Contents
Gerbang Trinil
Bab 6 - Bibi Tyar
Hari kedua di Museum Trinil. Areta menepati janji (pada dirinya sendiri) untuk mengunjungi museum lagi hari ini. Untung, dewi fortuna berpihak padanya kemarin. Saat ia pulang ke rumah, Pak Dhiro ternyata baru bangun. Rasa lelah usai melakukan perjalanan cukup jauh dari rumah Areta hingga ke rumah neneknya, membuat pria separuh baya itu tertidur sangat pulas usai sholat Shubuh, meski perjalanan panjang itu telah terlalui hampir seharian. Sepertinya, stamina Pak Dhiro sudah sedikit lebih menurun dibandingkan dulu, ketika Areta masih kecil. Pak Dhiro bahkan kuat begadang menyetir mobil sepanjang malam. Jadi, Pak Dhiro tidak tahu kepergian Areta ke museum. Pak Dhiro juga belum akrab dengan Yu Tini, terlebih-lebih dengan nenek, maka, sejak kemarin pria itu tak bertanya apa pun pada mereka berdua tentang apa saja yang dilakukan Areta.
Oh ya. Tentang nenek. Meski ia bangun lebih pagi, dan meski ia sudah tahu bahwa Areta pergi ke museum sendirian pagi-pagi sekali (dari Yu Tini tentu saja), namun ia tak sedikit pun menunjukkan tanda-tanda kemarahan akan ulah Areta, bahkan Areta juga tidak terlalu sulit meminta ijin pada nenek untuk mengunjungi museum lagi hari ini. Bedanya, pada kunjungan kali ini, ia ditemani Pak Dhiro. Dan Pak Dhiro memutuskan untuk menunggu di luar saja seraya duduk ngopi di warung depan museum. Alasannya sederhana, Pak Dhiro tidak mengerti apa yang bisa dinikmati dari benda-benda yang ada di museum.
“Selamat pagi, Areta.”
Langkah Areta langsung berhenti. Tak hanya oleh sapaan ramah itu, tetapi juga oleh kehadiran sosok pemilik sapa yang juga pada saat bersamaan memamer senyum terbaiknya di depan pintu museum. Siapa lagi kalau bukan Reza, Sang Guide Museum. Seakan-akan memang sengaja menanti kedatangan Areta. Ia berdiri di dekat patung gajah purba yang kemarin menarik perhatian Areta. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Keseluruhan gesturnya membuat Areta nyaris beku dalam sesaat. Shit! Areta memaki dalam hati. Bergegas mengusir jauh-jauh perasaannya yang telah bertingkah sedemikian noraknya pagi ini, hanya karena melihat sosok Reza. Juga senyumnya yang menawan.
“Areta, kamu beruntung hari ini. Ada rombongan turis yang memberi kabar akan datang. Siapa tahu, ada orang yang kamu cari, ikut dalam rombongan itu. “
“Oh ya?” Areta nyaris terpekik. Namun, sudah terlambat untuk menahan otot matanya yang langsung melebar.
Reza tersenyum. Ekspresi Areta tampak begitu polos. Tak berusaha menyembunyikan kegembiraannya.
“Masih ada satu lagi, yang mudah-mudahan bikin kegembiraan kamu jadi bertambah. Ada koleksi baru datang dari Sangiran. Sumbangan dari penduduk. Entah kenapa, dia memutuskan menyerahkan ke mari, bukan ke Museum Sangiran yang lebih dekat dengan tempat tinggalnya.”
“Sumbangan apa itu?” tanya Areta, perlahan melangkah masuk, mengikuti langkah Reza.
“Lihat saja sendiri,” seraya mengatakan itu, Reza mengarahkan telunjuknya ke dalam, persis ke arah lemari kaca. Areta langsung menuju ke sana tanpa bertanya-tanya lagi.
“Phitecantropus Erectus? Bayi?”
Areta menundukkan tubuhnya, mengamati “penghuni” baru lemari kaca itu denga sebuah “merk” di depannya : The baby of Pythecanthropus. Sebuah tengkorak kepala berukuran sangat kecil. Sepertinya, bukan fosil. Karena masih tampak baru. Namun fisiknya terlihat kotor, mungkin belum dibersihkan. Areta melihatnya lebih dekat, namun ia tak bisa menyentuhnya.
“Akan ada tim peneliti besok pagi, menentukan usia fosil ini. Kau bisa datang lagi besok dan ikut dalam penelitian itu. Media juga akan meliput.”
Areta sayup-sayup mendengar suara Reza. Jelas, pria itu tengah bicara padanya meski Areta memunggunginya. Namun Areta tak peduli. Ia seolah terseret ke dalam dunia di dalam tengkorak, tempat bercokolnya lubang kedua mata itu. Areta merasa ada yang aneh. Entah kenapa, apa yang ia lihat tampak familier, tidak asing. Seolah-olah ada sesuatu yang memanggil-manggil dari dalam memorinya. Tengkorak itu, jelas dari tipe rahangnya bukan berjenis tengkorak kepala manusia. Charles Darwin boleh berteori tentang missing link, dan fosil di hadapannya itu adalah link yang hilang itu. Tapi Areta tidak bisa menerima kenyataan andai dirinya masih seketurunan Phite ini. Missing Link itu pastilah bukan si Phite ini. Tapi, sesuatu di luar jangkauan akalnya. Beyond the world, beyond the civilization, when no one has gone before. Hm, apa itu teori yang bisa dikembangkan? Sekelompok manusia yang hilang karena telah pergi ke semesta yang lain?
“Areta?”
Areta tergagap. Panggilan itu kembali menariknya dari sebuah pusaran, kembali ke dunia nyata. Reza telah berdiri di sampingnya.
“Ada apa?”
Reza menatapnya dengan pandangan menyelidik.
“Tidak .. tidak ada apa-apa,” sahut Areta cepat, “Hanya saja, sepertinya ini … ini bukan fosil.”
Reza tertegun sejenak. Mengalihkan pandangannya pada fosil di balik kaca, lalu kembali menatap Areta. Ia lalu memberi isyarat mengajak Areta keluar, “Hanya tim peneliti yang bisa menentukan hal itu. Aku juga awalnya ragu, ketika pertama kali melihatnya. Tapi ....entahlah.”
Di luar dugaan Areta, Reza memberi isyarat, mengajak Areta mengikutinya. Seperti tersihir, Areta mengikuti langkah Reza, yang ternyata menuju keluar gedung museum.
Sementara itu, Pak Dhiro yang mulai bosan, beranjak dari warung. Rasanya ia sudah menunggu selama berjam-jam. Pak Dhiro bergegas melewati gerbang, berbarengan dengan beberapa orang remaja. Dari arah pintu depan museum, ia melihat majikan kecilnya tengah berjalan di sisi seorang pria dewasa.
Naluri dan mata tuanya langsung bereaksi. Melihat majikannya yang tampak sedikit canggung sementara pria di sebelahnya tampak begitu matang dan percaya diri.
Hm, sepertinya, pria ini berbakat perayu, batin Pak Dhiro. Satu ide mendadak muncul dalam benak Pak Dhiro. Ia kian mempercepat langkah saat menuju ke arah Areta dan pria itu.
“Non, tadi Yu Tini nelpon, jam sepuluh dia minta anterin ke pasar.Perintah ndoro putri.”
“Ke pasar? Bukannya tadi pagi Yu Tini udah ke pasar?”dahi Areta langsung berkedut banyak. Ia memang berpapasan dengan wanita itu tadi pagi sebelum berangkat ke museum. Yu Tini dengan tentengan sekeranjang penuh berisi sayur-sayuran dan bumbu dapur.
“E… anu .. .ndoro putri nyuruh Yu Tini beli bahan. Untuk bikin kue buat dibawa pulang ke Surabaya,”jawab Pak Dhiro sekenanya.
“Yu Tini? Dia ‘kan nggak bisa bikin kue? Pak Dhiro ada-ada aja.”
Areta tersenyum, tertawa kecil. Pak Dhiro menggaruk kepalanya. Usahanya gagal total. Majikan kecilnya ini ternyata telah selangkah lebih tahu situasi di rumah neneknya ketimbang dirinya.
“Nanti aja Pak kita pulangnya. Aku mau foto-foto dulu. Om Reza mau ya bantu motretin aku?”ujar Areta kenes, seraya mengeluarkan kamera saku dari dalam ranselnya.
Ganti Reza yang tersedak ludahnya sendiri, saat mendengar bagaimana gadis polos tapi cerdas itu memanggilnya Om. Apa gadis ini tidak bisa membaca situasi ya? Saat kemarin ia memintanya untuk tidak memanggilnya dengan sebutan Bapak?
Tapi, satu hal yang tidak Reza ketahui, bahwa Areta sesungguhnya telah sangat memahami situasi. Pengalamannya dalam hal cowok, mungkin dapat dikategorikan minim, namun insting Areta cukup tajam untuk menangkap sinyal-sinyal yang coba dilemparkan Reza.
Areta tahu, Reza berusaha akrab dengannya. Mendekatinya. Sesuatu yang mungkin saja bukan sekali dilakukan Reza, pada gadis-gadis pengunjung museum yang mungkin juga jumlahnya teramat langka itu.
Dan Pak Dhiro hanya bisa menunggu, saat Areta berfoto di samping monumen kecil yang memuat penanda ditemukannya Phitecantropus di Trinil. Sepertinya, monumen itu merupakan ikon penting di Museum Trinil. Terdapat kode P.e. 175m diikuti gambar anak panah, juga tulisan angka 1891/95di atasnya. Pak Dhiro sama sekali tidak tertarik pada monumen kecil itu. Juga semua yang tertera di sana. Apa sih pentingnya? Sayup-sayup, telinganya mendengar penjelasan pria yang dipanggil Areta dengan Om Reza itu pada Areta.
“Pada jarak 175 meter dari sini, jika berjalan mengikuti arah anak panah, kita akan sampai di tempat Eugene Dubois melakukan penggalian pada tahun 1891 sampai dengan 1895 saat ia menemukan fosil Phitecanthropus erectus.″
Pak Dhiro bergidik, saat melihat ekspresi Areta penuh antusias. Gadis aneh. Bulan lalu, ia sempat melihat tengkorak kepala imitasi yang diberikan ayah gadis itu kepada Areta sebelum gadis itu menyimpannya di kamar misteriusnya itu. Kamar yang sampai hari ini masih mengundang rasa penasaran Pak Dhiro. Semoga saja, penjelasan pria itu tak lantas mencuatkan niat Areta untuk melakukan penggalian fosil, harap Pak Dhiro dalam hati. Dan semoga saja, tidak ada “oleh-oleh” berupa fosil atau tengkorak kepala asli yang dibawa Areta kembali ke Surabaya.
OoO
Hari ketiga, Areta menyempatkan diri untuk mengelilingi rumah neneknya terlebih dulu sebelum mengunjungi museum lagi hari ini. Selama dua hari ini, Areta memang belum sempat ngobrol banyak dengan nenek. Hanya bertemu di meja makan, lalu nenek duduk sebentar di sofa ruang tamu sebelum masuk ke kamar tidurnya, dan tidak keluar-keluar lagi sampai waktu makan malam tiba. Usai makan malam, nenek akan kembali ke kamarnya tanpa sempat duduk-duduk lagi. Dalam hati, Areta mulai mengerti kenapa ayah melarangnya di luar permasalahan yang ada antara ayah dengan nenek (meski ini baru berkembang dalam dugaan Areta semata), bahwa dirinya, tak bakal betah berada di rumah nenek.
Nenek memang seperti jelmaan putri keraton yang selalu menjaga sikap dan tata krama. Bahkan untuk sekadar ngobrol dengan cucunya saja, pelitnya minta ampun. Sikap Yu Tini di depan nenek juga, selalu penuh penghormatan. Berbicara dalam bahasa kromo inggil nan halus dan tubuh yang membungkuk dalam serta tak berani menatap langsung mata nenek.
Perlahan, Areta mengamati setiap inchi sudut rumah nenek. Rumah bergaya kuno ini sebenarnya tidak terlalu buruk. Selain lantainya sudah dikeramik, tembok bagian dalam rumah lebih terawat dari di luar rumah. Ada lima kamar tidur berukuran besar di dalamnya, dan kamar yang ditempati Areta adalah yang terluas. Sebuah dapur yang jarang berasap, selain untuk merebus air untuk keperluan nenek Maheswari mandi. Yu Tini lebih sering memesan katering, karena dia juga harus mengawasi sawah milik nenek. Yu Tini sebenarnya masih saudara jauh nenek, tapi Areta tidak ingat bagaimana jalur silsilahnya. Wanita itu lebih banyak menggunakan bahasa jawa saat menjelaskannya pada Areta. Yang jelas, masih saudara jauh. Berhubung nenek masih keturunan ningrat, maka dia mengabdi pada nenek sejak masih mudanya. Sebenarnya dia sudah lama ingin berhenti, tapi dia kasihan pada nenek Maheswari. Nenek nyaris tidak punya sanak keluarga lagi selain satu-satunya ayah Areta sebagai anak tunggal.
“Keluarganya habis waktu perang di Jaman Belanda, non. Mereka semua pejuang. Kakek Raharjo itu dulu pejuang. “
Demikian yang pernah diceritakan sekilas oleh Yu Tini. Tak terasa, langkah Areta tiba di kebun belakang rumah. Sejak hari pertama, kebun itu selalu tampak tertutup dengan pagar bambu. Hanya Yu Tini yang tampak beberapa kali masuk ke sana. Sekali, Areta pernah melihat Yu Tini keluar seraya menggenggam beberapa tangkai bunga mawar. Heran, kenapa bunga mawar bisa berbunga sesubur itu di kebun yang dari luar tampak tidak terawat, banyak ditumbuhi pohon pisang juga ilalang yang rimbun lagi telah memanjang. Bukankah mawar butuh tempat yang terik dan lapang untuk bisa tumbuh subur?
Namun saat ini Areta tak mau terlalu ambil pusing dengan mawar. Toh di rumah pun, ia tak terlalu peduli dengan tanaman. Ada mbak Sri yang selalu telaten mengurus bunga-bunga di halaman. Bunga-bunga yang juga telah kian jarang mendapat sentuhan ibu Areta.
Perhatian Areta telah teralih pada sebuah kamar yang selalu tertutup, persis berada di sebelah kamar Nenek Maheswari. Pintu kamar itu tertutup gordenberwarna putih transparan dan bersemat mawar di bagian pangkal tirai. Sebuah kamar yang sepertinya istimewa. Walau kamar yang lain juga ditutupi gorden, hanya gorden kamar ini yang bersemat bunga mawar.
Areta mendorong pintu kamar itu perlahan. Rasa penasaran langsung menyergapnya. Dan ia bukan type orang yang mampu menahan rasa penasarannya berlama-lama. Kamar ini tak pernah terbuka sekali pun sejak hari pertama ia datang. Pintunya tidak dikunci. Semerbak aroma langsung menyeruak keluar begitu pintu terbuka perlahan. Bau mawar bercampur tanah basah. Bau khas yang selalu menguar dari tubuh nenek Maheswari.
Sebuah kamar kosong tanpa dipan. Ukurannya lebih kecil dari kamar Areta. Terdapat sebuah kursi besar di tengah ruangan. Bentuknya seperti kursi kuno, terbuat dari kayu jati berpelitur dengan pegangan tangan dan sandaran yang berukir. Areta menelan ludah. Bulu kuduknya serasa meremang. Ada suasana aneh menyergapnyaseketika, membuat rasa penasarannya sempat tereduksi oleh rasa takut yang muncul tiba-tiba. Namun rasa penasarannyalah yang akhirnya menang.
Lampu bersinar temaram menggantung di langit-langit. Sesaat, Areta merasa napasnya sedikit sesak. Pandangannya beredar, mengamati lebih teliti. Dan Areta segera menemukan jawabannya. Ya, kamar ini ternyata tidak berjendela, hanya ada ventilasi dengan celah lubang yang sempit. Pantas saja terasa begitu pengap.Dan aroma tanah basah itu, ternyata berasal dari lantai kamar yang masih dari tanah. Tanah yang lembap dan terasa dingin di bawah telapak kaki Areta yang telanjang.
Seakan ada magnet yang menariknya, Areta melangkah mendekati kursi besar, satu-satunya benda di dalam kamar itu. Terletak tepat di tengah ruangan, di atas selembar karpet tipis berwarna merah. Ada banyak taburan kelopak mawar merah di atas dudukan kursi itu. Tidak, tidak bertaburan, melainkan saling tumpuk menumpuk membentuk sebuah gunungan kecil di atas dudukan.
Semakin dekat, Areta merasa lututnya sedikit gemetar. Aroma mistis itu kian terasa. Kursi yang diam itu seakan-akan membuat gerakan pelan. Ataukah ini hanya imajinasinya belaka? Areta berharap tidak ada jebakan betmen yang muncul tiba-tiba, seperti tombak yang melayang tepat ke arah kepalanya, atau lantai yang tiba-tiba terbuka sehingga ia terperosok jatuh ke dalamnya. Entah, kekuatan aroma mistis itu ternyata mampu memancing khayalan yang bukan-bukan, berseliweran dalam benak Areta.
Gunungan kecil bunga mawar itu telah benar-benar dekat dengan Areta, bahkan ia tak perlu menggerakkan kaki selangkah lagi untuk bisa menggapainya.Areta menyentuhnya, perlahan dan sangat hati-hati. Beberapa kelopak bunga berjatuhan, dan telapak tangan Areta serasa mengenai permukaan yang terasa keras dibalik tumpukan kelopak. Areta kian bersemangat menepis tumpukan kelopak mawar itu, dan .....sebuah benda berwarna putih pucat langsung muncul di hadapannya. Sebuah tengkorak kepala !
Kalau bukan Areta yang selama ini sudah terbiasa melihat fosil dan “teman-teman”nya, pastilah ia sudah berteriak histeris lalu lari secepat kilat yang ia mampu. Namun Areta bergeming, meski kakinya tak urung mundur selangkah, dan detak jantungnya bergerak sangat cepat, melebihi kecepatan detaknya saat ia baru habis berolah raga.
“Tengkorak apa ini?”
Areta menggumam, perlahan menyibak dan menepis semua kelopak bunga mawar hingga tengkorak itu tampil utuh di hadapannya. Ingatannya langsung berputar dengan cepat. Tengkorak kepala ini, sama persis dengan tengkorak kepala yang baru dilihatnya kemarin di museum. Tengkorak kepala Phitecantropus bayi!
“Kau sudah bertemu Tyar rupanya.”
Ucapan dalam nada dingin itu langsung membuat kepala Areta tertoleh ke belakang. Kali ini jantung Areta bereaksi sebaliknya, serasa berhenti berdetak seketika dan hampir lepas cantolannya. Nenek Maheswari sudah berdiri di belakangnya, menatapnya dengan senyum misteriusnya. Juga rambut putihnya yang saat ini terurai, menjuntai sampai ke lengan. Tidak digelung rapi seperti biasanya.
Areta seakan terhipnotis. Tak mampu mengucap sepatah kata atau bereaksi apa pun, selain hanya mengikuti gerak-gerik nenek dengan ekor matanya, saat wanita sepuh itu mengambil tengkorak kepala itu perlahan-lahan dari dudukan kursi lalu menyerahkannya kepada Areta.
“Dia bibimu. Bibi Tyar.”
Seraya mengucapkan itu, sorot mata nenek Maheswari tampak memendarkan percik-percik kerinduan, juga bibirnya mengukir senyum penuh, perlambang kebahagiaan. Ekspresi yang kembali membuat bulu kuduk Areta merinding. Terutama saat tengkorak kepala itu tiba di tangannya yang juga seakan sepakat terhipnotis, tak mampu berbuat apa pun selain terangkat dan membuka.
Bibi Tyar. Siapa itu? Areta tak pernah mengenalnya, melihatnya, bahkan mendengar ayah atau ibunya menyebut nama itu. Dan tengkorak ini, jelas sekali adalah tengkorak kepala Phitecantropus. Areta sangat yakin. Ia sudah sangat hafal dengan seluk beluk tengkorak kepala milik Phitecantropus.
“Nenek .. ini…”
“Kalau dia masih hidup, pasti dia secantik dirimu.” Nenek menyela sebelum Areta tuntas bertanya. Kedua mata nenek masih terarah pada tengkorak yang kini ada dalam genggaman Areta. Mata yang menyorot aneh, juga tak berkedip. Seiring seulas senyum yang masih sama misteriusnya.
“Nenek …aku …”
“Sst, jangan berisik. Tyar tidak suka berisik. Dia suka suasana sepi dan tenang. Dia suka tanah dan bunga mawar. “
Nada suara nenek yang sedingin hembusan angin, membuat kengerian Areta yang sempat hilang, kini bangkit lagi. Di hadapannya kini, Nenek Maheswari bukan lagi sekadar tampak misterius. Tapi seakan-akan sudah kehilangan kesadaran, bahkantidak berlebihan kalau Areta menganggap nenek seperti seorang yang sedang terganggu jiwanya.
“Areta, ayahmu mungkin tak pernah cerita padamu, bahwa dia sebenarnya masih punya seorang saudara kandung bernama Tyar.”
Ucapan nenek kali ini untuk sesaat membuat Areta mengabaikan rasa takutnya meski aura aneh yang melingkupi sekelilingnya terasa kian kencang berembus. Aura yang nyaris sama ia rasakan saat menatap tengkorak kepala bayi Pythe di dalam lemari museum.
“Areta. Lepaskan itu !”
Seruan suara bass itu membuat Areta dan Nenek Maheswari serentak menoleh ke pintu. Sosok ayah Areta tengah berdiri dengan amarah yang penuh menguasai rona wajahnya, membuka pintu lebar-lebar dan menahan daun pintu dengan tangan kurusnya.
“Lepaskan!” Ayah berseru lagi.
Untuk kali pertama, Areta bergerak cepat mematuhi perintah ayahnya. Ia meletakkan tengkorak kepala itu kembali ke kursi. Lalu setengah berlari menuju ayahnya. Dengan sigap, ayah langsung menarik lengannya, menariknya ke belakang tubuhnya. Posisi melindungi yang sama sekali tak dimengerti Areta kenapa ayah berbuat begitu.
“Jangan sampai Areta menyentuh benda laknat itu lagi, Bu. Atau anak ini selamanya tidak akan menginjak lagi rumah ini!”
Nenek Maheswari bergeming. Sorot matanya masih sama dinginnya, namun senyum penuhnya telah berubah menjadi seringai. Perubahan yang membuat kedua lutut Areta sedikit menggigil.
“Ayo pulang !”
Areta merasa tubuhnya dihentak. Ayah langsung menyeretnya keluar dari kamar, menuju ruang tamu.
“Giarrr !”
Terdengar teriakan parau nenek, menyebut nama ayah. Namun Ayah tidak peduli. Ia terus menyeret Areta sampai ke halaman depan. Ada dua mobil di sana. Dan Pak Dhiro sedang berdiri seperti patung es di dekat mobilnya.
“Ayah …”
“Diam, dan jangan berkata apa-apa lagi. Sekarang juga pulang!”
Ayah mendorong Areta ke dalam mobilnya. Areta hanya menurut. Sepasang matanya sempat menangkap gerak Nenek Maheswari yang keluar tergesa dari dalam rumah, terseok-seok dengan tongkatnya. Seakan berusaha mengejar meski usaha itu akan sia-sia belaka. Mobil yang dikendarai ayahnya telah bergerak. Sejenak beliau berhenti ketika melewati Pak Dhiro.
“Dhiro, kemasi barang-barang Areta. Jangan sampai ada yang tertinggal!”
Pak Dhiro mengangguk. Sekilas melirik pada Areta dengan rasa bersalah yang gagal tertutupi. Tapi Areta yakin, ini bukan karena Pak Dhiro. Insting ayahlah yang membimbingnya datang kemari, dan entah kenapa “bekerja” pada saat yang benar-benar tepat. Dan Areta baru mendengar panggilan itu beberapa menit lalu. Hanya Nenek Maheswari yang memanggil ayahnya dengan Giar.
Tyar dan Giar.
OoO