Contents
Cinta Itu Luka
PROLOG
ADNAN GHIFARI, pemilik tubuh tinggi dengan wajah rupawan itu menatap mempelai wanita yang duduk di sisinya. Tatapannya sendu saat sadar tak ada sedikit pun senyum yang dihadirkan oleh wanita tersebut sejak akad dimulai hingga kini tamu undangan hanya tinggal beberapa. Jangankan untuk mengulas senyum, menahan laju air matanya agar tidak jatuh saja, Adnan tahu persis pasti sulit.
Aula yang tadi pagi dipenuhi oleh banyak orang, semakin lama semakin lengang, hingga hanya menyisakan sanak keluarga dari kedua mempelai. Adnan, mempelai pria yang sejak tadi berusaha terlihat senang dalam pernikahan tersebut, akhirnya berdiri. Dia mengambil kursi roda yang sejak tadi disimpan di dekat singgasana mereka dengan kondisi terlipat. Kemudian membukanya dan meletakkan kursi roda tersebut di dekat Alya, wanita yang kini sudah resmi menjadi istrinya.
"Ayo, kau pasti lelah," gumam Adnan. Dia berjongkok di hadapan Alya, tetapi perempuan itu menggeleng pelan merespons ajakkannya.
"Bisa tolong panggilkan Genan saja? Aku tidak terbiasa disentuh orang lain," balas Alya, sama sekali tak ingin repot menatap wajah Adnan.
Menghela napas pelan, Adnan mengangguk. Benar, meskipun status mereka sudah sah menjadi suami-istri sekarang, tetapi tidak ada yang berubah. Bagi Alya, dirinya tetap orang lain. Orang asing yang secara tak terduga menggantikan Irham untuk menjadi mempelai pria untuknya.
Tidak salah jika Alya masih belum terbiasa dengannya. Tidak salah juga jika Alya membencinya. Adnan sudah merenggut sebagian besar cahaya yang Alya miliki. Adnan sudah membuat wanita itu menderita. Berharap Alya memaafkan hanya karena dia bertanggung jawab atas janin yang dikandungnya? Tidak. Adnan tidak segila itu. Dia tahu kesalahannya terlampau besar. Alya pantas membencinya setengah mati. Dan Adnan pantas dihukum hingga dunia ini berhenti berputar.
"Aku akan panggil Genan kalau begitu," ucap Adnan akhirnya.
Adnan turun dari pelaminan. Berjalan mencari sosok bernama Genan, yang Adnan tahu persis bahwa keberadaannya pasti akan mencolok. Mengingat, paras pemuda itu memiliki ketampanan di atas rata-rata dengan tubuh proporsional yang mendukung ketampanannya tersebut. Benar saja, tak lebih dari satu menit, Adnan sudah bisa menemukan keberadaan pria itu.
"Genan!" Adnan tersenyum kecut begitu pemuda bertuxedo abu-abu itu menoleh, menatap dengan tak suka begitu dirinya memanggil. "Alya ingin istirahat, tapi dia tidak mau aku yang membantunya menaiki kursi roda," ucap Adnan pada lelaki yang dipanggil Genan itu, adik Alya yang umurnya hanya terpaut dua tahun di bawahnya.
"Tentu saja tidak. Dia masih membutuhkan waktu untuk menyesuaikan diri denganmu. Lagi pula, aku masih tak habis pikir, bagaimana bisa orangtuaku malah meminta Kak Alya menikah dengan sumber kekacauan ini?" ujar Genan sinis. Dia lalu berjalan meninggalkan Adnan begitu saja, menghampiri kakaknya yang duduk dengan tatapan kosong, seolah hanya raganya yang terjebak di sini, sementara sukmanya entah berkelana ke mana.
Adnan sendiri hanya bisa menerima setiap ucapan tajam yang dilayangkan orang-orang padanya. Ini adalah harga yang harus dia bayar setelah membuat kekacauan yang begitu besar.
"Nan," panggil seseorang, memegang bahu Adnan hingga lelaki itu mengerjap. "You okay?"
Adnan mengangguk kecil, lantas mengulas senyum tipis pada Rayhan, sepupunya. "I'm okay, Ray," balasnya.
Rayhan tersenyum simpul. "Aku harap kau benar baik-baik saja," katanya dengan prihatin.
"Tentu." Adnan membalas dengan senyum yang dipaksakan.
"Jika kau membutuhkan apa pun, hubungi aku."
"Termasuk jika aku butuh teman untuk minum?" tanya Adnan dengan sebuah delik menyelidik.
Rayhan seketika tertawa ringan mendengar pertanyaan tersebut. "Dude, kau tahu alkohol adalah kawanku, tentu saja kau bisa menghubungiku setiap kali ingin minum," ujarnya, menepuk pundak sepupunya tersebut.
Adnan mengangguk. "Baiklah. Itu saja sudah membuatku lega," katanya.
Adnan lalu memusatkan atensi ke arah lain, pada Alya yang turun dari pelaminan digendong oleh Genan, kemudian menaiki kursi roda yang sudah disiapkan di bawah. Perasaan sakit lagi-lagi menikam kuat hatinya. Dia ... adalah sumber kekacauan terbesar. Dia menyebabkan banyak orang terluka dan kehilangan.
***