Contents
Gerbang Trinil
Bab 1 - Areta
Kotak tipis segi empat itu tak lebih dari selembar layar datar. Namun milyaran manusia di planet ini tahu benar bahwa kotak itu mampu “melakukan” jauh melampaui bentuknya yang kaku. Hanya dengan beberapa kali menggerakkan jari jemari, kau bisa berkeliling dunia tanpa perlu benar-benar pergi ke sana. Kau juga akan menemukan apa yang kau inginkan cukup dengan mengetikkan namanya. Bahkan kau juga bisa melihat wajah-wajah yang hidup di jaman sebelum engkau lahir, memelototinya sampai puas, berkhayal bahwa kau pernah bertemu atau bercakap-cakap dengannya.
Dan Areta sudah melakukannya lebih dari seperempat jam! Sepasang mata bundarnya tak juga beranjak dari monitor di hadapannya. Fokus menatap satu wajah yang terpampang di sana. Wajah yang berbeda dengan wajahnya kala muda. (Areta bahkan mengikuti benar metamorfosis wajah itu sejak masih berwujud seraut wajah tampan nan licin). Wajah itu kini tampak lebih santun. Lengkap dengan seulas senyum menghiasi bibirnya yang tertutupi sebagiannya oleh kumis tebal. Keningnya lebar dan bersambung dengan botak kepalanya. Padahal dulunya ia memiliki rambut lurus yang cukup lebat. Disisir rapi ke belakang. Ada belahan yang juga rapi pada bagian kiri dan kanan puncak kepalanya. Kata nenek, orang dengan kening lebar seperti itu pertanda orang pintar. Reflek, Areta meraba keningnya. Lebar. Bahkan luas. Apalagi bila rambut sebahunya dikuncir kuda seperti sekarang. Cukup untuk pendaratan pesawat Boeing, demikian Dudi anak tetangganya sering meledeknya. Tapi Areta tak pernah peduli pada kening lebarnya. Juga sama tak pedulinya dengan ejekan itu.
Kepedulian Areta masih sama. Pada wajah yang masih juga belum bosan ia tatap dan amati lekat-lekat. Areta menghela napas panjang. Wajah itu, reflek melayangkan ingatannya pada Harry Dubois. Teman dunia mayanya tiga bulan terakhir ini. Semula, Areta hanya tertarik pada namanya. Berharap, Harry Dubois memiliki hubungan kekerabatan dengan Eugene Dubois, lelaki yang gambarnya tak lepas dari pandangan Areta sejak bermenit-menit lalu itu. Secara mereka memiliki kesamaan nama depan, juga struktur garis wajah yang mirip. Namun Areta baru berani menanyakannya sebulan lalu. “Untung”, harapan Areta tak jauh meleset. Harry memang salah satu cicit dari Eugene. Namun entah kenapa, Harry enggan bicara banyak tentang Eugene. Areta juga, sejauh ini tak berani bertanya banyak tentang Eugene pada Harry meski telah sejak lama ia sangat penasaran dengan sosok Eugene Dubois. Sejak ia mulai tergila-gila pada kisah penemuan fosil-fosil manusia purba dengan salah satu penemuannya yang spektakuler di tanah Jawa.
Kriinggg! Areta tersentak. Jam istirahat usai sudah. Areta mengentakkan kakinya keras-keras. Ia kesal. Tak hanya karena keasyikannya berkelana di dunia maya harus berakhir, tetapi nyaring bunyi bel itu kerap kali membuat gendang telinganya serasa mau pecah. Harusnya, bunyi bel itu lebih diperlembut. Atau dikurangi volumenya. Ia yakin, siapa pun yang punya riwayat penyakit jantung, saat mendengarnya bisa terkena serangan jantung mendadak. Atau bahkan tewas seketika. Hiii!
Areta mematikan komputer di hadapannya, sejenak mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Sepi. Selalu saja, dia adalah siswa terakhir yang meninggalkan perpustakaan. Untungnya, alasan berada di perpustakaan juga adalah alasan paling dimaklumi, alias terbebas dari risiko dimarahi bila terlambat masuk kelas. Apalagi dengan dibarengi kedua tangan yang memeluk erat buku-buku tebal yang sudah dipinjam. Sebagai siswa pintar, tentu, harus cerdas pula mencari alasan agar jam istirahat bisa dinikmati lebih lama.
“Pinjam buku lagi, Reta ?”
Sapaan Bu Eti, petugas perpustakaan sekolah, tak urung membuat Areta terkejut. Bu Eti memang jarang sekali duduk diam di kursinya. Ia lebih suka berjalan-jalan dan aktif bergerak termasuk mengemasi buku-buku yang berserakan di rak. Tulisan ‘Sudah Membaca Buku harap dikembalikan Ke tempatnya semula’ yang terpampang besar-besar pada karton di dinding, sepertinya memang hanya untuk ditempel dan dibaca, bukan untuk dipatuhi saksama. Buktinya, hampir setiap hari Bu Eti harus mengembalikan buku-buku pada rak yang benar. Sudah tak terhitung berapa kali Bu Eti menemukan Buku Sastra yang terselip di tengah buku-buku tentang cara memelihara hewan di rumah, atau pun buku manual program komputer yang nangkring dengan manisnya pada rak buku-buku psikologi.
Kebiasaan Bu Eti ini juga yang sering kali mengejutkan Areta. Ia memang selalu beranggapan bahwa sampai kapan pun dirinya akan selalu menjadi penghuni perpustakaan yang terakhir. Namun harus diakuinya, Bu Eti adalah orang yang paling sering menegurnya, memberi perhatian bahkan melebihi ayah dan ibunya. Raut wajahnya juga seakan tengah tersenyum meski pada kenyataannya ia tidak tengah mengukir senyum. Juga tubuh suburnya, kerap membuat Areta ingin sekali rebah di dadanya. Sepertinya itu akan sangat menyenangkan, menghangatkan. Sesuatu yang sesungguhnya amat Areta rindukan dari ibunya namun tak pernah ia rasakan meski tubuh ibunya juga tak kalah subur dari Bu Eti.
Dengan ayah dan ibunya, Areta yakin sepuluh jarinya masih cukup untuk menghitung, berapa menit yang mereka luangkan untuk bicara dengannya dalam sehari. Tapi Bu Eti, bisa meluangkan waktu lebih dari lima belas menit dalam sekali ngobrol. Pada awalnya Bu Eti hanya sekadar bertanya buku apa yang dipinjamnya. Namun biasanya akan berlanjut, menjadi obrolan tentang buku, tentang tanaman, tentang masakan, tentang apa saja. Mungkin, karena Areta juga siswa yang paling rajin mengunjungi perpustakaan, dan tak pernah keberatan meladeni obrolan Bu Eti.
Reta menoleh sekilas, saat mata Bu Eti tak juga lepas dari judul buku yang tercetak besar pada buku tebal yang ia bawa. Buku itu ia letakkan di atas meja Bu Eti. Lalu dengan cekatan jemarinya mulai menggerakkan mouse yang ada di depan komputer Bu Eti. Saking seringnya Reta meminjam buku perpustakaan, Bu Eti sudah percaya benar padanya untuk memasukkan sendiri data peminjaman buku di komputer. Kalau siswa lain, jangan berharap bisa. Mereka harus menunggu sampai Bu Eti selesai “berjalan-jalan” dan mengemas-ngemas sebelum kembali duduk manis di kursinya, baru dilayani.
“Masih saja Phitecantropus?”
Reta hanya tersenyum. Mengabaikan tatapan heran Bu Eti juga kepala wanita itu yang menggeleng pelan. Yes! Areta berseru dalam hati saat ketukannya pada papan enter sukses menampilkan identitas buku juga tanggal peminjaman pada tabel data di komputer.
“Terima kasih, bu. Saya masuk kelas dulu.” Ucap Areta riang sebelum berlalu. Genggamannya pada buku tebal itu kian ia pererat, sementara langkahnya berangsur ia percepat. Bu Eti menatap kepergian Areta sampai lenyap dari pandangannya. Bu Eti selalu tak habis pikir dengan Areta. Gadis itu, tidak seperti gadis seusianya. Gadis-gadis SMU, pada umumnya lebih sibuk dengan asesoris yang menghiasi sekujur tubuhnya. Bicara tentang grup band yang sedang naik daun. Berburu tiket konser. Juga bersaing mendapat cowok paling keren di sekolah ini.
Tapi Areta, dunianya seperti hanya berputar pada buku-buku dengan perpustakaan sebagai orbitnya. Areta meminjam buku hampir setiap hari. Menghabiskan jam istirahat dengan berkelana di dunia maya mengandalkan fasilitas internet yang tersedia di perpustakaan. Namun herannya, Areta selalu tepat waktu saat mengembalikan buku, malah terkadang mendahului batas waktu peminjaman, hingga Bu Eti sulit menebak berapa kecepatan gadis itu untuk menamatkan satu buah buku. Bu Eti juga sudah hapal kebiasaan Areta. Gadis itu lebih tertarik pada buku-buku yang membahas tentang tulang belulang Phitecantropus. Dan sudah beberapa hari ini, diam-diam Bu Eti mengamati Areta yang tengah menekuri foto Eugene Dubois sampai lama di monitor komputer perpustakaan, seolah-olah lelaki tua itu pangeran yang akan datang meminangnya. Mungkinkah gadis itu juga mendambakan untuk sejenak hidup pada jaman purbakala? Entahlah. Bu Eti mematikan komputernya. Dengan layar terakhir yang menampilkan begitu banyak nama Areta pada tabel data peminjaman, juga judul buku yang muncul dalam frekuensi nyaris sama seringnya : The History of Pythecanthropus Erectus.
OoO
Halaman dan koridor di sepanjang SMU Persada Pertiwi tampak lengang. Beberapa guru tampak berjalan menuju kelas masing-masing, siap melaksanakan tugas untuk mengajar. Sebagian besar kelas, pintu-pintunya bahkan sudah tertutup. Pertanda bahwa pelajaran telah dimulai sejak tadi. Setengah berlari, Areta menuju kelasnya yang terletak paling ujung di sayap kiri bangunan sekolah.
Tok tok tok!
“Masuk.” Suara Pak Satria yang berwibawa menyahut dari dalam. Areta memutar pegangan pintu. Pria berkaca mata tebal itu tengah berdiri di depan kelas, sesaat menoleh dan menatap ke arahnya dengan tatapan tajam.
“Dari perpustakaan Pak.” Ujar Areta tenang seraya meninggikan posisi buku dalam pelukannya sebelum Pak Satria sempat bertanya. Pria itu tak menjawab, selain hanya memberi isyarat pada Areta untuk segera duduk di kursinya.
Pak Satria Wibawa. Sosoknya memang cocok sekali dengan namanya. Tubuhnya gagah dan kekar, suaranya lantang dan seakan bergema setiap kali berbicara di depan kelas. Tapi kegalakannya yang tak main-main, membuat nama itu terkesan terlalu keren untuknya. Pak Satria adalah wali kelas Areta, selain itu, beliau juga adalah guru sejarah yang mengajar di kelas sepuluh dan sebelas.
“Bapak tidak habis pikir dengan nilai-nilai ujian kalian! Menyedihkan!”
Seruan Pak Satria yang membahana seakan memantul ke segenap dinding kelas. Membuat punggung-punggung berseragam putih abu-abu itu semuanya serentak melengkung dan membungkuk. Tak ada yang berani duduk tegak apalagi mengangkat kepala. Semua mata sepakat tertunduk menatap permukaan meja masing-masing. Seperti para pengawal kerajaan yang gagal menjalankan tugas dan siap menerima hukuman, tapi juga dalam hati tidak ingin mendapat hukuman yang berat-berat. Siang Sabtu yang menyedihkan.
Hanya Areta satu-satunya yang wajahnya terbebas dari ekspresi takut, meski begitu, ia tetap bersikap “solider” dengan ikut-ikutan menunduk. Areta yakin kalau nilainya pasti bagus. Dia sangat menyukai pelajaran sejarah, dan selama ini pun, nilai-nilai ujiannya juga nilai rapornya tidak pernah jelek.
Terkadang Areta berpikir, juga berharap bahwa Bu Eti-lah yang idealnya menjadi wali kelasnya. Bukan Pak Satria yang hobi marah-marah dan tahu betul kalau efek suaranya mampu membuat nyali siapa pun akan menciut. Areta ingat, Bu Eti pernah memapahnya dari perpustakaan menuju UKS saat ia mengalami sakit perut luar biasa sehingga kedua lututnya terasa goyah, tak sanggup berjalan, juga bulir-bulir keringat jagung deras membasahi wajah dan sekujur tubuhnya. Setiap hari pertama menstruasi, Areta memang selalu mengalami kesakitan luar biasa pada perutnya. Namun Areta tak pernah memberitahukan hal ini pada ayah dan ibunya.
“Areta Prameswari!”
Areta terkejut. Jantungnya berdebar kencang seketika. Sudah menjadi kebiasaan Pak Satria untuk memanggil pertama kali siswa yang nilainya paling rendah seraya mengacungkan kertas ujian tinggi-tinggi. Areta tidak pernah dipanggil pertama untuk menerima hasil ujian. Ia dapat dipastikan selalu mendapat kertas ujiannya pada urutan terakhir.
“Areta ! Kamu tidak dengar ?”
Suara Pak Satria kembali menggelegar. Areta bangkit dari duduknya, berjalan ragu menuju ke depan kelas. Menyadari bahwa kepala-kepala yang tadinya tertunduk mulai terangkat, memandang heran ke arahnya, juga mulai terdengar kasak kusuk dalam versi bisik-bisik dan gumaman meremang di sana-sini. Sesampai di depan, Areta mendapati tatapan Pak Satria yang tertuju padanya tajam, membuat sebagian organ tubuhnya, terutama bagian lutut dan perut, tak urung terasa bergetar (efek tambahan karena Areta sudah kelaparan, sebenarnya). Tak pernah sekali pun melintas dalam benak Areta, dalam sejarah hidupnya yang selalu berprestasi bakal memperoleh nilai ujian terburuk. Untuk pelajaran sejarah lagi. Pelajaran favoritnya!
“100! Nilai sempurna! Terbaik pararel!”
Areta hampir terduduk lemas. Baru kali ini Pak Satria “mengerjai” para siswa – terutama dirinya – dengan mengumumkan secara terbalik. Areta meraih kertas ujiannya dari tangan Pak Satria. Pria itu tak mengucapkan apa-apa, juga tak ada senyum di bibirnya. Areta kembali ke tempat duduknya, seraya sekilas melihat angka seratus yang tertera dalam ukuran besar di atas kertas ujiannya, ditulis dengan spidol merah pula !
“Yang lain … kerjakan tugas Sejarah yang saya berikan minggu lalu, harus selesai sekarang juga! Setelah itu ambil kertas ujian masing-masing di meja saya. Heran, 35 siswa, hanya satu orang dengan nilai sempurna, yang lain jeblok semua!”
Seiring berakhirnya dumalannya, Pak Satria melangkah keluar kelas. Tak ada yang berani meramalkan berapa lama Pak Satria akan berada di luar. Namun kepergian Pak Satria itu tak urung diikuti koor riuh suara kecewa dari seisi kelas. Koor yang lumayan bising. Beberapa langsung berpaling ke arah Areta, menatap tidak senang. Tak sedikit yang bergumam atau mengumpat dalam hati. Karena hanya Areta yang terbebas dari tugas. Juga sebersit rasa iri, atas keberhasilan Areta untuk kesekian kalinya memperoleh angka sempurna dalam ujian sejarah.
“Hei, yang makan tulang teman !”
Areta menoleh. Itu suara Silvi. Gadis yang duduk persis di belakang bangkunya, kerap menimpuknya dengan gulungan kertas kecil atau pun menarik ekor kudanya saat ujian dengan tujuan meminta contekan, namun selama ini Areta belum merasa terpanggil untuk memenuhi permintaan itu.
Kali ini pun, Areta tidak memedulikan Silvi. Areta segera membuka buku tebal yang tadi ia pinjam di perpus, dan dalam sekejap saja ia sudah tenggelam. Tak peduli keadaan sekeliling yang mulai riuh dengan para siswa yang sibuk mengerjakan tugas Sejarah. Seharusnya mereka tak perlu ribut jika memang rasa percaya diri mereka cukup besar. Masalahnya, dalam waktu yang hanya tinggal setengah jam lagi, mencontek teman dianggap solusi terbaik. Dan mereka tahu persis kalau Areta tak akan mau memberikan contekan meski disogok apa pun. Atau diancam apa pun. Maka yang menjadi sasaran adalah Rina, Febi dan Indira, teman-teman yang juga langganan lima besar juara kelas meski tak pernah mengungguli nilai Areta.
Payah. Areta menggeleng pelan-pelan seraya tersenyum kecil. Mengapa sejarah menjadi pelajaran yang begitu menakutkan untuk sebagian besar teman-temannya, sungguh Areta tidak habis pikir. Padahal, semua jawaban sudah pasti ada di dalam buku teks. Asalkan dipelajari sebelumnya, pasti tidak akan menemui kendala. Mungkin karena Pak Satria terlalu galak, sehingga setiap ucapan lantangnya selalu membuat siswa kalah telak sebelum bertanding. Tapi bagi Areta, sejarah tidak terkait dengan Pak Satria. “Kelebihan” Pak Satria hanyalah ia membaca dan mempelajari lebih dulu dari murid-muridnya. Areta yakin dia pun bisa menjadi seperti Pak Satria. Hanya soal waktu.
Lagipula, bukankah dengan sejarah, kita bisa belajar dari pengalaman dan peristiwa masa lalu, seperti yang dikatakan oleh Bung Karno, bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah bangsanya sendiri. Lha, bagaimana mau menghargai, kalau terhadap tugas sejarah saja, sudah ketakutan setengah mati?
“Hei, kau tahu apa yang akan terjadi pada manusia pelit ?” tanya Silvi yang tiba-tiba sudah berdiri di sebelahnya, “Kalau dia mati, tidak akan ada yang mengusung mayatnya. Menggelinding saja sendiri ke kuburan.”
Terdengar suara tawa yang keras lagi sangat buruk untuk didengar (namanya juga tertawa mengejek bercampur iri dan sebal). Areta tidak bereaksi, walau telinganya terasa panas. Kalau saat ini ia ada di balik kaca televisi dan menjelma tokoh kartun, pastilah emosinya sudah tervisualisasikan dalam gambar bergerak berupa asap berwarna merah yang keluar mengepul-ngepul dari kedua genderang telinganya. Percuma saja meladeni Silvi, tidak akan mendapat hasil apa-apa selain kian memancing emosi gadis itu juga omelannya yang kian berkepanjangan.
“Atau alam akan menguburnya seperti Phitecantropus kegemarannya!” Silvi ternyata belum puas meledek, apalagi dengan reaksi Areta yang tetap cuek.
Kriing!
Bel berbunyi. Silvi menggebrak meja dengan raut penuh kesal. Agaknya ia belum selesai mengerjakan tugas. Areta hanya melirik sekilas. Seberingas apa pun Silvi, gadis centil itu tidak akan berani menyentuhnya. Selain hanya merutuk dan mengejeknya.
Ayah Areta, adalah anggota Komite sekolah yang cukup berpengaruh. Walau tak pernah hadir dalam rapat-rapat Komite Sekolah, tapi dia bisa mengganti kehadirannya itu dengan kucuran dana yang lumayan besarnya. Jadi, posisi Areta di sekolah ini cukup aman. Namun Areta tak ingin mengandalkan orang tuanya. Apa pun bisa terjadi di luar kehendaknya. Yang ia tahu Silvi terkadang bisa nekad juga kalau keinginannya kandas. Areta pernah melihat Silvi saling jambak dan cakar dengan adik kelasnya. Hanya karena berebut perhatian seorang siswa ganteng pindahan dari Jakarta.
Seisi kelas mulai lengang. Para siswa telah menjinjing tas masing-masing. Pak Satria ternyata tak kembali lagi ke kelas. Areta segera menutup buku tebalnya dan bergegas keluar. Saat melirik arlojinya, Areta kian mempercepat langkah. Seketika teringat janjinya siang ini untuk chatting dengan Harry. Harry Dubois.
OoO
Gambar profil pemuda itu telah berganti. Kini, yang dipajangnya adalah gambar kakek buyutnya, Mbah Dubois. Areta menggelari Eugene Dubois dengan sebutan Mbah. Sejenak mengingatkannya pada Mbah Raharjo, kakeknya yang sudah lama meninggal. Sama-sama berkepala separuh plontos namun punya kumis yang lebat.
Apa kabar Areta? Kemarin kamu bilang hari ini nilai ujian sejarahmu dibagikan. Bagaimana, apa kamu tetap dapat nilai nomor satu?
Areta tersenyum. Bahasa Indonesia lelaki itu semakin membaik. Areta tidak mau tahu apakah lelaki itu memanfaatkan jasa Mbah Google untuk menerjemahkannya. Yang jelas, Areta memang lebih suka berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Walau sesekali diselingi Bahasa Inggris. Harry sudah lama tinggal di Kanada bersama ibunya. Ibu Harry seorang aktris, ayah Harry seorang Palaentologis. Sayang, pernikahan mereka baru-baru ini kandas.
Harry bergabung di sebuah Klub Kesenian milik Kedutaan Indonesia. Bukan untuk belajar gamelan atau keroncong. Tapi dia belajar Bahasa Indonesia. Katanya, suatu saat dia akan menjejakkan kakinya di bekas jejak kaki kakeknya. Maka dia bertekad harus bisa berbahasa Indonesia dengan baik.
Yeah, aku dapat nomer satu hari ini. What about you? Kamu jadi ke Belanda ? Katanya ayahmu hendak merilis penemuan terbarunya.
merilis?
Hahaha, Press Conference.
:)
Memangnya, apa yang ditemukan ayahmu kali ini?
Alien.
What ???? Are you kidding?
No. Exactly No.
He still a palaentologist ? Isn’t he ?
Surely. So what? If now he’s finding the Alien? :)
Areta geleng-geleng kepala. Juga tersenyum-senyum sendiri. Harry adalah orang yang menyenangkan baginya. Lelaki itu memiliki minat yang sama dengan Areta. All about bones. Ya, tak salah lagi, Harry juga menggemari segala sesuatu tentang palaentologi. Selama ini, Areta hanya bisa menikmati sensasi rasa penasarannya melalui buku-buku dan museum saja. Namun Harry memiliki kesempatan yang lebih luas lagi. Ayahnya seorang palaentologist. Selalu sibuk dengan fosil-fosil, berkomunikasi dengannya melalui bukti alam. Sedangkan ibu Harry selalu sibuk dengan manusia-manusia yang bisa diajak bicara, manusia-manusia yang selalu memuji dan menyanjungnya. Hidupnya dikelilingi para lelaki tampan dan gagah. Tak heran kalau akhirnya rumah tangga orang tua Harry tak dapat dipertahankan lagi.
Harry lalu diboyong ibunya ke Kanada dan hanya mendapatkan kesempatan setahun dua kali untuk mengunjungi ayahnya di Belanda. Tapi bukan Harry namanya kalau tidak mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Biasanya, setelah berkunjung ke ayahnya, blognya akan ramai oleh foto-foto penemuan terbaru ayahnya.
He always be palaentologist, his body and soul. Mungkin bila ibuku meninggal lebih dulu, ayah akan meneliti juga tulang-tulangnya.
Hush ! It’s not funny joke!
hahaha
So, tentang alien ....bagaimana? Kamu tidak bercanda, kan ?
Areta, as I’ve told you before, that Phite is an alien.
Seketika Areta teringat perbincangannya dengan Harry belum lama ini melalui media yang sama. Harry mengatakan bahwa Phitecantropus yang ditemukan kakeknya di Trinil, sebenarnya adalah fosil alien. Makhluk dari luar bumi. Semula, Areta menganggap itu hanya guyonan Harry. Apalagi waktu itu, sedang marak berita penemuan Crop Circle di Jogja.
Hanya beberapa fosil yang ditemukan, bukan? Lalu yang lainnya ...kemana? *think this more seriously, Areta*
Yap. Begitu juga Brontosaurus. Kita tidak menemukannya ribuan.
Tapi ini berbeda. Ayahku memindai tengkorak kepala salah satu fosil. Dan dia menemukan sesuatu yang aneh. Sesuatu yang mustahil.
Apa?
Pecahan logam yang bersarang di tengkorak belakang. Dan materi logam itu, belum pernah ditemukan di muka bumi.
Areta menelan ludah. Heran bercampur takjub. Kalau sudah berbicara tentang fosil, Harry tak mungkin berbohong. Lantas, apa yang terjadi di masa itu? Apa mungkin, manusia purba memiliki teknologi lebih tinggi dari yang terus berkembang di jaman sekarang ini? Hingga mereka bisa berkomunikasi dengan makhluk dari luar angkasa. Atau justru memang benar, kalau mereka berasal dari luar angkasa. Terjadi peperangan hebat di planetnya hingga menewaskan banyak nyawa, lalu mereka yang hidup mengubur mayat para alien di bumi karena di planet mereka tidak terdapat area TPA. Sampai di sini, pikiran Areta mulai ngaco.
Sulit dipercaya.
Benar. Ayahku tidak akan memublikasi penemuan ini.
Lalu, apa teorimu ?
Phitecantopus itu adalah fosil alien. Wow, amazing. Tidak hanya Kanada. Akhirnya terbukti negerimu pernah dikunjungi alien.
Lalu apa teorimu ??? Itu hanya pernyataan. I’m waiting!
Kau yang seharusnya punya teori. Karena fosil itu ditemukan di negerimu!
Areta mendesah. Jelas, dia meragukan penemuan ayah Harry. Seperti halnya menonton Jurassic Park. Takjub, tapi tetap yakin akan kemustahilannya. Areta tidak yakin bisa menemukan teorinya. Tapi, berita baru ini benar-benar membuat dirinya penasaran. Sebelumnya, dia tidak pernah tertarik pada ilmu tentang angkasa luar. UFO, alien, crop circle atau sejenisnya. Setiap pertanyaan yang muncul hanya akan berujung pada satu hal : no body knows the truth.
Ide itu melintas seketika dalam benak Areta. “Aku harus ke Trinil.”
Areta menatap kalender duduk di sebelah laptopnya. Liburan tengah semester sebentar lagi. Surga purbakala itu menjadi tujuannya.
OoO