Contents
Gerbang Trinil
Bab 5 - Kepala Museum
Sebuah gapura khas nuansa Jawa terletak di tepi jalan besar arah Ngawi – Sragen, menjadi penyambut Areta. Gapura itu memiliki banyak anak tangga kecil yang menghiasi bagian atasnya. Seperti gapura-gapura istana kerajaan jaman dulu. Gapura rumah nenek Maheswari tidak setinggi ini, tapi ciri-cirinya tetap serupa.
Areta turun dari becak, membayar sejumlah biaya yang sudah ia sepakati dengan tukang becak sebelum berangkat tadi.
“Non mau ke museum ?” tanya tukang becak setelah menerima ongkosnya.
“Iya.” Jawab Areta.
“Masih jauh, non. Ini hanya gerbang di tepi jalannya saja. Masuk ke dalamnya masih jauh.” Jelas sang tukang becak.
Areta berpikir sejenak. Kalau harus berjalan kaki, sebenarnya tidak masalah baginya. Hitung-hitung olahraga. Tapi Areta hendak menghemat energinya pagi ini. Dia hanya membawa sebotol air mineral dan sebungkus roti untuk sarapan. Dia hanya pamit pada Yu Tini tadi, bilang kalau ia akan pergi jalan-jalan. Wanita itu hendak protes, karena matahari baru menunjukkan separuh jasadnya, sementara kakinya masih terbenam di batas cakrawala langit. Tapi, seperti juga asisten rumah tangga di rumah Areta, Yu Tini tidak bisa mencegah Areta. Pak Dhiro masih terlelap, dan Areta sungkan untuk membangunkannya, walau dalam hati ada secercah rasa syukur. Ia bisa pergi ke museum tanpa harus ditemani Pak Dhiro.
“Ya udah deh, saya naik lagi aja.”
Tanpa berpikir dua kali, Areta naik lagi ke becak. Tukang becak tersenyum sumringah. Rejeki di pagi hari, dengan penumpang pertamayang tidak terlalu cerewet saat menawar. Sepertinya, bukan anak daerah sini. Sebenarnya, ada tukang ojek yang biasa mangkal di dekat gapura, tapi sepagi ini mereka belum muncul. Jadi, Areta tidak punya pilihan selain naik becak.
Jalanan berbatu yang mereka lewati membuat tubuh Areta sedikit oleng, terguncang ke sana ke mari. Untung saja, pemandangan sawah di sekelilingnya yang hijau dan sejuk, membuatnya dapat mengabaikan rasa kurang nyaman akibat guncangan. Beberapa petani tampak tengah menyusuri pematang sawah dengan membawa cangkul dan mengenakan topi caping bambu. Bau bunga padi yang tertiup angin terasa segar. Areta menghirupnya dalam-dalam. Sungguh menyegarkan daripada bau asap knalpot di sepanjang Jalan Ahmad Yani di Surabaya, jalan yang selalu dilaluinya setiap pagi menuju sekolah. Selalu saja macet dan menimbulkan gerah. Di sini, tidak ada macet. Juga cuaca yang terasa adem membuatnya lupa seperti apa rasanya gerah.
Tak lama, wujud pintu depan museum mulai tampak jelas. Terdapat sebuah plang nama di depannya bertulis MUSEUM TRINIL. Areta bergegas melompat dari becak lalu menepuk-nepuk pantatnya, untuk meredakan rasa panas akibat berusaha bertahan untuk tidak terlempar dari becak akibat goncangan tadi. Tak menyadari kalau tukang becak tersenyum-senyum melihat tingkahnya.
“Masih tutup, Non. Kepagian.”
Areta hanya mengangguk. Ia sudah menduga bakal kepagian. Namun jika ia pergi lebih siang sedikit, Pak Dhiro pasti sudah bangun, begitu juga nenek. Ia paling malas mengarang-ngarang alasan untuk bisa “dilepas” pergi sendirian.
Tukang becak itu mengayuh becaknya perlahan, lalu menepikannya di depan sebuah warung yang berseberangan dengan museum. Sepertinya lebih baik mengikuti tukang becak itu nongkrong di warung sementara menunggu museum buka,gumam Areta.
“Hmm … capucino ada bu ?” tanya Areta pada pemilik warung begitu ia duduk di atas bangku kayu.
“Apa itu?” tanya pemilik warung, wajahnya polos saat bertanya.
Areta tertegun, cepat menelan ludah demi menahan tawa yang nyaris tertumpah keluar. Lalu menepuk keningnya. Tentu saja ia tidak akan menemukan capuccino di sini. Tapi kopi sachet yang bergelantungan di depan sebuah lemari bertutup plastik bening, langsung mengalihkan keinginannya.
“Yang itu saja, bu,” ujarnya seraya menunjuk ke arah gelantungan kopi sachet. Kopi susu 3 in 1, lumayan, meski rasanya jauh berbeda dengan cappucino. Pemilik warung itu langsung menggunting satu sachet.
“Non kok sendirian ke sini?”
Areta menoleh. Rupanya tukang becak yang membawanya tadi yang bertanya. Padahal, selama perjalanan dari rumah nenek Maheswari, tak sekali pun ia membuka mulut begitu kesepakatan tarif tercapai. Areta tersenyum ramah.
“Saya memang lebih senang jalan-jalan sendirian, Pak,”ucapnya. Nggak hanya jalan-jalan, bahkan hampir semua kegiatan, aku lebih senang melakukannya sendirian, batin Areta.
“Ooo. Setahu saya, biasanya kalau pelajar, datangnya rombongan. Non masih SMP atau udah SMA?”
“SMA, Pak, “jawab Areta cepat. Pertanyaan semacam itu tak terlalu mengherankan baginya. Bahkan sudah beberapa kali orang salah menduganya, mengira kalau ia masih SMP.
Tak lama, secangkir kopi tiga dalam satu itu pun terhidang di hadapannya. Aromanya wangi. Areta mengambil sesendok, meniupnya perlahan sebelum menghirupnya. Kehangatan seketika mengaliri kerongkongannya. Areta mengeluarkan bungkusan rotinya. Mencabiknya sedikit, lalu mengulurkan bungkusan itu kepada tukang becak yang duduk tak terlalu jauh darinya.
“Roti, pak.”
Tukang becak itu menggeleng, menggerakkan tangannya. “Terima kasih, Non. Perut saya nggak biasa makan roti, nanti mules,” ujarnya polos. Areta menarik lagi rotinya. Menyimpannya kembali ke dalam tas.
“Kemarin ada rombongan turis ke sini. Ramai,”ujar tukang becak itu. Rupanya dia berniat membuka perbincangan ala warung kopi.
“Oh ya?” Areta menaikkan alisnya. Rombongan turis. Setahunya, napak tilas mengunjungi Trinil baru akan berlangsung tiga bulan lagi. Belum tampak persiapan apa pun di lokasi sekitar museum. Mungkin, rombongan turis itu adalah rombongan yang berbeda. Rombongan yang datang untuk sekadar berkunjung dan melihat-lihat. Atau juga rombongan napak tilas yang melakukan survey tempat terlebih dahulu. Harry memang sudah lama tidak online, juga belum membalas inboxnya. Jadi, Areta belum tahu update rencana napak tilas itu, apakah dimajukan, berjalan sesuai rencana, atau karena sesuatu dan lain hal, malah dibatalkan.
Areta melanjutkan sarapan paginya. Terasa nikmat, walau hanya berteman secangkir kopi, roti sobek, juga...obrolan hangat bersama tukang becak. Kehangatan yang sudah lama membeku dari rutinitas sarapan pagi Areta selama ini.
OoO
Areta melirik arloji yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Sudah pukul delapan, dan sinar matahari yang memancar mulai terasa terik. Sebuah sepeda motor tampak memasuki halaman museum. Pengendaranya seorang lelaki, mengenakan seragam pegawai pemerintah. Wajahnya tertutup helm.
“Itu pegawai museum-nya,” ucap pemilik warung, seakan dapat memahami isi kepala Areta.
Areta hanya mengangguk. Roti sobek dan kopinya telah licin tandas. Areta membayar sarapan paginya, menyandang ransel dan melangkah mantap menuju museum. Petualangan siap dimulai.
Meski terik, namun semilir angin cukup bersahabat. Saat tiba di depan museum, Areta disambut oleh sesosok patung gajah purba. Gadingnya panjang, mirip gading Mammot. Sejenak Areta mengamati sepasang mata patung gajah itu. Alangkah besarnya hewan ini. Bagaimana gerangan kehidupan di masa lalu ya? Melihat bentuk gadingnya, sepertinya dia tergolong hewan ganas. Tapi, di film Ice Age, gajah purba digambarkan sebagai hewan yang berhati lembut. Areta lalu mengeluarkan kamera saku dari ranselnya, memotret objek patung gajah purba itu. Lumayan buat koleksi museum mininya nanti.
Pintu utama museum, juga diapit oleh gading gajah purba pada sisi kiri dan kanannya. Dan di dalam museum, tepat dalam posisi garis lurus dengan pintu masuk, sesosok lelaki berseragam pegawai berdiri tegak, menatap sekilas ketika Areta melangkah memasuki museum.
“Selamat pagi, dik,”sapanya. Ada senyum kecil terukir di bibirnya yang tipis.
“Pagi, Pak,” sahut Areta, “Nggak apa-apa nih, pak? Saya masuk pagi-pagi begini?”
Wajah ramah pria itu seketika memupus kecanggungannya.
“Oh, nggak apa-apa. Bagus malah, dik, datang pagi-pagi, belum ramai. Silahkan melihat-lihat. “
Sambil berkata demikian, lelaki itu menghampirinya, bahkan berjalan di sisinya. Dari jarak sedekat ini, Areta dapat melihat jelas penampakan pria ini. Rambutnya rapih dan klimis. Kulitnya bersih, kumis tipisnya membuat bibirnya tampak indah sekali saat tersenyum. Rahangnya kokoh dan ada bekas cambang yang tercukur rapih. Dari sudutmana pun, lelaki ini jelas lebih keren dari Andri. Mendadak, Areta merasa dadanya menghangat. Bukan oleh kopi susu yang diminumnya tadi, yang tentu saja telah lama melewati organ pencernaannya, melainkan oleh bibir yang sepertinya masih saja membentuk segaris lengkung senyum itu.
Wah, bisa betah aku di sini, gumam Areta dalam hati. Sekuatnya menahan keinginannya untuk tersenyum. Tidak ada orang lain di dalam museum ini selain mereka berdua. Pasti lelaki ini pegawai museum yang paling rajin.
“Adik datang dari mana? Silahkan, isi buku tamunya dulu.”
Lelaki itu menunjuk ke arah sebuah meja kecil dengan buku yang terbuka di atasnya. Juga tersedia sebuah pulpen bertali ulir di sana. Areta meraih pulpen itu. Ia baru saja hendak membubuhkan namanya, saat matanya menangkap sebuah nama tertera di lembar itu. Pada baris teratas. Harry. Kening Areta langsung mengernyit. Ini, Harry Dubois bukan ya?
“Oh, dik Areta ya? Nama yang unik, seunik pemiliknya.“
Areta mengangkat punggungnya yang sebelumnya tertunduk saat menulis. Lelaki itu ternyata belum beranjak, masih berdiri di belakangnya. Mendadak, kecanggungan yang sempat hilang muncul lagi. Bercampur sedikit gugup.
“Unik...kenapa?” tanya Areta, tak berani menatap lelaki itu meski tubuhnya telah berputar, berhadapan.
“Jarang-jarang ada pengunjung seusia kamu yang datang sendirian ke museum, pagi-pagi pula. Dari sekilas melihat saja, saya tahu kalau kamu punya minat besar terhadap benda-benda kuno. Oh ya, nama saya Reza. Saya guide utama di Museum ini.”
Kini jantung Areta yang tiba-tiba saja bersenandung ribut, saat matanya menangkap sebelah tangan lelaki itu yang terulur. Mengajak berkenalan. Dan...apa tadi ? Dia memanggil...kamu ? Mengakrabinya secepat itu ? Wah, jangan-jangan, lelaki ini berbakat playboy. Hanya beda tipis saja dengan Andri, kalau begitu.
Areta mengulurkan tangannya. Merasakan jabatan tangan lelaki itu yang hangat saat menggenggam tangan mungilnya. Cepat Areta menarik tangannya, tak berani mendongakkan wajahnya. Debar jantung ini sungguh tak pantas, hanya oleh pertemuan dan jabat tangan pertama. Apalagi, Reza tampak dewasa, mungkin saja ia sudah beristri dan beranak banyak. Areta meyakinkan tebakannya itu adalah benar tanpa ia perlu bertanya, demi meluruskan niat sesungguhnya datang ke museum.
Namun sepertinya keindahan pagi ini memang berpihak padanya. Entah karena hanya dia seorang pengunjung tunggal, entah juga karena kebiasaan Reza memang demikian adanya, yang jelas, lelaki itu betah menemani Areta berkeliling museum. Memotretfosil tengkorak manusia purba Phitecantropus Erectus Cranium yang ditemukan di Karang Tengah Ngawi, juga di beberapa daerah di Trinil. Ada juga fosil tulang rahang bawah macan Felis Tigris Mandi Bula. Fosil gigi geraham atas gajah Stegodon Trigonocephalus Upper Molar yang patungnya sempat dipotret Areta di depan museum tadi. Masih ada tanduk banteng dan kerbau purba. Semuanya tersusun rapi dari balik kaca tebal. Dan tak ada yang tak luput dari bidikan kamera Areta.
“Sudah lama tertarik arkeologi?”
Pertanyaan Reza sejenak menjadi pengisi jeda. Sejak tadi, Areta memang hanya berkeliling dan memotret, namun jantungnya masih saja ribut, membuat mulutnya terkatup rapat meski ada banyak pertanyaan berseliweran dalam benaknya.
Sejenak, langkah Areta terhenti, saat matanya menangkap sosok replika Phitecantropus Erectus. Hm, sungguh tak pantas Andri memakaikan baju futuristic ala alien pada sosok itu. Dan tak layak juga makhluk sederhana itu disebut alien, seperti ucapan Harry tentang hasil penelitian ayahnya. Bagaimana mungkin mereka berasal dari luar angkasa, sedangkan sehari-harinya dulu pastilah mereka berurusan dengan batu dan gada saja. Tapi, ini semua hanya replika. Rekayasa manusia jaman sekarang. Entah penelitian ayah Harry benar atau tidak, tapi sepertinya, mustahil kalau si Phite itu adalah alien. Seingat Areta, alien selalau digambarkan dengan kepala besar dengan dua bola mata seukuran bola tenis, bertubuh kurus dan ceking. Memiliki sepasang tangan dan jari jemari panjang yang kurus kering. Atau semacam serangga berlendir yang doyan memamah manusia, menjadikan manusia sebagai inang untuk bereproduksi. Atau yang lebih ganas lagi, berbentuk predator dengan lapisan logam di seluruh tubuhnya, membantai manusia demi kesenangan belaka.
“Areta?”
“Eh ? Ap….pa ?” Areta balik bertanya. Gugup. Keasyikannya menatap Pithecanthropus telah membuatnya lupa menjawab pertanyaan Reza walau hanya sekadar menganggukkan kepala.
“Sepertinya kamu sangat menyukai dunia arkeologi. “ Reza mengulang kalimatnya, mengganti susunannya dari yang semula berbentuk pertanyaan menjadi sebuah dugaan.
“Ya.. ya..., “ ucap Areta,kegugupannya belum sirna. “Paleontropologi, lebih tepatnya. “
Reza manggut-manggut. Benar-benar gadis langka, demikian batinnya berkata. Tak banyak gadis yang mau berkunjung ke museum hanya untuk menatap benda-benda bisu, bahkan tak sedikit yang tampak menyeramkan, kalau bukan karena mendapat tugas sekolah untuk mempelajari benda kuno. Apalagi, gadis ini datang seorang diri, bukan berombongan seperti yang selama ini mengunjungi museum.
“Sepertinya, tertarik sekali dengan Phitecantropus ?”
Areta mengangguk mantap.
“Kalau boleh tahu, kenapa? “
“Mm, saya sebenarnya heran dengan Eugene Dubois. Saat itu, karirnya sudah mapan. Tapi dia rela menghabiskan uang dengan menyewa tahanan Belanda untuk menggali dan akhirnya menemukan fosil ini. Kalau menurut, mmm, Bapak...bagaimana? Bukan tidak mungkin ‘kan, kalau ternyata dia sebenarnya mencari harta karun atau pun sebuah rahasia yang sangat penting?”
Reza hampir saja terbahak, mendengar ucapan Areta. Gadis di hadapannya, imajinasinya ternyata jauh lebih liar dari penampilannya yang tampak polos.
“Jadi kamu mengira dia mencari harta karun? Tentu saja. Ini harta karunnya!” ujar Reza seraya menunjuk ke arah fosil Pythecanthropus. “Kita patut berterima kasih pada Eugene, walau bangsanya pernah menjajah bangsa kita. Dengan adanya penemuan ini, bangsa kita bisa dikenal dunia. Menjadi rujukan para arkeolog dan ilmuwan dunia. “
Areta menatap Reza sekilas. Ternyata, Reza sama saja dengan sebagian besar orang di dunia ini. Hanya berpedoman pada kenyataan yang sudah dimafhumi bersama. Yang ingin Areta temukan adalah teori untuk menentang analisa ayah Harry, juga maksud sebenarnya Eugene bersusah payah meneliti manusia purba ini di negerinya. Bisa jadi, Eugene Dubois sudah mengetahui itu lebih dulu, jauh sebelum ayah Harry menemukan bukti fisiknya.
“Apa pernah terpikir oleh Bapak,kalau ternyata mereka ini dulunya alien?” Pertanyaan itu terlontar begitu saja.
Reza terkejut sejenak, lalu tak dapat lagi menahan tawanya. Tawa yang membuat Areta spontan menyesali pertanyaan konyolnya. Dia pun berlalu, meninggalkan lelaki itu yang masih saja belum berhenti tertawa.
“Dik Areta… tunggu !”
Namun Areta sudah bergegas keluar dari museum. Dia benar-benar malu. Pertanyaan bodoh semacam itu, mungkin tidak mengapa jika terlontar di depan Harry atau pun Andri. Bukan pegawai museum seperti Reza, yang sudah pasti faham seluk beluk benda-benda purbakala. Pertanyyan tadi hanya menunjukkan ketololannya saja. Apalagi kalau Reza sampai tahu dia adalah peraih ranking 1 pararel di SMU Persada Pertiwi, lelaki itu mungkin tak hanya terbahak, tetapi juga mengejeknya.
“Kalau kamu ingin lebih serius meneliti, kamu bisa menggunakan rumah tamu kami. Biasanya para peneliti dari luar kota menggunakannya. Sekarang sedang kosong. Kemarin rombongan turis membookingnya untuk satu minggu. Ternyata mereka cuma tiga hari saja. “
Areta berhenti melangkah. Membalikkan tubuhnya. Reza ternyata tengah tersenyum. Wajah Areta spontan menghangat. Hanya dengan seulas senyum, rasa malunya spontan menguap.
Rombongan turis. Ya. Sebagaimana yang disebutkan tukang becak tadi pagi. Areta seketika teringat.
“Oh ya pak. Saya dengar mau ada napak tilas keturunan Eugene Dubois. Apa berita itu benar?”
“Rencananya seperti itu. Mereka mau napak tilas kakek buyutnya. Tapi tidak ada persiapan istimewa di sini. Mereka hanya datang seperti rombongan turis biasa, rencananya mau melihat-lihat museum selama seminggu. “
Tidak ada yang istimewa ? Lalu kenapa ayahnya bisa mengatakan kalau di toko-toko barang antik di Ngawi, banyak dijual tengkorak Phitecantropus plastik, dalam rangka menyambut napak tilas itu ? Areta hampir yakin, ayahnya tidak membelinya di Ngawi. Bisa jadi di Amozone atau eBay.
“Lalu, rombongan turis yang kemarin datang itu?”
“Ya, mereka adalah bagian dari rombongan napak tilas itu, sedang survey tempat. Ada tiga orang.”
“Apakah …. ada di antara mereka yang bernama Harry Dubois ?”
Reza mengernyitkan kening. Berusaha mengingat-ingat, sejenak mengabaikan keheranannya atas pertanyaan itu.
“Harry Dubois ......sepertinya tidak ada. Tapi kalau Harry saja, ada.”
“Mereka.....dari Kanada?”
“Ya, Kanada.”
Areta hendak melonjak saking senangnya. Tak salah lagi, itu pasti Harry! Jadi, Harry benar-benar mewujudkan impiannya. Dasar, kenapa dia tidak memberitahu Areta. Apakah Harry mau memberikan kejutan?Tapi, bukankah Harry juga tidak tahu kalau ia akan mengunjungi Trinil liburan ini?
“Memangnya, ada temanmu bernama Harry, yang mau datang kemari?” pertanyaan Reza, sesaat memutus dugaan Areta tentang Harry.
“Ya. Saya punya teman online, namanya Harry. Dia memang berencana datang kemari. Tapi, bisa jadi juga yang ada dalam rombongan itu bukan dia.”
“Ooh …” Reza membulatkan bibirnya.
“Mm...Pak, saya pamit dulu. Terima kasih sudah menemani saya berkeliling. Mungkin, besok saya datang lagi kemari,” ujar Areta.
Meski rasa malunya telah benar-benar pergi, dia menyadari kalau ia telah terlalu lama meninggalkan rumah nenek. Pak Dhiro pasti sudah bangun, barangkali juga sudah bersiap melaporkan kepergiannya tanpa didampingi pria itu kepada ayahnya. Atau nenek yang akan marah pada Yu Tini, karena membiarkan Areta pergi tanpa berpamitan lebih dulu padanya. Sebelum itu terjadi, Areta memutuskan untuk pulang sekarang.
“Oh, silahkan saja, museum ini terbuka untuk orang-orang yang berminat tinggi pada benda-benda kuno seperti kamu. Tapi, mm, kalau datang lagi besok, tolong jangan panggil saya Bapak.”
Areta mengernyitkan kening, heran. Dia tidak mengangguk atau menggeleng. Tapi senyum menawan lelaki itu, mulai melekat di ingatannya saat meninggalkan museum.
OoO