Try new experience
with our app

INSTALL

Gerbang Trinil 

Bab 3 - Keluarga Areta

Beberapa hari ini, Andri cukup mengganggu. Dia melancarkan jurus terbaru. Kerap menginbox puisi-puisi gombal. Belum lagi kiriman-kiriman foto futuristic, yang entah dia dapat dari mana. Foto kera berpakaian seperti Kapten Picard di Startrek. Atau wajah kucing pengganti raut Optimus di Transformer. Dan foto Phitecantropus yang paling mengerikan bentuknya, berpakaian baju besi penuh senjata, yang masih menjadi gambar profile akun facebooknya. Mungkin, sebenarnya dia ingin menunjukkan kegagahannya sebagai laki-laki, sekaligus berkhayal melihat Areta terpingkal-pingkal melihat foto-foto itu. Dia benar-benat tidak tahu cara memikat wanita.

Dan Dian berlepas tangan dari semua tingkah laku Andri. Dia bersumpah tidak membantu Andri membuat foto-foto itu dengan photosop, apalagi sotosop. Dia hanya memberikan bocoran kalau Areta menggemari hal-hal yang berbau purbakala. Kata Dian, Andri menggelarinya Gadis Jadoel Manis. Bukan karena Areta gadis yang ketinggalan jaman, tapi karena kegemarannya itu.

Dan inbox terbaru Andri, dikirim jam dua malam. Areta baru membukanya menjelang sarapan. 

Bila bintang itu ilalang

Aku akan melemparnya dengan kentang

Siapa tahu dia akan balas menendang

Dan berubah menjadi dalang

Areta me-reply pesan Andri : Tidak ada puisi yang lebih kacau lagi dari ini ?

Areta menarik nafas panjang. Bahkan ada yang lebih buruk di pagi hari ini, selain sarapan seorang diri. Puisi itu benar-benar tidak bisa dicerna. Seperti halnya roti bakar dengan selai blueberry yang kini terhidang di hadapannya. Areta ingin sarapan dengan pecel. Ya, nasi pecel di kantin sekolah. Tapi, sekarang hari Minggu. Tentu saja dia tidak bisa sarapan di sekolah.

Areta melirik segelas susu di samping kanannya. Dia ingat, sewaktu kecil, dia selalu tidak sabar bila ibunya sedang mengaduk susu untuknya. Bergegas merebutnya, hingga kemudian tumpah ke bajunya. Ibunya akan terbahak-bahak, terutama bila Areta menjerit-jerit merasa kepanasan. Padahal susunya hangat.

Semenjak perusahan Ekspor Impor milik ayahnya berkembang pesat, ibu pun ikut turun tangan di perusahaan. Dan, permintaan Areta kecil akan seorang adik yang akan menemaninya, seolah sejarah masa lalu yang sudah memfosil. Dan, Areta merasakan kesunyian itu, hari demi hari.

“Non, hari ini mau ke mana ?” tanya Pak Dhiro, sopirnya, yang tiba-tiba muncul di ruang makan.

“Pak Dhiro sudah sarapan ?”

“Sudah, Non.”

“Bisa belikan aku pecel ?”

“Pecel ?”

Areta mengangguk. Dia lalu bangkit dan menuju ruang pribadinya, meninggalkan Pak Dhiro yang keheranan. Baru kali ini, dia mengetahui kalau Areta ngidam pecel, makanan yang nyaris tak pernah terhidang di  meja makan keluarga ini. 

Sebuah ruangan tempat dia melepaskan kesunyiannya dalam kesunyian yang lebih mendalam. Bukankah sunyi itu bila kita tidak mempunyai orang-orang terkasih di sekeliling kita ? Tapi bila kita dikelilingi oleh hal-hal yang memenuhi hati dan isi kepala, walau dunia di-mute, tak akan terasa sunyi. Karena hati dan kepala kita sudah begitu ramai.

Sebuah ruangan yang terpisah dari rumah induk, hanya berbatas sebuah kolam air mancur, berisikan ikan mas yang gemuk-gemuk. Kadang, tanpa sepengetahuan para pembantu, Areta menangkap seekor ikan, dan membakarnya di halaman belakang. Menikmatinya dalam kesendirian. Ditemani Mimi, kucing peliharaan ibunya. Yang juga  kesepian seperti dirinya.

Areta membuka ruangan pribadinya. Hanya dia yang boleh masuk ke sana. Bahkan ayah dan ibunya harus meminta ijin padanya untuk masuk ke dalamnya. Sebuah museum mini, berisi beberapa koleksi yang memenuhi hati dan kepalanya. Dindingnya dipenuhi dengan gambar-gambar poster. Beberapa foto palaentolog, termasuk Eugene Dubois. Harry pernah bercerita tentang museum pribadi ayahnya. Bahkan tidak ada foto kakek buyutnya di situ. Terlalu banyak benda-benda purbakala yang bertumpuk. Kalau Harry mengunjungi ayahnya, dia dengan senang hati memilah-milah benda-benda purbakala itu. Bahkan ayahnya memperkenankan Harry menjual beberapa barang langka. Harry pernah berjanji padanya untuk mengiriminya beberapa barang koleksi ayahnya, yang sudah tidak menarik minat ayahnya lagi. Areta iri pada Harry. Semua barang-barang di museum pribadi ini, tidak didapatkan ayahnya dengan harga murah.

Ayahnya boleh meninggalkannya berbulan-bulan, tapi jangan sampai pulang tidak membawa oleh-oleh. Walau itu hanya secuil tulang Brontosaurus. Areta tidak mau tahu bagaimana cara ayahnya mendapatkannya.

Museum mini ini hanya berisi dua lemari kaca, yang menempel di tembok. Di dalam lemari kaca itu, terdapat benda-benda yang tidak akan menarik bagi gadis belia pada umumnya. Karena di dalamnya tidak terdapat ponsel android model terbaru, atau asesoris kalung atau bros mahal, apalagi foto artis korea. Hanya tulang belulang dan beberapa pecahan benda. Bahkan ada batu. Kalau Andri masuk ruangan ini, dia pasti akan mengurungkan niatnya mendekati Areta. Bila dipaksakan, maka kisah mereka berdua pasti tidak jauh berbeda dengan orang tua Harry. Yang satu lebih tertarik pada benda mati, yang satunya pada kehidupan glamour penuh pujian.

Areta berjalan perlahan dari satu lemari kaca ke lemari berikutnya, seraya mengamati koleksinya. Sebuah batu yang ditemukannya di belakang rumah. Bentuknya mirip dengan batu yang digunakan manusia purba di jaman batu, seperti kapak. Penemuan pertama Areta ketika masih duduk di kelas empat SD. Dia begitu terobsesi dengan Palaentologi semenjak itu. Dan kerap berburu batu-batu berbentuk aneh di halaman rumahnya,  sebuah taman yang jalan setapaknya berlapis batu-batu kerikil berukuran agak besar. Yang bentuknya mirip dengan gambar-gambar yang ditemukannya di buku-buku sejarah, dia simpan rapi dalam sebuah kotak kayu. Kini, ayahnya membuatkan sebuah ruang khusus untuk menampung koleksi batu-batu anehnya. Kini kotak kayu itu malah meringkuk di sudut museum mininya, dan hanya temuan pertamanya yang nangkring di lemari kaca.

Sebuah patahan tulang pipi, milik manusia Neandrethal. Ayahnya mendapatkannya di Jerman, dari seorang relasinya. Areta tak hendak menanyakan harganya, karena dia tahu, sampai sekarang ayahnya masih berhutang pada relasinya itu.

Potongan kain mummi. Areta paling sebal waktu ayahnya membawakan kain itu padanya. Hanya dibungkus plastik, bekas snack pula. Kontan beberapa ujungnya remuk, dan masih ada sisa bau kripik kentang. Areta tidak mungkin mencucinya untuk menghilangkan bau itu.

Sepenggal gerabah, tak jauh beda dengan gerabah di pasar-pasar. Yang membedakannya, potongan gerabah ini ditemukan tidak jauh dari tepi Bengawan Solo, lokasi ditemukannya Phitecantropus Erectus. Sekelompok mahasiswa arkeologi yang menemukannya, dan ayah membelinya.

“Seharusnya aku memiliki tengkorak Phitecantropus di sini, “ gumam Areta, seraya menatap gambar Eugene Dubois, “kau tahu, cicitmu akan datang ke sini. Kupikir dia akan mencari tengkorak cicit Phitecantropus yang sudah kau temukan.”

Terdengar ketukan di pintu. Areta tersadar, dia lupa menutup pintunya.

“Non, pecelnya….” ucap Pak Dhiro seraya melongokkan kepalanya, tidak hanya itu, dia pun celingak celinguk penasaran.

Areta bergegas menuju pintu dan menyambar tas plastic hitam di tangan Pak Dhiro. Seraya menutup pintu di belakangnya, membuat Pak Dhiro terpaksa menunda penasarannya. Sejak dulu, dia selalu penasaran dengan anak majikannya ini. Aneh. Terutama ruangan ini. Lebih aneh dari empunya. Areta memberi kode, supaya Pak Dhiro meninggalkannya. Tanpa berbicara lagi, lelaki separuh baya itu pun meninggalkan Areta.

OoO

Setiap kedatangan ayah dan ibunya, Areta berusaha tidak menampakkan kegembiraan yang mencolok. Biasa-biasa saja, toh dia bukan anak kecil lagi. Walau, terus terang, dia berdebar-debar menanti oleh-oleh yang dibawa ayahnya.

“Bagaimana sekolahmu, sayang ?” tanya ibunya, saat Areta mencium tangannya.

“Baik, bu. Minggu depan UTS.”

“Oke. Ibu bawa oleh-oleh buat kamu. Kami belanja di Malioboro, jadi barangnya ya begitu saja. Kalau kamu tidak suka, kasihkan mbak Menik atau yang lain. Ibu mau istirahat, capek duduk terus di mobil.”

Areta mengangguk, dan menatap tubuh subur ibunya berlalu menuju kamarnya. Dia tak lagi ingin merebahkan kepalanya di dada ibunya, melepas rindu. Ibu kelelahan, Areta kasihan. Dan, ayah masih sibuk mengeluarkan barang, dibantu Pak Dhiro dan Pak Bakri. Pak Bakri adalah sopir pribadi ayahnya, yang setia mengantar ayah dan ibunya keluar kota.

“Ayah.”

Ayah melebarkan tangannya, meminta Areta memeluknya. Ayahnya sangat kurus, tidak nyaman untuk dipeluk. Tapi, dia selalu penuh kehangatan. Maka, Areta tak pernah menolak bila mereka harus berpelukan lama, walau Areta bisa merasakan tulang belulang ayahnya menekan tubuhnya. Yang penting, setelah itu adalah …

“Ayah bawa …”

Areta segera mengambil kardus yang diulurkan Pak Dhiro, hati-hati. Bahkan para pembantu dan sopir di rumah ini, sudah tahu kebiasaan Areta. Perlakukan oleh-oleh ayah Areta untuk gadis semata wayangnya, seolah benda keramat. Jangan sampai tergoncang apalagi jatuh. Atau gadis itu akan ngamuk tak berkesudahan.

“Apa ini ?”

“Buka saja. “

Areta membawa kardus itu ke museum mininya. Membuka kardus itu dengan hati-hati. Mengeluarkan potongan-potongan kertas dan stereoform yang menjadi pelindungnya. Dan … tengkorak Phitecantopus ? Benar-benar tidak bisa dipercaya, ayahnya bisa mendapatkan tengkorak ini, dengan utuh. Perlahan, Areta menyentuh tengkorak itu. Ada yang aneh.

Areta mengangkat tengkorak itu tinggi-tinggi, dan mengamati dengan seksama. Dia yakin, rabaan tangannya tidak salah. “Ayah ! Ini dari plastikkkk !” seru Areta histeris.

Ayah Areta tergopoh-gopoh masuk museum. Dan mendapati Areta memeluk tengkorak itu di pingganggnya, seperti gaya pemain basket. Kalau tengkorak itu asli, tidak mungkin dia memperlakukannya seperti itu.

“Areta …”

“Ayah beli ini di mana ? Ayah kena tipu !”

“Tidak sayang. Tidak. Ayah memang sengaja membeli tengkorak itu. Itu bukan plastic. “

“Ini, palsu ayah.”

Ayah Areta mendekat dan mengambil tengkorak imitasi itu dari tangan Areta. Areta masih melotot. Marah dan kecewa.

“Tengkorak ini banyak beredar di toko-toko barang antik di Yogya. Kamu tahu kenapa ?”

Areta mengangkat bahu. Dia membalikkan badan, kesal. Andai dia masih kelas 4 SD, dia pasti bersuka ria dengan benda palsu ini. 

“Keturunan Eugene Dubois hendak berkunjung ke Trinil. Napak tilas.”

Areta tertegun. Harry Dubois. Ya, rupanya cita-cita anak itu akan terwujud. Menjejakkan kaki di jejak kaki kakek buyutnya. Wah, itu baru namanya keturunan yang mengharumkan nama besar keluarga. 

“Ayah, siapa saja yang akan berkunjung ke Trinil ?” tanya Areta, wajahnya sumringah tiba-tiba, membuat ayahnya bernafas lega.

“Ayah tidak tahu, sayang.”

“Ayah dapat info itu dari mana ?”

“Dari penjual tengkorak itu. Di tokonya ada puluhan dengan berbagai ukuran. Bahkan ada yang bisa dipakaikan ke dalam kepala kita, seperti helm.. Hehehe …. Pasti lucu kalau kamu yang pakai.”

“Ayah …. Aku mau ke Tinil !” seru Areta gembira. Matanya  membulat, menatap ayahnya penuh harap.

Raut wajah ayah Areta seketika berubah. Tiba-tiba dia menyesal, kenapa menuruti saran istrinya membeli tengkorak ini. Saat itu sama sekali tidak terpikir olehnya, Areta akan meminta pergi ke Trinil. Dan tentu saja, itu berarti Areta juga akan mengunjungi neneknya di sana.

OoO

Makan malam di hari kedatangan ayah dan ibunya dari bertugas ke luar kota, biasanya penuh dengan rentetan pertanyaan ayah dan ibu Areta. Tapi kini, hanya pertanyaan pendek dari ayahnya, yang suasana hatinya sudah berubah. Istrinya, tidak banyak bertanya pada Areta seperti biasanya. Dia sangat kelelahan karena selama di Jogja, jadwalnya padat. Duduk di meja makan bersama suami dan anaknya, hanya untuk menyenangkan hati putrinya semata wayang. Walau cuma lima atau sepuluh menit. Setelah itu mendengarkan laporan dari para sopir dan pembantu, tentang kondisi rumah dan beberapa tagihan yang belum dan sudah dibayar.

“Minggu depan libur, jadi aku mau ke Trinil.”

Areta kembali menegaskan keinginannya. Dia tahu, ayahnya tak pernah suka dia pergi ke Trinil. Padahal, nenek Prameswari, ibu kandung ayah Areta masih sehat wal afiat di sana. Tapi, putra semata wayangnya itu selalu berpikir ribuan kali untuk pergi ke sana. Apalagi bila Areta hendak ke sana, dia berpikir seribu pangkat sejuta kali. Dan itu akan membuat keningnya berkerut-kerut dan mukanya semasam jeruk bercampur tapai. 

“Tidak. Lain kali saja.”

“Ayah ! Selalu lain kali kalau aku mau ke rumah nenek. Lain kalinya itu kapan ?”

Muka ayah Areta semakin masam. Sementara ibunya hendak bangkit meninggalkan meja makan. Sejak dulu, Ibu Areta selalu memilih tidak ikut campur bila sudah memperbincangkan nenek Prameswari. Kata para pembantu, ibu Areta pernah bertengkar hebat dengan mertuanya ketika Areta masih bayi. Maka semenjak itu, ibu Areta tak pernah menginjakkan kakinya ke Trinil. Mungkin itu sebabnya, dia sampai lupa, menyarankan membeli tengkorak Phitecantropus imitiasi. Padahal, tengkorak itu sudah pasti berkaitan dengan Trinil.

“Ibu ! Kalau aku nanti sudah punya anak, aku tidak mau mengunjungi ibu lagi, gimana perasaan ibu ? Sedih kan ?”

Ibu Areta urung bangkit dari duduknya. Sepertinya, mau tidak mau, dia harus ikut campur urusan bapak dan anak ini. Suaminya bila marah, akan lebih banyak diam dan membiarkan masalah itu menguap perlahan. Terpendam begitu saja. Dan suatu ketika, seperti sekarang ini, akan meledak. Karena, dari dulu, apabila menyangkut Trinil, Areta selalu diberi janji, bukan bukti.

“Kamu mau apa ke Trinil ?”

“Ke rumah nenek.”

“Bukannya kamu mau ke museum aja. Kalau tidak nginap di rumah nenek bisa kan ? Ibu tahu kamu kuat perjalanan pergi pulang. ”

Areta meradang. Memangnya, ada masalah apa sih antara ketiga orang itu nenek, ayah dan ibu ? Sejak kecil Areta kerap menanyakan neneknya, seperti halnya anak normal lainnya. Tapi orang tuanya tak pernah memberi jawaban apalagi harapan untuk bisa ‘berlibur ke rumah nenek’.

“Tapi aku juga mau ketemu nenek. Dia itu kan nenekku, Bu. Semua temanku sering berkunjung ke neneknya, masa aku tidak ? Bahkan temanku ada yang dibuatkan baju hangat rajutan neneknya. Aku mana ?”

“Kamu bisa beli di toko. Lebih bagus dan banyak pilihan.”

Areta menghentakkan kakinya. 

“Kamu ke Trinil pas acara itu saja, “ sahut ayahnya.

“Acara apa ?” tanya Areta dan ibunya serempak.

“Napak tilas itu.”

Areta mendengus. Ibu bangkit dari kursinya dan menuju ruang kerjanya. Para pelayan dan pembantu sudah siap memberikan laporan. Dan ayah langsung menuju ke kamarnya. Tinggal Areta di meja makan. Bahkan makanan di piringnya belum terjamah. Mimi, kucing ibunya mengeong di dekat kakinya. Areta menyaduknya kesal. Kalau sampai ibu tahu apa yang dilakukannya pada kucing Anggora itu, ibu bisa murka. Tapi, bukankah percuma saja. Bahkan kucing kesayangan itu cuma mendapat jatah satu menit dielus oleh majikannya. Selebihnya, para pembantu yang mengurusnya.

Areta bangkit dari meja makan. Menuju kamarnya dan sengaja membanting pintu. Dan hiburannya saat sudah kesal, adalah komputer. Berharap Harry sedang online. Dia ingin menanyakan kebenaran berita napak tilas itu. Dan apakah Harry akan hadir di sana.

Chatbox Facebook berkedip. Andri. Areta merutuk kesal. Kenapa lelaki yang tidak diharapkannya itu selalu muncul saat di saat yang tidak tepat, walau cuma pesannya saja. Areta membalas pesan Andri, tanpa membaca pesan sebelumnya. Pasti isinya puisi-puisi konyol.

Andri, kamu punya nenek ?

tentu dong.

Anak ini, apa dia selalu online 24 jam ? Selalu dengan cepat membalas pesan Areta. Atau dia memang selalu menunggu Areta ?

kamu tentunya hafal silsilahmu ya >

silsilah ? jangan ditanya. Keluargaku selalu mengadakan arisan tiap tiga bulan. Wuih, yang datang sampai ratusan. Kami bahkan harus menyewa gedung kalau hari raya.

benarkah ?

Areta merasa iri pada Andri. Sejurus kemudian, Andri men-tag-nya sebuah gambar. Judulnya Reuni Bani Said ke -35. Areta menelan ludah. Bahkan foto itu penuh sesak oleh berjubelnya keluarga yang tampak hangat. Besar kecil, tua muda, dengan berbagai gaya. Dan ada satu nenek tua duduk di kursi roda, di tengah.

yang di tengah itu nenekmu ?

itu buyutku. Masih cantik kan ? Itu aku di dekatnya, pakai kaos coklat.

Areta tertegun. Bahkan Andri memakai seragam basketnya saat reuni keluarga. Dasar sok. 

kamu hafal semua nama mereka ?

tentu doonggg. Andri. Kalau gak hafal, mereka gak ngasih angpau kalau hari raya. Hehehe ….

silsilahmu ? kamu hafal juga ?

mau sampai mana ? sampai nabi adam atau sampai Phitecantropus ? aku punya susunannya di rumah. Kalau mau, tak fotokan, spesial buat kamu.

Areta tersenyum. Anak ini kembali menyinggung hal itu. Dan Areta teringat, dia belum memberikan jawaban pada Andri tentang kesediannya jalan bareng dengan Andri. Soal susunan silsilah itu, Areta yakin Andri terpaksa menuliskannya, karena dia gak mungkin hafal orang sebanyak itu. Otaknya hanya berisi bola basket.

OoO