Try new experience
with our app

INSTALL

Sebelum Aku Mati 

Hari Kematian

Sreeeekkkk

“S—suara itu …,” gumamku, takut.

Tanganku gemetar, berusaha menoleh ke arah sumber suara yang berada tepat di belakangku. Aku tidak tahu itu suara apa. Namun … aku dapat memastikan kalau itu bukanlah sesuatu hal yang bisa diterima secara logika. Aku sengaja menutup mataku, agar tidak terkejut jikalau sesuatu itu bukanlah hal yang diinginkan.

Sreeeekkk

Lagi. Suara itu terdengar lagi dan semakin nyaring ditelinga. Membuat tak nyaman dan semakin meningkatkan nyaliku untuk menoleh, dan ….

“Aaaaaarggghhh!!!”

“Kejutan!!!”

“Nara!”

Dengan kesal aku menarik telinga lelaki jahil yang kini ada di hadapanku. Ya, siapa lagi kalau bukan Nara, lelaki tampan yang tidak pernah memperlakukanku dengan baik selama hidupnya.

“Kau terlalu paranoid, Jane! Aku hanya ingin mengejutkanmu saja,” kekeh Nara.

Benar apa yang dikatakan oleh Nara. Aku terlalu paranoid. Lebih simpel lagi jika mengatakannya penakut. Aku Jane Agatha, si penakut yang tak pernah berani tidur sendiri.

“Mau sampai kapan aku harus tidur di kamarmu, Jane? Kita sudah remaja dan aku bisa kapan saja melakukan—”

“Nara! Kalau kau tidak diam, aku tidak mengizinkamu tidur bersamaku malam ini!”

Nara tersenyum, menjauhkan tubuhnya dariku. Ia mengambil bantal dan juga selimut dari tempat tidurnya.

“N—nara … kau mau kemana?” tanyaku panik, ketika melihat Nara yang sepertinya akan pergi dari kamar.

“Bukankah kau baru saja mengusirku?” Nara balik bertanya padaku dengan raut polosnya.

“Nara … aku hanya bergurau …,” rengekku, menghampiri Nara. Aku mengambil bantal serta selimut miliknya dan kembali meletakkannya di atas tempat tidur Nara yang hampir tak pernah terlihat rapi. “Sudah malam, sekarang waktunya kau tidur, Nara,” tuturku bersikap manis kepadanya. Aku hanya tidak ingin ia pergi, aku ingin ia tetap tidur di kamar malam ini.

“Jadi … kau masih membutuhkan aku, bukan?” tanya Nara, nadanya begitu menggoda. Benar-benar membuatku risih.

“Nara—”

Nara mendaratkan bibirnya di keningku, aku sama sekali tidak terkejut. Karena Nara biasa melakukannya setiap malam, sebelum aku tidur.

“Selamat malam, Jane kecilku ….”

Aku tersenyum, membiarkan Nara yang kini tengah merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Ia sudah menyelimuti tubuhnya, namun matanya masih terbuka, menatapku yang kini masih berdiri di tepi tempat tidurnya.

“Kau tidak tidur?” tanya Nara.

Aku membesarkan mata, lalu mengedipkannya berulang kali. Tidak ingin menjawab pertanyaan Nara, aku memilih untuk segera kembali ke tempat tidurku dengan menahan rasa malu.

“Hey! Mana selamat malam darimu?!” seru Nara menagih ucapan selamat malam dariku.

“SELAMAT MALAM!” balasku dengan seruan, tidak ingin melihat Nara lagi karena malu.

 

***

 

Naravit Antariksa adalah anak tunggal Paman Soni Antariksa, yang sudah sejak kecil tinggal bersamaku. Sebenarnya, aku dan Nara bukanlah saudara sepupu kandung, karena posisiku di keluarga Antariksa hanyalah sebagai anak angkat. Tuan Mike Antariksa –Ayahku-, tak bisa memiliki keturunan. Bukan hanya keturunan saja, ia juga tidak bisa memiliki pasangan hidup karena alasan pribadi. Ayahku memilih untuk hidup sendiri tanpa pasangan dan keluarga selama hidupnya saat itu. Namun kesepiannya membuat ayah memutuskan untuk mengadopsi seorang anak yang tak lain adalah aku, Jane Agatha, yang sengaja tidak diberi nama belakang keluarga besar mereka, Antariksa.

Sudah lebih dari sepuluh tahun aku tinggal di rumah ini. Rumah yang lebih tepat dikatakan sebagai istana. Bahkan kamar yang kumiliki, lebih besar dari rumah biasa pada umumnya. Itu adalah salah satu alasan mengapa aku tidak berani tidur sendiri di kamar dan meminta Nara untuk selalu bersamaku.

Namun itu bukanlah alasan utama mengapa aku menjadi seorang yang paranoid seperti itu. Aku hanya—

“Aku hanya ….”

Aku menutup laptop sesegera mungkin, khawatir Nara akan membacanya lebih banyak. Aku berbalik badan, menatap sinis pada lelaki itu dan segera berdiri untuk mencubit hidungnya.

“Kau membacanya lagi?!” tanyaku dengan penuh emosi.

“Aku hanya apa? Aku belum selesai membacanya, Jane,” kekeh Nara. “Kau selalu saja menulis cerita dalam laptop, namun tak pernah mempublikasikannya,” balas Nara dengan suara kodok karena hidungnya masih aku cubit dan menghambat pernapasannya. Aku segera melepasnya dan membiarkan Nara berargumen tentang itu.

“Apa yang ingin kau katakan?”

“Kau selalu menulis cerita sepanjang hari, sepulang sekolah. Apa tidak bosan?” tanya Nara dengan tangan yang ia lipat di atas perutnya.

“Tidak,” jawabku santai.

“Kau … menulis cerita dewasa, bukan?” tanya Nara, mendekatkan tubuhnya padaku.

“A—apa maksudmu?! Cerita apapun yang aku tulis, kau tidak perlu ikut campur,” balasku menggerutu, mencoba untuk menghindar dari Nara dengan berlalu.

“Jane, jangan ngambek, dong.”

Aku tidak peduli dan tetap melangkahkan kakiku keluar dari kamar, meninggalkan Nara.

 

***

 

Hari ini matahari terlalu terik bagiku. Aku, manusia yang lebih menyerupai vampir, memang tidak begitu senang berada di bawah panas dan sinar matahari yang begitu menyengat. Bukan karena aku yang khawatir kulit putih dan mulus ini menjadi kelam, namun aku memang tidak menyukainya.

“Kau seharusnya sudah bersiap, Jane. Sebentar lagi giliran kita,” ucap Nara kepadaku, sembari membawa bola kecil untuk dijadikan objek lomba estafet kali ini.

“Nara, kau tahu kelemahanku, bukan?”

“Iya, kau adalah vampir, yang tak bisa terkena sinar matahari. Kita harus bersiap, setelah itu kau bebas ingin melakukan apapun.”

Aku hanya bisa mengangguk dan menuruti permintaan Nara. Aku dan Nara bersiap, meletakkan bola kecil di antara pipi kami berdua, dan …

“MULAI!”

Aku dan Nara berjalan cepat dengan teratur, mempertahankan bola tersebut agar tetap berada di pipi kami sampai garis finish.

BERHASIL!

“YEAY!” seruku begitu bersemangat. Aku menarik tubuh Nara dan mendekapnya dengan sangat erat.

Nara membalasnya, namun ia masih saja mencari kesempatan dalam kesempitan. Bukan hanya sekadar membalasnya dengan dekapan. Ia juga meneroboskan bibirnya pada pipi dan juga leherku, sehingga membuatku merasa geli.

“Ini di sekolah, Nara!” seruku berbisik, masih berusaha menyingkirkan tubuh Nara.

“Kita ‘kan sepupu, Jane,” balasnya, menjadikan status sepupu sebagai senjatanya.

Bugh

Aku berhasil mendorong Nara hingga ia terjungkal dan membuatnya menjadi bahan tontonan teman-teman yang ada di lapangan. Semua diam, membuatku merasa bersalah karena hal itu. Aku berusaha menahan malu dengan berlari meninggalkan Nara di tengah ramainya orang yang melihatnya terjungkal seperti itu.

“Jane!” serunya memanggilku, namun aku tidak memedulikannya.

Aku masih terus berlari dan menaiki satu persatu anak tangga, hingga menuju ke lantai atas di gedung sekolahku. Aku menghentikan langkahku, tatkala melihat seorang gadis yang tengah berdiri di ujung koridor, menatapku dengan sendu. Tanganku meremang, namun rasa takut itu kalah dengan penasaranku pada gadis tersebut.

Secarik kertas terbang menuju ke arahku. Angin seolah sengaja ingin menujukan kertas itu untukku. Aku berhasil menangkap dan penasaran untuk melihat isinya. Mataku membesar dan membuang kertas tersebut, dimana di sana bertuliskan,

 

“HARI KEMATIAN”