Contents
Sebelum Aku Mati
Ritual Mata Batin
“Hai, Nara!” sapa Lani, memberikan pelukan pada Nara sebagai sambutan. Ia melirikku secara sinis, ketika aku melihat sinis karena memperlakukan Nara layaknya kekasih.
“Apa kehadiranku mengganggumu?” tanya Nara.
“Tidak. Ayo masuk, aku tahu apa yang kau pikirkan, Nara.”
“Apa yang sedang aku pikirkan?”
“Kau merindukan Prim, bukan?”
Nara mengangguk, ia tersenyum. Lani memang benar-benar indigo, tanpa harus Nara mengucapkan keluhannya, ia bisa menebak apa yang sedang dipikirkan oleh Nara. Kini Lani menoleh ke arahku, membuat takut saja.
“Ia juga sangat merindukanmu,” bisik Lani, namun aku masih dapat mendengarnya.
“A—apa dia ada di sekitar kita?”
Lani tidak menjawab dan memilih untuk menghampiri mobil Nara, membukakan pintu untukku.
“Kau lumayan manja,” ucap Lani tersenyum padaku.
“Terima kasih,” ucapku, membalas kebaikan Lani.
Lani tidak menjawab dan kembali menghampiri Nara. Kemudian merangkul lengan tangan Nara dan mengajaknya masuk ke dalam rumah. Ia seolah tidak peduli pada Nara yang terlihat bingung seperti orang yang tidak tahu apa-apa.
Lani melirik padaku, memberikan isyarat untuk ikut masuk ke dalam rumahnya. Aku hanya berjalan di belakang mereka, sembari berharap kalau Lani memang orang baik yang akan membuka mata batin Nara untuk bisa melihatku di sini.
Lani mempersilakan Nara untuk duduk di sofa panjang dan aku pun duduk persis di sebelah Nara. Sementara itu, Lani pergi menuju ke dapur rumahnya. Sebentar saja, karena tak lama kemudian, terlihat Lani yang datang dari arah dapur membawakan minuman dan juga camilan untuk Nara.
“Silakan, Nara,” ucap Lani dengan sangat ramah.
“Terima kasih,” balas Nara, meneguk minuman tersebut, tidak sampai habis. “Lani, bukankah kau tahu apa yang aku inginkan?” tanya Nara kemudian.
Lani membesarkan matanya, ia mengangguk. Lagi-lagi Lani menolehku, dengan tatapan tajam yang membuatku ngeri.
“Dapatkah kau melihat Prim saat di upacara kematiannya minggu lalu?”
“Bahkan saat ini aku melihatnya,” ucap Lani, menoleh ke arahku.
“Serius? D—di mana?” tanya Nara, matanya mencari ke setiap sudut, sudah jelas ia tak akan bisa melihatku yang jelas-jelas berada di sebelahnya.
“Nara … jika kau dapat melihat Prim, apa yang akan kau lakukan padanya?” tanya Lani, ingin mengetahui alasan Nara.
Nara sedikit memajukan posisi duduknya, seperti ada hal serius yang ingin ia utarakan. Ia juga merubah rautnya, tidak lagi ada senyuman yang tersirat di wajahnya.
“Aku ingin mengatakan, kalau aku ….”
“Kau harus mengikuti ritualnya lebih dulu, Nara. Kau harus membuka mata batinmu jika ingin melihat Prim yang nyatanya sudah bukan manusia,” ujar Lani, menyarankan kepada Nara.
“A—apa aku tidak bisa mengutarakannya saja? B—bagaimana wujud Prim saat ini?”
Lani menoleh lagi ke arahku, ia memberikan senyuman. Senyumannya kali ini tidak membuatku merasa takut.
“Ia masih sama seperti Prim yang dulu. Cantik, hanya saja sedikit pucat,” ujar Lani mendeskripsikan keadaanku saat ini.
Apakah benar, aku masih terlihat seperti manusia? Bukan menyeramkan seperti hantu pada umumnya? Aku bergumam sembari meraba wajah dan juga kedua tanganku, merasa senang.
“Apa kau siap, Nara?”
***
Aku duduk tepat di hadapan Nara yang saat ini tengah memejamkan matanya. Aku tidak tahu apa bagaimana reaksi Nara saat melihatku dengan wujud hantu seperti sekarang ini. Apa ia akan menjerit? Kabur? Atau ia akan memelukku dengan erat?
“Aku akan membantumu untuk menggapai Prim. Tapi tolong tetap pejamkan matamu, ya,” ucap Lani, membantu Nara mengarahkan tangannya ke pipiku. “Bagaimana?”
“A—aku dapat menyentuhnya,” ucap Nara, aku merasa tangannya gemetar. Mungkin saja ia takut.
“Panggil ia Jane, bukan Prim,” ucap Lani.
Nara diam, tangannya lemas dan jatuh begitu saja. Seolah tidak terima kalau nama Prim berubah menjadi Jane.
TAPI NAMAKU MEMANG JANE! JANEYAH AGATHA! BUKAN PRIM!
Aku menitikkan air mata, kecewa. Sosok Jane seolah memang tidak pernah ada di dunia ini.
“Mengapa? Aku ingin bertemu dengan Prim, bukan Jane,” tanya Nara, sepertinya ia tidak semangat lagi untuk bertemu denganku.
“Karena Prim harus melakukan reinkarnasi di kehidupan selanjutnya. Ia akan terlahir sebagai Jane, bukan Prim,” jawab Lani. “Dan hanya kau, yang dapat membantunya mencari rahim seorang ibu—”
“Aku hanya ingin bertemu dengan Prim, bukan membantu Jane untuk kembali hidup. Prim bukanlah Jane, untuk apa aku harus—”
“Aku merindukanmu, Nara!” ucapku, menyela sanggahan Nara. Aku ingin ia berhenti bicara. Aku ingin ia berhenti mengeluh dan membandingkan antara aku dengan Prim. AKU TERLUKA MENDENGARNYA.
“P—prim?”
“Jane, Nara. Aku Jane … sebelum aku mati, mungkin namaku adalah Prim. Tapi aku akan menemukan kehidupan baru sebagai Jane, dan kini posisi antara ada dan tiada. Aku sudah mati … namun aku masih dapat hidup dan menikmati dunia,” ujarku, menjelaskannya kepada Nara. Sejujurnya aku pun tak mengerti apa yang menimpa diriku. Aku hanya tidak ingin Nara mengurungkan niatnya untuk bertemu denganku, hanya karena aku adalah Jane, bukan Prim.
“Kau masih hidup, namun sudah tak bernyawa,” ucap Nara kemudian. “Aku merindukanmu, Jane ….”
Mataku berbinar menunjukkan betapa terharunya saat mendengar Nara menyebut namaku sebagai Jane. Ia bisa menerimaku sebagai Jane, bukan Prim.
“Nara …,” gumamku, tak kuasa menahan tangis.
“Nara, apa kau siap untuk bertemu dengan Prim sebagai Jane?” tanya Lani.
“Iya … aku siap,” jawab Nara.
“Kalau begitu, bukalah matamu.”
Aku melipat kedua bibirku, menatap Nara yang hendak membuka matanya. Tanganku mengepal dengan kuat, menahan debaran yang sangat kencang, sepertinya aku takut dengan reaksi yang akan Nara berikan.
Blam
Nara telah membuka matanya dan menatapku dengan biasa saja.
“Bagaimana, Nara?” tanya Lani.
Nara diam, ia tak berkedip atau berkomentar apapun tentangku, yang kini tengah menatapku.
“Nara?” panggil Lani, ia heran dengan sikap Nara.
“J—jane?” sapa Nara, memanggilku.
Aku tersenyum dan mengangguk. Aku sangat senang dan bahagia saat ia memanggil namanku sebagai Jane, bukan Prim.
“Nara, kau sudah bisa bertemu dengan Jane lagi.”
Nara mengangguk, masih terperanga. Aku hanya meringis tak jelas karena rasa bingung atas tatapan Nara yang seperti kaget, namun tak menunjukkan ekspresi apapun. Aku menengadah, melirik pada Lani seolah meminta bantuan. Mengapa Nara hanya diam seperti itu melihatku.
“Kau bisa membawa Jane pulang bersamamu, Nara.”
“Apa?!” tanyaku kaget. Bagaimana tidak, aku takut Nara akan merasa tidak nyaman jika berada di dekatku yang nyatanya bukanlah seorang manusia. Aku khawatir Nara hanya terpaksa saja melakukannya.
“Baik. Aku akan membawa Jane bersamaku. Lagipula … aku sudah biasa tidur bersamanya sejak dulu.”
Mataku membesar mendengar persetujuan Nara tersebut. Ia benar-benar tidak keberatan dengan keberadaanku di dalam hidupnya. Aku dan dia yang hidup di dunia yang berbeda, harus bersama dalam satu atap, bahkan satu ruangan.
Aku melirik kembali pada Lani. Ia tersenyum dan mengangguk padaku. Seperti memberi isyarat agar aku terima saja. Lalu, apa aku bisa menolak? TIDAK! Aku bukan hanya tidak bisa menolak, namun aku memang tidak ingin menolak, karena aku memang ingin bersama dengan Nara dalam waktu yang lama, sebelum aku bereinkarnasi menjadi manusia kembali.