Try new experience
with our app

INSTALL

Sebelum Aku Mati 

Luluhnya Hati Nara

“Urgh!”

Nara melenguh, sepertinya ia hendak bangun dari tidur dan membuka matanya. Sementara aku, masih duduk di lantai dan menyandarkan kepalaku di tepi tempat tidur Nara, sembari mengusap lembut punggung tangannya.

Kini mata kami saling bertemu. Ia sudah membuka matanya, kemudian mengerjapkannya berulang kali. Aku melontarkan senyum terbaikku untuknya, sebagai sambutan selamat pagi untuk Nara.

“Jane?” tanya Nara, seolah tidak percaya. Ia mengusap wajahnya dan juga mengerjapkan lagi matanya. “Kau benar Jane?” tanyanya lagi.

Aku mengangguk, masih tersenyum.

“Kapan kau kembali dan berada di kamar? Tadi malam aku tidak melihatmu.”

“Aku … berada di kamar sejak kemarin. Tapi … kau tak bisa melihatku,” ujarku, tidak tahu harus beralasan apa kepadanya.

“Yang benar?” tanya Nara lagi, memastikannya. Ia benar-benar tidak bisa mempercayai ucapan orang dengan mudah.

“Kalau tidak percaya juga tidak masalah—”

“Oke. Aku percaya,” ucapnya, menarik tanganku yang hendak beranjak. “Tolong jangan menghilang lagi, Jane.”

Aku melihat Nara dengan mata bulat yang membesar, saliva yang aku telan berulang kali, bahkan aku merasa hampir mati untuk yang kedua kalinya saat mendengar permintaan dari Nara.

“I—iya … kau tidak perlu khawatir. Aku tidak akan menghilang lagi. Lagipula … aku memang tidak menghilang, Nara. Hanya saja kau yang tidak bisa melihatku,” terangku.

“Kenapa?”

“Karena aku bukanlah manusia. Aku hanya bisa berjanji untuk tetap bersamamu, tapi aku tidak bisa memastikan, bagaimana keadaannya nanti.”

Nara beranjak untuk duduk dan menarik bahuku. Ia memintaku untuk duduk bersamanya di tepi tempat tidur. Aku pun menurutinya, dan kini kami sudah berhadapan, dengan mata yang saling menatap, pagi ini terasa begitu sendu.

“Aku akan membantumu untuk mencari seorang ibu yang sedang hamil. Semakin cepat kau bereinkarnasi, semakin cepat juga kita bertemu kembali di dunia ini, Jane,” ujar Nara, kali ini ia yang berjanji padaku.

Aku mengacungkan jari kelingking, menagih Nara untuk melakukan janji jari kelingking.

“Janji?” tanyaku, ingin perjanjian antara aku dan dia bukan hanya sekadar omongan saja. Nara tersenyum dan mengaitkan jari kelingkingnya di jari kelingkingku.

“Janji,” jawab Nara.

 

***

 

Hari ini lagi-lagi Nara tidak sekolah. Anak pemalas itu memang sulit untuk diberitahu. Padahal ia sebenarnya tidak seperti itu. Nara adalah anak yang rajin dan pintar. Tapi, sepertinya kehadiranku memang sangat berpengaruh dalam hidupnya.

Sudah hampir tiga puluh menit, aku dan Nara duduk berhadapan di meja makan. Bukan untuk sarapan, tetapi ia hanya diam dan memandangku dengan tatapan yang aku tak mengerti apa artinya.

“Ayah dan Paman bisa mengira kau kesurupan, Nara. Lekas sarapan dan kita pergi mencari ibuku,” ujarku, membuyarkan lamunan Nara.

Nara tidak menjawab dan hanya tersenyum saja menanggapinya. Kemudian ia menurut untuk segera sarapan, agar tidak membuang-buang waktu. Aku masih seperti biasa, hanya menunggu, menemani dan melihat Nara makan, tanpa ikut menyantap makanan yang terlihat menggiurkan.

Baru beberapa suap nasi goreng itu mengisi perutnya, Nara menghentikan sarapannya. Ia beranjak menuju ke dapur dan aku tidak tahu apa yang akan ia lakukan. Ia pergi tidak sebentar dan membuatku memilih untuk beranjak, memastikan apa yang sedang dilakukan oleh Nara di dapur. Namun, saat aku baru saja beranjak dari tempat duduk, Nara sudah terlihat berjalan menghampiriku dengan membawa sebuah kotak makan yang aku tidak tahu apa isinya.

“Waktunya pergi,” ucap Nara, memberikan isyarat kalau aku harus ikut pergi bersamanya.

Ya. Aku dan Nara sama sekali tidak bisa berkomunikasi jika tidak berada di kamar, karena nanti orang akan curiga dan merasa kalau Nara itu aneh, berbicara tanpa lawannya.

“Lagi-lagi kau tidak sekolah, Nara?”

Aku menoleh ke arah belakang. Itu adalah ayah, yang baru saja menegur Nara.

“Ada urusan yang harus aku selesaikan, Paman,” jawab Nara, ia sama sekali tidak takut ayahku akan memarahinya karena terlalu sering tidak sekolah.

“Kau sudah bisa menerimanya, bukan? Jangan terlalu lama bersedih, dia sudah bahagia di sana.”

Nara melirikku sesaat dan kembali menoleh pada ayahku. Ia tersenyum dan mengangguk pada ayah.

“Aku memang tidak bisa melupakannya, Paman. Tapi untuk saat ini, aku sudah baik-baik saja. Paman tidak perlu cemas akan hal itu,” ujar Nara, jelas terlihat ia sudah tidak sedih lagi. Mungkin saja karena setelah aku mati, ia masih bisa melihat dan bertemu denganku lagi dalam wujud hantu seperti ini.

“Baiklah, Paman merasa lega.”

“Kalau begitu … aku pamit, Paman.”

Nara berlalu setelah berpamitan dan aku masih berjalan mengikutinya dari belakang. Seperti sebelumnya, Nara membukakan pintu mobil untukku dan mempersilakan aku untuk masuk. Ia meletakkan kotak makan itu di atas pahaku, mungkin agar tidak terkesan aneh karena ia membukakan pintu mobil, sementara tidak ada orang yang masuk ke dalam mobilnya selain dirinya sendiri.

Nara kemudian menyusul masuk dan duduk di kursi kemudi. Ia menarik seat belt dan memakainya. Aku melihatnya yang kini sedang melirik padaku.

“Kau tidak memakai seat belt?” tanya Nara.

“Aku? Sepertinya tidak perlu,” jawabku menyeringai. Benar, aku tidak perlu memakai seat belt karena sekalipun ada kemungkinan terburuk yang terjadi, aku akan baik-baik saja. Perlu diingatkan lagi, kalau aku ini HANTU.

“Hmmm … aku menyiapkan sarapan untukmu. Kau makan saja roti di dalam kotak makan itu. Sepertinya aku belum pernah melihatmu makan setelah mati,” ujar Nara, sembari mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang.

“Hmmm … apakah hantu masih perlu makan? Aku sama sekali tidak merasa lapar ataupun haus. Tapi kalau—”

“Berikan rotinya padaku! Aku akan memakannya,” perintah Nara, sepertinya kesal.

“Oke. Biar aku saja yang memakannya,” balasku, tidak ingin membuat usaha Nara sia-sia. Ia sudah begitu baik menyiapkan sarapan untukku, sementara aku menolaknya. Entah apa yang membuat hati Nara luluh. Aku benar-benar senang dengan perubahan sikapnya padaku.

“Kau lihat apa?” tanya Nara, ketika menyadari kalau aku memperhatikannya.

“Hm?! Aku melihat ke jalan, kok. Kamu terlalu percaya diri,” jawabku beralibi. Nara tersenyum dengan sesekali melirik ke arahku. Aku pun ikut membalasnya, tersenyum dengan segenap ketulusan hati.