu set sofa meja buluk dedel duwel keropos. Kemudian di samping kursi tamu itu ke arah dalam, tepatnya di depan kamar satu lagi, dan masih bagian dari ruang tamu, ada satu meja tinggi dengan kursi berbahan kayu, yang sekitarnya, baik di bawah meja, maupun di atas meja, penuh buku-buku. Untuk yang di bawah meja buku-buku itu ditata di dalam kardus bekas. Rigel bisa menduga pasti jika meja itu digunakan Kintana untuk belajar. Ia sempatkan melihat buku-buku Kintana itu. Ia dapati nilai-nilai Kintana terselip di antara buku-buku itu. Cukup membanggakannya dan membuatnya menyunggingkan senyum. Kemudian ia beralih ke bagian belakang yang berukuran dua kali empat meter yang sebagiannya kecilnya di sudut belakang berupa kamar mandi. Terlihat olehnya hanya ada peralatan dapur seadanya, kompor gas satu tungku, meja kursi makan yang kursinya hanya dua, dan lemari biasa. Tidak ada refrigerator di ruangan itu. Ia mengecek lemari dapur. Ia menemukan orek telur yang sangat sedikit. Ia menemukan simpanan makanan mentah hanya berupa beras yang disimpan dalam sebuah kaleng bekas biskuit yang banyaknya seperempat kaleng itu. Ia beralih ke meja di dekat lemari itu dan ia menemukan penanak nasi listrik yang kosong yang penampakannya juga sudah sangat usang. Ia menghela napas miris. Ia menghela napas lagi karena menyesal.


“Tidak ada yang lebih baik dari kamu Kasmirah Rumailah,” lirihnya sedih.


“Makan apa dia kalau bangun?” Rigel kembali ke lemari dan mengambil kaleng biskuit berisi beras. Ia lekas mencuci semua beras di dalam kaleng itu. Kemudian ia masukkan ke dalam penanak nasi listrik. Kaleng yang sudah kosong, ia biarkan tergeletak di meja. Setelah itu, ia mengambil panci kecil mengisinya dengan air bersih secukupnya yang kemudian ia letakkan di atas kompor satu-satunya di dapur itu lalu ia sulut api kompornya. Ia memasak air itu untuk membuat minuman hangat.


“Ada beberapa kue yang aku hidangkan tadi untuk orang-orang yang takziah,” ingatnya kemudian. Ia lekas memeriksa meja tamu dan melihat masih ada beberapa kue. Di ruang tamu itu juga banyak beras dari petakziah yang terkumpul dalam dua karung goni plastik. “Tinggal membeli lauk-pauk dan sayur-mayur,” lirihnya.


Rigel kembali ke kamar di mana ia meletakkan Kintana. Ia melihat Kintana masih pingsan. Ia menjadi khawatir. Kemudian ia menjadi merasa harus melakukan sesuatu agar Kintana bisa lekas sadar. Ia lekas mencari-cari minyak di kamar itu yang bisa dioleskan di tubuh. Ia menemukan minyak itu di tepi kayu jendela kamar itu. Ia lekas mengambilnya dan mengoleskan pada kedua kaki, kedua tangan, leher, hidung dan kening Kintana. Tindakannya itu akhirnya membuat Kintana bereaksi. Ia lekas pergi dari kamar itu, khawatir Kintana terbangun dan melihat dirinya. Ia bersembunyi di balik pintu di luar kamar itu sembari mengintip Kintana yang mulai terbangun. Ia lalu teringat airnya di dapur dan lekas ke dapur.


Air sudah mendidih dan ia hendak membuatkan minuman untuk Kintana. Ia mencari-cari bahan untuk itu. Tidak ada teh atau kopi apalagi susu yang tersedia di dapur itu. Gula ia periksa juga tinggal sedikit.


“Masak hanya minum air putih? Dia butuh yang manis untuk memulihkan dirinya.” Rigel akhirnya memutuskan pergi ke warung terdekat dengan rumah itu. Ia mematikan kompor dan pergi.


***


Rigel membeli teh bubuk, kopi bubuk, susuk bubuk putih sachet satu renteng, dan susu bubuk cokelat sachet satu renteng. Kemudian ia berpikir perlu membeli telur juga dan akhirnya ia membeli satu kilo. Ia kemudian ingat gula yang menipis di dapur itu sehingga ia membeli satu kilo juga. Berbagai makanan ringan juga ia borong. Beras tidak perlu ia beli karena banyak beras yang datang dari yang takziah.


“Anda siapa? Maksudnya siapanya alrmahumah, kok peduli sama Kintana?” heran pemilik warung kecil itu.


“Menolong itu harus tuntas. Saya tahu ibunya tiada. Saya tidak bisa membiarkan begitu saja Kintana,” alasan Rigel.


“Oh, Anda orang baik, Pak, peduli meskipun bukan siapa-siapa almarhumah. Mungkin karena almarhumah orang baik jadi ditemukan juga sama orang baik saat susah. Mewakili almarhumah, saya mengucapkan terima kasih, Pak,” kata ibu warung. Rigel tersenyum mengangguk.


***


Rigel sampai kembali di rumah almarhumah Kasmirah Rumailah yang jaraknya hanya berjarak sepuluh rumah dengan warung kecil itu. Saat masuk ke dalam rumah dan melintasi kamar di mana ada Kintana ia dikejutkan dengan Kintana yang terbangun dengan menjerit.


“Ibu ...!” pekik Kintana saat terbangun. Oleh sebab itu, Rigel cepat-cepat bersembunyi di balik dinding lalu mengintip Kintana.


Kintana sadar dan melihat ke sekeliling kamar. “Ini kamar ibu. Aku tadi kan masih di makam. Bagaimana aku bisa ada di kamar ibu?” heran Kintana yang teringat di mana seharusnya ia berada. “Apa aku pingsan?” duganya. “Pasti tetangga yang membawaku ke rumah dan menempatkan aku di kamar ibu.” Kemudian ia teringat ibunya telah tiada. Ia lantas menangis tersedu-sedu. “Ibu ....”


Hati Rigel kembali tersayat oleh tangisan Kintana. Ia membiarkan Kintana menangis karena ia tidak mungkin muncul di hadapan gadis itu. Agar hatinya tidak merasakan sayatan itu, ia memilih lekas ke dapur.


Rigel menyalakan kompor kembali untuk membuat air yang sudah matang dan hangat lebih panas. Sembari itu, ia memilih satu sachet susu bubuk putih untuk minuman Kintana. Tidak berselang, ia mengambil gelas. Kemudian menuangkan isi dalam sachet yang telah dipilihnya itu ke dalam gelas itu. Selanjutnya ia tambahkan sesendok makan gula pasir yang ia ambil dari persediaan di dapur itu. Tanpa menunggu mendidih lagi, ia mematikan api dan menuang air panas ke dalam gelas berisi susu bubuk putih itu.


“Sekarang beli lauk-pauknya dan sayur-mayur di mana? Masak hanya makan telur?” pikirnya dalam benaknya. Ia lantas lekas pergi lagi untuk mencarinya.


Saat harus melintasi kamar itu lagi, ia masih mendengar suara tangisan Kintana. Ia pun kembali harus merasakan pedih hati. Ia ingat tujuannya dan lekas pergi dari rumah itu.


Saat itu, Kintana merasakan ada orang yang melintas di depan kamarnya. Oleh karena itu, ia menjadi berhenti menangis. Ia penasaran dan lekas memeriksa ke luar kamarnya dengan masih berlinang air mata, tetapi tanpa isak. Ia tidak melihat siapa pun. Ia melihat ada kue-kue di meja ruang tamu. Ada juga beberapa gelas plastik bekas air mineral. Ia juga mendapati beberapa dus air mineral gelasan yang masih utuh. Selain itu, ia melihat dua karung beras yang terbuka yang satu penuh dan satu hampir penuh. Ia dapat menduga dengan pasti itu dari para warga yang datang melayat.


“Apa warga yang membelinya untuk menyambut tamu yang takziah?” duga Kintana mengenai kue-kue dan air mineral itu. “Baik ya mereka? Em ... tapi apa gratis ya? Kalau hutang aku harus membayar ke siapa semua makanan dan minuman ini?”


Kintana kemudian tertarik memeriksa dapurnya. Ia melihat ada kantong plastik hitam besar. Ia melihat isinya ada telur, gula, banyak jajanan ringan, teh, kopi, dan dua renteng susu bubuk.


“Siapa yang belanja? Apa hutangku sekarang banyak?” Kintana sungguh khawatir jika itu adalah hutang.


Kemudian ia melihat ada segelas minuman. Ia melihat itu susu instan dan masih sangat panas.


“Siapa yang membuat? Untuk siapa? Apa yang takziah? Kok ditinggalkan dan tidak diminum? Mungkin tidak sempat karena pas selesai membuat ternyata ibu sudah mau diberangkatkan ke makam dan yang membuat mau ikut ke makam,” pikirnya. “Kalau sejak tadi pasti sudah dingin, tetapi ini masih sangat panas.” Kemudian ia melihat ke kompor ada panci berisi air panas.


Kemudian ia melihat kaleng berasnya ada di meja. Ia membuka kaleng itu dan mendapati isinya kosong. Akan tetapi, ia ingat, seharunya masih ada beras di dalamnya.


“Ke mana berasnya? Apa ada yang memasaknya?” tanyanya lirih sembari netranya terarah ke penanak nasi listrik. Penanak itu nampak tercolok ke listrik dan menyala. Ia mendekat dan membuka penanak itu. Benar, isinya penuh sekali nasi. Ia ternganga karena banyaknya nasi yang dimasak dan membuatnya bingung siapa yang akan makan nasi sebanyak itu.


“Siapa yang akan makan? Apa akan ada pelayat yang datang lagi dan ini untuk dihidangkan? Kalau iya, mau pakai lauk apa? Oh ... apa lauk telur-telur itu?”


Tidak lama kemudian terdengar suara langkah dari arah depan. Kintana lekas memeriksa siapa yang datang. Ia melihat pria paruh baya membawa bungkusan kantong plastik hitam besar. Pria paruh baya itu terhenyak saat bertemu muka dengan Kintana.


“Siapa?” tanya Kintana yang tidak mengenali pria itu. Pria itu tidak pernah ia lihat ada di kampungnya itu.


Rigel tidak bisa menjawabnya dan tidak sanggup berkata apa pun. Ia lekas menyodorkan kantong plastik yang di bawanya kepada Kintana. Kintana dengan heran dan ragu menerima kantong itu.


“Apa ini?” tanya Kintana. Rigel tidak menjawabnya. Kintana memeriksa isi kantong itu. Ia mencium aroma lauk-pauk dan sayur-mayur. “Untuk siapa?” tanya Kintana yang masih penuh tanya dalam benaknya.


“Kkamu. Mmmakakan.” Rigel terbata.


“Apa Bapak tahu belanjaan, nasi, dan susu di dapur?” tanya Kintana yang tidak tahu harus menanyakan semua itu ke siapa selain kepada orang yang tidak dikenalnya yang sedang berada di rumah itu.


“Sssemua untuk kamu.”


Allahuakbar Allahuakbar!


Terdengar suara adzan yang begitu jelas karena rumah itu dekat dengan sebuah masjid kecil.


Mendengar suara itu, lekas saja Rigel menjadikannya alasan untuk pamit. “Mmagrib. Assalamualaikum. Setelah berpamitan dengan terbata, ia berjalan secepat-cepatnya ke luar dari rumah itu.


“Pak, saya belum tahu Anda siapa!” seru Kintana yang lekas ikut ke depan.


“Cepat cepat jalan!” titah Rigel kepada sopirnya. Kintana melihat pria itu masuk ke dalam sedan hitam dan sedan itu tengah melaju meninggalkan rumahnya.


“Siapa bapak itu? Tidak kenal, tetapi memberikan makanan ini. Katanya juga semua yang di dapur untukku. Apa mungkin dia yang membuat susu dan memasak nasi juga berbelanja?”


“Waalaikumsalam.” Kintana akhirnya dengan sangat terlambat membalas lirih salam dari pria itu.


Bersambung

Terima kasih

DelBlushOn Del BlushOn delblushon #delblushon :)