Try new experience
with our app

INSTALL

Sebelum Aku Mati 

Jane Bukanlah Prim

Aku Jane Agatha, bukanlah Prim Prewa Antariksa. Aku adalah hantu yang sedang mencari ibu untuk melahirkanku kembali ke dunia dan bereinkarnasi. Aku tidak bisa mengantuk maupun tidur. Aku juga tidak bisa lapar dan haus. Tetapi aku bisa menangis, jika ada yang melukai perasaanku. Seperti yang baru saja Nara lakukan padaku. Secara tidak langsung, sama saja ia tidak menginginkan kehadiranku di sini.

 

***

Aku sudah bersiap. Karena memang tidak ada lagi yang perlu aku siapkan. Aku selalu siap kapanpun, setiap saat. Aku masih duduk di tepi tempat tidurku, menunggu Nara yang sedang menyisir rambutnya, lalu ia acak kembali.

“Kau masih seperti dulu,” ucapku, terkekeh melihat tingkah Nara.

Nara menoleh kepadaku, rautnya datar.

“Kamu benar Prim?” tanya Nara, sepertinya ia tidak percaya.

“Bukankah Lani sudah mengatakannya? Aku Prim dikehidupan sebelumnya dan akan reinkarnasi sebagai—”

“Aku sudah mendengarnya berulang kali. Kau tidak perlu mengulangnya lagi,” sela Nara, sepertinya ia bosan mendengarnya. Aku memilih untuk diam, tidak ingin mengulang kesalahan yang sama.

Aku melihat Nara yang berjalan mengarah ke pintu kamarnya, ia sepertinya hendak pergi. Sementara aku masih saja duduk di tepi tempat tidurku, menatap punggung lelaki itu.

“Kau tidak ingin pergi?”

Pertanyaan Nara terdengar seperti mengusirku. Namun aku tidak ingin mengambil hati dan membuatnya menjadi beban. Aku hanya tersenyum, beranjak dari tempat tidur dan berjalan keluar dari kamarnya.

Aku mengikuti Nara dari belakang, yang kini tengah menuruni anak tangga menuju ke lantai dasar rumah. Seperti biasa, Nara tidak pernah sarapan. Ia pergi sekolah begitu saja tanpa sedikit makanan yang mengisi perut kosongnya. Jika aku masih hidup, aku selalu membawakannya roti untuk berjaga-jaga jika tiba-tiba saja sakit maag yang dideritanya kambuh.

“Apa kau bisa terbang?” tanya Nara, kini posisi kami sudah berada di luar rumah.

“T—terbang?”

“Bukankah hantu bisa terbang dan menembus apapun? Mengapa aku tidak pernah melihatmu melakukan hal seperti hantu pada umumnya?”

Aku tidak tahu harus menjawab apa kepada Nara. Karena sepertinya ia tidak akan percaya dengan jawaban yang aku berikan padanya. Aku memang hantu, tapi aku benar-benar tidak bisa terbang atau menembus apapun. Bahkan selama aku menjadi hantu, aku tidak pernah bertemu atau sekadar melihat hantu lainnya.

"Aku tidak bisa mengantarmu. Jadi kau bisa keluar dan pergi sendiri. Nanti aku pulang sedikit terlambat karena pasti banyak tugas yang sudah menumpuk. Jadi kau bisa pulang sedikit lebih malam, untuk bisa masuk ke dalam kamar,” ujarnya, kemudian meninggalkanku tanpa menunggu jawaban dariku.

Aku masih diam di tempat aku berdiri semula, melihat Nara yang sudah berada di dalam mobilnya dan berlalu begitu saja.

Huft …

Aku benar-benar sebatang kara saat ini. Orang yang aku andalkan nyatanya sama sekali tidak membuatku merasa lebih baik. Aku ingin kecewa, namun Nara sudah sangat baik dengan memberikan bantuan tempat tinggal seperti ini saja, sudah cukup bagi hantu sepertiku.

Aku tidak boleh mengeluh! Aku harus memulai perjalananku untuk mencari seorang ibu yang sedang hamil dan kemudian masuk ke dalam rahimnya.

“TAPI DIMANA AKU BISA MENEMUKANNYA?!”

 

***

 

Tak terasa matahari sudah berada di atas kepala, membuatku merasa sangat panas dan lelah. Seberapapun rasa lelah yang kurasa, aku tidak dapat merasakan haus ataupun lapar. Aku juga masih sanggup meneruskan perjalananku hingga pada akhirnya aku berhenti di depan sebuah rumah yang tidak asing lagi bagiku, meski ini baru kunjungan kedua kaliku.

“Jane?!”

Aku mengerjap, terkejut mendengar suara seseorang memanggilku. Itu adalah Lani, yang kini sedang keluar dari halaman rumahnya untuk menghampiriku.

“K—kau tidak sekolah?” tanyaku heran, mengapa Lani berada di rumah sekarang.

“Aku akan kedatangan tamu hari ini. Maka dari itu, aku memilih untuk tetap berada di rumah,” jawabnya kemudian merangkul lengan tanganku, mengajakku untuk masuk ke dalam rumahnya.

“S—siapa tamu itu?”

“Kau.”

Aku mengernyit, merasa kalau Lani benar-benar seorang indigo yang hebat. Mungkin saja ia dapat membantuku mencari tahu dimana seorang ibu hamil yang bisa melahirkanku kembali.

Aku dibawa oleh Lani ke kamarnya, tidak lagi berada di ruang tamu rumahnya. Kamar Lani terkesan sedikit seram dengan dinding menyerupai prasasti, serta ornamen kuno yang menghiasi seisi kamarnya. Kamarnya gelap, tanpa jendela dan ia juga tidak menyalakan lampu sebagai penerang.

“Apa kau takut gelap?” tanya Lani.    

Aku belum menjawab, Lani menyalakan lampu tidur berwarna merah. Menambah kesan seram di siang hari. Jujur saja, AKU TAKUT.

“Apa kau merasa kesulitan bagaimana mengawali pencarian ibu hamil untuk kau bereinkarnasi?” tanya Lani, sudah bisa menebak jalan pikiranku.

Aku hanya menyeringai, sudah pasti jawabanku adalah iya.

“Mencari ibumu memang penting, namun ada hal yang lebih penting yang harus kau ketahui, Jane,” tuturnya, membuatku penasaran. “Apa kau tidak merasa Nara bersikap dingin padamu?”

Aku melipat kedua bibirku, kemudian mengangguk. Menyatakan apa yang dikatakan oleh Lani memang benar.  

“Ia hanya ingin memastikan kalau kau adalah Prim-nya, Jane. Kau tidak perlu cemas akan hal itu.”

“Tapi … sepertinya Nara jengah dengan keberadaanku,” balasku, menunduk. Jujur aku sedih jika membahas tentang Nara.        

“Malam ini, aku akan membuatnya mengerti kalau kau sangat berarti untuknya.”

“Prim yang sangat berarti untuknya, bukan Jane,” aku menyanggahnya.      

“Jane, kelak kau akan mengerti. Jane bukanlah Prim. Tapi Prim adalah Jane.”        

 

***

 

Aku berdiri di depan pintu kamar Nara. Melihat kedua tanganku yang mampu menembus apapun yang ada di hadapanku saat ini.

“Aku akan membuatmu bisa menembus kamar Nara malam ini. Tapi Nara tidak akan bisa melihatmu. Kau bisa membuktikan, kalau Nara akan sangat merasa kehilanganmu. Lalu esok hari saat ia terbangun, kau sudah ada di sisinya lagi.”

Aku teringat akan ucapan Lani tadi siang. Aku memiliki kekuatan untuk menembus seperti hantu pada umumnya.

Slash

Kini aku berhasil berada di dalam kamar Nara. Kamarnya sudah gelap, namun ada penerang di meja belajarnya. Itu adalah Nara yang sedang membaca buku di sana. Aku berjalan menghampiri Nara, berdiri tepat di belakangnya.

Aku mendengar suara isak Nara yang sedang membaca sebuah buku novel, yang membuatku penasaran dengan isinya. Apakah benar ceritanya sesedih itu, sehingga membuat Nara-ku menangis?

“Jane …,” gumam Nara, terdengar seperti rintihan. “Maafkan aku … jangan pergi lagi dariku ….”

Aku tak kuasa mendengarnya dan ikut menitikkan air mata. NARA MERINDUKANKU!

“Nara … aku di sini. Aku berada di dekatmu. Kau jangan bersedih lagi …,” ujarku, memberitahu kepada Nara. Namun itu semua hanya sia-sia saja. Karena malam ini, aku tak akan bisa terlihat oleh Nara.

Apa aku bisa memeluk Nara? Tetapi … malam ini aku diberi kekuatan untuk bisa menembus apapun, bukan? Ah! Coba saja dulu, aku benar-benar ingin memeluknya saat ini.

Tanganku perlahan melingkar pada pinggang Nara. Tubuhku membungkuk untuk menyeimbangkan Nara yang tengah duduk. Aku tidak menyentuhnya, hanya bersikap seolah tengah memeluknya dari belakang.