Try new experience
with our app

INSTALL

Sebelum Aku Mati 

Tidur Bersama Lagi

Nara membawaku kembali ke rumah. Ia mengajakku untuk jalan berdampingan. Hanya saja, ia sama sekali tidak mengajakku berbicara selepas kami keluar dari mobil. Aku dan Nara berjalan melewati Paman Soni yang tengah berbincang dengan ayah.

Aku sangat merindukan ayah ….

“Nara?” panggil Paman Soni, saat aku dan Nara hendak menginjak anak tangga pertama.

Nara menoleh dan mengurungkan niatnya untuk menuju ke kamar kami yang berada di lantai dua rumah tersebut.

“Ada apa, Yah?” tanya Nara, menghampiri Paman Soni.

“Dari mana saja, Nara? Apa kau masih sedih atas kepergian Prim?” tanya Paman Soni, sepertinya ia curiga.

“Jelas aku masih bersedih, Yah. Sudah lama aku dan Prim tinggal bersama dan selalu bersama,” jawab Nara.

“Kau harus kembali sekolah, Nara. Tidak baik terlarut dalam kesedihan dalam waktu yang lama. Kau juga harus menunjukkan kepada Prim kalau kau adalah lelaki yang dapat diandalkan,” tutur Tuan Mike –ayahku-.

“Iya, Nara. Aku ada di sini dan kau harus segera kembali ke sekolah, ya!” ucapku, memberikan semangat kepada Nara, tidak ingin Nara terus-terusan mengurung diri di dalam kamar.

Nara menoleh ke sisi kanan, seperti melirik ke arahku kemudian ia kembali melihat ayahnya.

“Baik, Ayah, Paman, aku akan kembali sekolah hari Senin nanti. Tidak perlu mengkhawatirkan keadaanku, aku baik-baik saja,” balas Nara, terdengar ia sudah sedikit membaik.

Nara kemudian berlalu dan menaiki satu persatu anak tangga. Aku kembali mengikutinya, dari belakang.

“Kau tak boleh terus-terusan bersedih akan kematianku, Nara. Lagipula saat ini aku berada di sisimu, bukan? Meski aku bukanlah seorang manusia lagi, tapi setidaknya aku—”

“Aku akan lebih senang jika kau diam saja, Jane. Sekarang, aku ingin istirahat. Dan kau bisa melakukan banyak hal di kamar, tapi jangan mengganggu tidur siangku,” ujar Nara menyela perkataanku.

Aku mendengus, sedikit kesal karena sepertinya Nara belum bisa menerimaku dengan sepenuh hati.

Aku ikut masuk ke dalam kamar dan memilih untuk duduk di tepi tempat tidurku, memandang Nara yang kini sudah terbaring dengan memunggungiku. Sepertinya masih ada yang mengganjal di dalam hatinya. Mungkin ia belum bisa menerima keadaan ini sepenuhnya, atau ia masih syok karena harus tinggal bersama dengan hantu.

Aku menelan saliva berulang kali dan kemudian ikut merebahkan tubuh di atas tempat tidur milikku, sembari menatap langit-langit yang ada di kamar itu. Aku juga ingin tertidur dan memejamkan mata, layaknya seorang manusia. Tapi … sudah satu minggu sejak hari kematian, aku belum tertidur juga. Bahkan aku tidak makan sama sekali dan tidak ada rasa lapar ataupun haus. Apa ini sebenarnya hantu? Tidak makan, tidak minum dan tidak tidur seperti manusia?

 

***

 

Malam ini, sudah empat hari aku tinggal bersama dengan Nara dan keluarga Antariksa lainnya. Namun aku masih belum merasa kerasan berada di rumahku sendiri. Mungkin saja karena Nara yang lebih banyak diam, seolah tidak menganggapku ada. Ia hanya mengajakku bicara saat ia hendak keluar kamar, menawarkan apakah aku ingin keluar kamar atau tetap berada di kamar.

Jelas aku tetap memilih berada di kamar dengan rasa bosan yang tak dapat kuhindari. Namun aku juga tidak tega untuk terus mengikuti Nara kemana pun ia pergi, karena selain pergerakkannya yang terbatas, aku juga pasti akan kecewa karena Nara harus menjaga sikap dengan tidak menganggapku ada.

Kapan Nara akan bersikap seperti dulu lagi? Aku sangat merindukan sosok Nara yang hangat dan perhatian seperti dulu.

Cklek

Pintu kamar terbuka, Nara sudah kembali sejak ia pergi dua jam lalu.

“Apa kau tidak merasa bosan, Jane?” tanya Nara, hanya mengintip dan tidak masuk ke dalam kamar.

“Hm? Aku?!” tanyaku, heran dengan pertanyaan dari Nara.

“Sebelum aku kembali ke sekolah esok hari, aku ingin mengajakmu berjalan-jalan di tepi danau dekat komplek. Agar kau tidak suntuk karena selalu berada di dalam kamar.”

 

***

 

YEAY!

Akhirnya Nara mengajakku bermain! Meski hanya tepi danau di dekat komplek, yang tidak ada apa-apa selain hanya air, rumput dan juga pohon, namun setidaknya Nara berhasil membuat rasa bosan ini hilang.

“Terima kasih, Nara,” ucapku memberikan senyuman termanis kepadanya.

Nara hanya tersenyum, memperlihatkan lesung dikedua pipinya.

Hampir satu jam aku dan Nara berada di tepi danau itu, hanya diam, tanpa bicara. Apa bedanya dengan aku yang berada di kamar? Di sini juga ia hanya diam dan tidak menganggapku ada.

“Bukankah lebih baik kita pulang saja? Kau harus mempersiapkan alat tulis dan perlengkapan lainnya untuk kembali ke sekolah besok,” ujarku.

“Baiklah,” balasnya dingin.

Aku dan Nara akhirnya kembali ke rumah, lagi-lagi dengan rasa yang begitu hampa.

 

***

 

Gelap. Hanya langit-langit kamar yang terlihat hitam, tak ada yang bisa aku lihat dalam kegelapan malam di kamar ini. Entah sampai kapan aku akan merasa sepi dan hampa seperti ini. Rasanya tidak enak. Aku benar-benar sendiri, tanpa siapapun yang menemani. Nara? Ah, sepertinya Nara hanya merasa tidak enak saja jika menolak permintaan Lani saat itu.

“Sudah larut malam dan kau masih belum tidur?”

Aku tersentak ketika mendengar suara Nara yang berada di dekatku.

“Geser,” pinta Nara, mendorong pinggangku untuk bergeser. “Sudah lama tidak tidur bersama, bukan?”

Aku masih memperhatikan Nara dalam gelap. Ia masih sama seperti dulu, sangat tampan. Nara adalah sepupu yang bukan kandung, yang sangat aku sayangi seperti layaknya kakakku sendiri.

“Apa seorang hantu tidak tidur?” tanya Nara.

“Hm?! Eu … i—iya … sejak kematianku … aku tidak pernah tidur,” jawabku, sangat gugup.

Aku merasa aliran darah yang mengalir sangat deras, aku tak mampu mengontrol emosiku saat ini. Entah mengapa kedekatan jarak dengan Nara, membuatku menjadi gugup dengan jantung yang sangat berdebar seperti ini.

“Nara, apa kau merasa keberatan dengan adanya aku saat ini?” tanyaku, ingin memastikan.

“Mengapa kau bertanya seperti itu?” Nara tidak menjawab. Dia bertanya balik kepadaku.

“Jika kau keberatan, aku bisa mencari ibuku sendiri. Aku tidak ingin merepotkanmu,” ujarku, memberikan jawaban kepada Nara.

“Hmmm … kalau begitu … kau bisa pergi saat aku sekolah dan kembali saat aku pulang sekolah.”

Deg

TUNGGU! Apa ini maksudnya … Nara memintaku untuk mencarinya sendiri?!

“Kau bisa memulainya besok, agar waktumu tidak terbuang lagi, Jane.”