Contents
Sebelum Aku Mati
Kematian Siapa
TENG
Lonceng kuil berbunyi. Dan aku masih diam, menatap gambar diri yang dipajang pada sebuah bingkai besar, dengan bunga di sekitarnya. Aku melihat ayah, Nara dan Paman Soni berada di dekat sebuah peti, yang hingga kini masih takut untuk aku lihat isinya. Bagaimana tidak. Sejak siang itu, aku tidak bisa mengingat apapun, selain mendengar suara lonceng dan juga lantunan abhidhamma dari seorang bikkhu yang membimbing jemaat untuk mendoakan kematian seseorang. Ya, seseorang. Aku tidak ingin menebak siapa seseorang itu, meski aku seharusnya tahu dan menyadari, ini adalah upacara kematian siapa.
“N—nara …,” gumamku, melihat mata Nara yang sembab, mungkin karena menangis. Aku tidak bersamanya saat tidur tadi malam.
Aku pun ikut menangis. Bahkan menjerit! Namun tak ada siapapun yang peduli padaku.
“Nara?”
Deg
Aku mendengar suara seseorang yang sudah tidak asing lagi ditelinga. Ia terlihat menghampiri keluargaku di sana.
“Sugatim va saggam lokam uttarim va upapajjatu.”[[1]]
Aku berusaha mengingat siapa dia, namun tetap saja aku tak dapat mengenali suara siapa itu. Seketika aku menutup kedua lubang hidungku. Bau anyir begitu menyengat usai suara panggilan yang menyebut nama Nara terdengar. Bau itu membuatku terasa mual dan memilih untuk keluar sejenak dari kuil itu.
Kakiku berhenti melangkah, ketika melihat beberapa papan karangan bunga yang dipajang dengan rapi di sepanjang jalan dan juga halaman kuil.
TURUT BERDUKA CITA
ATAS MENINGGALNYA
PRIM PREWA ANTARIKSA
1 Sugatim va saggam lokam uttarim va upapajjatu : Semoga mendiang terlahir di alam surga menyenangkan atau lebih dari itu
Mataku membesar, tanganku gemetar dengan bibir yang tak mampu mengucap apapun. BUKAN NAMAKU?! Aku kembali menoleh pada Nara. Ia kini duduk berdampingan dengan seorang gadis yang aku tidak kenal. Aku tidak tahu siapa gadis itu sebenarnya.
Bau itu sudah hilang dan memilih untuk mengurungkan niat keluar dari kuil. Aku kembali melangkahkan kaki menghampiri Nara, ayah dan juga Paman Soni. Dimana seorang gadis kini tengah duduk bersama mereka, membawa bunga dan mengatupkan kedua tangannya, ikut berdoa melantunkan abhidhamma. Gadis itu menengadah, melihat ke arahku. Ia tersenyum dan mengangguk.
“K—kau ….”
Aku berusaha menghindar dan kembali keluar dari kuil tersebut. Aku bersembunyi dibalik pilar yang menjulang tinggi dan cukup besar yang bisa menutupi tubuh mungilku ini.
“Aku bisa melihatmu, Jane. Kau tak perlu bersembunyi.”
Merasa tertangkap basah, aku pun perlahan keluar dari balik pilar dan menampakkan diriku di depan gadis tersebut. Aku menunduk dengan perlahan menengadah menoleh ke arahnya.
“K—kau … siapa?” tanyaku masih saja paranoid.
“Aku Lani, apa kau tidak mengingatku?”
Aku menggelengkan kepala, tidak bisa mengingat siapa gadis itu. Namun, ada yang membuatku ingin mengingat sesuatu saat mendengar suaranya.
“A—aku hanya tidak asing dengan suaramu saja,” ucapku kemudian.
“Nara pasti akan sangat merindukanmu, Jane. Aku turut prihatin atas kematianmu—”
“Apa?! K—kematian—ku? Kematian siapa kau bilang?!” tanyaku tidak percaya pada ucapannya.
“Kematianmu, Jane. Apa kau tidak ingin memastikannya dengan melihat dirimu di dalam peti itu?” tanya Lani, menunjuk pada peti yang berada di depan keluargaku. Aku diam, memandang sendu pada mereka.
“Nama di karangan bunga itu … bukan aku—”
“Itu namamu di kehidupan sebelumnya, Jane. Sebentar lagi kau akan memiliki kehidupan baru dengan nama Jane Agatha,” tutur Lani, menjelaskannya padaku.
Sejujurnya, aku masih tidak mengerti dengan apa yang dimaksud olehnya. Hari ini adalah hari kematian Prim, gadis yang memiliki fisik serta wujud yang sama denganku. Lalu aku berada di sini sebagai Jane? Aku ini apa? Aku siapa? Mengapa aku ada di dunia ini, namun tak dapat dilihat oleh orang lain selain Lani? Lantas … siapa Lani sebenarnya?
“K—kau … bukan manusia?” tanyaku pada Lani.
“Kau yang bukan manusia. Apa kau benar-benar lupa padaku?”
Aku kembali diam, melihat keluarga Antariksa yang kini sudah tak mampu aku gapai lagi. Ya, aku bukanlah Jane yang dulu, Jane sudah bukan manusia lagi.
***
Aku duduk di sudut kamar, melihat Nara yang sedang duduk di tepi tempat tidurku, sembari memandangi album. Aku tak mampu berpikir lagi. Bagaimana bisa aku menjadi Prim? Bagaimana bisa Prim yang meninggal bergentayangan menjadi Jane.
“Prim, aku masih ingin memelukmu,” gumam Nara, terdengar jelas di telingaku.
Aku berdiri, beranjak menghampiri Nara. Aku melihat album foto yang kini digenggaman tangan Nara. Itu adalah fotoku bersama Nara saat masih kecil.
“Nara, aku ada di sini. Kau masih bisa memelukku, jika kau bisa melihatku,” ujarku, berbicara dengan Nara. Namun sepertinya Nara sama sekali tidak mendengar apapun yang ku katakan. Ia hanya diam dan masih memandangi album tersebut, dimana itu adalah fotoku bersamanya saat masih kecil.
Aku teringat pada Lani. Membuatku ingin keluar dari kamar tersebut dan mencari keberadaan Lani. Namun, aku tak tahu dimana tempat tinggal Lani.
“Aku harus pergi ke rumah Lani,” gumam Nara, memiliki pemikiran yang sama denganku.
“Nara? Apa kau mendengarku? Bagaimana bisa kau berpikir untuk menemui Lani saat ini. Dimana aku juga sedang memikirkan hal yang sama?” tanyaku, sangat senang mendengarnya. “Aku ingin menemui Lani, untuk mencari jalan keluar agar kau bisa memelukku, Nara!” lanjut ku mengatakannya.
“Lani seorang indigo, pasti ia bisa membantuku untuk bertemu dengan Prim, walau hanya sebatas rasa saja.”
BERHASIL!
Apapun yang aku inginkan dan aku katakan, Nara akan merasakan dan menginginkan hal yang sama. Nara beranjak dari tempat tidurku dan meraih kunci mobil yang ada di atas meja belajarnya. Aku berjalan mengekorinya keluar dari kamar, menuju keluar rumah. Dengan perasaan riang, aku berharap kalau Nara bisa melihatku kembali.
“Aneh … aku bukan manusia, tetapi aku tak bisa menembus apapun,” gumamku.
Bukankah benar, makhluk astral yang ada dalam cerita bisa menebus apapun? Aku juga ingin merasakannya, tapi tak bisa.
Nara berjalan menghampiri mobilnya, ia membukakan pintu mobil. Itu bukan pintu kemudi! Siapa yang ingin duduk di sebelahnya.
“Ini kesempatanku!”
Aku menyelinap masuk ke dalam mobil. Masih melihat raut Nara yang terlihat bingung.
“Ah! Aku kebiasaan membukakan pintu untuk Prim,” gerutu Nara, kemudian ia menutup kembali pintu mobil itu.
YES!
Aku bisa masuk ke dalam mobil tanpa perlu bingung bagaimana caranya. Hanya tinggal memikirkan bagaimana caranya nanti aku bisa keluar dari mobil ini.
Nara masuk dan duduk di belakang kemudi. Ia mengemudikan mobilnya dengan laju, menuju jalan yang aku tidak tahu kemana arahnya. Aku sama sekali tidak mengingat Lani, aku juga tidak tahu dimana tempat tinggal Lani. Aku tidak mau lagi berpikir terlalu keras bagaimana Prim bisa menjadi Jane dan Jane berubah menjadi Prim. Aku hanya ingin menjalankan apa yang terjadi saat ini, memenuhi hari-hariku. Aku hanya ingin bersama Nara, meski pada akhirnya aku hanya akan luntang-lantung di dunia ini, tanpa memiliki akhir cerita.