Contents
Di Balik Kekang
Di Balik Kekang 1. Kasmirah Rumailah
Di Balik Kekang 1. Kasmirah Rumailah
Pagi buta, bada subuh dua puluh menit, Kasmirah Rumailah sudah siap berangkat bekerja menjadi pembantu dari rumah ke rumah. Kintana pun sudah siap berangkat ke sekolah. Keduanya sedang duduk bersama di kursi meja makan.
Meskipun duduk bersama di kursi meja makan, Kasmirah tidak sarapan, hanya Kintana yang sarapan. Kasmirah sengaja hanya membuat satu sarapan demi menghemat sehemat-hematnya. Kasmirah melakukan hal itu, karena ia menyekolahkan Kintana di sekolah swasta ternama yang biayanya cukup berat untuk dirinya yang hanya seorang pembantu tidak tetap. Kasmirah menaruh harapan tinggi dengan menyekolahkan putrinya ke tempat yang menurutnya terbaik untuk masa depan putrinya. Sarapan Kintana pun hanya ia buatkan berupa nasi goreng putih yang hanya dibumbui kecap dan garam dengan lauk telur orak-arik. Telur orak-arik yang terbuat dari sebutir telur yang dibagi sebagiannya untuk makan Kintana nanti sepulang sekolah. Mungkin kalau nanti ada rezeki, Kasmirah akan tambahkan dengan kerupuk atau sayur-mayur atau lauk-pauk yang lainnya. Kasmirah sendiri akan makan nanti dan hanya sekali saja dalam sehari.
Tidak jarang, Kasmirah mendapatkan lauk gratis dari tempatnya bekerja. Jika tidak mendapatkan lauk gratis, maka ia hanya akan makan nasi putih saja atau ia tambah dengan kerupuk. Begitu pula jika ia mendapatkan lauk sedikit. Lauk yang sedikit itu akan ia berikan untuk Kintana. Ia mengutamakan Kintana.
“Bu, seharusnya Kintana sekolah di SMP yang biasa saja, yang negeri. Mungkin uang sekolah Kintana tidak akan nunggak separah ini,” keluh Kintana.
“Tenang saja ada Allah! Kamu lihat sendiri! Selama ini, akhirnya ada saja jalan dan terbayar hingga kini kamu bisa sampai kelas tiga SMP, Nduk,” ujar Kasmirah menenangkan Kintana dengan tegas lagi meyakinkan, padahal dirinya sendiri sebenarnya ketar-ketir. Kasmirah dalam hati berdoa, “Ya Allah beri jalan lagi.”
“Ibu sudah sarapan?” tanya Kintana saat menyadari lagi-lagi ibunya tidak terlihat sedang makan. Ibunya hanya duduk di kursi meja makan menemaninya sarapan seperti beberapa bulan belakangan ini.
“Ssussudah, sebelum kamu tadi,” bohong Kasmirah kesekian kalinya dengan nada terbata.
Nada terbata yang sedikit membuat Kintana menaruh curiga. Akan tetapi, kalau pun iya benar ibunya berbohong, ia mengerti ibunya melakukan demi hemat dan hemat demi dirinya. Perjuangan ibunya untuknya sungguh menyentuh hatinya sangat dalam. Ibunya segalanya, kebanggaannya, sosok yang hebat, yang berjuang demi masa depannya dirinya. Kintana sungguh sangat menyayangi Kasmirah.
“Ibu selalu makan duluan. Kintana padahal pingin makan sama-sama ibu,” protes Kintana dengan halus.
“Manja! Jangan manja! Ibu kan harus lekas berangkat!” kilah Kasmirah. “Ibu berangkat duluan! Assalamualaikum!” pamitnya kemudian dengan nada tegas agar tidak ada pembahasan lagi soal sarapan.
“Waalaikumsalam.” Kintana menjawab salam ibunya dengan lirih. Ia menatap ibunya dengan perasaan enggan jauh-jauh dari ibunya. Ia kasihan melihat ibunya kerja keras seperti itu.
Setelah Kasmirah berlalu dari pandangannya, ia memiliki pemikiran, “Kalau aku pergi sekolah pagi buta, aku bisa menyempatkan diri seperti ibu menjadi pembantu tidak tetap. Mungkin ada keluarga yang butuh tenaga pembantu pagi-pagi. Mungkin memasak atau setrika baju anaknya yang mau sekolah, atau apa pun itu.” Kintana tersenyum dan segera menyelesaikan sarapannya.
***
“Sesungguhnya ibu akan sangat senang jika bisa memanjakanmu, Kintana. Andai ibu bisa menjadikanmu bak ratu. Apalah daya ibu hanya bisa berusaha menyekolahkanmu di tempat terbaik. Itu pun sekarang ibu ragu karena uang untuk membayar sekolahmu belum terkumpul juga. Semoga saja ada jalan hari ini. Nyawa pun aku rela memberikan asal kamu bisa sekolah, bisa hidup lebih baik. Semoga kelak hidupmu bisa menjadi lebih baik, Kintana,” batin Kasmirah Rumailah dalam perjalanan.
***
Pagi sudah cerah meskipun masih teduh, menemani Rigel Chandra Luminos yang sedang mematut diri dengan setelan formal sederhana tetapi bermerek dan tentunya selangit harganya bagi kaum buruh, sebuah kemeja lengan panjang dan celana panjang, di sebuah kamar yang mewah. Di saat yang sama, sebuah pesan online masuk ke ponsel pintarnya. Ia membukanya sejenak lalu melanjutkan merapikan pakaiannya. Setelah pakaiannya rapi, ia langsung membuka galeri karena pesannya tadi berupa foto. Kini ia sedang duduk di tepi tempat tidurnya melihat foto sosok wanita bersama sosok pria.
“Dian Adrishta, kamu mengkhianatiku dengan siapa? Kita sudah mau menikah,” lirih Rigel karena sosok wanita itu adalah pacarnya, sedang sosok si prianya tidak dikenalnya. “Bisa fitnah, bisa benar, jangan mudah percaya, cek dahulu,” pikirnya kemudian. Ia lalu mengalihkan galeri foto smartphonenya ke aplikasi WhatsApp. Ia memilih salah satu nomor anak buahnya. Ia menyentuh nomor itu lalu menyentuh lambang telepon. “Cari informasi hubungan antara Dian Adrishta dan seorang pria! Foto akan aku kirim!” titahnya tegas dengan nada amarah. Foto kemesraan Dian Adrishta dan pria entah siapa segera ia kirimkan dengan kejengkelan. Kecurigaannya itu sungguh merusak suasana hatinya di pagi yang cerah nan indah.
“Kalau pun iya benar, untungnya aku hanya menaruhnya di permukaan hatiku bukan di dasar hatiku. Aku akan lekas melupakannya,” lirihnya kemudian sembari mengenakan sepatu hitam. Selama ini semua wanita yang dekat dengannya tidak ada yang benar-benar serius dengannya kecuali alasan hartanya sehingga ia pun tidak akan sepenuh hati memberikan hatinya untuk wanita-wanita yang sedang dekat dengannya. Selesai mengenakan sepatu, ia lantas memutuskan lekas berangkat ke kantor tanpa sarapan gara-gara suasana hatinya yang sedang buruk.
***
Kintana sembari jalan ke sekolah mampir ke rumah-rumah menawarkan jasanya untuk menjadi pembantu. Beruntung, sesuai harapannya, Kintana mendapatkan pekerjaan menjadi pembantu tidak tetap seperti ibunya. Seseorang yang ditawarinya jasanya sedang butuh tenaganya untuk menyelesaikan setrikaan. Kebetulan anak orang itu banyak dan masih kecil-kecil. Dua anak yang kecil sedang rewel sedangkan kakaknya harus lekas memakai seragam sekolah.
“Iya, butuh, untung kamu datang, kalau tidak anakku aku suruh pakai baju kusut!” seru antusias dengan kalimat beruntun dari wanita yang kerepotan dengan anak-anaknya itu. Kintana tersenyum mendapatkan pekerjaan pertamanya.
“Em ... tapi aku hanya bisa kasih kamu uang jajan sepuluh ribu,” terang wanita itu kemudian.
Kintana tersenyum. “Iya, tidak apa-apa,” ujarnya. Kemudian ia dipersilakan mensetrika. Dengan senang hati dan hati-hati Kintana mengerjakannya. Ia memeriksa hasilnya dengan memegang gagang kacamatanya. Memegang kacamata adalah kebiasaannya ketika ia harus melihat dengan teliti. Kemudian setelah pasti rapi, sekalian ia membantu anak SD itu mengenakan seragam itu. Setelah itu, ia mendapatkan sepuluh ribu yang dijanjikan ibu anak itu.
“Masih ada waktu untuk satu pekerjaan lagi sebelum berangkat ke sekolah,” ujarnya lirih sembari memandangi selembar sepuluh ribu hasil keringatnya yang pertama.
Seorang nyonya yang tidak enak badan dan pembantunya tidak masuk menerima tawarannya. Nyonya itu memerintahkannya untuk bersih-bersih rumah dan mencuci. Ia berpikir tidak akan cukup waktunya, tetapi ia sendiri yang sudah menawarkan jasa. Ia putuskan menerima pekerjaan itu meskipun beresiko terlambat ke sekolah. Ia pun mengerjakan pekerjaannya itu tetap dengan senang hati, dengan baik, teliti, dan hati-hati.
Saat itu, di saat menyapu bagian teras, seorang temannya satu sekolah, satu kelas melihatnya. Temannya itu heran kenapa Kintana menyapu rumah orang. Gadis itu menyuruh sopirnya menghentikan laju mobilnya.
“Kinkin Culun! Kamu kurang kerjaan apa sapu-sapu rumah orang?” sapa gadis itu yang sedang naik mobil diantarkan sopir ke sekolah.
“Aku menjadi pembantu,” jujur Kintana.
“Oh ... jadi kamu pembokat sama kaya ibu kamu,” tanggapan gadis itu dengan nada suara dan mimik wajah yang menunjukkan mengejek. “Ayo, Pak, jalan!” titah gadis itu kemudian kepada sopirnya.
Kintana telah selesai mengerjakan tugasnya. Nyonya rumah yang memberikannya tugas memberikan haknya. Selembar lima ribu yang diterimanya. Ia terdiam sedetik, tetapi ia lekas tersenyum.
“Terima kasih, Nyonya!” serunya antusias gembira. Ia bersyukur meskipun dengan tugas sebanyak itu dan mengorbankan sekolahnya hanya mendapatkan lima ribu.
Waktu sudah menunjukkan jam sekolah masuk. Ia berlari dan menghadang angkutan umum. Jalanan yang macet membuatnya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke sekolahnya dengan berlari. Akhirnya ia sampai sekolahnya saat hampir jam istirahat tiba.
“Mmmaaf, saya ada keperluan mendesak sangat penting,” terangnya kepada seorang guru yang sedang berada di kelasnya. Beruntung guru itu percaya karena tahu Kintana anak baik dan tidak mungkin terlambat kalau tidak ada sesuatu yang membuatnya terpaksa terlambat.
Saat itu juga, teman Kintana yang tadi melihat Kintana menjadi pembantu berbisik ke teman-temannya yang duduk di sampingnya, di belakangnya, dan di depannya memberitahukan jika tadi Kintana menjadi pembantu. Kintana terlambat karena menjadi pembantu.
***
Kringgggg ... Kringggg!
Jam istirahat tiba. Sesaat setelah guru keluar ....
“Woi, teman-teman ada yang butuh pembokat tidak?!” tanya salah satu teman sekelas Kintana kepada teman-teman sekelasnya dengan berteriak.
“Nih, ada yang buka jasa pembokat di kelas kita!” seru anak yang lain yang tadi dibisikin siswi yang melihat Kintana.
“Siapa? Siapa? Siapa?” tanya anak-anak satu kelas itu bersahutan karena penasaran.
“Nih, si Culun Kinkin! Dia nih telat karena lagi jadi pembantu di rumah orang! Silakan barang kali kalian ada yang minat memakai tenang si Kinkin!” seru siswi yang tadi melihat Kinkin.
“Jangan sampai jadi pembokat plus jadi pelakor karena banyak pembantu kecil-kecil pecicilan!”
“Benar, awas nanti bokap kalian pada direbut Kinkin Culun!”
“Hahahahaha mana laku dia jadi pelakor?!”
“Mana ada om om tertarik sama Kinkin Cupu?!”
Semua anak di kelas itu tertawa terbahak-bahak.
Kintana tersenyum. “Benar, mana mungkin ada yang tertarik dengan aku, jadi aman kalau memakai jasaku. Jadi, jika kalian butuh pembantu, jangan sungkan, jangan ragu untuk menghubungi Kintana. Kintana bisa memasak, bersih-bersih, mencuci, dan setrika.” Alih-alih marah atas seruan-seruan bertubi-tubi yang bertujuan mengejeknya, Kintana malah berpikir positif dan menjadikan hal itu sebagai ajang promosi jasanya. Ia sedang butuh pekerjaan itu demi membantu ibunya mencari uang. Menurutnya promosi ke teman-temannya tidak ada salahnya siapa tahu rezeki karena teman-temannya itu mayoritas anak orang berada.
“Cih!” decis kesal salah satu siswi di kelas itu melihat aura positif yang dipancarkan Kintana itu.
***
Kasmirah sudah selesai bekerja di rumah satu dan hendak ke rumah lain yang membutuhkan tenaganya. Di perjalanan ia bertemu dengan Rigel. Rigel yang saat itu sedang suntuk dan pergi dari kantornya untuk mencari angin guna menghilangkan suntuknya. Di sebuah taman di tengah kota yang sering dipakai lalu lalang trotoarnya oleh pejalan kaki mereka bertemu dengan sama-sama terkejut karena mereka sudah sangat lama berjarak tahunan tidak bertemu.
“Kasmirah Rumailah.” Meskipun terkejut Rigel tidak berseru. Ia menyebut nama itu dengan lirih. Kemudian ia terdiam terpaku. Kasmirah membalas dengan senyuman dan menunduk sejenak lalu hendak berlalu. Saat itu, Rigel mencegahnya dengan memegang lengan atas wanita itu. Rigel lekas mengeluarkan dompetnya dan memberikan semua uang yang ada di dalam dompetnya kepada Kasmirah.
“Ini, ambillah!” titah Rigel dengan tegas.
“Tidak, Kak, terima kasih.” Kasmirah hendak berlalu lagi. Rigel lekas berdiri di hadapan Kasmirah sehingga langkah Kasmirah terhenti lagi.
“Ambil!” tegas Rigel lagi.
“Mirah kerja kok, Kak,” terang Kasmirah.
“Kerja apa? Apa cukup?” tanya Rigel.
“Pembantu tidak tetap. Memang tidak cukup, tetapi cukup. Insya Allah,” terang Kasmirah.
“Ambillah meskipun kamu cukup dan tidak butuh ini!”
Kasmirah lalu merasa mungkin uang dari Rigel adalah jalan untuk membayar tunggakan biaya sekolah Kintana. Ia dengan ragu meraih uang itu. Di saat itu, ia melihat dari arah belakang Rigel ada seseorang memakai topi hitam yang menutupi seluruh wajah kecuali sepasang mata. Pria misterius itu tiba-tiba mengarahkan pistol ke arah Rigel. Refleks Kasmirah menghalangi. Alhasil Kasmirah yang terkena tembakan pria misterius itu tepat di dada depan bagian tengah. Kasmirah berlumur darah tergeletak di trotoar taman. Rigel mengejar pria itu sebentar, tetapi ia lekas kembali di mana ia meninggalkan Kasmirah. Ia menggendong Kasmirah dan berlari ke arah di mana ia parkir mobilnya. Ia meletakkan Kasmirah di bangku depan sejajar dengan bangku bagian sopir. Ia melajukan mobilnya dengan mengebut.
“Kasmirah, bertahanlah!” pekik panik Rigel. Kasmirah kehilangan kesadarannya dengan tersenyum. Rigel semakin panik dan semakin ngebut. Kelakson mobilnya tidak henti-henti ia bunyikan untuk melalui kemacetan dan mendahului kendaraan lain.
***
Waktu masih dua jam lagi duhur di saat Rigel menunggu di rumah sakit dengan panik di depan ruang tindakan di mana para medis menangani Kasmirah yang sedang gawat. Ia tidak menyangka hal itu akan terjadi. Ia tidak menyangka ia bisa panik setengah mati dengan kondisi Kasmirah. Bahkan ia tidak menyangka sangat takut kehilangan Kasmirah untuk selamanya.
Di tengah kalimpasingannya itu, anak buahnya yang mendapatkan tugas pribadi darinya pagi-pagi tadi menghubunginya. Ia segera mengangkat sambungan telepon melalui aplikasi online itu. Sebab kecemasannya terhadap keselamatan Kasmirah Rumailah, tanpa kata atau salam atau sapaan apa pun, sedikit pun, ia mengangkat sambungan komunikasi itu.
“Mereka ada hubungan asmara sudah cukup lama. Bahkan mereka akan segera melangsungkan pernikahan, Pak,” kata seorang pria yang suaranya terdengar dari alat komunikasi pintar Rigel. Mendengar berita itu, Rigel memutuskan komunikasi.
“Kalau dia mau menikah dengan pria lain, kenapa dia akan menikah denganku? Lagi-lagi hubunganku dengan wanita gagal! Ada yang bilang cinta mati, saat aku bangkrut katanya mau tetap mendukungku, nyatanya bertemu pria lain yang sukses dengan mudah meninggalkanku! Ada yang saat aku kaya ia datang penuh cinta, tetapi sebenarnya berlaku demikian hanya untuk mendapatkan hartaku saja! Hah, jangan harap bisa memanfaatkanku! Aku pasti putuskan wanita seperti itu! Kali ini kelihatan tidak butuh hartaku, tetapi di belakangku selingkuh! Hm ... apa jangan-jangan yang kali ini sebenarnya ada maksud tertentu mendekatiku?” Rigel menggerutu soal kisah cintanya yang selalu gagal. Kemudian ingatannya membuatnya memandang ruangan di mana Kasmirah sedang ditangani. “Kasmirah Rumailah,” lirihnya dengan nada menyesal. Kemudian ia merasa sangat-sangat menyesal dan mengusap-usap wajahnya berulang kali.
Dokter ke luar dari kamar tindakan gawat. “Keluarganya mana?”
“Saya keluarganya.”
“Maaf, wanita itu tidak selamat.”
Deg, Rigel merasa kedua kakinya lemas. “Bbisa saya melihatnya?” Rigel terbata karena napasnya terasa tercekat mendengar berita itu. Dokter mengangguk karena tidak sanggup menjawab lantaran ikut merasakan Rigel yang sedang terpukul. Rigel masuk tergesa-gesa.
Sesampainya di depan jenazah Kasmirah Rumailah, tubuh Rigel bergetar. Terlihat jelas getaran itu pada kedua tangannya. Napasnya yang sejak di luar tersengal tercekat, semakin menjadi. Ia tidak percaya wanita itu telah tiada dan ia tidak akan pernah bertemu dengan wanita itu untuk selamanya.
“Tidak ada yang lebih baik dari kamu, Kasmirah Rumailah,” ujarnya lirih. Ia menyesal sejadi-jadinya.
***
Segera, Rigel mengurus pemakaman Kasmirah Rumailah. Begitu sibuk, begitu banyak yang diurus untuk pemakaman itu. Bada ashar akhirnya sampai di pemakaman dan siap untuk menguburkan jenazah. Di saat itu seorang gadis berseragam SMP swasta elite berlari menghampiri jenazah yang akan di tanam. Gadis itu menangis sejadi-jadi. Gadis itu nampak hancur dan putus asa.
“Siapa?” tanya Rigel pada wanita paruh baya salah satu tetangga Kasmirah yang ikut ke makam.
“Oh, itu Kintana Kasmirah Rumailah namanya. Dia anak haram Kasmirah.”
Deg, Rigel marah mendengar kata-kata itu. “Dia bukan anak haram, Bu!” tegas Rigel sembari menahan amarahnya, tetapi nada bicaranya tetap menunjukkan amarahnya.
“Anak haram! Wong sejak bayi merah tidak ada bapaknya!” sahut tetangga yang lain lagi dengan sangat meyakinkan.
“Bukan anak haram, saya tahu dengan pasti!” ujar Rigel setegas-tegasnya.
“Kalau tahu pasti, kenapa tidak tahu siapa dia?” tanya tetangga yang pertama ditanya soal Kintana.
“Aku hanya tahu, tapi tidak pernah menanyakan nama anak itu sebelumnya,” alasan Rigel.
“Kalau tahu pasti, siapa bapaknya? Anda tahu, Pak?” balas tetangga yang menyahut meyakinkan kalau Kintana benar-benar anak haram. Rigel terdiam. “Anak haram,” celetuk tetangga itu kemudian. Rigel hanya bisa menatap geram terhadap kedua ibu-ibu itu.
Bersambung
Terima kasih
DelBlushOn Del BlushOn delblushon #delblushon