Contents
Ikatan Cinta - Titip Rindu Di Langit Swiss
Bab 4
Kombinasi suara cicit burung dan udara dingin berhasil membangunkan Al. Matanya masih begitu berat. Godaan untuk kembali tidur sangatlah besar, tapi ia berusaha melawan ngantuk ketika mengecek jam di layar ponsel menunjukkan pukul setengah tujuh pagi.
Al melirik Andin di sebelahnya yang sudah setengah terbangun. Sementara Reyna masih tidur pulas di balik selimut, dengkuran halus dari Reyna membuat Al dan Andin tidak tega membangunkannya. Padahal, Al punya rencana mengajaknya untuk berburu kuliner pagi untuk sarapan.
Kemarin mereka memang sampai di penginapan ketika hari sudah cukup gelap. Masing-masing langsung memilih untuk membereskan barang bawaan dan langsung beristirahat. Pasti Reyna masih capek, batinnya.
Al pun memutuskan turun dari ranjang, tapi gerakannya terhenti oleh pegangan lembut Andin di lengannya. “Mau ke mana, Mas?”
“Cari makan, kamu istirahat aja dulu.”
Andin langsung menggeleng. “Sebentar, aku ikut.” Ia pun dengan cepat menyambar jaket tebalnya dan coat Al dari toilet.
“Di luar masih turun salju walau tipis-tipis,” ujar Andin sambil membantu Al memakai coat. Setelahnya, keduanya saling bergandengan tangan dan melangkah ke luar. Baru pagi ini mereka benar-benar memperhatikan homestay yang ditempati. Kemarin mereka terlalu capek untuk mengagumi penginapan yang sudah mereka pilih.
Dari luar, penginapan memang tampak sederhana. Sebuah rumah dua lantai berdinding krem dengan balkon mini. Namun, interior di dalamnya tampak cukup trendi. Perabotannya bisa dibilang modern, terutama ruang kumpul keluarga. Selain adanya sectional sofa berbentuk L-shape empuk yang menghadap TV LED, tersedia juga sofa-sofa bundar berwarna pastel yang membuat suasana lebih ceria.
Walau demikian, sentuhan tradisional Swiss masih terasa di sini. Beberapa bangku kayu di ruang makan dengan bunga plastik yang diatasnya diterangi oleh lampu gantung, membawa atmosfer tempo dulu. Alih-alih aneh, paduan keduanya justru memberi kesan unik.
Keindahan itu masih berlangsung sampai mereka berada di luar. Walau sejuknya udara mulai berganti menjadi dingin yang menusuk, Al dan Andin tak bisa mengabaikan segarnya pagi itu.
Homestay mereka dikelilingi perkebunan sehingga ia harus berjalan ke depan untuk sampai di jalan umum. Suara bising kendaraan yang lalu lalang pun mulai terdengar. Di ujung jalan sebelum belokan, Al menemukan sebuah resto lokal yang salah seorang pramuniaganya baru saja membalik tanda FERME/CLOSE menjadi OUVERT/OPEN.
“Kita coba ke sana,” ujar Al sambil menunjuk sebuah kedai beratap segitiga dengan dinding didominasi warna kelabu.
Mereka pun berjalan bersisian di pinggir kota Basel sambil menautkan jemari masing-masing. Bagian paling mencolok dari kedai itu adalah barisan tiga jendela berbingkai kayu berpelitur cokelat tua yang di atasnya memiliki palang hijau bercetakkan nama Michèle.
***
Begitu mereka membuka pintu kedai, ada bunyi lonceng yang terdengar. Selain itu, udara juga terasa lebih hangat akibat heater yang menyala sempurna. Gaya vintage bercampur industrial yang terasa kental langsung menyapa mereka.
Kesan itu ditunjukkan dari lantai yang mengadopsi keramik hitam putih ala catur. Dindingnya juga tak kalah unik dengan beberapa batu bata dibiarkan tetap terekspos. Kaki kursi yang juga menonjolkan desain besi menegaskan ciri khas tersendiri.
Tampaknya kedai itu baru buka dan mereka adalah pelanggan pertama karena beberapa kursi di bar masih belum diturunkan. Selain itu, hal yang paling melegakan dari kunjungan pagi ini adalah pramuniaganya menyapa mereka dalam bahasa Inggris.
“Selamat datang di Michèle. Kami punya menu sarapan spesial yang mungkin akan Anda sukai?”
Al cukup terkesan dengan kesigapan salah satu pelayan yang langsung bisa menebak apa yang mereka cari.
Pelayan dengan kaus hijau mint bertuliskan Michèle di dadanya segera menunjuk lembaran menu yang tertempel di meja kaca bagian kasir. Beberapa nama menu makanan khas Swiss yang pernah Al dan Andin dengar kepopulerannya tertera di sana.
Roti Zopf dengan pilihan berbagai macam selai. Cheese fondue. Rösti, sejenis pancake kentang, dan masih banyak lagi. Al mengakui untuk ukuran kedai kecil di pinggir kota, menu yang ditawarkan cukup beragam. Walau hampir semuanya memiliki olahan keju sebagai bumbu maupun saus pendamping.
“Ada yang mau kamu coba, Ndin? Kalau buat sarapan, aku kayaknya pilih Zopf bareng saus fondue. Aku beli lebih juga buat orang rumah.”
“Kayaknya semua enak, Mas,” jawab Andin sembari terkekeh. Ia bingung memilih satu di antaranya karena dari foto di lembaran menu, semua sama-sama menggoda sekaligus menarik perhatiannya.
Setelah beberapa menit, akhirnya Andin memilih Rösti. Hidangan kentang setengah matang yang dipadu di atas roti dengan bumbu keju parut kasar berhasil memenangkan pilihan Andin. Ia bisa membayangkan tekstur renyah roti sekaligus lelehan kejunya yang menjadi paduan pas.
“Kita pesan dua ya, kayaknya enak. Bisa jadi Reyna bakal suka.”
Al setuju dan menyebut pesanan mereka. “Baik, pesanan sudah masuk dan kami catat. Mohon menunggu sebentar,” ujar si pelayan yang tadi menawari mereka.
“Jarang sekali ada pengunjung sepagi ini. Kalian pasti akan pergi menghadiri Festival Basel bukan?” tebak pelayan itu.
Andin tampak tertarik mengetahui banyak sekali warga lokal di sini yang menyambut antusias festival tersebut. “Benar sekali, mungkin sehabis ini kami akan mencari topeng dan kostum.”
“Ah, beberapa blok dari sini ada toko mainan bernama Jouets. Kebetulan di toko itu menjual macam-macam pernak-pernik untuk festival Basel. Kalian bisa coba ke sana.”
Sembari menunggu makanan mereka disiapkan, Al dan Andin mengobrol banyak dengan pelayan tersebut. Mulai dari topeng-topeng terkenal yang biasanya dipakai di festival hingga apa saja peraturan penting yang perlu mereka perhatikan nanti. Andin begitu antusias menyimak karena ternyata festival yang akan mereka hadiri merupakan karnaval terbesar di Swiss.
***
“Mama, Papa!”
Reyna langsung berlari menghambur ke arah Al dan Andin ketika keduanya baru pulang. Andin pun spontan merentangkan kedua lengan untuk mendekap Reyna dan menggendongnya menuju ruang makan. Di sana, sudah ada Rosa dan Elsa. Sementara Mirna dan Kiki terlihat sedang menyeduh teh bunga.
“Pasti semuanya udah lapar, ya? Tenang aja. Tadi aku sama Andin ke toko di ujung jalan buat beliin sarapan buat semuanya,” ujar Al sambil menaruh bungkusan di meja. “Nah, Reyna sini lihat, Papa beliin apa untukmu.”
Andin pun menurunkan Reyna dan membiarkannya membuka plastik. Aroma lelehan keju yang khas langsung menguar hingga Elsa pun tak tahan untuk ikut berkomentar.
“Harum banget!”
“Kamu beli di mana ini, Al?” tanya Rosa ingin tahu.
“Di kedai ujung jalan, lumayan lengkap makanannya. Yuk, dicoba! Kayaknya semua enak.”
Ketika semua sibuk membuka bungkusan dan menyiapkan makanan di meja, sudut mata Reyna justru dengan jeli melihat adanya plastik besar yang tersisih di bawah meja. Terlebih lagi ada rambut palsu berwarna oranye yang menyembul di baliknya. Reyna pun dengan tidak sabar langsung lompat dari kursi dan menarik rambut itu dan mengenakannya.
“Mama, Papa, ini apa?”
Al dan Andin tergelak melihat rambut palsu itu menenggelamkan sebagian dari kepala Reyna. “Duh, papa ketahuan deh! Padahal mau disimpan dan dibuka habis sarapan.”
“Memangnya itu apa, Al? Kok kamu beli sampai banyak begitu, kayak pernak-pernik buat pesta. Ada confetti sampai cat lukisnya juga,” komentar Rosa.
“Sudah pasti ini perlengkapan untuk karnaval nanti. Semuanya sudah siap untuk berdandan kan?” ujar Al. “Kali ini harus totalitas, udah dibeliin topengnya buat masing-masing.” Semuanya pun penasaran membongkar isi plastik dan memilih topeng maupun kostum terbaik.