Try new experience
with our app

INSTALL

Ikatan Cinta - Titip Rindu Di Langit Swiss 

Bab 1

Jarum jam menunjukkan pukul setengah lima petang ketika Al ke luar dari kantor dan melajukan mobilnya menembus jalanan yang cukup lengang. Lalu lalang kendaraan sore itu tidak terlalu padat karena belum waktunya pulang kerja. 

Al menambah kecepatan serta menyalip beberapa mobil dengan lincah. Ia tidak sabar untuk segera pulang dan menemui Andin. Pasti istrinya akan terkejut ia bisa sampai rumah sebelum langit gelap. Biasanya ia baru bisa pulang paling awal pukul tujuh malam akibat rangkaian rapat yang harus dijalaninya, belum lagi beberapa bulan belakangan ia perlu mematangkan berkas-berkas untuk memenangkan hati para investor.

Namun, hari ini berbeda. Kerja kerasnya selama satu bulan terakhir untuk meyakinkan venture capital dari Eropa agar menginvestasikan dana ke proyek-proyek perusahaannya akhirnya sukses juga.

Siang tadi mereka baru saja menandatangani berkas kesepakatan. Al benar-benar tidak sabar mengabarkan berita baik ini kepada Andin. Satu lagi, ia juga sudah menyiapkan kejutan spesial untuk merayakan keberhasilannya.

Al menengok sebuah gulungan kecil di jok belakang mobil seraya tersenyum tipis. Andin pasti enggak akan nyangka, tapi kuyakin dia bakal suka, batinnya. Sudah lama rencana ini tergambar di kepalanya, tapi ia mencoba menahan diri sampai momen yang tepat. Dan, sekaranglah saatnya.

Kurang dari satu jam, mobil Al sudah sampai di rumah dan terparkir di garasi. Begitu tiba di bibir pintu, Al langsung disambut oleh Mirna dan Kiki.

“Eh, Mas Al? Ini beneran Mas Al?” Mirna langsung maju menghampiri Al sembari menoel lengan majikannya itu dengan ujung jari, seakan-akan Al adalah patung porselen. 

Kiki langsung menyikut Mirna hingga rekannya itu mengaduh kesakitan, lalu berbisik, “Ih, besok aku temenin kamu ke optik. Jelas-jelas depan kita ini Mas Al!”

“Mas, ada yang ketinggalan di rumah? Butuh Kiki cariin atau ambilin gitu?”

“Santai aja. Ini saya beneran udah pulang, enggak mampir buat ngambil barang.”

Kali ini Mirna yang menyenggol Kiki, cukup keras hingga tubuh mungil Kiki oleng beberapa langkah. “Makanya, jangan sok tahu,” balas Mirna. Kiki pun sengaja memasang wajah dongkol untuk temannya itu.

“Andin di mana, ya?” 

Arah pandang Al mencari-cari sosok istrinya. Baru kali ini ia merasa rumah begitu sepi. Biasanya ia pasti mendengar teriakan nyaring Reyna di ruang tengah atau Andin yang segera menyambutnya dari dapur. “Hm, Reyna juga enggak kelihatan. Lagi pada pergi?”

“Oh, Mbak Andin lagi di kamar nemenin Reyna tidur.”

“Betul, Mas. Tadi Andin sama Reyna habis main rumah-rumahan di taman belakang,” tambah Kiki. 

Mirna tidak tahan untuk mencubit lengan Kiki. “Ngaco kamu! Piknik itu namanya, piknik.”

Al mengulum senyum melihat tingkah dua asisten rumah tangganya yang selalu heboh. Walau mereka sering sekali ribut kecil, keduanya justru terlihat kompak di mata Al. “Oke, kalau gitu saya pamit ke kamar dulu.”

Namun, belum sempat Al pergi, ia sudah mendengar langkah Andin ke luar dari kamar. “Mirna, Kiki, siapa yang datang? Kok berisik bang-,” sahutan Andin terputus ketika mendapati Al di depan matanya.

“Mas, udah pulang? Baru jam segini, lho. Aku belum sempat angetin makanan.” Andin dengan sigap membantu Al melepas jas kerja dan mengambil alih tas kantor, tapi Al menahannya. Suaminya itu justru mencolek hidung mungil Andin dan tertawa kecil. 

“Kamu kalau lagi panik kecil kayak gini, lucu deh.”

“Ih, Mas! Lagi serius kok malah bercanda.” 

Al justru makin gemas dengan ekspresi Andin yang pura-pura galak. Padahal ia hanya meninggalkan Andin beberapa jam untuk urusan kantor, tapi ia sudah merasa begitu rindu padanya. Ia pun tak bisa menahan diri untuk mencubit lembut hidung Andin.

“Mas, malu diliatin Mirna dan Kiki. Kamu kenapa, sih?” Andin mengibaskan tangannya untuk melepas cubitan Al, tapi ia juga ikut tergelak kecil dengan tingkah Al sore ini. 

“Gak kenapa-napa, cuma kangen aja sama istri tersayang. Soal makanan, biar Mirna dan Kiki aja yang ngurus.” Mendengar ini, Kiki langsung menaikan tangannya ke kening, seperti hormat bendera. 

“Aman, Pak Bos. Manasin makanan sih tinggal nyalain microwave. Ya kan, Mir?” ucap Kiki yang disambut Mirna dengan mengacungkan jempol. Hal ini membuat Al tersenyum. 

Lalu, Al beralih lagi ke Andin. “Tapi, sebenarnya aku pulang cepat karena ada hal yang mau aku bicarakan, kita ke kamar, yuk.”

Al mendorong pelan tubuh Andin untuk berbalik dan menuju kamar. Salah satu tangannya meraba kantong di balik jas dan memastikan gulungan yang disembunyikannya masih tersimpan di sana. Mirna dan Kiki mau tak mau memicingkan mata untuk menebak apa isi gulungan itu. Begitu Al dan Andin sudah lenyap di balik kamar, mereka diam-diam membahasnya. 

“Kayaknya tadi itu gulungan monopoli, deh.”

“Kamu tuh, Ki! Ada yang korslet sama kepalamu itu. Mana mungkin Mas Al bawa pulang monopoli?”

“Bisa jadi hadiah buat Reyna kan? Bisa jadi tadi itu ular tangga?”

Mirna menggeleng-gelengkan kepalanya. “Yang pasti bukan monopoli apalagi ular tangga.  Kamu pernah lihat enggak game ular tangga dan monopoli? Bentuknya buka cuma gulungan! Tebakanmu itu, bikin malu aja.”

“Jadi, apa dong?”

“Enggak tahu. Sekarang itu yang perlu dipikirin bukan isi gulungan tadi, tapi makanan yang harus diangetin. Cepet bantuin,” pinta Mirna sembari berbelok menuju ke dapur yang disusul Kiki.

***

Al menutup pintu kamar dengan hati-hati agar deritnya tidak membangunkan Reyna. Usahanya berhasil karena Reyna masih tertidur pulas di balik selimut, ia pun memanfaatkan kesempatan itu dengan memeluk Andin dari belakang. 

“Mas, ada Reyna, lho!”

“Ssst, kan lagi tidur. Justru kalau kamu berisik, nanti bangun.”

“Kamu hari ini kok aneh banget, Mas. Tadi katanya ada yang mau diomongin.” 

Alih-alih menjawab rasa penasaran Andin, Al justru meletakkan dagunya di atas pundak Andin dengan manja. Wangi buah segar bercampur magnolia lembut tercium dari tengkuk Andin, aroma khas yang selalu berhasil membuat Al merasa damai. 

“Tadi kata Mirna dan Kiki kalian berdua habis main piknik-piknikan di halaman belakang?” 

“Iya, Reyna mendadak pengen piknik. Kayaknya gara-gara denger cerita temannya yang liburan ke luar kota, mungkin dia lagi bosan di rumah. Jadi aku bikin aja piknik kecil-kecilan di halaman belakang. Kita pakai tenda pas hiking dulu itu, lho. Seru juga! Reyna seneng banget.”

“Istriku memang paling kreatif. Maafin ya sayang. Aku terlalu sibuk di kantor sampai kita jarang liburan bareng. Tapi, tenang aja. Aku udah nyiapin satu kejutan untuk kita bertiga,” ujar Al. 

Ia mengeluarkan gulungan berpita emas dari balik jas ke hadapan Andin. Di luar dugaannya, Andin justru tergelak kecil.

“Aku kira kamu ngeluarin buket bunga kayak di drama-drama Korea, tapi gulungan kertas! Ini apa sih, Mas?”

“Ih, malah ngetawain suami sendiri. Coba buka aja, dijamin lebih bagus daripada buket.”

Andin mengernyit. Namun, ia membuka juga gulungan tersebut yang ternyata adalah sebuah peta! Ia masih tidak bisa menebak maksud kejutan Al kali ini, tapi selang beberapa menit, Andin mulai menyadari peta tersebut tampak farmilier. Terlebih lagi ada titik-titik penanda lokasi kota seperti Zurich, Bern, dan Jenewa. 
“Peta?” Andin heran.

“Yup. Kita bakal liburan ke Swiss!”
Andin memandang Al, tak menyangka. “Dalam rangka apa?” 

“Dalam rangka mau nyenengin kamu dan Reyna, dong. Jadi, karena tahun ini perusahaan Mas profitnya masuk target,  dan Mas sendiri juga sudah kerja keras. Mas sadar selama ini udah banyak ngorbanin waktu kita bersama demi kerjaan, jadi sekarang saatnya ngerayain ini semua bareng kalian. Kita bertiga, kamu, aku, dan Reyna. Kita liburan, gimana?” Senyum Andin langsung mengembang setelah mendengar penjelasan Al.
“Ta-” Ucapan Andin terpotong ketika Reyna mendadak bangun karena mendengar kata ‘liburan’. Anak itu mengucek-ngucek matanya. Saat sudah sepenuhnya sadar, ia langsung berseru penuh semangat.

“Mama, papa, kita liburan?”

Al mengangguk mantap. Ia menghampiri Reyna dan duduk di sampingnya. “Betul, sayang. Minggu depan Reyna siap-siap ya! Kita bakal…wosssh…terbang ke Swiss,” sahut Al sambil menirukan suara pesawat terbang.

“Swiss itu di mana, Pa?”

“Hem, Swiss lokasinya jauh banget di Eropa. Di sana banyak makanan-makanan enak, tempat-tempat indah, pokoknya Reyna pasti suka. Dijamin seru!”

Sepasang mata Reyna berbinar. Ia tak bisa menyimpan kebahagiaannya mendengar rencana itu. Reyna pun turun dari kasur dan berlari ke luar kamar sambil berteriak nyaring, “Hore! Aku bakal terbang ke Swiss!”

Melihat Reyna yang begitu girang, Andin tersenyum tipis. Ia menatap Al, lalu mendesiskan terima kasih. “Kamu selalu tahu cara bikin kejutan indah buat kita semua.”

Al bangkit dan menarik kedua tangan Andin, lalu mengecup pelan punggung tangan istrinya, “Apa pun yang terbaik untuk kamu dan Reyna, Ndin.”