Contents
Ikatan Cinta - Titip Rindu Di Langit Swiss
Bab 3
“Ndin, bangun.” Bisikan kecil dari Al membuat Andin terjaga.
“Sebentar lagi kita landing,” sambung Al. Respons pertama Andin adalah mengecek kondisi Reyna. Anak itu sedang menempelkan pipinya ke jendela pesawat seolah ingin melongok lebih jauh pemandangan di bawah mereka.
Ketinggian pesawat mulai menurun seiring dengan persiapan mendarat. Karenanya, Reyna bisa melihat cukup jelas panorama alam Swiss yang membentang luas. Andin jadi penasaran dengan Reyna yang tak sekalipun mengalihkan perhatiannya.
“Lagi lihat apa sih anak mama ini?”
Andin ikut mengintip mengikuti arah pandang Reyna, di bawah mereka terhampar luas barisan pegunungan disertai bukit-bukit. Lanskap hutan dan lembah yang mengelilingi permukiman dengan mayoritas masih berupa pedesaan, membawa kesan magis tersendiri.
Kombinasi cat cokelat dan merah bata yang mendominasi warna atap rumah juga menjadi daya tarik yang tak bias diabaikan. Seperti tersihir, Andin dan Reyna masih belum melepaskan pandangan mereka hingga Al menyahut, “Aku pernah denger, kalau jalan ke Swiss lebih baik eksplor wisata alamnya daripada ke kota. Kayaknya bener, ya?”
Andin mengangguk antusias. “Kita belum benar-benar turun dan sampai, tapi aku udah jatuh cinta pandangan pertama nih, Mas.”
“Pandangan kedua kali? Kan pertamanya untuk Mas?” goda Al usil.
“Ih, serius tau!”
“Hahaha, iya. Makanya, Mas udah nentuin tempat seru buat petualangan kita nanti.”
“Hari ini juga?”
Al mencubit hidung mungil Andin lagi. “Maksudnya besok. Habis nyampe nanti, kita langsung ke homestay untuk istirahat full aja.”
Perlahan pemandangan permukiman desa itu berganti menjadi lahan luas berisi pesawat-pesawat berbadan besar yang sedang parkir. Sebuah gedung megah dengan dinding kaca dan pilar-pilar menjulang tinggi nan bercahaya menyambut mereka. Keluarga Al dan Andin telah tiba di bandara internasional Basel, EuroAirport Basel Mulhouse Freiburg.
***
Hari masih siang menuju sore ketika Al dan Andin sekeluarga sudah memasuki mobil yang mengantarkan mereka ke homestay. Kontras dengan cuaca yang cerah, mereka justru terasa begitu lelah akibat perjalanan sekaligus jetlag.
Terlebih Reyna, ia sudah tertidur pulas di dalam gendongan Andin. “Sabar ya, sayang,” ujar Al sambil mencari sosok pemilik homestay yang dijadwalkan akan menjemput mereka. Ini telah menjadi bagian dari fasilitas penginapan yang dijanjikan.
Setelah menengok ke berbagai sisi penjemputan, akhirnya Al menemukan sosok seorang lelaki paruh baya dengan jenggot putih tipis yang melambai ke arah mereka. “Nah, itu dia! Yuk, semuanya jalan ke sana,” pinta Al mengajak seluruh keluarga untuk mengikutinya.
Rosa, Elsa, Mirna dan Kiki kompak memutuskan untuk tidur singkat. Wajah kusut mereka menandakan kelelahan luar biasa, terutama karena mereka tidak terbiasa dengan perbedaan waktu yang menyebabkan mereka jetlag. Sementara Andin, memilih mengusap-usap punggung Reyna, memastikan anak itu mendapatkan tidur yang nyaman.
Maka, hanya tersisa Al yang meladeni si pengemudi. Pria itu sangat semringah menyambut rombongan keluarga Al dan Andin hingga tidak henti-hentinya mengajak mengobrol.
“Bienvenue dans la ville de Bâle! Je m'appelle Bastein, généralement appelé Bas. 1” Kalimat si supir membuat Al dan Andin mengernyitkan dahi.
“Mas, gimana nih?” bisik Andin seraya mencolek Al.
“Tenang aja, Mas udah riset kok.” Al sudah berlatih untuk mengucapkan kalimat ini jika menemukan lawan bicara berbahasa Prancis.
“Désolé, je ne parle pas français. Parlez vous anglais? 2” Andin terkikik kecil mendengar Al berusaha mengeja setiap kata, tapi ternyata cukup berhasil dipahami si supir.
“Oh, sorry. Yes.” Mendapati jawaban pria itu dengan Bahasa Inggris, Al cukup lega. Mereka akhirnya bisa berkomunikasi lebih lancar. Ia pun memperkenalkan diri ulang sebagai Bastein.
“Bagaimana perjalanannya tadi? Pasti sangat melelahkan.”
“Iya, rasanya ingin cepat sampai di penginapan dan istirahat sepanjang hari. Terlebih lagi, kami membawa anak-anak,” ujar Al sambil melirik Reyna.
“Berarti kalian baru akan jalan-jalan besok? Sudah tahu mau ke mana saja?”
Al sedikit ragu untuk menjawab karena ia ingin rencana perjalanannya besok menjadi kejutan untuk Andin. Tujuannya adalah pergi ke sungai Rhine, mengikuti tur kapal pesiar yang akan membawa mereka menelusuri Basel hingga ke salah satu kota di Jerman, Rheinfelden. Al sudah mencari tahu dengan matang paket wisata ini.
Seperti tahu apa yang dipikirkan Al, Bastein kembali menjawab sendiri pertanyaannya. “Pasti Anda ingin ikut tur Rhine Cruises bukan? Sungai Rhine memang jadi kebanggaan kota kami.”
Al hanya tersenyum. Lama jeda di antara mereka hingga Al mengira percakapan itu sudah selesai, tapi ternyata tidak. “Mungkin Anda tertarik, besok nanti akan ada Festival Basel. Semacam karnaval di sepanjang jalan kota, hanya berlangsung tiga hari. Titik lokasinya berdekatan dengan sungai Rhine, mungkin Anda dan keluarga, terutama anak-anak, akan menyukai karnaval itu.”
Tampak tertarik dengan informasi itu, Andin menegakkan posisi duduknya dan bertanya lebih jauh. “Festival kuliner kah?”
1 Selamat datang di kota Basel! Nama saya Bastein, biasa dipanggil Bas
2 Maaf, saya tidak bisa berbicara bahasa Prancis. Apakah Anda bisa berbahasa Inggris?
Bastein menggelengkan kepala. “Lebih tepat disebut festival budaya. Bakal ada pertunjukan musik, parade, sampai pameran lentera selama 72 jam nonstop. Bagian paling menariknya, para peserta wajib memakai kostum unik berbagai karakter.”
“Wow!” Andin tampak takjub. Ia belum pernah pergi ke karnaval kostum terlebih dalam skala besar seperti ini.
Percakapan mereka tak sengaja membangunkan Reyna. Anak itu dengan wajah masih mengantuk bertanya apakah mereka sudah sampai.
“Belum, sebentar lagi ya. Ini mama dan papa lagi bahas soal karnaval. Katanya besok ada karnaval yang pengunjungnya pakai kostum dan topeng lucu-lucu, lho.”
“Reyna mau ke sana, Ma!” ujar Reyna tanpa banyak berpikir. “Kita ke karnaval kan, Mama, Papa?”
Melihat reaksi Reyna, Al pun mau tak mau menaruh perhatian terhadap festival yang dipromosikan Bastein ini.
“Kalau kita ke festival ini, kamu setuju? Yang lain gimana?” tanya Al pada Andin dan anggota keluarga lainnya di jok belakang.
“Aku oke aja, bisa bikin konten,” celetuk Elsa sambil mengangkat ponselnya.
“Mama ikut aja, Al. Tampaknya seru juga. Di Indonesia jarang ada karnaval kayak gini.”
Semua suara bulat menyetujui rencana dadakan itu.
“Asik!” seru Reyna. “Nanti Reyna mau pakai baju yang ada jubahnya, bawa tongkat peri juga,” sambungnya. Isi kepalanya sekarang dipenuhi khayalan-khayalan tokoh negeri dongeng. Namun, Reyna tak bisa menyembunyikan rasa lelahnya karena berkali-kali ia menguap akibat kantuk.
“Iya, sekarang Reyna istirahat dulu, nanti pas udah nyampe kita pikirin mau pakai kostum apa. Oke?”
Reyna mengangguk. Usapan lembut Andin di belakang kepalanya membuat anak itu pelan-pelan memejamkan mata. Ia pun langsung memberi tanda pada Al agar lebih berhati-hati, “Volume suara kita dikecilin, jangan sampai Reyna bangun lagi. Kasihan.”
Maka itu, ketika Bastein kembali menambahkan bahwa mereka pasti akan menikmati karnaval terbesar di Swiss ini. Al hanya mengangguk tipis, berusaha untuk tidak memulai obrolan lagi karena khawatir mengganggu istirahat Reyna. Selain itu, ia juga terlampau letih untuk membalas.
Menyadari itu, Bastein juga memfokuskan diri pada jalanan yang cukup lengang. Tidak heran karena Swiss sedang memasuki musim dingin. Kebanyakan orang lebih memilih meringkuk bersama penghangat di kamar masing-masing.
Ketika Rosa, Elsa maupun Mirna dan Kiki memilih beristirahat dengan tidur singkat, Al dan Andin justru menikmati lanskap gedung tua dari jendela mobil.
Hampir seluruh bangunan monumental bergaya abad pertengahan. Rata-rata menjulang tinggi dengan lantai bertingkat dihiasi barisan jendela kecil. Beberapa di antaranya juga berdiri ditemani pilar-pilar berkubah ala Renaissance.
“Kalau malam, pasti bakal lebih indah,” bisik Al.
Semua paduan itu membuat kota tampak memiliki sentuhan seni dan sejarah yang kental. Pada saat bersamaan juga menegaskan bahwa Al dan Andin sudah benar-benar jauh dari kampung halaman, mereka tengah menapaki tanah yang sama sekali berbeda.
Salju tipis-tipis yang menumpuk di bahu jalan dan atap bangunan tua membangun suasana syahdu. Andin mengangkat jemarinya dan menyentuh kaca jendela mobil yang bagian luarnya ditempeli butiran salju. Rasa dingin langsung menyergap kulit, alih-alih menggigil, Andin justru merasa sejuk.
“Memangnya kamu enggak dingin?” desis Al sambil meraih tangan Andin pelan, lalu memasukkannya ke kantong trench coat yang dikenakannya.
“Kan ada kamu, rasanya jadi lebih hangat. Kamu jadi kayak perapian buat aku, you’re my fireplace.”
Al ingin sekali menggoda Andin dengan bilang suasana Swiss berhasil membuatnya mendadak jadi pujangga, tapi ia urung. Ia tidak ingin merusak momen sederhana ini, karena diam-diam hatinya pun menjadi lebih teduh akibat kalimat Andin.
Bastein yang sedari tadi fokus menyetir diam-diam juga melirik pasangan Al dan Andin dari spion tengah, lalu tersenyum kecil. Mungkin benar apa yang dikatakan banyak orang tentang cinta: bukan soal ke mana kita berhenti melainkan dengan siapa kita pergi.