Try new experience
with our app

INSTALL

Tak Layak Menjadi Simpanan  

Tidak untuk Ketiga Kalinya

Kamar sudah tidak berbentuk layaknya ruang pelepas penat. Bantal tercecer di lantai, juga sprei berhambur tak beraturan seolah menjadi pertanda jika tengah ada pergumulan hebat yang terjadi di sana.


 

Bukan hanya ranjang yang berantakan, tetapi beberapa barang yang harusnya berdiri rapi di atas nakas, kini berserak ke segala tempat. Beling sisa pecahan cermin, juga turut menghiasi ubin keramik berwarna putih tulang.


 

PRANG!


 

Kini giliran gelas yang mendapat jatah peluncuran. Menghantam tembok yang sedari dulu hanya diam, menjadi saksi dari apa saja yang terjadi di dalam sana.


 

Sementara di dalam seorang wanita dengan perut besar berteriak histeris, melempar apapun yang ada di dekatnya kepada pria di hadapannya.


 

"Kenapa kamu melakukan ini, Mas!" pekiknya sangat kuat, bahkan urat di lehernya sudah menegang, tanda ia mengeluarkan seluruh tenaga untuk bertanya.


 

Namun, pria yang dituding sebagai sumber kekacauan itu hanya berdiri mematung. Ia mencoba membujuk, menjelaskan tapi wanita di depannya sama sekali tidak mau mendengar.


 

"Ini sudah ketiga kalinya kamu bermain di belakangku!" ucap wanita itu lagi.


 

"Ryn. Aku minta maaf. Aku khilaf." Pria itu mencoba membela diri.


 

Tak mau mendengar, bantal kembali dilempar dengan sekuat tenaga. "Khilaf katamu?" Kedua mata wanita itu melotot. "Hanya dalam waktu delapan bulan menikah, kau sudah selingkuh tiga kali! Kau benar-benar bajingan!"


 

Pria bernama Toni itu mendekat. "Ryn, kau salah paham. Aku hanya meeting dengannya," tuturnya lembut, penuh penyesalan.


 

Kedua mata Ryn membulat. "Meeting?" ucapnya, di detik berikutnya wanita itu mengambil ponsel, menunjukkan hasil tangkapan layar yang sengaja ia simpan. "Meeting sampai harus pesan kamar? Iya?"


 

Tak ada jawaban satupun dari Toni. Ia ingin membela diri, tetapi benda pipih pintar miliknya sudah lebih dulu terlempar, mengenai wajahnya yang tidak terlalu tampan.


 

"Telepon wanita itu sekarang!" pinta Ryn dengan marah.


 

Toni masih bergeming. Alih-alih mengindahkan permintaan Ryn, ia justeru semakin mendekat, mencoba memohon di kaki wanita itu.


 

Namun belum sampai, Ryn sudah lebih dulu menepis. "Aku ingin berbicara dengan wanita jalang itu," ucapnya lagi, cukup tenang. Marah-marah selama satu jam sudah cukup membuat lehernya menegang.


 

"Ayolah, Ryn. Kumohon." Pria di sana masih mencoba meminta keringanan.


 

Ryn menoleh, menatap Toni dengan mata sembab penuh air mata juga kekecewaan. Untuk beberapa saat, ia hanya diam di tempat. Mematung seolah tulang sudah lenyap dari tubuhnya. Ditariknya napas dalam-dalam. Air mata yang hampir kering kembali memaksa keluar.


 

Wanita itu segera menyeka air dari pelupuk mata. Merasa tak sudi terus menangis untuk pria yang tidak peduli dengannya dan bayi yang ada di dalam kandungan Ryn.


 

Hingga setelah cukup lama ia terdiam melerai pertikaian hebat di dalam hati, kini saatnya untuk Ryn mendengarkan kepala, bukan hanya perasaan yang akan semakin membuatnya lemah.


 

Ryn bangkit dari tempat tidur. Langkahnya dipercepat menuju lemari, mengambil koper lalu mulai memasukkan baju secara sembarang. Ia berniat untuk pergi dari kekacauan di sana.


 

Melihat sang istri memasukkan pakaian, Toni tak bisa tinggal diam. Ia segera bangkit, meraih lengan wanita yang masih sibuk dengan kopernya.


 

"Ryn. Tolong jangan lakukan ini. Kita bisa bicarakan baik-baik." Pria itu masih mencoba mengambil hati Ryn.


 

Namun sepertinya perkataan Toni dianggap seperti angin yang hanya lewat. Wanita itu sama sekali tidak menggubris, bahkan mendengar suaranya saja rasanya enggan. Ryn masih terus berkemas, memasukkan berkas penting, lalu mengunci koper dan bersiap pergi.


 

Toni meraih lengan Ryn, menghentikan langkah wanita yang akan keluar. "Baiklah. Aku mengaku salah. Akan aku putuskan hubungan apapun dengannya, bahkan jika harus memecatnya dari kantor," ucapnya memohon.


 

Mendengar itu, Ryn berhenti. Tatapannya masih tajam di udara. Napasnya kembali ditarik dengan dalam. Setelahnya ia menoleh, beralih pada pria yang menuai segala rasa dalam dirinya.


 

"Kumohon jangan pergi, ya." Toni masih mencoba membujuk.


 

Akan tetapi sepertinya hal-hal seperti itu sudah tidak berpengaruh pada Ryn. Dengan kuat wanita itu menepis tangan Toni dari lengannya.


 

"Kau sudah mengatakan itu berkali-kali, Mas! Bahkan aku sampai tidak bisa menghitung seberapa banyak kamu bilang akan meninggalkan wanita itu! Namun apa buktinya?" Ryn menggeleng, tenggorokannya terasa sesak, "kau tidak pernah berniat melakukannya. Bahkan hingga sekarang, saat kamu memohon di kakiku sekalipun, ucapan yang kau layangkan hanya sebatas kalimat di bibir," ujar wanita itu melanjutkan.


 

Ryn memberi jeda untuk bernapas. Setelah dirasa cukup bisa mengendalikan perasaan, ia menyambung perkataan, "Aku akan mengurus perceraian setelah anakku lahir. Ingat, ini anakku, aku tidak sudi jika kelak dia memanggilmu sebagai ayah!"


 

Setelah mengatakan itu, Ryn menarik kopernya dengan kuat. Melangkahkan kaki dengan sangat cepat. Menutup mata serta telinga dari pria yang terus mengejar seraya berteriak di belakang. Kalau bisa, ia juga ingin menutup nurani saat itu juga. Ryn sudah kenyang dengan cinta yang justeru membuatnya semakin terluka.


 

Beruntung, tidak sulit menemukan taksi di perumahan besar dekat dengan jalan raya. Ryn segera masuk ke dalam mobil, menarik koper tak terpikir untuk memasukannya ke bagasi.


 

"Jalan, Pak," ucapnya lirih dan tegas pada supir di depan.


 

Sementara di luar, Toni yang tak bisa mengejar hanya menggedor pintu dari luar. Berteriak memanggil nama Ryn, berlari mengikuti mobil hingga sampai kecepatan yang tak bisa ia capai.


 

Air mata kembali mencelos, mengalir di pipi wanita yang tengah mengelus perut besarnya. Di usia kandungan yang menginjak lima bulan, ia sama sekali tidak menyangka harus memisahkan anak dari ayahnya secepat ini. Namun apa boleh buat, Toni bukanlah pria yang pantas hidup dengan segala tenaga dan hati wanita itu.


 

Wanita yang kini berada di dalam taksi itu adalah Mauryn. Mantan seorang guru berusia dua puluh empat tahun yang memilih meninggalkan pekerjaan untuk keluarga, terutama pria yang menjabat sebagai suaminya. Dengan jaminan kebahagiaan yang pria itu tawarkan, tentu saja Ryn dengan mudah menyerahkan semuanya, bahkan logika yang sudah beberapa kali terluka.


 

Namun apa yang terjadi tidak sesuai dengan kalimat manis yang dilontarkan dari pria itu sebelum mendapatkannya. Semua hanyalah bualan, omong kosong semata. Dikhianati berkali-kali membuat akal Ryn menuntut hak untuk didengar. Sampai pada puncaknya, ketika ada jadwal kontrol karena kandungan yang lemah, suaminya justeru memesan kamar hotel dengan salah satu karyawan di kantor.


 

Bahkan ketika sudah ada daging tumbuh di dalam perut Ryn, Toni masih mengedepankan selangkangan.


 

Di perjalanan Ryn menggigit bibir dengan kuat. Ia berusaha menahan air mata yang belum juga kering. Ia tidak ingin terlihat lemah, meski perasaannya seperti kaca yang dihantam palu dengan kuat.


 

Sesekali pandangannya mengedar keluar, mencoba mengalihkan diri dari luka. Namun yang tergores bukan fisik, melainkan hati. Sekuat apapun ia menahan, garam dari kenyataan akan tetap membuat lukanya semakin perih.


 

Ia tenggelam dalam kenyataan yang sangat pahit dalam hidup. Sampai pria di belakang kemudi menghentikan lamunannya.


 

"Kita akan kemana, Bu?"


 

Sadar dengan posisinya, Ryn segera menyeka air mata. "Ke bandara."