Try new experience
with our app

INSTALL

Sunshine ( Pesona Mantan ) 

Aditya Aquila Permana

Sebelum aku mulai melupakannya, aku akan ceritakan sedikit siapa adit dan bagaimana kami bisa bertemu padahal usia kami terpaut cukup jauh, 7 tahun.


Dia adalah guru olahraga baru di SMP 3 Bandung, tempatku bersekolah, waktu itu aku masih kelas 2 SMP.


Hari itu hujan turun, aku tersenyum di depan kelas melihat teman-temanku bermain-main dengan hujan sambil bermain basket dilapangan upacara yang juga tempat biasa kami berolahrga. Tiba-tiba ada sosok yang asing dimataku ikut bermain, tingginya sekitar 170cm jauh berbeda dengan teman-teman. Dia memakai T-shirt polos warna abu dan celana trainning hitam lengkap dengan sepatu sport putih.


"Siapa dia?" Kataku sambil berjalan mendekatinya menerobos hujan.


"Gedebugg..." tiba-tiba aku terpeleset dan jatuh.


"Awwww...." aku memegang pan**t ku kesakitan.


"HAHAHAHA.. KU naon maneh Bella ( kenapa kamu Bella ) ?" Teriak salah satu temanku dilapangan.


"Gandeng ( berisik )." Aku membalas teriakannya sambil berusaha bangkit namun sepertinya salah satu kakiku terkilir.


Ku lihat pria itu menghampiriku sambil tersenyum dan mengulurkan tangannya "kamu ga papa?"


Dengan sedikit canggung akupun meraih tangannya dan perlahan bangun. "Sepertinya kakiku terkilir."


"Saya antar ke UKS ya."


Aku pun hanya mengangguk.


Dia membopongku menuju ruang UKS perlahan. Saat melewati pintu kelasku, terlihat teman-teman perempuanku berlari menghampiriku.


"Kenapa bell?" Tanya Nisa teman sebangkuku.


Kami pun berhenti sejenak. Aku melepaskan tanganku dari bahunya.


"Barusan jatuh disana." Aku menunjuk ke pinggir lapangan yang digenangi air.


"Lagian ngapain kesana, kan ujan." Nela tersenyum sambil menyenggol tanganku.


"Berisik." Aku pun melangkahkan kaki perlahan namun kemudian pria itu kembali meletakan tanganku dibahunya dan tersenyum menatapku.


Aku menatapnya terpesona.


Sesampainya di uks, kami langsung disambut suster dan dokter sekolah. Mereka menyuruhku berbaring di tempat tidur dan menanyakan kondisiku. Aku menceritakan kronologi kejadian bagaimana aku terjatuh.


"Pantas baju nya basah." Kata dokter yang segera memeriksa kakiku. "Lumayan bengkak ya." Dia mengoleskan salep dan membungkusnya dengan perban. "Lain kali kalau hujan jangan suruh olahraga pak guru." Dokter itu menengok ke arah pria itu sambil tertawa karena bajunya juga basah kuyup.


'Pak guru, perasaan guru olahraga pak ilham deh' Aku mengernyitkan dahi.


"Haha iya bu, siap." Dia tertawa kecil.


'Uhh manis banget'.


"Istirahat dulu aja disini ya, ganti baju olahraganya dulu nanti bisa masuk angin." Dokter itu pergi meninggalkan kami berdua.


Dia menghampiriku dan mengulurkan tangannya. "Aditya. Guru olahraga baru kelas 2."


"Pak ilham?" Aku menyambut uluran tangannya sambil tak henti memandangi ketampanannya.


"Namamu pak ilham?" Dia melepaskan tanganku sambil tertawa.


Aku menggelengkan kepala agar kembali fokus.


"Emmm maksudku,, "


"Iya tau koq, pak ilham dipindahtugaskan ke jakarta karena ibunya sakit disana."


'Kalau udah tau kenapa ngerjain gue.' Aku memalingkan wajah ke arah jendela.


"Jadi..? Namamu siapa?"


"Bapak pasti juga udah tau kan." Aku sama sekali tidak melihat ke arahnya.


"Haha kayanya belum deh, emang kamu seterkenal itu sampai saya baru sampai udah tau namamu." Dia terus saja tertawa tanpa melihat wajahku yang sudah berubah menjadi sangat kesal.


"Bella."


"De Bella?" Dia tersenyum geli.


"Just Bella?"


"Okee,, and me,, just Adit." Dia menunjukan telunjuk ke arah mukanya.


Aku menatapnya tapi dia hanya tersenyum kepadaku. Manis sekali. 'Astaghfirullah'. Sesekali aku istighfar, dia adalah seorang guru. Aku hanya siswi SMP.


"Saya keluar dulu ya, ga enak berduaan disini. Nanti timbul fitnah. Nanti saya suruh temen kamu bawa baju ganti ya. Dahh. Eh assalamu'alaikum." Tanpa mendengar jawabanku, dia pergi berlalu. Aku hanya tertegun mendengar suaranya yang lembut.


Pertemuan pertama yang memalukan namun jika diingat kembali, aku selalu tersenyum. Indah. Ingin rasanya ku ulang kembali namun itu tak mungkin. Sekarang semua sudah berbeda. Rasa itu tak lagi sama.


***


Itu adalah pertemuan pertama kami, hari demi hari, bulan demi bulan kami terus bersama. Bukan sebagai guru dan murid tapi sebagai teman. Seringkali kami bertemu dan jalan-jalan bersama sepulang sekolah, aku semakin kagum kepadanya karena selama kami kenal, tidak pernah sekalipun dia berbuat kurang ajar, hendak menyentuh rambutku saja dia meminta maaf terlebih dahulu atau kalau aku yang agak ceroboh hendak terjatuh dan dia menahanku, sesudahnya dia selalu meminta maaf. Tidak seperti laki-laki pada umumnya yang jangankan meminta maaf, merasa bersalah pun tidak kalau sudah dengan seenaknya megang-megang perempuan.


Waktu pun berlalu dengan cepat, tiba saatnya dimana hari kelulusanku. Aku mencarinya namun tidak kutemui. Sudah satu minggu aku tidak bertemu dengannya, wa nya tidak aktif begitupun no telf hp dan rumahnya. Tidak ada kabar sama sekali darinya, dan bodohnya aku selama dekat dengan nya tak pernah sekalipun aku main ke rumahnya begitupun dia. Tidak tau rumahku. Karena saking penasarannya, aku mencoba bertanya kepada kepala sekolah setelah acara kelulusan selesai.


"Sore pa." Aku memasuki ruangan kepala sekolah.


"Sore, eh Bella. Sini masuk nak." Pak Heri kepala sekolah yang adalah teman papahku menyuruh ku masuk.


"Terimakasih pa." Akupun duduk di sofa.


"Ada apa nak?"


"Emm, mau tanya pa. Pak Adit guru olahraga kemana ya pa?" Aku bertanya dengan sedikit ragu. Takut salah faham yang nantinya bakalan di aduin ke papah.


Tanpa menjawab, pak Heri menatapku seolah aku sedang diinterogasi.


"A a anu pa, kelas kami ada sesuatu untuk pak Adit. Ya. Semacam hadiah gitu pa." Aku tersenyum.


"Ohhh kirain kamu ada apa-apa sama pak Adit. Bapa denger kalian dekat."


"Ssbagai teman pa."


"Pak Adit kan selama ngajar disini cuti kuliahnya. Sekarang dia mau lanjutin kuliahnya lagi. Takut keburu tua katanya." Pak Heri tertawa lepas.


Aku pun ikut tertawa. "Baik pa terimakasih." Aku pun meninggalkan ruangan kepala sekolah dengan perasaan campur aduk. Kesal marah dan sedih.


'Kenapa dia ga pamitan dulu? Sebegitu gak pentingkah aku? Oh iya aku kan bukan siapa-siapanya, ngapain aku berharap lebih.' Gerutu ku dalam hati.


***


Beberapa minggu setelah kelulusan, aku diterima di SMA negeri di kota Bandung. Walau berat, aku sedikit melupakannya. Di SMA, aku sama sekali tidak menemukan satu pun teman SMP ku dulu. Bahkan sahabat-sahabatku pun tidak melanjutkan ke SMA negeri, lebih memilih SMA swasta yang menurutku malah lebih banyak mengeluarkan biaya. Kedua orang tua ku awalnya ingin memasukanku ke sekolah swasta internasional paling elite di kota Bandung. Namun aku menolaknya, aku lebih memilih sekolah negeri. Entah kenapa aku berharap dia kembali menjadi guru di sekolahku.


Baru beberapa minggu, aku sudah mempunyai dua sahabat, Dina dan Alya. Aku duduk sebangku dengan Dina sedangkan Alya dengan Sofi. Siswi paling pendiam dan enggan bergabung dengan geng rusuh seperti kami. Hanya saja teman-temannya sudah memiliki pasangan duduk, mau tidak mau Sofi harus duduk dengan Alya yang kepribadiannya sangat tolak belakang.


6 bulan berlalu, tiba-tiba aku mendapat chat saat sedang menunggu sopirku jemput. Aku belum boleh diizinkan mengemudi sendiri karena belum 17 tahun, maka dari itu, papah menyuruh sopir untuk menjemputku meski seringkali aku lebih memilih naik ojol.


Aku membuka chat "Hai, apakabar?" Tanpa nama pengirim.


Aku yang dari SMP tidak pernah ganti no hp mencurigai kalau pengirimnya adalah salah satu temanku.


"Hai juga, siapa ini?" Balasku.


"Seseorang yang selalu ada dihatimu." Balasnya lagi.


Aku mengernyitkan dahi dan membiarkan chat itu terbaca tanpa langsung membalasnya.


Aku tersadar dari lamunanku oleh seseorang yang menepuk bahu ku. "Bell, itu sopir kamu manggil-manggil."


Aku seketika menoleh kaget. "Eh Sofi. Makasih ya. Eh kamu belum pulang?"


"Aku beres-beres kelas dulu." Sofi tersenyum sambil menyembunyikan tangannya yang kotor karena habis membuang sampah.


Aku menatapnya dan teringat kalau Sofi adalah anak pekerja disini, ayahnya seorang tukang kebun sekolah yang biasa membersihkan tiap kelas sedangkan ibunya jaga di kantin sekolah.


"Aku anter pulang yu, pasti kamu cape kan bantu ayah kamu. Kamu juga pasti laper kan?" Aku menarik tangannya namun dia tetap berdiri tanpa sedikitpun bergerak. " Kenapa?" Tanyaku.


"Aku mau nunggu ayah ibu saja."


"Bukannya nyampe malem ya, emang kamu ga mandi, ga makan? Ayolah main dulu ke rumahku kalau kamu dirumah sendirian. Nanti aku anter pulang. Ayo." Aku memaksa Sofi dan akhirnya dia pun menurut.


Aku mempersilahkan Sofi untuk masuk kedalam mobil honda civic warna hitam ku yang dibantu dibukakan pintunya oleh pak sopir. Setelah Sofi duduk, aku pun ikut masuk dan duduk disamping Sofi.


"Maaf telat non." Pak Budi, Sopirku mulai menjalankan mobilnya.


"Dua jam loh pak." Aku menjawab kesal.


"Maaf non, anak saya sakit. Saya antar dulu kerumah sakit."


Mendengar penjelasan pak Budi, aku yang tadinya mau marah menjadi tidak enak.


"Maaf pak Bud, aku ga tau. Anak bapa sakit apa?"


"Gapapa non, saya yang salah tidak ngabarin non. Itu non lambungnya kambuh, dia pingsan disekolah. Saya panik langsung kesekolahnya non."


"Iya pak, semoga cepet sembuh ya pa."


"Iya non terimakasih."


***


Sesampainya dirumah, aku mengajak Sofi ke kamarku. Kusuruh bi Inah membuatkan kami makan siang dan mengantarkan sedikit cemilan juga minum ke kamar sambil menunggu makanan pokoknya siap.


Aku menunjukan beberapa baju ku yang sudah lama tidak kupakai, awalnya aku takut dia tersinggung kalau aku memberikan baju bekasku kepadanya. Tapi karena dia sangat antusias kala ku suruh dia mencoba salah satu gaun selutut warna putihku. Seperti baju peri katanya. Aku coba menawarkannya, kalau tidak mau aku tidak akan memaksa, takut tersinnggung. Tapi untungnya dia mau, dan aku menyuruh nya memilih-milih baju yang ia suka, tas juga sepatu. Aku senang kalau orang lain senang, ya walaupun aku belum bisa membelikannya baju baru sih.


Sambil menunggu ia memilih, aku duduk di pinggir tempat tidurku. 'Ada yang aku lupakan. Tapi apa?' Fikirku dalam hati.


"Tok tok tok..." Suara pintu kamarku diketuk.


"Iya. Masuk aja." Aku sedikit teriak.


"Ini non, cemilan sama minumannya. Maaf lama non, bibi lupa gulanya habis jadi harus beli dulu." Bi inah menyodorkan 2 jus mangga beserta beberapa kue kering di dalam toples.


"Iya bi, gapapa. Tolong taruh di meja ya bi."


Bibi pun menaruh nampan di atas meja.


"Bibi selesaikan masak dulu ya non."


"Iya bi, terimakasih."


"Sama-sama non."


Bibipun keluar kamar.


Aku mengambil ponselku yang masih tersimpan dalam saku rok seragam. 'Astaga gue lupa. Tadikan gue belum balas chat.'


Aku melirik ke arah Sofi, dia masih asik memilih-milih bajuku.


'Aku balas chat dulu deh.'


'Omaygat, 5 panggilan tak terjawab dan 10 wa baru. Dari no yang sama.'


Perlahan ku buka satu persatu chat.


"Bella?"


"Are you ok?"


"Kenapa ga bales?"


"Aku khawatir."


"Angkat Bell."


"Aku Adit."


"Aditya Aquila Permana."


Aku berhenti sejenak, menghela nafas. Nama itu membuat jantungku berdegup kencang. Rasa ini tetap sama. Aku masih menyukainya. Dulu kami terhalang status siswi dan guru. Namun sekarang status kami berbeda. Aku udah SMA dan dia bukan lagi guruku. Aku tersenyum memikirkan hal yang tidak seharusnya kufikirkan. Namun aku mengingat kembali perlakuannya. Dia meninggalkanku tanpa kabar sama sekali.


Aku kembali membuka wa.


"Maafin a."


"A tau, a salah."


"Bella."


Chatnya berjarak 5 menit dari setiap pesan.


'Apa aku harus membalasnya, atau ku biarkan saja sebagai balas dendam.'


Aku memutar-mutar ponselku.


"Bella." Tiba-tiba Sofi mengejutkanku.


"Iya Sof. Oh iya itu minuman sama cemilannya di meja."


"Ini." Dia memperlihatkan beberapa potong pakaian dan 2 buah sepatu juga 1 tas sambil tersenyum malu.


Aku membalasnya tersenyum "gapapa Sof, ambil aja. Maaf ya. Jangan tersinggung."


"Aku senang banget Bell. Makasih ya."


Aku mengajak nya makan cemilan dan minum sambil ngobrol-ngobrol.


Beberapa saat kemudian bibi memberitahu kalau makan siang sudah siap. Kami pun turun ke ruang makan dan makan siang bersama. Setelah selesai makan. Aku mengantarnya pulang. Tentunya diantar sopirku.


Diperjalanan pulang setelah mengantarkan Sofi. Aku melihat ponselku kembali. Ada 2 panggilan tak terjawab lagi. Dan masih Adit. 'Ternyata dia begitu mengkhawatirkan gue. Trus selama 7 bln dia kemana? Ah modus.' Aku sengaja tidak menonaktifkan mode silentku agar tidak mendengar telfnya.


Ckiiiiitttttt... Tiba-tiba mobil ku di rem mendadak.


"Kenapa pa Bud? Kepalaku hampir copot tau." Aku mengusap-usap kening yang sedikit terbentur kursi depan.


"Itu non, ada seseorang menghalangi jalan kita." Pak Budi menunjuk seseorang yang membentangkan kedua tangannya di hadapan mobil kami.


Aku menyipitkan mataku agar dapat melihat secara jelas.


"Adit." Aku berteriak.


Aku bergegas turun dari mobil hendak menghampirinya. Namun dia lebih cepat dariku, dia tiba-tiba sudah berdiri di samping mobilku.


"Kamu gapapa kan?" Tiba-tiba dia memeluku. Namun kemudian melepaskannya seraya beristighfar "Astaghfirullah. Maaf aku kebawa perasaan."


Aku hanya terpaku tanpa mengucap sepatah katapun 'Ini beneran Adit? Dia memelukku. Dia Adit. Adit.' Aku tiba-tiba menangis.


"Bell, are you ok?" Dia memegang bahuku. Menatapku lembut.


Aku hanya mengangguk sambil terus menangis tersedu-sedu.


Pak Budi tiba-tiba turun dari mobil dan menghampiri kami berdua.


"Non, gapapa?"


"Gapapa koq pa, Bella saya antar pulang ya. Bapa bisa pulang duluan." Ucap Adit.


"Tapi mas?"


"Gapapa pa Bud bisa pulang duluan, ini teman aku." Aku mencoba meyakinkan pak Budi. Lagian aku punya banyak pertanyaan untuknya.


Pak Budi pun akhirnya menurut dan pulang.


***