Try new experience
with our app

INSTALL

Gerbang Trinil 

Bab 2 - Andri

Sekotak es krim coklat vanilla. 

Areta tertegun menatap benda itu di hadapannya. Tepat di atas meja yang sebelumnya hanya berisi dua buah buku tebal. Satu masih dalam kondisi tertutup, satunya lagi tengah ia baca. Tak hanya sekadar sekotak es krim, seorang cowok bergaya (sok) maskulin, berdiri di depan Areta, memasang senyum terbaiknya. Satu kancing bajunya dilepas. Dan kedua lengan baju seragamnya dilipat-lipat, hingga ketiaknya nyaris kelihatan (untung, cowok ini termasuk B3 = bebas bulu dan bau!). Sepertinya, dia kegerahan.Tapi, bukankah perpustakaan ini full-AC?

“Apa ini?” tanya Areta. Tentu, dia tahu benar kalau kotak itu berisi es krim, namun maksud sesungguhnya pertanyaannya adalah : “Untuk apa ini? Mau menyogokku?”

“Es Krim. Kau bisa baca tulisannya kan?”

Areta tersenyum. Entah kenapa, otaknya mampu menebak persis apa yang bakal menjadi jawaban (pertanyaan retoris, lebih tepatnya) cowok itu. Namanya Andri. Dia anak kelas 10.5. Areta tidak begitu kenal. Juga belum pernah ngobrol dengan Andri sebelum ini. Apa yang (hanya) ia ketahui, cowok itu jago basket. Setiap manusia punya potensi berbeda. Dan potensi cowok ini, terlihat jelas dari kekar tubuhnya juga kelihaiannya memasukkan si bundar ke dalam ring basket. Namun, baru hari ini Areta melihat kemungkinan bahwa cowok ini juga punya potensi lain yang lebih “berbahaya”. Terlihat dari mimik wajah, sorot mata juga gesturnya. Merayu. Ya. Insting Areta langsung bekerja, meyakinkan otaknya bahwa cowok ini memang tengah berusaha merayunya lewat perantara sekotak es krim itu.

“Untukku?” Tanya Areta. Andri mengangguk. Senyumnya belum lagi menguap dari wajahnya yang sebenarnya (lumayan) tampan. Hidungnya mancung, kulitnya cerah, dan sepasang alisnya lebat. Andri juga punya sepasang mata yang bola mata hitamnya dominan hingga sekilas wajahnya tampak inosens. Namun Areta tak percaya, kalau Andri seinosens tampangnya. Buktinya, mereka belum pernah bertegur sapa, juga tak pernah bicara apa pun sebelum ini, dan sekarang, tiba-tiba saja cowok ini menghadiahinya sekotak es krim.

“Maaf, aku tidak bisa membaca sambil makan es krim. Lagipula, di dalam perpus dilarang makan dan minum.” Ujar Areta, seraya menunjuk ke arah pengumuman larangan makan dan minum yang tertera di salah satu dinding perpustakaan.

Andri tampak sedikit terkejut. Mungkin, tak menyangka kalau Areta ternyata dengan tegas menolak pemberiannya. Namun, tentu saja Andri tak langsung menyerah.

“Maksudku memang untuk kau bawa pulang.”

“Di rumah ada. Banyak malah. Terima kasih deh.”

“Hm, aku kira kamu hanya pelit memberi. Nggak nyangka, kamu juga ternyata pelit menerima,” gumam Andri pelan, namun matanya tajam menatap Areta.

Areta menutup bukunya. Mulai merasa terusik. Apa sih maunya cowok ini? Apa sebelum ini, dia nggak pernah ditolak hingga responnya langsung sepedas itu? Areta tak ingin Andri berlama-lama ada di depannya. Cowok itu bisa jadi akan terus mengoceh, mengganggu konsentrasinya membaca. 

“Baik, aku terima es krimnya. Terima kasih ya.”

Areta bangkit dari kursinya. Memeluk buku yang hendak dipinjamnya, juga memegang erat kotak es krim yang terasa basah.

“Phitecantropus erectus ya ? Aku punya komiknya.”

Kalimat Andri membuat Areta mengurungkan langkahnya menuju meja Bu Eti. Lagipula, meja itu dan kursi di belakangnya masih kosong. Dan perpustakaan lengang. Bu Eti pasti masih berjalan-jalan di antara rak-rak buku. Kedua mata Andri masih tertuju lekat pada buku yang digenggam Areta. Namun bukan tatapan Andri yang mengusik Areta. Selama ini, Areta tak pernah tertarik membaca komik. Tapi apa benar ucapan Andri ya? Ada yang membuat komik tentang Phitecantropus?

“Kapan-kapan aku pinjam, boleh?” tanya Areta.

“Nggak perlu pinjem. Aku udah baca sampe tamat, berkali-kali, jadi aku akan memberikannya padamu.”

“Oh, thanks kalo gitu.” Ujar Areta, meski dalam hati merasa sedikit heran. Heran karena rasa penasarannya belum lagi terjawab. Penasaran akan maksud di balik keramahan Andri, juga penasaran terhadap ada tidaknya komik tentang Pythecanthropus.

Namun Areta segera mengabaikan rasa penasarannya, lalu bergegas menuju meja Bu Eti. Andri mengikuti di belakangnya. Ups! Areta langsung kaget, ketika sampai di depan meja Bu Eti, tiba-tiba saja kepala Bu Eti nongol dari bawah meja. Kekagetan itu membuat sepasang kaki Areta spontan melangkah ke belakang. Ups! Sesuatu yang hangat menahan sikunya kembali membuat Areta terkejut. Genggaman tangan Andri. Ya. Cowok itu ternyata telah dengan sigap dan reflek menahan tubuhnya yang bergerak mundur.

“Ma..maaf,” Areta sedikit tergagap.

“Tidak apa-apa.” Ujar Andri pelan. Membuat Areta tambah gugup. Cowok itu kini berada sangat dekat dengannya. 

“Andri? Sedang apa kamu di sini?” Pertanyaan Bu Eti langsung memutus kegugupan Areta, juga tangan Andri  yang refleks meninggalkan siku Areta. Ekspresi Bu Eti tampak tak kalah terkejut.

Keterkejutan Bu Eti bukan tanpa alasan. Ruangan sejuk dan penuh buku-buku, bukan tempat yang biasa didatangi Andri (bahkan mungkin saja tidak pernah, kalau bukan karena maksud tertentu yang super penting). Cowok itu lebih memilih berpanas-panas di lapangan basket, bermandi dengan peluh.

“Cari buku, bu” sahut Andri santai, seraya memasukkan kedua tangannya ke dalam kantong celananya.

“Mana buku yang mau dipinjam?” tanya Bu Eti.

“Nggak jadi. Nggak ada yang bagus.”

Bu Eti menggeleng-geleng. Areta sudah berdiri di samping mejanya, memasukkan sendiri data buku yang akan dipinjamnya. 

“Kamu bawa apa itu, Areta?” Kedua mata Bu Eti seketika tertuju pada kotak es krim yang ada dalam genggaman Areta. Mendadak, satu ide melintas dalam benak Areta.

“Es krim, bu. Untuk ibu.” Ucap Areta seraya tersenyum manis. Bu Eti langsung terbelalak senang, tak percaya. Ia baru saja membuka bibirnya, hendak mengucapkan terima kasih ketika tiba-tiba Andri berujar. “Maaf, Bu. Es krim ini, saya yang belikan...untuk Areta.”

Bu Eti menatap Andri, lalu Areta. Mata tuanya langsung dapat menangkap latar belakang sesungguhnya di balik gelagat pemberian sekotak es krim ini. Namun Areta tampak tak peduli. Senyum manisnya masih bertengger. “Tapi es krim ini beneran untuk ibu kok. Ya ‘kan, Ndri?”

Andri melongo saat Areta mengerling seraya tersenyum manis ke arahnya. Ia belum lagi sempat bilang apa-apa saat Bu Eti dengan cekatan meraih kotak yang dindingnya telah tambah basah itu seraya bilang terima kasih. Langsung menyimpannya ke dalam laci.

Areta segera beranjak bersama tumpukan buku di tangannya. Meninggalkan Andri yang tangan kekarnya spontan terarah ke rambut mohawknya. Lalu membuat gerakan menggaruk-garuk meski tak ada rasa gatal di sana. Reaksi Areta barusan benar-benar di luar dugaannya.

“Awas kamu, Areta. Asal kamu tahu, aku belum akan menyerah, “ Gumam Andri gemas seraya melangkah meninggalkan meja Bu Eti.

OoO
 

“Halooo! Any body hoome?” Seru Areta lantang begitu ia sampai di rumah. Tak ada jawaban. Mendadak, semangat Areta langsung luruh ke lantai. Rumah ini memang selalu sepi. Megah, mewah, besar dan luas, tapi tak ubahnya kuburan. Nyaris tak ada suara apa pun di dalamnya. Dan Mbak Menik yang sebentar lagi akan tergopoh-gopoh menghampirinya, bertanya apakah Areta sudah makan? Ingin dibuatkan juice buah-buahan atau tidak? Bagaimana di bis tadi? Apakah tidak diganggu preman atau pengamen? 

Pertanyaan yang nyaris berulang dari hari ke hari. Mbak Menik tak hanya sekadar asisten rumah tangga, tetapi juga diamanahkan oleh sang nyonya besar, alias ibu Areta untuk menjaga Areta. Ibu dan ayah Areta jarang sekali ada di rumah. Sementara di luar sepengetahuan mereka, Areta lebih suka pergi dan pulang sekolah naik bus daripada diantar jemput dengan mobil pribadi. Di dalam bus, Areta serasa mendapatkan kebebasan meski pun kondisinya jauh dari nyaman. Dan selama ini, Areta memang meminta orang-orang di rumah, termasuk Mbak Menik untuk merahasiakan hal ini. Ayah dan ibu selalu beranggapan, mereka sudah melindungi Areta dengan menyuruh supir pribadi mengawal Areta ke mana pun putri semata wayangnya itu keluar rumah. Padahal, Pak Dhiro supir keluarga mereka, boleh dibilang kerjanya hanya duduk santai saja di rumah jika orang tua Areta sedang tidak ada. Areta tak pernah mau menggunakan jasa Pak Dhiro.

“Non, Tuan dan Nyonya tidak pulang hari ini.” Mbak Menik langsung melapor.

“Hmm.” Areta hanya menggumam malas.

Areta membuka kulkas. Sekotak es krim yang sama dengan yang diberikan Andri tadi di perpustakaan, menunggu dengan manisnya di dalam freezer. Bagaimana mungkin Andri bisa tahu es krim kesukaannya? Areta penasaran. Namun tak lama, ia segera membawa kotak es krim itu ke kamar. Areta lalu menghidupkan laptop, berharap Harry tengah online meski mereka tidak membuat janji sebelumnya. 

Chatbox facebook berkedip-kedip, memunculkan angka 1. Andri.

Hai, Reta !

Areta tak hendak menjawab. Malas. Di saat bersamaan ponselnya berbunyi. Paling-paling itu ayah atau ibunya, mengecek apakah dia sudah di rumah atau belum. Dugaan Areta meleset.

Cihuy, dia dah nembak kamu kan …

SMS dari Dian teman akrabnya yang juga sekelas dengan Andri. Areta akrab dengan Dian karena mereka berasal dari SMP yang sama. Selain Dian, sahabat akrab Areta di sekolah, jumlahnya dapat dihitung dengan sebelah tangan. Areta memang telanjur dicap sombong dan eksklusif, apalagi, hobinya nongkrong di perpustakaan ketimbang tempat-tempat favorit cewek seperti kantin dan lapangan basket.

Hmm. Gosip cepat sekali tersebar,gumam Areta dalam hati. Padahal, tidak ada apa pun yang terjadi. Atau, jangan-jangan seisi kelas Andri sudah tahu rencana Andri yang bakal menembaknya dengan sekotak es krim di perpus?

Ponsel Areta berbunyi lagi. Masih SMS dari Dian.

Katanya dia mau ngirimin kamu foto dia versi Phitecantropus.

Areta langsung tertawa terbahak-bahak. Haruskah segila itu bila mendekati seseorang? Bahkan walau dia berdandan ala manusia purba, Areta tidak akan tertarik. Kalau sudah menjadi tulang belulang, mungkin iya. Areta tertawa lagi membayangkan imajinasi jahatnya sendiri.

Teringat tulang belulang, Areta langsung teringat Harry. Sayang, Harry tengah offline, kalau tidak, ia pasti sudah bertanya lagi tentang Alien tempo hari. Sudah seminggu berlalu, tentu, Harry punya kabar yang lebih seru dari penemuan materi logam di dalam fosil Pythecanthropus yang berhasil ditemukan oleh ayahnya.

Sebuah notifikasi muncul di beranda facebooknya. Areta menggerakkan mousenya. Ternyata Andri mengirim foto ke timelinenya. Walau tidak berminat, Areta mengkliknya juga. Sesaat, Areta tertegun. Rekayasa fisik Phitecantropus dengan memakai baju perang ala masa depan, terpampang jelas di wall timelinenya. Sejak kapan Andri pintar mengaduk-aduk photoshop untuk menghasilkan gambar se-futuristik itu? Apalagi, terdapat background UFO raksasa di belakangnya.

Akhirnya Areta pun mengalihkan mousenya ke Chatbox Facebook, membalas sapaan Andri.

  hai juga. Fotonya bagus. Dapat dari mana ?

Andri membalas dengan cepat. 

ada deh.

Areta berpikir sejenak. Dian bisa tahu kalau Andri akan menembak dia dan mengirimi dia foto Phitecantropus ini, berarti anak sok maskulin itu sudah woro-woro. Bisa jadi woro-woro ke seantero sekolah. Payah. Tunggu dulu … bukankah Dian jagonya photosop ?

Areta menyambar ponselnya dan membalas sms Dian.

Dian, kamu kan yang ada di belakang semua ini ?

Dian membalas dengan cepat, pertanda ponsel melekat di tangannya.

Suerr, bukan aku…Andri itu yang enggak banget. Enggak tahu diri maksudnya. Kalau nembak kira-kira dong …

Areta hampir mengumpat. Begitu dituduh, Dian langsung berkelit. Padahal sms sebelumnya sudah jelas menyatakan bahwa dia setuju dengan tingkah Andri. Tapi, foto itu. Kenapa harus Phitecantropus versi alien ? Apakah Andri juga berteman dengan Harry ? Areta bergegas mencari nama Harry Dubois di friend list yang berjumlah 4545 orang. Tidak ada, berarti mereka tidak berteman. Ternyata, anak ini potensi sosialnya lumayan, walau cuma di  facebook. Tapi, sepanjang pengetahuan Areta, anak ini memang cukup terkenal. Tidak hanya di sekolah mereka, tapi juga di sekolah-sekolah lain. Dan dia selalu bergaya sok maskulin, walau level kemaskulinannya 3 dari rentang 1 sampai 10. Gambar profilenya saja si Keanu Reeve dengan jubah hitamnya. Kayaknya, Andri kagum sekali pada sosok itu. Namanya saja pakai the one.

Areta mencari sekali lagi nama Harry Dubois. Beruntung kecepatan internetnya adalah kecepatan maksimum berlangganan di sebuah provider, kecepatan yang mubazir sebenarnya untuk Areta seorang. Tidak ada Harry Dubois yang menjadi teman yang sama Areta dan Andri. Tapi, mengapa begitu kebetulan ?

  Dibuatin Dian, kan ?

Sorry. 

Mengapa harus Phitecantropus ? Kenapa bukan Keanu Reeve ?

Karena aku tahu, kamu lebih suka manusia purba itu daripada si Keanu Reeve.

Areta tak hendak melanjutkan perbincangan. Andri berusaha membuatnya penasaran, untuk selalu mengejarnya. Sebaiknya tidak usah diladeni, atau anak itu akan semakin besar kepala. Sejurus kemudian, Andri mengganti gambar profilenya dengan foto Phitecantropus tadi.

Dasar manusia purba ! Areta merutuk kesal.

OoO

Tidak semua cowok ganteng itu menyenangkan, dan tidak semua cowok yang menyenangkan itu ganteng. Sayang, Areta tidak pernah tahu wajah Harry sebenarnya. Cowok yang menyenangkan bagi Areta. Areta hanya bisa mereka-reka wajah Harry dari gambar kakek buyutnya, walau tidak seperti para ilmuwan mereka-reka gambar Phitecantropus. Hm, bisa jadi, si Phite sosok yang tidak ganteng dan tidak menyenangkan, atau malah ganteng dan menyenangkan. 

Tidak ada makhluk yang sempurna. Apalagi Andri. Meski kekekaran tubuhnya membuat gadis-gadis di Persada Pertiwi berdecak kagum ( kecuali Areta seorang ), prestasinya tim basketnya menambah sesak lemari piala di sekolah, tapi otaknya padat alias tidak encer. Mungkin karena rambut mohawknya, atau karena keningnya yang tidak luas. Yang jelas, dia tidak seganteng Keanu Reeve. Juga tidak menyenangkan.

Sebuah komik yang dijilid ulang dengan lakban. Tapi masih ada beberapa lembar yang muncul, tidak rapi. Pertanda komik ini sudah beribu kali dibaca, atau malah dijadikan lempar-lemparan.

“Buat kamu. “

Areta melirik sekilas. Kali ini, tidak ada sekotak es krim. Tapi kancing atas masih dilepas dan lengan baju masih dilipat-lipat. Bahkan kerah bajunya ditegakkan. Jujur, Areta lebih suka melihat Andri dengan seragam basketnya, daripada seragam putih abu-abu ( yang diperlakukan dengan tidak hormat itu ).

“Ini komik Phitecantropus yang kujanjikan.”

Hm, kenapa tidak membelikan yang baru untuk memikat wanita ? Tapi Areta menampik lintasan pikirannya. Dia memang matre soal buku. Areta meraih buku itu. Tidak bisa melihat judulnya dengan jelas, karena sudah buram. Sepertinya, buku ini pernah terendam air bercampur pemutih dan deterjen, lalu dijemur di genteng. Karena musim hujan, lalu dikeringkan dengan seterika. Areta membuka sampulnya dengan ujung pensilnya. 

“Buku itu sudah kucuci bersih, jadi gak mungkin ada virusnya.”

Areta melirik Andri. Anak itu rupanya tersinggung dengan caranya membuka buku itu. Dan, benar dugaan Areta. Buku ini benar-benar telah dicuci. Areta pun ber-hore dalam hati, setidaknya insting Palaentologist-nya mulai terasah. Hanya dengan melihat saja.

“Beginilah cara arkeolog memperlakukan benda-benda sejarah, Andri. Tidak langsung memegang dengan tangan. Atau bukti sejarah itu akan hancur tak berbekas.”

Andri hendak melengos kesal, tapi berusaha ditahannya. Susah payah dia mencari komik itu di gudang rumahnya, dan menemukannya bertahtakan kotoran tikus dan beraromakan pipis tikus. Untung saja, tikus itu tidak menggigiti buku itu. Jadi, Andri masih punya harga diri bahwa buku itu layak dipersembahkan pada Areta.

Jadi, Andri menunggu Areta membaca bukunya, seraya mengamati raut wajah manis itu. Sebelumnya, dia tidak mengenal Areta. Areta tak pernah hadir di tepi lapangan seperti cewek-cewek lain. Berteriak-teriak histeris kala dia berhasil memasukkan bola ke keranjang basket. Mengelu-elukan namanya, saat berhasil membawa piala. Berdecak kagum saat dia berjalan di lorong-lorong Persada Pertiwi. Menyapanya di facebook dengan genit. Tapi, gadis sepintar Areta, justru bersemayam di perpustakaan, menenggelamkan wajahnya di antara buku-buku tebal.

Kening Areta berkerut, bibirnya naik turun. Dia semula tersenyum, tapi akhirnya tampak sekali kalau dia menahan tawa.

“Gimana ? Bagus kan ?”

Areta hampir tersedak, antara menahan tawa atau terbatuk. Andri bingung melihat reaksi Areta. 

“Jadi, kamu suka buku-buku seperti ini ?”

Andri sedikit bernafas lega, walau Areta tidak memberikan jawaban.

“Aku membelinya waktu SD. Tidak kusangka kamu ternyata penggemar Phitecantropus juga. Makanya, buku ini buat kamu saja. Buku ini sudah tidak ada lagi di toko buku. Untung aku menyimpannya selama ini.”

Areta tak bisa lagi menahan tawa. Dia membungkam mulutnya, karena di perpus tidak boleh berisik. Bu Eti melirik mereka berdua dari balik mejanya. Matanya penuh curiga, tapi Areta tidak peduli. Dan, di luar perpus, dari balik kaca yang tidak begitu buram, Areta melihat segerombolan anak berdesak-desakan. Saat Areta melihat mereka, bergegas mereka menundukkan badan, hingga Areta tidak bisa melihat mereka. Sepertinya mereka mengintip Areta dan Andri.

Hm, ternyata Andri ingin menunjukkan pada teman-temannya, bahwa dia bisa menundukkan Areta. Sayang, dia tidak punya teknik yang tepat. Apalagi dengan buku komik yang layak masuk museum ini. Sebuah komik anak-anak, dengan tokoh manusia purba kembar bernama Pite dan Pete. Berlari ke sana kemari, membawa gada dan berpakain daun berumbai.

“Aku suka si Pete. Kamu ?”. Andri menatap Areta dengan mata inosensnnya.

Areta tak hendak tergelak lagi. Dia sudah cukup menahan tawa, yang menyebabkan perutnya mulas, dan pipinya kram.

“Aku suka si Phite. “

Andri tersenyum senang. Dia membetulkan krah bajunya, semakin menegakkannya. Beruntung bagi dia, Bu Intan, guru BP sedang cuti melahirkan. Beliau yang paling cerewet bila seragam putih abu-abu tidak diperlakukan dengan hormat. Bu Intan guru yang paling dibenci gadis-gadis Persada Pertiwi, karena kerap menyita asesoris yang berlebihan.

“Oke, kalau gitu, kapan kita jalan ?” tanya Andri percaya diri.

Apa ?? 

Areta mendelik. Bu Eti yang tiba-tiba sudah berdiri di dekat mereka, seolah hendak roboh menimpa rak-rak di belakangnya. Rupanya, dia menguping sejak tadi.

OoO